[6] Mulai Terasa Berbeda
_____________________________________________
Yang tak banyak kata memang lebih sulit dipahami.
Namun, tidak akan ada yang terlalu sulit saat hati sudah menginginkannya.
_____________________________________________
Akhir pekan harusnya tidak menjadi hal yang membosankan bagi Anka. Tidak sekolah membuatnya bisa menghabiskan waktu seharian di rumah. Membaca, mendengar lagu, tidur-tiduran, atau menonton drama Korea. Semua bisa dilakukannya dengan bebas tanpa gangguan apa pun, termasuk tugas, karena biasanya semua tugas telah diselesaikan paling tidak hari Jumat malam. Namun, setelah keluarganya pindah ke Bandung, Anka jadi sering kehilangan minat akan akhir pekan. Sepertinya memang benar, sesuatu baru akan terasa berharga ketika kita sudah tidak memilikinya.
Anka meraih ponselnya dan melihat beberapa fotonya dan keluarga. Sebelum memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta, dia sudah menyusun jadwal, hanya akan mengunjungi keluarganya sebulan sekali. Tapi sekarang, baru dua minggu dan dia sudah telanjur kangen. Apalagi pada keponakan kecilnya. Dan melihat foto-foto di ponselnya sekarang membuatnya semakin tidak bisa menahan diri. Akhirnya tangannya dilarikan ke kontak ibunya dan ditekannya tombol panggil di layar.
"Bu, aku ke sana, ya?" ujar Anka begitu teleponnya diangkat.
"Mau pulang kayak ke mana aja, pakai izin segala. Sinilah kalau kangen."
Jawaban ibunya membuat senyum Anka mengembang begitu saja. Ibunya memang paling tahu bagaimana perasaannya. Atau mungkin lebih tepatnya, ibu memang orang yang paling tahu isi hati anaknya? Entahlah, bisa iya, tapi bisa juga tidak. Setiap orang pasti punya keadaan yang berbeda-beda, termasuk keadaan orangtua. Yang jelas, setelah jawaban ibunya tadi, Anka langsung bersiap-siap.
Pul bus yang biasa Anka naiki tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sembari berjalan, dia kembali mengecek tasnya. Barang bawaannya sudah lengkap. Novel untuk dibaca sepanjang perjalanan. Earphone untuk menipu orang-orang sekitar, berpura-pura mendengar lagu padahal tidak sama sekali, hanya untuk menghalau segala gangguan dari sekitar.
Harusnya di akhir pekan seperti sekarang, akan banyak orang yang pergi ke luar kota, dan Bandung menjadi pilihan paling tepat karena tidak terlalu jauh dari Jakarta. Namun, kali ini pul bus tidak terlihat terlalu ramai. Begitu pula dengan keadaan di dalam bus. Anka membayar pada kondektur dan langsung menempati posisi favoritnya bila berada menaiki bus.
Tangan Anka dengan sigap mengeluarkan earphone dan memasangkannya di ponsel. Dan novel yang dibawa menyusul setelahnya. Dia sudah siap terlarut dalam dunianya sendiri, tapi seseorang dari arah samping mengganggu konsentrasinya. Dia melirik sekilas dan langsung mengerjap-ngerjap, tidak percaya dengan penglihatannya sendiri sekarang.
"Mau ke Bandung kok nggak bilang-bilang? Untung gue liat lo tadi."
Tanpa menunggu reaksi Anka, Brav sudah mendudukkan dirinya dengan nyaman di sebelah cewek itu. Dan tidak lama kemudian, bus mulai berjalan.
***
Brav menenteng kantong berisi kotak makanan di tangannya dengan penuh senyum. Membayangkan akan memakan isinya bersama Anka membuat kesenangannya melonjak berkali-kali lipat. Entah bagaimana sikap cewek itu nanti, tapi dia yakin, tinggal sendirian pasti membuatnya sulit untuk makan teratur. Apalagi sepertinya Anka orang yang tidak terlalu peduli dengan urusan makanan. Buktinya, dia jarang melihat cewek itu di kantin.
Ketika sudah hampir sampai di rumah Anka, Brav malah melihat cewek itu keluar dengan ransel yang terlihat penuh. Sepertinya tidak mungkin hanya berjalan di sekitar rumah. Makanya, dia mengambil keputusan untuk mengikuti Anka dan akhirnya sampai di pul bus ini. Dia melihat bus yang dinaiki Anka dan memastikan tujuan cewek itu, lalu tanpa pikir panjang, ikut naik dan langsung duduk di sebelahnya.
"Mau ke Bandung kok nggak bilang-bilang? Untung gue liat lo tadi."
Anka terlihat kaget melihat Brav muncul tiba-tiba seperti itu, tapi dia mengontrol ekspresinya dengan baik dan langsung kembali larut dalam kegiatannya. Hal itu membuat Brav tersenyum kecil. Cewek satu ini memang cukup sulit ditebak. Ada banyak hal yang disembunyikannya, bahkan hal sekecil ekspresi dan reaksi.
"Ngunjungin keluarga, ya?" Lagi, Brav bertanya, tapi tidak ada jawaban dari Anka. Cewek itu malah langsung menyumpal telinganya dengan earphone dan membuka novel yang dari tadi dipangkunya.
Brav kembali tersenyum kecil. "Denger lagu apa? Gue punya lagu bagus buat nemenin baca novel kayak gitu," ujarnya sambil menunjuk novel yang dibaca Anka. Dia tidak tahu tepatnya novel apa yang Anka baca, tapi dari sampulnya, sepertinya itu novel remaja yang akan berisi kisah romansa lucu, layaknya novel remaja kebanyakan.
Anka ingin terus diam, tapi ketika suara Brav terdengar sekali lagi, dia menghela napas dalam-dalam. "Kalau lo ke sini cuma buat ngeganggu, mendingan turun sebelum bus jalan jauh."
Kali ini Brav tertawa mendengar jawaban Anka. Setelah diteror dengan beberapa pertanyaan, akhirnya cewek itu menjawab juga, walau jawabannya terdengar ketus. Brav mengangkat bahu lalu menunjuk novel yang Anka baca sekali lagi. "Novel kayak gitu ada lagi nggak? Karena nggak berencana pergi jauh, gue jadi nggak bawa buku."
Anka mengernyit. "Lo doyan baca?" Dia langsung teringat dengan kejadian kemarin, saat cowok itu mengikutinya ke perpustakaan. Awalnya dia pikir Brav hanya mengikutinya seperti biasa, tidak disangka ternyata cowok itu memang suka membaca.
Brav mengangguk mantap. "Kalau nggak baca, gue nggak bisa pinter. Nanti nggak bisa jadi pasangan yang sepadan buat lo."
Embusan napas keras keluar dari mulut Anka begitu Brav selesai bicara. Dia langsung membongkar tasnya dan mengeluarkan satu lagi novel. Dia memang sengaja membawa dua novel karena memperkirakan perjalanan kali ini akan lama sekali, mengingat ini akhir pekan. Dan sepertinya perkiraan itu tepat, melihat bagaimana kendaraan-kendaraan seakan tidak lelah berbaris di luar sana.
"Lebih baik lo beneran diem abis ini," tambah Anka saat mengangsurkan novelnya.
"Semoga aja dia semenarik lo. Kalau nggak, ya ... gue tetep nggak bisa diem," jawab Brav sambil menggoyang-goyangkan novel di tangannya.
Sekali lagi Anka memutar bola matanya, tapi langsung mengalihkan pandangan dan berfokus pada novelnya. Selanjutnya, perjalanan diisi dengan keheningan karena keduanya terhanyut dalam cerita yang dibacanya masing-masing. Walau kadang-kadang, Brav masih suka menoleh ke arah Anka dan diam-diam tersenyum.
Walau di pul bus tadi tidak terlalu banyak orang, tapi jalanan punya peraturan yang berbeda. Bagaimanapun akhir pekan tetaplah akhir pekan, yang menjadi pusat kemacetan. Saat Anka sudah menyelesaikan novel di tangannya, mereka masih saja belum sampai tujuan, bahkan baru di pertengahan perjalanan.
Anka ingin meminta bertukar novel dan membaca yang satunya, tapi matanya mulai lelah dan lehernya pegal karena terlalu lama menunduk. Akhirnya, dia hanya memalingkan wajah ke arah kiri seperti biasa. Namun ternyata, hal ini juga tidak berhasil. Lehernya tetap pegal karena berada dalam posisi yang sama untuk jangka waktu yang lama.
"Nggak usah melengos gitu. Pegel, kan? Pemandangan di samping kanan lo nggak jelek, kok," ujar Brav sambil menaik-naikkan alisnya.
Tidak berniat menanggapi omongan Brav barusan, Anka memilih mengalihkan topik. "Lo ada keluarga di Bandung?"
Brav mengangguk singkat dan itu membuat Anka menghela napas lega. Setidaknya cowok itu tidak benar-benar mengikutinya tanpa tujuan. Namun, saat mendengar omongan Brav selanjutnya, Anka tahu, harusnya dia tidak pernah percaya pada cowok itu.
"Keluarga lo. Kita bisa jadi keluarga, kan?" ujarnya dengan senyum tanpa rasa bersalah.
***
"Kenapa sih, lo diem mulu? Mulut lo nggak gatel pengin ngomong?"
Brav akhirnya menanyakan hal yang selama ini membuatnya penasaran pada Anka. Setiap melihat orang pendiam, dia selalu mempertanyakan hal itu. Baginya yang memang suka bicara, diam itu sulit dipahami. Mulutnya selalu gatal untuk mengeluarkan omongan dan selalu ada keinginan untuk memecahkan suasana canggung. Apalagi kalau tidak banyak orang, saling diam hanya membuat suasana terasa terlalu sepi.
"Nggak," jawab Anka singkat.
"Masa, sih? Gue selalu penasaran kenapa orang bisa nggak banyak ngomong."
"Gue juga selalu penasaran kenapa orang bisa banyak ngomong banget." Anka membalikkan omongan Brav barusan. Itu memang kenyataannya. Selama ini bersahabat dengan Bora selalu membuatnya penasaran bagaimana seseorang bisa punya begitu banyak omongan, dan seakan tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Selama ini, Anka selalu diam karena pikirannya sendiri terlalu rumit. Dia selalu bertanya berulang kali sebelum mengucapkan sesuatu. Apa itu menarik, apa itu perlu dikatakan, apa bahan pembicaraan itu penting bagi lawan bicaranya. Bahkan kadang, dia tidak jadi bicara karena merasa akan jadi orang aneh kalau mengungkapkan isi kepalanya.
Atau kadang, dalam otaknya sendiri sudah terjadi percakapan. Dia memikirkan suatu pertanyaan, tapi sebelum sempat dilontarkan, jawabannya sudah dia temukan sendiri. Karena itu, niat untuk berbicara kembali diurungkan. Namun, tidak jarang juga alasan di balik sikap diamnya sesederhana tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Dari hal itu dia menyimpulkan, mungkin memang ada orang yang diciptakan untuk jadi pendiam karena otaknya tidak menyimpan banyak bahan omongan.
"Dari dulu lo pendiem?" Brav bertanya lagi.
"Nggak." Karena pertanyaan itu, Anka jadi mengingat-ingat sifatnya dari dulu. Seingatnya, dulu dia suka bicara, karena memang di rumahnya, semua orang suka bercerita. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu mulai terkikis dan sekarang dia jadi sangat sedikit bicara. "Mungkin karena orang-orang di sekeliling gue banyak ngomong, jadi lama-lama otak gue merintahin buat diem. Kalau semua orang ngomong, siapa yang denger. Begitu pikiran yang bikin gue mulai nggak banyak ngomong. Dan lama-lama, berebut ngomong sama orang lain jadi bikin pusing. Makanya sekarang gue lebih sering milih diem."
Brav mengangguk-angguk mendengar penjelasan Anka. Masuk akal. Manusia memang kadang punya sifat alami untuk mengeliminasi sesuatu sebagai bentuk penyesuaian. Dan kalau alasannya karena pikirannya sudah terlalu rumit bila berebut omong dengan orang lain, maka mungkin sifat itu sudah mencapai hampir final. Sudah sulit diubah, karena pikiran memang pusat segalanya.
"Mulai sekarang, kalau ada yang mau diomongin, ngomong aja. Lo nggak perlu berebut ngomong, dan nggak usah mikir apa pun, karena gue akan denger semua omongan lo, termasuk keluhan, yang nggak menyenangkan bagi kebanyakan orang."
Di mata Brav, Anka hanya melihat kesungguhan saat cowok itu mengatakan hal barusan. Selain Bora, baru Brav yang pernah mengatakan hal itu padanya. Pernyataan itu membuat Anka merasa dihargai, karena mendengar berarti menyediakan waktu dan membiarkan dirinya memasuki hidup orang yang didengarnya. Setidaknya itu yang Anka pelajari dari masalahnya dengan Bora dulu.
Tanpa sadar, detak jantung Anka mulai melonjak perlahan. Dan senyum Brav, mulai terasa beda baginya. Lebih tulus, dan ... lebih menarik.
_____________________________________________
Ada yang mulai berbeda dari cara Anka melihat Brav~
Ya ... kalau digituin mulu mah luluh lama-lama 😝
Part ini lumayan enak nulisnya, lumayan lancar dan cepet selesai. Entah gimana hasilnya. Enak nggak dibaca? 🤔
Ditunggu komen dan votenya, ya!
With love,
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro