Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 Red Velvet for Your Red Alert

Love is not about calling, texting, or kissing. But love is all about thinking someone everytime.

~~oOo~~


Agni mengentakkan kaki kuat-kuat. Kekesalannya masih memuncak. Bagaimana tidak jika niatnya ikut Kompetisi Wirausaha Muda alias KWM harus terganjal obsesi Hujan pada mantan kekasihnya.

"Sinting emang itu orang." Agni mengeluh keras. "Gimana dia bisa ajukan proposal tunggal dan catut nama aku buat anggota tim doang? Aku cuma penggugur syarat panitia gitu?"

Perempuan itu mengatur napas. Dia hampir bertabrakan dengan dua pengunjung yang hendak memasuki kafe. Buru-buru Agni menepi agar tak memblokir jalan masuk.

Saat itulah dia sadar kalau Hujan tak mengikutinya. Kekesalan Agni makin memuncak hingga ubun-ubun. Dia bergegas kembali ke dalam dan langsung terpaku di tempat.

Mata Agni terbelalak. Kakinya seolah menancap di lantai kafe. Badan perempuan itu tak sadar gemetaran.

"Pantas aja kamu ngotot dengan proposal angkringanmu. Ternyata ini alasanmu, Hujan?"

Agni mengembuskan napas keras. Dia balik badan segera, berusaha cuek dengan adegan romantis antara Hujan dan Selvi.

"Pantesan aja mbulet kalau jawab. Ternyata kamu masih CLBK sama mantanmu. Ya, udahlah. Kerja sendiri, Agni. Jangan bergantung terus sama Hujan."

Agni mengirim pesan instan ke nomor ponsel Hujan. Lalu perempuan itu naik angkot pulang ke kontrakannya. Sampai di rumah pun tidak ada balasan dari Hujan, hingga Agni menyerah menunggu jawaban lelaki itu.

Sesorean sampai malam menjelang Agni menyibukkan diri dengan tugas kuliah. Dia baru mulai memproses ide bisnisnya sendiri saat terdengar suara ketukan di pintu.

"Hai, aku ganggu kamu?"

Agni melirik belakangnya. Buku-buku bertebaran di mana-mana. Kertas-kertas coretan juga berserakan. Kamarnya sudah serupa kapal pecah.

"Lumayan," jawab Agni.

"Udah makan?"

Alis perempuan itu terangkat tinggi. Dia bingung bagaimana harus menjawab. Sungguh aneh saat Agni langsung bisa mengetahui Hujan pasti tengah membawakannya makanan.

"Belum." Akhirnya perempuan itu memilih jujur.

"Mau nasi Padang?" Hujan mengangkat bungkusan kresek bening berisi dua buntalan nasi.

Agni mengangguk. Dia sudah lelah menahan gengsi. Tak ada gunanya menolak tawaran Hujan. Toh, sering makan gratis juga berimbas sangat baik untuk kesehatan dompetnya.

"Yang tadi siang, maafin ya. Aku ketemu sama Selvi," ucap Hujan lirih.

Agni tercekat. Suwiran rendang yang dikunyahnya tiba-tiba terasa alot. Dia meraih botol air mineral dan menenggak isinya sampai habis.

"Nggak apa-apalah. Namanya juga ketemu pacar." Agni memamerkan senyum palsu yang jelas-jelas tidak dia mengerti. 

Hujan bukan apa-apanya. Lelaki itu hanya penolong yang datang saat situasi ekonomi Agni sedang genting. Namun, mendengar Hujan menyebut nama Selvi ada sengatan nyeri tajam di hati Agni.

Dan Agni harap-harap cemas menunggu jawaban Hujan. Dia tahu, pasangan itu sudah putus hubungan. Namun, adegan romantis di kafe siang tadi sangat kontradiktif dengan pengakuan Hujan pada dirinya.

"Kami udah putus," kilah Hujan.

Agni menahan diri untuk tidak mengembuskan napas lega. "Lah, tadi siang aku lihat kalian mesra-mesraan."

"Itu …." Hujan mengusap tengkuk. Pandangannya berpaling ke arah lain. Tak berani dia menatap Agni.

"Yah, pokoknya kami masih pisah." Hujan menjelaskan dengan nada yang bermakna percakapan soal hubungan romantisku telah usai.

Agni hanya mengangkat bahu. "Saat kamu terus mikirin seseorang setiap saat, itu artinya kamu masih cinta sama orang itu."

Hujan termangu. Dia meresapi perkataan Agni yang terasa cocok dengan dirinya saat ini. Bayangan Selvi memang belum bisa hilang sepenuhnya dari benak Hujan.

Sementara itu Agni kembali menyibukkan diri menandaskan nasi Padang. Tekadnya sudah bulat untuk menganggap Hujan hanya sebagai partner kompetisi. Tidak lebih dan tidak kurang. Pokoknya dia tidak boleh baper dengan laki-laki yang ketampanannya hampir mirip Adipati Dolken itu.

"Soal proposal tadi, gimana?" 

Agni mengerling lelaki di hadapannya. Sepertinya topik tentang Selvi sudah resmi ditutup.

"Ini harus banget ya, modalnya dari kamu semua?” Agni balik bertanya.

Hujan menganggukkan kepala. “Aku punya ide bisnis membuat food truck. Nanti isi makanannya dari kamu dan minumannya dari aku. Konsepnya kafe kekinian banget dan sasaranku pelajar plus mahasiswa Malang.”

“Sekitaran Malang,” koreksi Agni. “Food truck yang kecil rasanya sulit menjangkau satu kota.”

“Kecuali kalau food truck-nya berjumlah banyak.” Hujan menyeringai.

“Pokoknya kamu tinggal tahu beres aja. Semua hal aku yang siapkan,” imbuh Hujan.

“Apa posisiku kalau begitu dalam tim ini?” Perempuan itu bertanya dalam nada dingin.

Jika itu adalah orang yang sudah mengenal Agni dengan cukup baik, sudah pasti mereka akan meenjauhkan diri dari masalah dengan perempuan itu.

Sayangnya, ini Hujan. Orang yang bahkan baru hitungan hari mengenal Agni. Jelas Hujan tidak paham nada penanda bahaya dalam suara Agni.

Yah, lelaki itu sedang menggali kuburnya sendiri.

“Kamu pegawaiku tentu saja.” Hujan menjawab cepat. “Kamu akan kubayar sesuai dengan gaji standar sini. Entar ada bonus juga dari omzet yang disyaratkan kompetisi. Urusan promo semua biar aku yang handle. Kamu tenang aja, pokoknya tinggal kerja jadi pegawai aku aja."

Agni mengembuskan napas perlahan-lahan. Tinjunya sudah gatal ingin melayang ke rahang kokoh Hujan.

Ini cowok didiemin malah makin kurang ajar. 

Agni merutuk dalam hati. Kalau belum tahu Hujan mahir bela diri, niscaya saat ini juga Agni pasti sudah baku hantam dengan lelaki itu.

"Ogah," balas Agni tiba-tiba.

Senyum Hujan pudar. Lelaki itu melekatkan pandangan tajam pada perempuan di hadapannya.

"Kita tim, bukan?" Agni balas memberikan tatapan tajam menusuk pada lelaki itu.

"Yang namanya tim berarti kerja sama bareng. Take and give. Tanggung risiko juga bareng-bareng. Nggak ada satu enak dan satu nyesek doang."

"Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak paham." Hujan mengernyitkan dahi.

"Dari awal juga aku bilang kalau pengen ikut kompetisi ini, kan? Aku juga pengen hadiah seratus juta itu buat aku."

Hujan terbelalak. "Eh, perjanjiannya kan, bagi hasil?"

"Perjanjian apaan? Nggak ada perjanjian sama sekali. Itu kan, asumsi kamu doang kalau aku bakal iyakan semua perintah kamu."

Hujan terperangah. Tangannya yang tengah menyuapkan nasi Padang terhenti di udara. Gulai daun singkong terjatuh lagi ke piring.

"Dengar ya, Hujan. Aku tahu, kamu pengen kasih hadiah buat mantan pacar kamu. Tapi aku juga nggak mau ngalah gitu aja buat si Selvi yang udah zalim sama aku."

Hujan mengeluh keras. "Astaga, kamu masih ingat kejadian itu?"

"Heh, kalau nggak ingat ngapain aku ada di sini? Ngapain aku harus pusing-pusing ikut kompetisi? Ngapain harus debat kusir sama kamu macam gini?" Agni sewot.

Hujan menghela napas berat. Nafsu makannya menghilang sudah. Salah dia juga karena membuka topik obrolan saat sedang makan malam.

"Terus mau kamu apa?" Hujan mencoba mencari tahu.

Dia belum mendapat jawaban. Siang tadi Agni marah dan pergi begitu saja saat dirinya menunjukkan proposal ide bisnis. Hujan tidak mengerti di mana letak kesalahannya.

"Karena kita tim, otomatis nggak ada pegawai sama bos." Agni berkata tegas.

"Eh, nggak bisa. Masak kapal bisnis dijalankan oleh dua nakhkoda?" Hujan langsung menolak keras.

"Aduh, bisa dengerin orang ngomong dulu, nggak? Jangan asal dipotong?" Agni mulai senewen.

Hujan membungkam mulutnya. Dia kembali mendengarkan rencana Agni. Namun, hati lelaki itu terus merasa tidak tenang.

"Aku juga punya proposal bisnis sendiri. Sayangnya kompetisi kali ini harus berbentuk tim. Jadi, aku sudah sesuaikan proposalku agar bisa matching sama milikmu."

Agni bangkit. Dia berjalan ke kamar dan kembali dengan lembaran kertas di tangan.

"Apa ini?" Hujan membaca lembar pertama berkas yang diberikan partnernya.

"Kamu punya ide food truck. Aku punya ide soal segmentasi makanan. Kenapa kita nggak bikin coffee and eatery aja sekalian? Kita sasar pasar yang lebih tinggi biar omzet juga lebih besar."

Hujan mengerjapkan mata. Ide dari Agni tak ada salahnya. Namun, insting Hujan yang sedikit terlatih setelah membantu orang tuanya dalam bisnis katering memperingatkan sesuatu yang salah.

Ada yang tidak cocok dengannya berkaitan ide Agni tersebut. Namun, Hujan memilih diam. Dia masih ingin menguji rencana bisnis yang ditawarkan adik tingkatnya itu dengan satu pertanyaan.

"Lalu modalnya gimana?" 

Agni tertegun. 

Lelaki di hadapannya kembali memberondong pertanyaan. "Lokasinya juga di mana? Gimana promosinya? Apa kamu yakin sanggup mencari pemasok yang murah untuk menekan harga pokok penjualan?"

"Hujan …."

"Okelah, aku suka dengan konsep coffee and eatery yang kamu ajukan. Tapi ingat. Salah satu syarat memenangkan kompetisi ini adalah apabila kita bisa mendapatkan omzet minimal tiga puluh juta rupiah per bulan selama tiga bulan berturut-turut."

Agni menelan ludah. Kali ini rasa penghormatannya muncul pada sosok Hujan. Kemampuan otak lelaki itu terlihat jelas melalui pertanyaan-pertanyaan kritisnya.

"Itu artinya, kita perlu modal sesedikit mungkin untuk proposal kita. Sewa tempat murah di Kota Malang sangat susah, Agni. Umpama ada, biasanya lokasinya juga terpencil. Butuh promo luar biasa agar lokasi tersebut bisa didatangi calon pelanggan. Ingat lagi, waktu kita hanya tiga bulan."

Agni menggigit bibir. Dia mati kutu dengan pertanyaan soal modal. Perlahan, amat sangat perlahan, Agni berkata pada Hujan.

"Kalau soal modal, awalnya aku andalkan dirimu. Karena itu aku mau jadi anggota tim kamu," ucap perempuan itu malu-malu.

Hujan terbelalak. "Gila kamu! Udah riset belum berapa modal buka caffee and eatery macam gini?"

Agni mengangguk takut-takut. "Estimasi awal delapan belas juta. Belum termasuk harga sewa tempat."

"Astaga, Agni. Kamu kira aku mau keluarin duit belasan juta cuma buat kompetisi tiga bulan doang? Ogah banget." Hujan menggeleng-gelengkan kepala.

Lelaki itu mengembalikan berkas milik Agni. Dia bangkit dan membawa gumpalan bungkus nasi Padang yang tidak habis dimakan.

"Udah, deh. Kalau kamu mau ikut kompetisi, terima proposal aku. Kalau nggak, mending cabut dari sekarang. Aku bakal cari partner lain."

Agni menatap kepergian Hujan. Punggung lebar lelaki itu dengan cepat menghilang di belokan menuju halaman belakang rumah, tempat jemuran berada. Tinggal Agni seorang diri di ruang duduk sekaligus ruang makan itu.

"Kok, jadi gini?" Perempuan itu mendesah lirih. "Ini kenapa aku jadi tengkar sama Hujan? Kenapa kami nggak bisa damai sebentar aja, sih? Kenapa dia nggak mau dengerin omonganku coba?"

Agni membaca ulang berkas miliknya. Dia sudah membuat perhitungan cermat berkaitan dengan pendanaan dan pemodalan rencana bisnisnya. Namun, perempuan itu terbentur dinding tinggi bernama pemodal yang kabur.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Agni memijat-mijat pelipis.

Baru saja hendak beranjak pergi, telinga Agni mendengar suara bel pintu ditekan berkali-kali. Kening perempuan itu berkerut.

"Siapa yang bertamu malam-malam?" 

Setengah menyeret kaki, Agni berjalan ke arah depan. Tidak ada aksi mengintip siapa yang datang. Agni langsung saja membuka pintu dan langsung disambut pertanyaan sinis seorang wanita.

"Siapa kamu? Kenapa kamu ada di kontrakan Hujan?"

~~oOo~~
Agni galau, Gaes. Bantu dia temukan jawaban buat perasaan dia, dong.

- Bumi Reog, 18 April 2022 -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro