Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 Teman Rasa Pacar

[Baca sambil dengerin video di atas, ya.]
^_^

Istri itu juga diawali dari status teman. Mustahil seorang istri tiba-tiba dijatuhkan dari langit buat seorang lelaki. Jadi, hati-hati buat yang sering bilang,
"Ah, hanya teman, kok."

~~oOo~~

Kalau adegan komik bisa terjadi di dunia nyata, sudah pasti saat ini tubuh Agni meleleh bak agar-agar, lumer mengumpul membentuk genangan di lantai garasi.

Nyatanya dia hidup di dunia tiga dimensi. Badan lumer karena baper mendengar gombalan orang lain jelas-jelas menentang hukum fisika. Alhasil, kali ini hukum biologilah yang bekerja.

Wajah Agni merah padam serupa kepiting rebus. Rasa panas menjalar cepat di leher dan wajahnya. Singosari relatif sejuk dibanding Lowokwaru atau Dinoyo tempatnya berkutat selama ini. Namun, sekarang Agni merasakan gerah luar biasa.

"Apaan sih, Bro?" Hujan menepis perkataan temannya. "Nggak ada calon istri. Ngimpi kamu kejauhan. Masih siang bolong ini. Dia tuh, Agni. Teman aku yang mau jalankan food truck ini."

Si teman menatap lekat-lekat ke arah Agni dah Hujan. Sorot matanya menunjukkan jelas rasa tidak percaya atas perkataan Hujan. Dan mulut lelaki itu sangat sejalan dengan isi pikirannya.

"Halah, nggak percoyo aku. Istriku juga mulainya dari teman."

Omongan semakin ngawur. Rasa gerah Agni mulai tak tertahankan. Harapan perempuan itu adalah segera hengkang dari tempat ini.

Butuh lima menit lagi bagi Agni menahan kebaperan yang terus memuncak. Saat mereka akhirnya benar-benar pergi meninggalkan bengkel teman Hujan, kecanggungan terjadi di antara dirinya dan lelaki itu.

Perjalanan menuju rumah Hujan diwarnai dengan kebisuan dan keheningan yang memekakkan. Di luar memang ramai, apalagi di jam-jam sibuk macam sekarang. Namun, di dalam sunyinya sudah bisa menandingi kuburan Ngujil.

"Yang diomongin sama mas yang tadi, jangan diambil hati, yo." Hujan menghentikan kendaraan di depan rumah yang besar dan tampak ramai.

Agni mengangguk pelan. Dia menolak memandangi pria itu. Agni hanya bertindak selayaknya rekan kerja dengan membuntuti Hujan masuk rumah, mengobrol basa-basi dengan ibu Hujan, lantas pulang dengan membawa amplop tebal berisi uang.

Lalu semuanya berjalan sangat cepat. Agni tidak punya waktu untuk memikirkan kebaperannya. Dia hanya fokus pada kuliah dan perkembangan bisnis KWM. 

Mobil sudah dibawa ke kontrakan Hujan. Selebaran telah dibuat. Akun media sosial juga sudah diaktifkan atas inisiatif Hujan. Tinggal menuju waktu pembukaan yang lumayan memicu adrenalin.

"Semuanya bakal lancar kan, Jan?" 

Agni terlihat pesimis. Dia menatap bangunan tidak terpakai yang berada tepat di samping SPBU Mojolangu. 

Hujan-lah yang memilih tempat itu. Dia melakukan survei dan menghubungi sendiri pemilik bangunan guna meminjam bagian teras untuk usaha mereka. 

Alasan Hujan memilih tempat itu cukup sederhana, tetapi jelas telah melalui pemikiran yang matang. Terletak di wilayah ikonik Sukarno Hatta alias Suhat, lokasi food truck mereka sangat strategis karena dekat dengan kampus dan lokasi bisnis lainnya.

"Pasti lancar. Optimis dong, Ni." Hujan menjawil ujung hidung adik tingkatnya.

"Hujan! Apaan, sih?" Agni sewot. Buru-buru dia menepis tangan Hujan sekaligus menutupi wajahnya yang merah padam.

Hujan tertawa melihat reaksi salah tingkah Agni. Tanpa merasa bersalah dia membalas sikap senewen Agni.

"Kamu cantik kalau lagi ngambek gitu."

"Halah, dasar buaya tukang gombal." Agni pilih mematikan perasaannya. Bolak-balik dia memberi sugesti ke pikirannya sendiri jika Hujan hanya numpang lewat dalam kehidupannya.

"Dih, dia ngambek lagi." Hujan tertawa kecil.

Agni mengabaikan tingkah lelaki itu. Dia memilih bergabung dengan Mario mempersiapkan alat jualan. Besok malam adalah pembukaan bisnis baru mereka. Dan hari ini adalah hari yang melelahkan fisik dan mental mereka.

“Oke, udah ready semua!” Mario berseru puas.

Hujan dan Agni mengembangkan senyum. Refleks mereka hendak berpelukan, tetapi Agni yang lebih dulu sadar dan langsung mendorong dada Hujan menjauh.

“Yah, padahal tinggal dikit lagi bisa meluk cewek keras kepala kayak kamu.” Hujan menyeringai.

“Jangan sembarangan, deh. Buang pikiran kotormu.”

“Yaelah, meluk doang apa kotornya, sih? Kotor itu–”

“Hujan! Agni! Kalian pulang duluan saja. Biar sisanya aku yang beresin.”

Hujan spontan mengangguk. Secara refleks juga dia menarik pergelangan tangan Agni pergi. Kakinya yang melangkah lebar sedikit merepotkan perempuan itu untuk mengimbangi.

Namun, Agni tidak protes. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi. Urusan mempersiapkan hari pembukaan ternyata menguras waktu juga tenaga.

Satu-satunya hal yang diinginkan Agni sekarang hanyalah tidur. Jadi, itulah yang dilakukan Agni setelah duduk di jok kulit lembut mobil Hujan. Dia tidak mengingat apa pun lagi. Benak Agni kosong, bahkan bermimpi saja dia tidak.

Saking nyenyaknya tidur, Agni tidak sadar jika dirinya dibopong Hujan sampai ke kamar. Dia juga tidak sadar saat lelaki itu duduk di samping kasurnya, hanya berdiam diri selama setengah jam penuh seraya memandangi wajah ayu Agni, lalu beringsut pergi setelah rasa kantuk hebat juga menyerangnya.

“Apa yang terjadi sama aku?” Hujan menutup pintu kamar Agni perlahan. “Ngelihatin Agni tidur kayaknya damai banget. Untung juga dia tidur. Kalau kebangun, bisa mati dibantai aku sama dia.”

Hujan berjalan tanpa suara kembali ke kamarnya. Sialnya lelaki itu justru kehilangan kantuk begitu mencoba rebahan. Berkali-kali yang dilakukannya hanya berguling kanan kiri. Sampai Hujan bosan sendiri.

“Sial. Agni, kamu udah kasih sihir apa sih, ke aku?” Hujan menggerutu kesal.

Dia meloncat turun tempat tidur. Tangannya menyambar jaket. Tanpa memedulikan hari yang sudah subuh dan suara berisik yang ditimbulkannya, Hujan mengeluarkan motor dan menggeber gas kencang. Tujuannya hanya satu.

Berkeliling kota untuk menghapus bayangan Agni yang tak henti berseliweran dalam kepalanya.

~~oOO~~

Malam pembukaan tiba. Food truck Hujan dan Agni yang terparkir di halaman depan gedung kosong Mojolangu terlihat semarak dengan dekorasi lampu-lampu hias berwarna kuning cerah. X-banner diletakkan di kanan dan kiri bodi mobil yang menampilkan foto-foto menu makanan.

Kursi-kursi kecil dan meja bulat yang dibuat dari material ban bekas tertata rapi di depan food truck. Karena promosi gencar Hujan di kampus, hampir seluruh kursi terisi pengunjung di jam tujuh malam itu.

Alat pengeras suara mini mengalunkan lagu-lagu terbaru. Suasana semakin bertambah semarak dengan Hujan yang mengadakan pertunjukan live music dengan gitar listrik. 

Kaum hawa jelas tidak melewatkan kesempatan itu untuk menikmati ketampanan dan suara emas Hujan. Sementara kaum adam mengagumi kepiawaian Hujan memetik senar gitar.

"Jan, telepon kamu bunyi terus dari tadi." Mario memberikan ponsel pintar sahabatnya setelah Hujan selesai manggung.

Di dalam mobil, Agni yang tengah membakar sate usus langsung menajamkan telinga. Ekor matanya melirik Hujan. Dia tahu gawai lelaki itu terus bergetar sejak tadi. Sempat Agni melirik siapa yang menelepon dan langsung menyesali tindakannya.

Itu panggilan dari Selvi.

"Penting kayake, yo?" Mario penasaran.

Ekspresi Hujan berubah. Senyum luntur dari bibirnya. Kesenangan karena pembukaan food truck berganti dengan raut muram.

"Jan?"

Lelaki itu mengabaikan panggilan Mario. Dia mengetik cepat, baru menjawab pertanyaan sahabatnya.

"Selvi sakit. Aku harus ke tempat dia."

"Sekarang?" Mario terperanjat kaget.

Hujan mengangguk. Dia mengantongi ponselnya dan menepuk bahu sang sahabat.

"Titip angkringan dulu, ya."

"Jan, ndak bisa kayak gini. Malam ini penting buat kamu. Selvi juga sudah punya orang tua sendiri. Ngapain dia malah ngerecokin kamu cuma buat rawat dia pas sakit?" Mario bertanya tajam.

"Selvi butuh aku." Hanya itu balasan Hujan.

"Dia hampir mati, yo? Sampai kamu bela-belain tinggalkan acara pentingmu sendiri?" Mario menyindir pedas.

Hujan melempar lirikan tajam ke arah sahabatnya. Rasa hati hendak protes. Namun, dia tidak berkutik saat Mario kembali lanjut bicara.

"Lagian tega kamu ninggalin Agni sendirian di sini?" 

Hujan mematung. Lelaki itu melekatkan pandangan pada Mario.

"Dia nggak sendiri. Kan, ada kamu." Hujan berkata lirih.

Namun, justru dengkusan yang diterima lelaki itu. Mario terang-terangan menampakkan ekspresi tidak sukanya. 

"Yang punya usaha ini kamu, bukan aku. Tetap saja beda antara ada aku sama ada kamu."

"Tapi–"

"Hujan, kamu mau keluar? Bisa nitip belikan susu kental manis? Kemarin nyetok dikit banget. Sekarang udah mau habis."

Hujan dan Mario berbarengan menoleh. Mata mereka menangkap pergerakan Agni yang sudah ada di belakang Hujan.

"Aku …." Hujan kebingungan.

Agni mengerjap-ngerjapkan mata. Suara lembutnya terdengar kalem penuh pengertian.

"Nggak balik ke sini?"

Sebelum Hujan menjawab, Mario sudah menyambar. Lelaki itu berkata sinis.

"Betul. Dia lagi mau jadi perawat si Selvi. Mantannya itu, Ni."

Alis Agni terangkat tinggi. Senyum tipisnya tersungging.

"Oh, Selvi sakit? Ya, udah. Temenin dia aja, Jan. Fokus ke Selvi dulu aja. Angkringan biar aku yang urus."

Hujan terperangah. Pandangannya mengamati Agni dengan saksama, mencari-cari tanda kecemburuan atau ketidak relaan.

Nihil.

Agni justru terlihat sangat santai. Perempuan itu tak tampak terbebani dengan Hujan yang hendak kabur di awal pembukaan angkringan.

"Oh, ya. Jangan lupa titip salam aku ke dia, ya. Semoga Selvi lekas sembuh. Buruan, gih. Entar Selvi nungguin kamu kelamaan."

Hujan refleks mencekal siku Agni. Lelaki itu bertanya cepat.

"Kamu nggak cemburu?"

"Lah, ngapain aku cemburu?" Agni terkekeh. "Emangnya aku siapamu, Hujan?"

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro