Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 Dipecat

Agni melongo. Matanya mengerjap-ngerjap cepat saat mendengar dua orang di hadapannya beradu mulut sangat keras.

Perempuan itu perlahan-lahan melipir pergi. Dia membawa keranjang kerang bersih dan bawang putih yang sudah dikupas. Langkahnya berjingkat-jingkat. Agni hampir tiba di pintu masuk ke arah dapur saat suara melengking menghentikan langkahnya.

“Eh, kamu mau ke mana? Sini kamu!”

Badan Agni beku total. Niat hati tak ingin berurusan dengan konflik percintaan orang asing. Nyatanya semesta malah meledeknya habis-habisan dengan melemparkan Agni ke tengah perseteruan sepasang kekasih.

“Selvi, mau apa kamu?” Hujan menarik tangan si perempuan cantik yang berniat menghampiri Agni.

“Labrak dia-lah! Enak aja ngerebut pacar orang sembarangan. Cantik juga nggak. Miskin iya. Apa sih, yang kamu lihat dari cewek ini, Jan?”

Telinga Agni panas mendengar hinaan perempuan di samping Hujan itu. Tangannya mencengkeram keranjang kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Sakit.

Ingin rasanya Agni menyanggah semua tuduhan itu. Namun, dia tak ingin gegabah. Salah langkah bisa-bisa justru dia yang dipecat.

“Kamu bisa tenang sebentar?” Hujan menghardik. Logat khas Malang milik pria itu tiba-tiba berubah jadi menyeramkan.

Selvi langsung mengerut. Agni sampai terlonjak kaget. Dua perempuan itu sama-sama menatap ke arah Hujan.

“Kamu ngaca dulu sebelum main tuduh orang sembarangan.” Hujan kembali mengulang perkataan. “Dia ini pegawai restoran. Aku hanya bantu dia. Jadi, jangan—”

“Oh, jadi beneran dia kerja di sini? Selera kamu payah juga.” Selvi memotong perkataan Hujan.

Perempuan itu berbalik menghadap Agni kembali. Matanya berkilat-kilat. Tangan Selvi berkacak pinggang.

“Kamu tahu siapa aku? Aku Selvi Darmawan. Papa aku sahabatan sama yang punya resto ini. Kamu siap-siap angkat kaki dari sini karena aku bakal nyuruh Om Chandra buat pecat kamu.”

Agni terbelalak. “Eh, tunggu dulu! Atas dasar apa lo pecat gue sembarangan? Lo punya masalah sama pacar lo, ya selesaikan sendirilah. Nggak perlu senggol-senggol gue.”

Agni tak tahan lagi. Kepalanya benar-benar pusing. Dia langsung balik badan dan meninggalkan halaman belakang. Perempuan itu tak menggubris teriakan Selvi yang melengking tinggi.

Begitu masuk lagi di area dapur, emosi Agni kian tersulut. Panggilan bersahut-sahutan disertai perintah beruntun membuat kepala Agni berdenyut-denyut. Wajahnya pucat. Hawa dapur yang gerah juga semakin melelahkan batin Agni.

Dia berusaha bekerja semaksimal mungkin tanpa mengeluh. Namun, perjuangan Agni sudah di ambang batas saat menjelang jam kerjanya berakhir, manajer restoran memanggil perempuan itu ke kantor.

“Apa ini, Pak?” Agni memandang amplop putih panjang di atas meja.

“Gaji terakhir kamu.”

Bola mata perempuan itu membeliak lebar. Mulutnya ternganya. Terbata-bata Agni bertanya.

“Maksudnya apa, Pak? Gaji terakhir ..., berarti saya diberhentikan? Saya nggak boleh kerja lagi di sini?"

Manajer hanya menganggukkan kepala. Agni spontan menggebrak meja.

“Bapak, saya memang nggak ada kontrak tertulis. Tapi kok, dadakan gini pemberhentiannya? Kinerja saya buruk, Pak? Perasaan saya selalu melaksanakan tugas dengan baik.”

Manajer bergerak-gerak gelisah di kursinya. Mata pria itu melirik kanan kiri. Dia menjawab tanpa melihat ke arah Agni.

“Itu permintaan bos besar,” gumam si manajer nyaris tak terdengar. “Katanya ada tamu yang komplain soal kamu. Dia minta kamu dipecat.”

Agni tertegun.

Badannya membeku. Matanya mengerjap-ngerjap cepat.

Tamu yang komplain.

Kalimat itu berputar-putar di benak Agni. Dia tahu siapa orang yang dimaksud. Perempuan muda itu berdiri tegak lantas memandangi si manajer.

“Saya beneran dipecat, Pak?” tanya Agni lirih. “Nggak dikasih kesempatan kedua? Atau kesempatan membela diri gitu?”

“Memangnya bos besar mau dengar?” Si manajer balik bertanya. “Beliau masih ada di luar kota langsung telepon aku, nyuruh buat mecat kamu. Kondisi kayak gitu menurutmu beliau mau dengarkan pembelaanmu?”

Rahang Agni mengencang. Dia sudah tahu jawabannya. Bayangan jadi pengangguran menari-nari di pelupuk mata.

“Menyebalkan,” gerutu perempuan itu.

“Ya. Ya. Memang menyebalkan.” Manajer membeo. “Tapi mau gimana lagi? Posisimu cuma pegawai rendahan yang kerja juga belum lama di sini.”

Agni mengambil amplop di atas meja. Dia menghitung di depan si manajer. Bahu perempuan muda itu membungkuk lemas.

“Aku tambahin sedikit di sana. Semoga bisa buat bayar uang kuliahmu.”

Agni hanya melirik dari balik bulu mata tebalnya. Dia mengangguk singkat. Meski masih kesal dan diliputi emosi tingkat tinggi, Agni tidak melupakan sopan santun. Dia berpamitan pada sang manajer dan berjalan lunglai keluar kantor.

Perempuan itu mendapat tatapan prihatin dari rekan-rekannya di dapur saat perempuan itu mengambil tas. Berita tentang dipecatnya Agni dari restoran sudah menyebar. Dia mendapat tepukan penghiburan dari teman-teman yang sudah menemaninya bekerja.

“Kamu pasti sukses di tempat lain, Agni,” hibur semua orang.

“Cewek tangguh macam kamu pasti bisa segera dapat pekerjaan lain.”

Agni sekali lagi mengangguk. Dia menghela napas berat. Tangannya menyilangkan tas di depan dada dan berpamitan pada penghuni dapur.

Hujan turun sangat deras saat Agni keluar restoran. Mendung tebal menggantung pekat di langit. Genangan air terkumpul di beberapa bagian jalan. Bau asap kendaraan yang seliweran di depan Agni menghilang terhempas tetes air hujan.

“Padahal kerja di restoran ini enak gajinya. Kalau gini caranya, aku harus cari kerjaan lain secepat mungkin.”

Otak Agni berputar menghitung sisa saldo di rekeningnya. Perempuan itu lalu menghubungi beberapa rekan kuliah. Setidaknya butuh setengah jam bagi Agni untuk bisa kembali berwajah semringah.

“Beneran lo? Gantiin part time pegawai butik lo? Mau banget gue!”

Agni mendengarkan instruksi temannya. Pandangannya mendongak ke arah langit. Masih hujan deras. Nekat jalan kaki ke salah satu mal besar di kota Malang dari tempatnya berteduh sekarang niscaya Agni harus menelan malu karena pasti bakal basah kuyup.

“Gimana kalau mulainya besok? Biar enak ngitung gaji gue gitu.” Agni berseloroh sembari gigit-gigit bibir. Senyumnya sontak melengkung lebar demi mendengar keputusan teman satu kampusnya.

Deal! Gue kerja di tempat lo dari jam dua siang sampai sepuluh malam. Tenang aja, urusan kuliah aman, kok. Nggak bakal ganggu kerjaan di butik.”

Siulan riang Agni terdengar begitu telepon ditutup. Napas lega meluncur dari hidung perempuan itu. Setidaknya urusan perut dia akan aman dengan pekerjaan paruh waktu baru.

Sayangnya Agni tidak selamanya bisa tersenyum. Hampir dua minggu berjalan dan perempuan itu kembali dipaksa menghitung ulang arus kas keuangan pribadinya.

Pasalnya ibu kos mendadak mengabarkan kenaikan harga sewa kamar. Perubahan aturan juga diberlakukan. Bayar bulanan diganti langsung ke sewa indekos minimal satu tahun.

Belum lagi tugas-tugas kuliah yang mulai memakan biaya. Agni tidak memiliki komputer. Otomatis dia harus menyewa peralatan elektronik itu untuk mengerjakan tugas. Biaya sewa dan cetak tugas kuliah sangat menguras dompet.

“Nggak bisa gini terus. Aku harus cari kerja tambahan. Tapi aku masih ada kuliah. Gimana caranya bagi waktu kalau nambah part time lagi?”

Agni duduk merenung di tangga gedung fakultas. Di tangannya tergenggam ponsel butut kesayangan. Layarnya yang sudah retak menampilkan pesan ajakan dari seorang teman kampus.

Agni mendapat tawaran jadi joki untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Waktunya fleksibel, bisa dikerjakan kapan pun dan di mana pun, asalkan mematuhi tenggat waktu. Namun, honornya dirasa Agni kurang sepadan dengan beban kerja.

Dahlah. Aku coba terima yang ini aja. Daripada nggak ada sama sekali.” Agni menyetujui tawaran temannya untuk bergabung dalam tim.

Lalu dimulailah hari-hari sibuk seorang Agni Aghnia. Pagi sampai siang kuliah, siang sampai malam kerja di butik, di sela-sela waktu tersebut Agni gunakan untuk belajar dan menjadi joki tugas-tugas kampus klien.

Di akhir pekan Agni masih mencoba menambah pemasukan dengan berjualan kue di Pasar Minggu Malang. Pasar kaget yang hanya buka di akhir pekan itu menjadi ladang bisnis baru bagi Agni selama beberapa minggu ke belakang.

Untuk soal menjual kue, Agni tidak mengeluh sama sekali. Seperti ibunya yang memang mahir membuat kue dan menggunakan keahliannya untuk membesarkan sang putri tunggal, Agni juga meniru jejak wanita paruh baya tersebut.

Dia memanfaatkan keahliannya membuat kue basah. Pendapatannya lumayan. Cukup untuk menambah asupan gizi dirinya saat mengerjakan tugas.

Namun, tetap saja semua itu masih kurang. Pengajuan beasiswa Agni ditolak. Perempuan itu kembali harus memutar otak untuk mencari tambahan pemasukan guna membayar biaya kuliah.

Maaf, Agni. Mama belum bisa kirim duit. Ini kaki Mama sakit, jadi nggak bisa buat kue dulu. Agni pinjam duit temen, ya. Bulan depan Mama bakal ganti.

Mata Agni bergerak pelan membaca satu pesan masuk dari ibunya. Hati perempuan itu mencelus.

“Pinjem duit ke temen? Ya, ampun. Mana bisa aku pinjem duit lagi. Yang kemarin juga belum aku bayar.”

Agni meraup muka frustrasi. Air mata merebak di pelupuk matanya. Perempuan itu menggigit bibir menahan tangis yang menggedor-gedor keluar.

“Kamu bisa, Agni. Kamu bisa. Please, deh. Ini masalah kecil banget buat kamu. Kamu udah bisa sampai titik ini. Kamu pasti bisa!”

Berkali-kali Agni mengatakan kalimat itu untuk dirinya sendiri. Namun, Agni tahu bila dirinya sedang berdusta.

Dia lelah.

Dia mulai merasa tak mampu berdiri lagi.
Mentalnya mulai tumbang.

Puncaknya saat Agni pulang dari kerja paruh waktu di butik. Ibu kos sudah duduk manis di teras seraya mengacungkan tangan ke arah Agni.

“Mana uang bayarannya, Nak? Katanya janji akhir bulan bakal dikasih. Ini udah lewat tiga hari, loh.”

Agni menelan ludah. Badannya luar biasa letih. Sensasi meriang juga mulai melanda. Kepalanya berdenyut-denyut. Hal pertama yang ingin Agni lakukan hanya tidur, bukan berhadapan dengan ibu kosnya yang tegas minta ampun.

“Anu, Bu. Itu ... saya ....” Agni kebingungan.

“Nggak punya duit lagi? Duh, alasan melulu ya, anak kos. Bukannya nggak mau empati, Nak. Tapi saya juga butuh duit. Ini udah toleransi berhari-hari, loh.”

“Saya janji minggu depan bakal saya bayar buat setahun penuh, Bu.”

Gelengan kepala ibu kos sontak menghempaskan Agni dari harapan. Ditambah perkataan sengit wanita paruh baya itu.

“Nggak ada minggu depan. Besok kamarnya sudah harus kosong ya, Nak. Mau ada penghuni baru nempatin kamar kos Nak Agni.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro