[7] Bayangan di Matanya
_____________________________________________
Ketulusan dapat melakukan apa pun, termasuk mengikis tembok yang terbangun tinggi.
_____________________________________________
"Lo beneran ngikutin gue?"
Anka menoleh sewot ke arah Brav dan menatap cowok itu tajam. Sejak turun di Cileunyi, cowok itu terus mengikutinya, bahkan sampai naik angkot ke daerah Cibiru sini. Entah apa yang ada di pikiran Brav sampai cowok itu benar-benar mengikutinya dari Jakarta sampai sini. Bisa-bisanya dia yakin akan diterima dan tidak takut tidak memiliki tempat menginap.
Brav tidak menjawab dan hanya tersenyum lebar sambil berlalu begitu saja. Seolah tidak mendengar omongan Anka tadi, dia terus berjalan dengan langkah ringan. Mungkin cowok itu udah gila, pikir Anka saat melihat Brav sangat menikmati perjalanannya seolah sedang mengikuti karya wisata. Dia bahkan beberapa kali bersiul dengan penuh percaya diri, tanpa memikirkan nasibnya kalau ditinggal Anka begitu saja.
"Eh, ada es buah! Seger nih kayaknya siang-siang minum gituan," ujar Brav dengan penuh semangat. Tanpa menunggu Anka, dia sudah menunggu di depan penjual es yang dimaksud.
Anka menggeleng-geleng melihat tindakan Brav barusan. Cowok itu terlihat seperti anak kecil yang menemukan mainan atau permen saat ini. Wajahnya berseri-seri, padahal cuma menemukan penjual es yang menjadi salah satu pengisi deretan penjual makanan di sepanjang jalan Cibiru ini.
"Itu namanya es goyobod, bukan es buah," celetuk Anka sambil berdiri di samping Brav.
"Bedanya?" tanya Brav sambil menoleh dengan alis berkerut. Yang dia tahu, es beragam isi dan didasari kuah susu adalah es buah. Bentuknya juga serupa.
"Ini es tradisional asli Sunda. Ya, sebenarnya asalnya dari Belanda, sih. Isinya aci, roti tawar, sama pacar cina asam-manis dari tape, yang biasanya nggak ada di es buah. Goyobod sendiri artinya basah, dari bahasa Belanda," jelas Anka sambil memperhatikan pedagang yang sedang membuatkan pesanan Brav.
"Kok lo tau banget?" Brav penasaran. Mungkin kalau sekadar isi, semua orang bisa tahu, tapi kalau sampai arti nama esnya sendiri, sepertinya bukan hal yang bisa diketahui banyak orang.
"Ibu gue kan orang Sunda asli. Walau sejak kecil gue di Jakarta, tapi sering balik ke sini. Dan ... ada internet yang memungkinkan lo buat tau semuanya. Tinggal ketik aja, semua info bakal keluar," jawab Anka santai.
Brav mengangguk-angguk. Satu lagi hal yang dia ketahui tentang Anka hari ini. Cewek satu itu tidak akan berdiam diri saat tidak mengetahui sesuatu. Dia akan berinisiatif mencari, sampai dia punya informasi yang cukup, yang mungkin tidak dimiliki kebanyakan orang.
"Menarik."
Satu kata singkat dari Brav itu membuat Anka mengangguk setuju. "Apa pun kalau dicari tau lebih lanjut bakal menarik."
"Bukan esnya, tapi lo." Jawaban Brav itu membuat Anka bergeming selama beberapa saat. Dia hilang akal bagaimana harus merespons omongan barusan. "Gue yakin, lo juga kayak gitu. Kalau gue cari tau tentang lo lebih lanjut, pasti bakal menarik banget."
Kali ini, Anka menyerah. Otaknya benar-benar kosong. Tidak terlintas satu kata pun untuk menanggapi Brav. Juga, tidak ada ekspresi yang tepat untuk ditunjukkan saat ini. Bagaimana bisa, kalau dia sendiri masih sangat bingung dengan apa yang dirasakannya sekarang.
***
Pada akhirnya, Anka melanjutkan perjalanan ke rumah kakaknya dengan menenteng sekantong seblak. Sementara es goyobod yang dibeli Brav tadi sudah habis selama perjalanan. Sebenarnya, perjalanan ke sini tidak lama, hanya lima belas menit berjalan kaki, tapi sepertinya cowok itu benar-benar haus, sampai esnya habis dalam waktu singkat.
"Gue udah sampai dan lo bisa pergi," ujar Anka tiba-tiba. Sepertinya dia masih berpikir kalau Brav benar-benar akan pergi setelah mengantarnya. Kalau cowok itu punya tujuan di Bandung.
Mendengar itu, Brav malah tertawa. "Kan gue bilang, keluarga gue di sini cuma keluarga lo. Gue nggak punya siapa-siapa. Nggak punya tujuan."
Brav mengucapkan itu dengan sangat santai, seolah itu hal yang benar-benar wajar. Sementara Anka memelotot. Entah ada masalah apa di pikirannya sampai bisa menduga kemungkinan seperti tadi. Sepertinya dia sudah lupa bagaimana penilaiannya terhadap Brav selama ini. Bagaimana seenaknya cowok itu dalam berbicara dan bertindak. Dia benar-benar lupa kali ini.
Anka menghela napas sekali, lalu menatap Brav tajam. "Di rumah ini nggak pernah nerima tamu cowok buat nginep. Mending lo cepetan balik ke Jakarta kalau emang nggak punya tempat nginep di sini."
Nada dingin terdengar selama Anka berbicara tadi. Dia juga tidak repot-repot menunjukkan ekspresi iba, atau bingung, atau semacamnya. Menurutnya, itu kesalahan Brav sendiri. Siapa suruh dia mengikuti Anka padahal tidak punya kenalan di sini. Siapa suruh juga dia begitu yakin akan diterima di rumah keluarga Anka.
"Gue bakal pergi kalau udah ngomong sama orangtua lo. Siapa tau gue diterima di sini, kan. Udah jauh-jauh ke sini, sia-sia banget kalau gue langsung pulang sekarang," jawab Brav tanpa banyak berpikir.
Anka baru membuka mulutnya dan hendak menyerbu Brav dengan omelan saat pintu rumah kakaknya dibuka. Ayahnya keluar dengan kening berkerut. Anka terkesiap. Mungkin suara mereka terlalu kencang sampai mengundang perhatian orang di dalam rumah.
"Kok nggak masuk, Ka?" tanya ayah Anka bingung. Saat pandangannya beralih ke Brav, kerutan di keningnya semakin dalam. "Bawa teman?"
Brav mengangguk sekali, lalu menyodorkan tangannya. "Saya Brav, Om. Teman SMA Anka." Anka mendengus karena kalah cepat dengan Brav. Dia baru hendak menjawab dan cowok itu sudah mengambil tindakan. Ekspresi Anka malah membuat Brav menahan senyum. Rasanya menyenangkan bisa menang dari cewek itu. "Saya boleh menginap di sini, Om? Saya nggak punya keluarga di Bandung."
Kali ini mata Anka melebar. Brav benar-benar mencuri start. Bisa-bisanya dia langsung bertanya pada ayah Anka seperti itu. Anka melirik ayahnya sambil menggigit ujung bibir bawahnya. Entah bagaimana ayahnya akan bereaksi kali ini.
Sejenak, kening ayah Anka masih berkerut. Tapi, setelah mengamati Brav sekali lagi, ayahnya mengangguk. "Asal kamu nggak merokok."
Anka membelalak, tidak percaya dengan jawaban ayahnya barusan. Sementara Brav tersenyum lebar sambil menjawab, "Tenang aja, Om. Saya nggak punya kebiasaan itu."
***
Awalnya Anka kira, keberadaan Brav di rumahnya akan membuat suasana menjadi canggung. Namun nyatanya, cowok itu bisa membaur dengan keluarganya tanpa masalah. Sejak tadi, mereka semua bertukar cerita. Keluarga Anka banyak bertanya pada Brav, seperti kebiasaan mereka kalau bertemu orang baru. Sepertinya Anka memang mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Dia tidak ingat bagaimana sifat keluarganya dan Brav yang memang mudah membaur dengan orang baru.
Saat ini Brav sedang menemani keponakan kecil Anka bermain. Sejak Brav masuk tadi, Ana, keponakan Anka, sudah terus mengganggu cowok itu. Brav sempat terlihat kelimpungan harus menanggapi pertanyaan keluarga Anka atau meladeni Ana yang mengajaknya bermain. Tapi akhirnya cowok itu bisa membagi waktu dengan baik.
"Om bisa gambar gajah, nggak?" tanya Ana dengan suara cemprengnya.
Brav mengangguk bangga dan segera mengambil alih pensil dan buku gambar dari Ana. Tapi sebelum itu, dia sempat melancarkan protesnya. "Jangan panggil om, gimana? Panggil abang aja."
Ana menjawab dengan wajah bingungnya, "Om temannya Tante Anka, kan? Pasangannya tante kan om."
Jawaban polos Ana malah membuat senyum Brav mengembang. Anka yang duduk tidak jauh dari mereka langsung melirik tajam ke arah cowok itu. Namun, itu malah membuat Brav semakin mengembangkan senyumnya. Sepertinya dia akan terus menang dari Anka selama berada di sini.
"Kamu emang pintar. Pasangan tante emang om. Oke, kamu panggil om aja, nggak usah diganti abang," ujar Brav yang dijawab Ana dengan anggukan tanda mengerti.
Saat sedang asyik memperhatikan Brav yang menggambar gajah dengan detail untuk Ana, Anka mendengar ayahnya memanggil. Dia segera berlari keluar untuk menyusul ibu dan kakaknya sesuai perintah ayahnya tadi. Brav yang mendengar percakapan hanya bisa melihat cewek itu sampai bayangannya menghilang, padahal dia ingin sekali ikut.
Sampai Brav menyelesaikan gambarnya, Anka belum juga kembali. Saat terdengar bunyi pintu beberapa saat kemudian, dia langsung menoleh. Namun, keningnya langsung berkerut saat melihat ibu dan kakak Anka masuk ke rumah, dan cewek itu tidak terlihat sama sekali, bahkan sampai pintu ditutup kembali.
"Lho, Anka mana?" tanya ayah Anka yang sama bingungnya dengan Brav.
Ibu dan kakak Anka terlihat sama tidak mengertinya. "Kan tadi Anka nggak ikut."
"Tapi barusan dia nyusulin. Kalian nggak ketemu?" tanya ayah Anka lagi. Ibu dan kakak Anka yang sama-sama menggeleng membuat ayahnya menghela napas sesaat. "Ya udah, Ayah susulin dulu, deh."
"Biar saya aja, Om." Brav menawarkan diri.
Ayah Anka ragu sejenak. "Kamu yakin? Emangnya tau daerah ini?"
"Saya masih ingat jalan yang tadi kok, Om," jawab Brav penuh percaya diri. Dia yakin tidak akan tersasar kalau hanya menyusuri jalanan yang dilaluinya dengan Anka tadi. Ayah Anka memberi persetujuan dan Brav langsung berlari keluar.
Sebenarnya, jalan di sekitar sini tidak banyak. Hanya saja, bisa ditempuh dari berbagai arah. Itulah yang membuat Anka tidak bertemu dengan ibu dan kakaknya. Dan sekarang, Brav mencoba menyusuri jalan berlawanan dari arah kedatangan ibu dan kakaknya Anka.
Brav terus mengedarkan pandangannya ke sekitar. Di sore hari seperti sekarang, jalanan penuh jajanan seperti ini sangat ramai. Orang terlihat di mana-mana. Jalanan penuh, hampir sesak. Bahkan bahu bisa saling menyenggol selagi mencoba menyusuri jalanan. Namun, Brav tidak menyerah. Dia terus menerobos sampai matanya menangkap Anka di depan sana.
"Akhirnya ketemu juga," ujar Brav dengan napas terengah saat tiba di hadapan Anka.
Kening Anka berkerut seketika. "Ngapain lo di sini?"
"Nyusulin lo." Kerutan di kening Anka semakin dalam. "Ibu sama kakak lo udah balik. Yuk."
Anka memilih mulai berjalan, walau dia masih agak bingung. Namun, rasa penasaran membuatnya tidak bisa tahan berdiam diri lebih lama. Akhirnya dia berhenti dan menatap Brav dengan serius. "Gimana lo bisa nemuin gue? Lo kan nggak tau daerah ini."
"Gue jalan sesuai feeling aja." Brav memutar tubuh dan menghadap Anka lalu menatap cewek itu dalam-dalam. "Dan gue cuma bisa liat lo. Di sini, cuma ada bayangan lo," jawabnya sambil menunjuk matanya.
Anka hampirmendengus mendengar gombalan itu. Namun, ketika menilik mata Brav lebih dalam, dia terdiam. Mata Brav tidak menunjukkan tatapan playboy yang terbiasa mengumbar gombalan. Di mata Brav saat ini, Anka hanya menemukan kesungguhan dan ketulusan.
_____________________________________________
Eaaa Brav ngelanjut banget modusnya. Bukan gombal loh ya 😝😆
Geli nggak sih sama semua omongan Brav? 😅
Ditunggu komen dan votenya ya.
With love,
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro