[30] Kado dari Masa Lalu
_____________________________________________
Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Tidak ditunjukkan bukan berarti tidak dirasakan. Manusia bisa jadi pembohong paling hebat bila sudah menyangkut perasaan.
_____________________________________________
Harusnya hari itu menjadi hari yang bahagia, baik bagi Anka maupun Inka. Sejak jauh-jauh hari, Anka sudah membuat hitung mundur untuk hari ini, hari ulang tahun mereka. Bahkan khusus hari ini, dia bangun pagi-pagi sekali untuk meminta ibunya membuatkan makanan dan membelikan kue ulang tahun.
Sebagai kembar identik, Anka dan Inka membagi banyak hal bersama. Jelas tanggal ulang tahun adalah salah satunya, dan mereka berdua tidak pernah keberatan dengan itu, malah sangat bersemangat. Ada yang lahir bersamaan denganmu, hal mana yang terasa lebih ajaib dari itu? Tapi, semua kemiripan itu tidak terjadi pada sifat dan keunggulan mereka, layaknya kembar identik lainnya. Hal itu memang biasa, walau wajah sangat mirip, kelakuan berbeda jauh. Masih untung mereka tidak sering bertengkar.
Sejak dulu, Anka selalu berada di belakang Inka. Dia baru bisa merangkak saat Inka sudah bisa berlari. Saat Inka sudah bisa bersenandung, dia baru bisa mengucap mama. Begitu pula saat mereka sudah memasuki usia sekolah, hingga sekarang, secara akademis, Anka selalu tertinggal. Namun orangtuanya tidak pernah protes, Inka pun tidak pernah pamer atau merendahkan kembarannya. Sebaliknya, dia selalu membantu Anka supaya bisa menyejajarkan langkahnya.
Secara sifat pun Anka bisa dibilang lebih nakal daripada Inka. Dia yang akan selalu melawan bila ada yang menindas mereka. Selama dia melakukan apa yang diyakininya benar, dia tidak akan pernah takut. Pernah karena prinsip itu, orangtuanya harus berurusan dengan kepala sekolah karena dia membanting barang anak yang juga membuang barang Inka. Amarahnya tersulut begitu saja melihat kembarannya ditindas.
"Kita lewat belakang, ya, mau beli bakso tusuknya Pak Min," ujar Anka saat mereka baru saja keluar dari sekolah.
"Ngapain? Kan di rumah ada banyak makanan. Udah langsung pulang aja, yuk!"
"Tapi ... lagi pengen banget, nih," rengek Anka. Dia tahu di rumah mereka sedang ada banyak makanan, itu pula yang memang dimintanya. Tapi hari ini, dia benar-benar sangat ingin, apalagi sudah lama dia tidak memakan bakso tusuk itu. Alasannya jadi semakin kuat. Akhirnya Inka hanya menurut dan mereka memilih jalan memutar lewat belakang menuju rumah.
Belum jauh mereka melangkah, masih di sekitar sekolah, tiba-tiba ada seorang murid cowok yang berlari cepat dan menyelip di depan Anka. Tidak lama kemudian terdengar suara ribut oleh derap kaki yang berlari dan seruan-seruan yang memekikkan telinga. Anka menoleh. Matanya langsung membelalak melihat batu besar yang dilempar salah satu cowok di gerombolan yang sedang berlari itu memelesat begitu cepat ke arahnya. Anka memejam erat sampai suara berikutnya terdengar.
Seluruh oksigen di sekitarnya seolah dicuri saat Anka berhasil membuka mata. Di hadapannya, Inka tergeletak di jalan beraspal. Dari balik kepalanya, darah mengalir tiada henti, lengkap dengan sebuah batu besar di sampingnya. Gerombolan cowok itu segera berlari secepat kilat meninggalkan tempat itu. Lalu perlahan, orang-orang sekitar mulai bergerombol, mengerumuni Inka yang tubuhnya tergolek lemah. Bisikan iba, teriakan, dan tatapan yang tidak bisa diartikan terus menghantam Anka, membuat sekelilingnya menjadi tempat yang sangat menyeramkan hingga akhirnya menelannya sepenuhnya, dalam gelap.
Dengan terengah-engah, Anka akhirnya mampu membuka mata. Dari tadi dia berusaha, tapi mimpi itu begitu menguasainya hingga yang bisa dilakukannya hanya terus memejam.
"Lo nggak apa-apa, Ka?"
Anka langsung mengedarkan pandangan begitu mendengar suara panik Bora. Benar, dia ada di rumah Bora saat ini. Karena berada di rumah sakit terus untuk menjaga Rama terasa terlalu aneh, sedangkan dia terlalu takut untuk pulang ke rumahnya. Takut kalau masa lalu itu akan mencengkeramnya lebih kuat lagi. Bahkan ketika sudah melarikan diri ke sini saja dia masih dikejar, bagaimana kalau dia tetap berada di rumah yang lengkap dengan semua kenangan tentang Inka? Mungkin dia tidak akan berhasil bertahan hidup, karena tidak bisa melakukan apa pun, bahkan sekadar untuk bernapas.
"Gue mimpi kejadian waktu itu lagi, Yong." Tadinya Anka ingin menggeleng, tapi dia sadar, saat ini dia butuh seseorang di sampingnya, dan Bora adalah orang yang tepat. Cewek yang pernah menemaninya saat melewati masa-masa sulit waktu itu, yang berhasil menenangkan dirinya, walau ternyata efek alam bawah sadarnya belum tergeser.
Bora menggenggam tangan Anka kuat-kuat. Matanya menatap dalam-dalam, mencoba memberi kekuatan pada sahabatnya itu. "Lo tau lo selalu punya gue dan yang lain, kan? Udah saatnya lo berhenti mikirin kejadian itu, Ka. Kita yang ada di sekitar lo cuma bisa nemenin, tapi yang harus perang sama masa lalu itu lo sendiri. Kita nggak bisa masuk dan ngusir itu semua karena nggak punya akses apa-apa. Tapi lo punya, lo punya kekuatan itu. Lo bisa bangkit, Ka. Lo bisa lepas dari masa lalu kelam itu, karena lo pantes. Lo berhak hidup bebas dan bahagia."
Anka sadar betul akan kebenaran di setiap perkataan Bora. Dia paham, memang dirinya sendiri yang harus berperang dan orang lain tidak bisa membantu, hanya bisa menemani. Tapi saat ini dia merasa kekuatannya belum cukup. Tiap kali kejadian itu terulang kembali di ingatannya, dia tidak bisa memikirkan kemungkinan lain. Andai saja dia tidak bersikeras ingin lewat jalan belakang hanya demi membeli bakso tusuk. Andai saja dia lebih waspada. Andai saja dia tidak diam saja dan berlari saat itu, maka semua tidak akan terjadi. Maka Inka masih akan ada di sini, bersamanya dalam jangka waktu yang lama.
Andai saja. Andai saja. Andai saja. Dua kata itu terus terulang di otak Anka. Andai saja Tuhan memberinya kesempatan sekali lagi untuk kembali ke hari itu, dia tidak akan merengek untuk hal yang tidak penting. Dia tidak akan membiarkan Inka mengambil alih posisinya. Lebih baik dia yang pergi, kan? Toh dia yang lebih nakal daripada Inka, kembarannya itu pula yang lebih pintar dan pasti bisa jadi lebih baik kalau hidup dibanding dirinya sekarang ini.
Semua yang terjadi bukan salah lo, apa pun itu. Yang dulu, yang sekarang, semua bukan salah lo. Karena nggak ada yang namanya lebih pantas meninggal, Ka. Lo juga berharga.
Mengingat ucapan Brav membuat air mata Anka kembali luruh. Saat pertama kali mendengarnya, dia menangis karena terharu dan tersentuh dengan setiap deret kata dalam kalimat-kalimat itu, juga karena ketulusan yang ditunjukkan Brav. Tapi kali ini dia tidak tahu kenapa air matanya tiba-tiba jatuh. Mungkin karena takut kehilangan Brav? Entahlah. Dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri saat ini. Yang jelas, dia hanya berandai-andai, apa Brav akan tetap mengatakan ucapan yang sama bila sudah tahu kenyataannya? Bila sudah tahu masa lalu Anka yang tidak sebaik sekarang?
"Nak ...." Anka mendongak begitu mendengar suara ibunya. Matanya membulat saat benar-benar menemukan sosok ibunya di hadapannya sekarang. Tanpa pikir panjang, Anka langsung menghampur ke pelukan ibunya yang sudah merentangkan tangan sejak tadi. Ibunya mengelus-elus belakang kepala Anka, membuat air matanya semakin tidak mau berhenti. Dia memang selalu lemah di hadapan ibunya. "Selamat ulang tahun, Anak Kebanggaan Ibu."
Selama beberapa detik, kesadaran Anka seolah terenggut. Hari ini hari ulang tahunnya dan Inka, bagaimana dia bisa lupa? Pantas saja mimpi itu datang lagi, dengan lebih jelas daripada sebelumnya. Mungkin Inka ingin memberinya salam dari mimpi, atau mungkin akan mengajaknya pergi sebagai kado?
Anka menggeleng pelan. "Aku bukan anak yang bisa dibanggain Ibu. Harusnya Inka yang ada di sini, dia pasti bisa hidup lebih baik. Nilainya bisa lebih sempurna. Dia bisa jadi anak kesayangan Ibu dan ayah. Aku cuma bisa berusaha, Bu. Berusaha keras supaya bisa jadi kayak Inka, dikit aja, tapi nyatanya aku selalu gagal. Selamanya aku nggak akan bisa kayak dia. Nggak akan bisa jadi dia."
"Siapa yang minta kamu jadi Inka, Nak?" Ibu Anka mendekap anaknya erat-erat. Mungkin selama ini salahnya, yang membiarkan duka itu berlarut-larut. Yang menyuruh Anka tidak menangis, padahal mereka sama terpuruknya. "Kamu Anka, selamanya akan seperti itu. Ibu dan ayah tidak pernah menuntut kamu untuk jadi hebat, jadi seperti siapa pun. Kami selalu bangga dengan anak-anak kami, karena kalian memang punya karakter yang berbeda-beda. Duka itu memang belum berlalu dari keluarga kita, atau mungkin selamanya tidak akan berlalu. Tapi bukan berarti kita harus berlarut-larut di dalamnya, Nak. Sudah saatnya kita bangkit, ya?"
Ibu Anka mengambil jarak untuk memperhatikan anaknya yang berada dalam dekapan. Anka masih menggeleng-geleng. Sedangkan bulir-bulir air mata masih terus turun, perlahan lalu lama-lama jadi makin deras. Ibunya tahu, kematian Inka adalah pukulan paling besar bagi Anka. Dia tahu, walau anaknya ini terlihat tidak banyak peduli, nyatanya dia selalu memikirkan segalanya. Dia selalu merasa berada di belakang Inka. Dia mengejarnya perlahan, hampir tak kasatmata kalau orang tidak cermat, tapi sebagai ibu, dia selalu tahu usaha anak-anaknya. Makanya dia tidak banyak bicara. Apa pun yang dikerjakan anaknya, selagi positif, akan didukung. Dan dia tidak pernah menuntut hasil apa pun, walau dia tahu Anka selalu menyimpan kecewa ketika nilainya tak kunjung membaik.
"Mungkin kamu sudah lupa, tapi kamu dan Inka pernah menyimpan ini. Kalian bilang, ini kado ulang tahun untuk diri kalian yang berumur 17 tahun. Ibu rasa ini saatnya kamu buka kado, Nak." Ibunya mengangsurkan kotak kado berwarna biru muda saat melihat Anka masih saja bergeming. Mungkin kado ini bisa benar-benar menjadi kado, yang membebaskan anaknya.
Walau ragu, tangan Anka membuka kotak itu perlahan. Foto dirinya dan Inka yang tersenyum lebar menyambut, membuatnya susah bernapas selama beberapa saat. Sudah berapa lama dia tidak melihat kembarannya itu? Bercermin dan melihat pantulan diri tidak pernah mengobati rasa rindunya. Inka selamanya Inka, tidak akan pernah jadi Anka dari pantulan cermin.
Halo, Anka dan Inka di umur 17. Udah gede ya kita. Udah bukan dua anak yang ngendap-ngendap lagi buat main tanah. Sekarang bandelnya ngapain, Ka? Semoga nggak parah, ya. Karena aku selalu suka waktu kamu ajak buat "nakal". Percaya, deh, itu bukan beneran nakal. Itu cuma naluri anak kecil yang pengen main. Aku selalu iri sama sifat kamu yang bebas dan berani. Mungkin selamanya aku nggak akan bisa punya sifat itu, tapi aku udah bahagia dengan punya kamu yang bisa kapan aja ajak aku main dan bela tiap ada yang gangguin. Semoga di umur 17, dan setelahnya, dan berapa pun, dalam jangka waktu yang lama, kamu nggak akan berubah. Tetap jadi Anka yang selalu bebas, ceria, dan berani.
Sambil membekap surat dari Inka yang baru dibacanya, Anka terisak. Seluruh kekuatannya runtuh. Tubuhnya tidak bertenaga, bahkan sekadar untuk mengangkat kepala. Kenapa hanya ada Anka di usia 17 tahun, tanpa Inka yang begitu baik dan pengertian? Kenapa hanya ada dirinya beserta semua penyesalan dan kesedihan di usia ini?
Tidak ada yang dia tahu pasti, kecuali satu hal, dia tidak akan pernah lagi menjadi Anka yang disebutkan Inka. Anka yang bebas dan berani? Itu penyesalan terbesarnya. Untuk selamanya, penyesalan itu tidak akan pernah boleh terulang.
_____________________________________________
Haloooo ketemu lagi! Hahaha minggu lalu nggak update nih huhuhu maapkeun. Tapi kali ini balik dengan part yang lumayan panjang. Walau nggak ada Brav-nya sih hahaha tapi cukup mengungkap masa lalu Anka. Sedih juga nulisnya.
Mau tau dong, pendapat kalian tentang cerita ini, dan ke depannya kira-kira bakal gimana?
Ditunggu komen dan votenya ya!
With love,
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro