Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[31] Kembali

_____________________________________________

Sejauh apa pun pergi, ingatlah untuk kembali. Jangan sampai kehilangan diri.
_____________________________________________

Butuh hampir lebih dari sepuluh menit supaya kamar Bora bisa kosong. Anka terpaksa pura-pura tidur sejak tadi agar Bora dan ibunya mau meninggalkan ruangan ini. Mungkin mereka masih takut Anka akan melakukan hal yang membahayakan diri, makanya terus mengawasi sejak dia selesai membaca surat dari Inka.

Mau tidak mau, Anka menutup matanya dari tadi. Mencoba bersatu dengan gelap dan terlihat menikmati alam bawah sadar yang membuatnya terlelap, padahal nyatanya, pikirannya kalut. Sama sekali tidak bisa tenang. Semua kata-kata yang dibacanya di surat Inka terus berputar, seolah enggan keluar dari otaknya.

Kini, Anka yakin kamar Bora sudah kosong, dan keadaan sudah tergolong aman baginya untuk bisa membuka mata. Namun entah kenapa, kelopak matanya malah tidak mau terangkat, seolah menyatu begitu memang jauh lebih menyenangkan daripada menghadapi apa pun yang bisa terlihat di dunia nyata.

Perlahan, setetes air mata mengalir dari mata kiri Anka, menuruni pelipis hingga mencapai daun telinga. Pedih kembali menyerang dirinya. Kata orang, kalau air mata pertama menetes di mata kiri, itu air mata kesedihan. Anka tidak tahu masalah itu, yang dia tahu dengan pasti hanya Inka yang memenuhi pikirannya saat ini.

Saudara kembar terbaik yang pernah dimilikinya. Yang tidak pernah membandingkan satu sama lain, bahkan selalu menolong dan membelanya. Mungkin benar adanya kata-kata ini, orang baik yang akan dipanggil lebih dahulu oleh Tuhan, layaknya bunga yang lebih indah yang akan dipetik lebih cepat. Tetapi, itu tidak adil, kan? Mereka yang pergi tidak pernah tahu, seberapa dalam luka yang dipikul oleh mereka yang terpaksa bertahan.

Bunyi ponsel karena ada notifikasi masuk memaksa mata Anka untuk terbuka. Mesti enggan, dia tetap mengambil benda pipih itu. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau membuat lebih banyak lagi orang khawatir. Ibunya ada di sini, maka bisa saja ini pesan dari ayah atau kakaknya yang menanyakan keadaan. Dan menjawab secepat mungkin adalah cara terbaik yang bisa dilakukan Anka supaya tidak mengundang kehebohan berlebih.

bravendwip menyebut Anda dalam sebuah komentar.

Anka refleks mengernyit begitu notifikasi itu yang datang menyapa matanya. Dari sekian banyak orang yang terpikirkan untuk menghubungi, malah Brav yang muncul. Lewat Instagram dan menyebutnya dalam komentar pula? Rasa penasaran yang begitu mengusik itu membawa tangan Anka untuk menekan notifikasinya.

Gambar dandelion yang sudah hilang kira-kira seperempat dengan dominasi warna biru muncul di layar. Latar laut, gunung dan beberapa perahu juga batu besar yang terlihat di belakangnya dengan mode blur membuat foto itu terlihat begitu indah. Memberi kesan kuat dan menenangkan dalam waktu yang bersamaan. Namun, begitu mengalihkan pandangan ke arah caption, napas Anka tiba-tiba tertahan.

Terlihat begitu lemah dan rapuh dari luar. Akan langsung bercerai-berai ketika ditiup. Namun nyatanya, ia istimewa dengan caranya sendiri. Karena ia mati dan hancur untuk pindah ke tempat-tempat lain lalu kembali menjadi baru.

Dan gue yakin, lo itu kayak dandelion @zephanka. Lo bisa pindah dari tempat lo terpuruk dan jadi baru, karena lo istimewa.

Setelah deretan kata itu selesai dibaca, Anka baru sadar kalau sejak tadi, napasnya benar-benar tertahan. Bahkan sekarang pun, rasanya dia belum bisa mengambil oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Semua yang bisa dilakukannya hanya terpaku pada layar ponselnya, yang bukan hanya menampilkan foto, tapi juga tulisan yang indah dari Brav.

Seharusnya Anka tidak ragu lagi. Dia yakin betul akan bagaimana perasaan dan ketulusan Brav. Namun sesuatu itu mengikatnya terlalu kuat. Dia ingin berlari, melepaskan semua yang menghalanginya sejak dulu, tapi setiap usaha yang dilakukannya tidak pernah berhasil. Pada akhirnya, dia hanya akan kembali ke kubangan itu. Jurang dalam yang memerangkapnya begitu kuat hingga sulit bernapas.

Sekali lagi Anka meraih kotak yang diberikan ibunya kemarin. Dilihatnya kembali potret dirinya bersama Inka. Senyum bahagia dan polos mereka, seolah hari esok memang tidak perlu dipusingkan. Andai bisa, kembali ke masa kecil saat dirinya belum banyak berpikir dan memusingkan segala sesuatu memang menyenangkan. Tanpa sadar, Anka membalik surat yang kemarin dia baca. Ternyata, surat Inka tidak selesai di sana, masih ada sambungan, yang membuat Anka terperenyak.

Janji ya, Ka, kamu harus hidup untuk dan jadi diri sendiri. Jangan jadi siapa pun, termasuk aku, karena itu membosankan. Karena Anka adalah Anka. Membaik nggak apa-apa, tapi jangan sampai kehilangan diri. Aku nggak akan sanggup bayangin kalau kamu berubah suatu hari nanti. Pokoknya jangan! Hehehe.

Selamat ulang tahun, dari Inka yang selalu sayang Anka.

Kini, lengkap sudah alasan untuk air mata Anka kembali tumpah. Tidak lagi ditahan-tahan semua rasa yang bercampur aduk hingga hampir meledak dalam dirinya. Hari ini, dia ingin menangis sepuasnya. Untuk Inka, untuk masa lalu mereka, untuk penyesalannya, juga untuk hidupnya yang sudah berubah terlalu banyak. Lalu setelah ini, dia akan melepaskan semuanya, dan kembali ke titik awal. Mulai menata kembali hidupnya sebagai Anka, bukan pengganti Inka.

Sambil menatap surat dan foto Inka, Anka mengangguk mantap. Aku janji, In.

***

Buat apa memedulikan orang lain? Yang penting kita bahagia. Mama melakukan ini supaya kamu bisa hidup enak, semuanya demi kamu. Lagi pula, Mama yang berjuang susah payah mendapatkan Papa kamu, saat mereka nggak melakukan apa-apa. Jadi, mana mungkin Mama yang disebut merebut? Mereka yang nggak pantas mendapatkannya.

Kata-kata itu yang terus terngiang di telinga Tisya beberapa hari ini. Sejak mendengar deretan kata itu meluncur mulus dari mulut ibunya, dia tidak bisa tenang. Bahkan berpikir dengan baik dan bersikap seperti biasa pun tidak bisa. Sudah beberapa hari pula, dia tidak mengacuhkan pesan dan panggilan dari Akas.

Seharusnya ini menjadi kesempatan yang bagus bagi Tisya. Ini yang selalu diimpikannya, kan? Dihubungi Akas terus-menerus, bagai balasan untuk segala jerih payah yang sudah dilakukannya selama ini untuk mendekati seniornya itu. Namun nyatanya, bagaimana bisa Tisya mengambil kesempatan itu kalau dirinya merasa tidak layak untuk Akas?

Seolah fakta kalau dirinya adalah saudara tiri Brav belum cukup memukul Tisya mundur, dia kembali dihadapkan dengan kenyataan kalau dirinya ada sebelum orangtuanya resmi menikah. Tidak hanya itu, ibunya bahkan mengatakan hal yang benar-benar di luar dugaannya. Dengan lantang dan seolah tanpa rasa bersalah, Eva bilang kalau bukan salahnya sampai ayahnya memihak mereka. Sampai ibunya Brav bunuh diri dan masih juga bukan salahnya? Entah Tisya yang memang bodoh atau Eva yang terlalu menutup mata.

Kamu kenapa sih, Tisya? Kak Akas uring-uringan banget tahu, kamu nggak mau dihubungin. Kalau ada masalah yang nggak bisa diceritain ke Kak Akas, kamu bisa cerita ke aku, kok.

Chat dari Tyas itu jelas menyita seluruh konsentrasi Tisya. Segitu besarkah pengaruh dirinya pada Akas, sampai seniornya yang kelihatan penuh wibawa itu bisa uring-uringan? Harusnya Tisya senang ketika membayangkan hal itu sekarang, tapi entahlah. Perasaannya mungkin memang benar-benar sedang tidak bisa berjalan normal sekarang.

Selama beberapa saat, Tisya masih bergeming sambil menatap layar ponselnya. Memang, dia sedang butuh teman cerita saat ini. Tidak bisa bercerita pada temannya karena malu terasa sudah sangat menyiksa, dan perasaannya sekarang ini butuh lepas, butuh dikeluarkan sebebasnya seperti biasa. Namun, apa bercerita pada Tyas adalah pilihan yang tepat?

Tisya tidak tahu pasti jawabannya. Dia tidak pernah berbakat memikirkan mana yang tepat dan mana yang tidak. Yang biasa dilakukannya hanya berjalan menuruti kehendak hati. Ketika sangat ingin bercerita, dia akan berkoar-koar untuk melegakan diri. Mungkin pilihan ini akan membuatnya menyesal nanti, tapi itu urusan belakangan. Yang penting hatinya tidak lagi terikat beban yang kelewat berat.

"Tapi itu bukan salah kamu, Tis. Harusnya juga nggak pengaruhin hubungan kamu sama Kak Akas," ujar Tyas dari seberang telepon ketika Tisya selesai menceritakan semua kenyataan yang diketahuinya secara beruntun belakangan ini.

Ada jeda di antara obrolan mereka, yang hanya disela napas berat Tisya. "Saat ini aku merasa jadi orang paling jahat di dunia, Tyas. Kak Akas yang sebaik itu harusnya jauh-jauh. Kalau mamaku bisa kayak gitu, nggak menutup kemungkinan aku juga bisa berbuat hal yang sama." Helaan napas kembali menyela, kini dari Tyas. Dia sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikiran Tisya saat ini. Lalu tiba-tiba, seulas senyum terbit di wajah Tisya. "Udah ya, Tyas. Kalau dilanjutin mungkin kamu akan merasa gila ngomong sama aku. Makasih, ya. Aku udah lega karena akhirnya bisa ceritain ini. Kamu baik-baik, ya."

Semoga Kak Akas juga, tambah Tisya ketika sambungan telepon sudah terputus. Tanpa sadar, matanya sudah memanas. Dia segera mendongak untuk menghalangi butiran bening itu meluruh dari matanya. Dia tidak seharusnya secengeng itu, hanya karena memikirkan Akas dan kemungkinan dia tidak akan pernah menemui seniornya itu lagi.

Tisya berusaha menutup mata, mengerjakan tugas, membaca buku, mendengarkan lagu, apa pun asal bisa mengalihkan pikiran dari kenyataan yang membuatnya sedih barusan, tapi semua usahanya selalu gagal. Pada akhirnya, dia selalu membuka ponsel dan menatap foto punggung Akas yang pernah dipotretnya dulu, yang selalu menjadi penyemangat kapan pun dia butuh. Namun sekarang, foto itu malah membuat pandangannya semakin buram.

Gue udah di depan rumah lo.

Satu chat dari Akas mampu membuat mata Tisya membesar tiba-tiba. Dia langsung berlari ke jendela, membuka sedikit gorden dan melongok ke luar. Benar saja, seniornya itu sedang duduk di motornya sambil memegang ponsel dan menatap ke arah rumah Tisya. Tanpa bisa dicegah, detak jantung Tisya melonjak begitu saja. Hanya karena melihat Akas di depan rumahnya dan membayangkan apa yang harus dia lakukan sekarang.

Kalau lo nggak mau keluar, gue yang akan masuk.

Kali ini Tisya tidak lagi berdiam diri dan melongok dari atas. Dia tidak lagi punya waktu untuk itu. Wajah dan cara Akas mengatakan itu mengisyaratkan keseriusan. Dia yakin, kalau tidak segera turun, seniornya itu pasti akan mengetuk dan pada akhirnya berhadapan dengan ibunya yang sedang ada di rumah. Dan dalam keadaan seperti sekarang, itu bisa disebut petaka.

Saat berlari ke bawah, Tisya tidak memikirkan apa pun. Dia bahkan tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Akas sekarang. Semuanya terasa canggung dan aneh, karena yang bisa dilakukannya sekarang hanya menunduk sambil memelintir jari. Sejak berdiri di depan Akas, dia berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan seniornya itu. Dia tidak sanggup, apalagi sekarang.

"Jangan suka ambil kesimpulan sembarangan kalau emang nggak bisa." Pernyataan Akas barusan jelas membuat Tisya tidak mengerti. Keningnya berkerut dalam, sedangkan Akas malah memangkas jarak, tanpa melepaskan pandangan dari Tisya. "Lo nggak jahat. Kalaupun iya, gue bisa bertahan sejahat apa pun jadinya lo nanti, yang penting itu lo, bukan orang lain."

Bisa apa lagi Tisya, ketika setiap omongan Akas membuatnya tak berkutik. Sekalipun berlari, sekarang dia tak lagi punya tujuan. Akas akan mengejarnya, ke mana pun itu. Tak ada kata apa pun yang berhasil dilontarkan Tisya, hanya genangan air bening di ujung matanya yang mewakili semua perasaannya saat ini.

Akas kembali maju, sampai mata mereka benar-benar saling mengunci. Bukan memeluk seperti yang Tisya kira, Akas malah membalikkan tubuh, membuat Tisya mengernyit dalam.

"Katanya lain kali mau nangis di punggung gue. Tapi habis ini nggak ada lain kali lagi."
_____________________________________________

Aku seneng banget ngetik part ini. Bahagia Anka udah mau kembali, bahagia juga ngeliat sikap Akas. Beneran, jadi suka banget sama karakter dia di sini 😆

Gimana menurut kalian?

Ditunggu komen dan votenya ya.

With love,
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro