[1] Bayangan
_____________________________________________
Yang pertama selalu menegangkan. Kadang juga menyenangkan. Dan seringnya tak terlupakan.
Namun sayang, ia tidak selalu memiliki akhir yang indah.
_____________________________________________
Kosong. Dari awal membuka mata, Anka tahu ruangan ini tidak berpenghuni. Hanya ada dirinya bersama segala kenangan tentang rumah ini, setelah seluruh keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung. Kehampaan langsung menyergap tanpa ampun, membuatnya hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan kembali memejam.
Anka membiarkan dirinya mengumpulkan seluruh oksigen yang bisa dihirupnya dari ruangan ini, sementara hatinya masih mempersiapkan diri. Keadaan ini sudah berlangsung setidaknya dua minggu, tapi Anka masih sangat tidak terbiasa. Apalagi hari ini adalah hari pertama sekolah, yang berarti dia harus menyiapkan semuanya sendirian dan berjuang menghadapi keramaian sekolah yang terkadang membuatnya pusing.
Setidaknya sudah empat tahun, kalau Anka tidak salah ingat, dia terbiasa dengan kesendirian. Masih ada Bora, sahabat terbaiknya yang selalu ceria dan senang bercerita. Namun, interaksinya dengan orang lain semakin terbatas. Keributan di sekitarnya kadang akan membuat kepalanya sakit, telinganya berdenging, dan lama kelamaan, kesadarannya seolah direnggut kembali ke kejadian yang tak akan pernah terlupakan di hidupnya. Oleh karena itu, sebisa mungkin, Anka akan menghindari keramaian.
Ponselnya yang berdering membuat Anka merasa terselamatkan sekarang. Dia meraih benda itu dari nakas dan langsung tersenyum begitu melihat nama Bora di layar. Baik dulu atau sekarang, Bora selalu menjadi penyelamatnya. Entah bagaimana harus menggambarkan rasa syukur Anka karena memiliki sahabat seperti Bora. Dia hanya berharap sahabatnya itu tahu kenyataan ini.
“Gue mau jadi alarm buat lo di hari pertama sekolah. Nggak ada yang bangunin, kan, di rumah? Itu gunanya gue nelepon sekarang,” cerocos Bora tanpa merasa perlu berbasa-basi.
Anka tetap menggeleng-geleng, walau tahu Bora tidak bisa melihat gerakannya saat ini. Dia hanya tidak habis pikir dengan sahabatnya, yang selalu sanggup memancing tawanya dan mencairkan suasana. Kadang hanya sebatas kepercayaan diri yang berlebih, atau kecerobohan yang kelewat batas. Apa pun itu, intinya, Bora adalah sumber keceriaan buat Anka.
“Biasanya juga gue yang bangunin lo, Yong. Lo sekali ketemu kasur kayak kembar siam aja sok-sok bangunin gue sekarang.” Anka berusaha mempertahankan suaranya sambil menarik diri bangun dari tempat tidur.
Di seberang sambungan, Bora terkekeh. Anka tahu, apa pun yang diucapkannya, sesinis apa pun nada yang dipakainya, Bora akan bisa menanggapi dengan santai. Menurutnya, Anka sudah sangat mengenal dirinya, jadi apa pun yang dikatakan sahabatnya itu, sudah pasti berupa fakta. Memang begitu adanya Bora.
“Lagi-lagi gue mau bilang, you know me too well,” jawab Bora, membuat keduanya terkekeh. Kini Anka bergerak menuju lemari pakaian, berniat menyiapkan seragam, tapi tangannya mengatung di udara saat ucapan Bora selanjutnya terdengar. “Lo beneran nggak apa-apa, kan?”
Anka menarik napas sejenak. Hanya kalimat sederhana, tapi dia tahu betul maksud pertanyaan Bora barusan lebih rumit dari yang terdengar. Ada kekhawatiran, keraguan, juga empati yang dalam. Dari semua orang, selain keluarganya, hanya Bora yang tahu seluk-beluk hidup Anka, sampai kenangan terburuk dan kejadian yang paling membuatnya terpukul.
“Udah dua minggu, Yong,” Anka menjawab sekenanya.
“Bahkan berbulan-bulan pun gue nggak yakin cukup kalau orangnya itu lo, Ka.”
Bora sadar betul akan omongannya tadi. Bukan bermaksud merendahkan, atau mendoakan supaya Anka benar-benar tidak baik-baik saja meski sudah berbulan-bulan. Hanya saja, sifat sahabatnya ini yang terlalu pemikir dan susah melupakan, menambah buruk semua kenangan yang harusnya bisa dihapus dengan mudah supaya hidupnya lebih nyaman. Bagi orang-orang seperti Anka, proses itu akan berjalan alot dan semakin menyiksa.
Anka terdiam begitu menyadari keakuratan ucapan Bora barusan. Dia memang bodoh kalau berpikir bisa menipu sahabatnya itu dengan alasan payah seperti tadi. Walau terkadang tidak peka dan terlihat kelewat cuek, Bora bisa jadi sangat pengertian dan perhatian bila sudah menyangkut orang-orang yang dia sayangi.
Masih belum menjawab Bora, Anka berjalan pelan menuju dinding di balik kamarnya. Selama sekian detik, dia masih terpaku sambil menatap lima foto masa kecil yang tergantung dalam bingkai serupa. Tak ada suara, hanya matanya yang terus menatap lekat-lekat foto kedua dari kiri sampai kesesakan itu datang lagi, membuatnya sulit bernapas.
“Ka?” panggil Bora saat merasa ada yang aneh dengan Anka, lagi-lagi menyelamatkannya.
Kesadaran langsung menyergap Anka dan menariknya dari dunia yang hampir menenggelamkannya barusan. Dia menggeleng sejenak untuk benar-benar menyadarkan diri. “Gue harus baik-baik aja, Yong. Gue harus berusaha biar bisa baik-baik aja.”
Bora tersenyum mendengarnya. Dia tahu, Anka bukan orang yang terus mencari alasan dan tidak berusaha bangkit untuk meminta dikasihani. Hanya saja, dia kadang butuh uluran tangan. Dia butuh seseorang yang terus mengingatkannya agar tidak terlena oleh rasa sakit. Tidak jarang pula, alasannya berusaha yang harus diperbaiki. Dan sebagai sahabat, Bora bertugas untuk melakukan itu semua.
“Tapi bukan buat menebus masa lalu, Ka. Bukan juga karena penyesalan. Tapi karena lo juga berhak buat baik-baik aja.”
***
Anka merasa perjalanannya hari ini sangat terganggu. Dia sudah pindah dua kali sejak masuk bus ini. Entah apa yang salah dengan orang-orang itu. Kenapa mereka harus duduk di sebelahnya padahal masih ada kursi kosong yang bisa diisi. Kalau jadi mereka, Anka jelas akan memilih kursi kosong dan duduk nyaman sendiri, daripada harus pusing memikirkan bagaimana cara keluar dari bus tanpa mengganggu orang lain.
Well, mungkin aneh bagi kebanyakan, atau bahkan semua orang. Namun, memang itu yang selalu dipikirkan Anka. Dia overthinking. Oke, dia tidak mengelak. Dia berlebihan. Hmm, tidak ada yang salah juga dengan penilaian itu. Dia aneh. Baiklah, ini agak keterlaluan, tapi dia akan pasrah walau dicap seperti itu, karena nyatanya, beginilah dia.
Belasan tahun hidupnya dihabiskan dengan berpikir. Entah itu hal yang penting, atau hal yang terlalu sepele seperti masalah tadi. Kalau ditanya pun, Anka bingung bagaimana harus menjawabnya. Yang jelas, dia merasa tidak nyaman kalau harus duduk bersebelahan dengan orang lain di tempat umum. Apalagi kalau kondisi ramai.
Anka lelah dipusingkan dengan permasalahan sepele seperti bagaimana mengatakan pada orang di sampingnya kalau dia mau keluar. Atau, kapan harus mulai menegur orang di sampingnya dan siap-siap berdiri, supaya tempat tujuannya tidak terlewat. Dia lelah dengan pikiran anehnya yang terus berputar tanpa bisa dihentikan. Makanya sejak dulu, dia selalu minta diantar ayahnya ke sekolah dengan motor. Setidaknya, itu satu-satunya cara yang dia temukan untuk mengatasi masalah ini, tapi sayang, sekarang keluarganya sudah pindah ke Bandung. Itu sebabnya dia di sini, di bus yang pertama kali dia naiki menuju sekolah.
Ponselnya yang bergetar menarik kesadaran Anka. Desah napas lelah kembali terdengar dari mulutnya. Akhir-akhir ini hidupnya jadi menyebalkan dengan adanya teror chat dari satu orang. Danny. Entah sampai kapan cowok itu berniat terus menghujani Line Anka dengan bahasan yang tidak penting. Bukannya kejam, Anka hanya heran dengan orang yang tetap tidak menyerah, padahal tidak pernah ditanggapi. Apa mereka tidak lelah berjuang sendirian?
Kamu udah berangkat?
Chat itu tentu berakhir dengan status diread doang sama Anka. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya jual mahal atau berlebihan, tapi kalau yang mengirim pesan itu orang yang pernah berarti lalu menyakiti, rasanya pasti berbeda. Dia sudah berulang kali bilang pada dirinya sendiri untuk tidak meladeni cowok itu, untuk menghindari segala sesuatu yang berpotensi menyakiti. Seseorang harus belajar dari kesalahan, kan? Kalimat itu membuat Anka yakin, kalau tindakannya kali ini tidak salah.
Tanpa menghiraukan chat tadi, Anka membenamkan ponselnya pada rok. Matanya kembali menatap jendela, memandang jalanan yang dia lalui tiap hari. Bosan? Pasti. Namun, tidak adanya kegiatan yang bisa dilakukan, memaksa Anka untuk tetap menahan pandangannya ke sana. Untung saja sekolahnya tidak jauh lagi, jadi dia tidak perlu lebih lama menghadapi kebosanan ini.
Tapi ... baru juga Anka bilang untung, harinya sudah kembali sial. Kursi di sebelahnya bergetar karena seorang cowok dengan enteng mengempaskan tubuhnya di sana. Anka langsung menoleh dan menemukan cowok itu mengangkat kelima jarinya sambil tersenyum lebar.
Selama beberapa detik, Anka merasa area di sekitarnya kekurangan oksigen. Bagaimana tidak, kalau yang duduk di sebelahnya punya wajah seputih salju dengan senyum seperti anak-anak yang kelewat manis. Jenis senyum seperti itu adalah senyum yang bisa menarik tiap orang sampai jatuh sedalam-dalamnya bahkan pada detik pertama. Anka mengerjap beberapa kali. Cowok itu mirip Oppa .... Anka buru-buru menggeleng. Begini banget, ya, efek temenan terlalu lama sama Bo Yong, bisiknya dalam hati.
Begitu otaknya kembali normal, Anka langsung mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Dia tidak boleh terlalu lama hanyut dalam pesona cowok itu kalau tidak mau repot nantinya. Bagaimana pun juga, pikiran-pikiran tidak penting tadi masih mengganggunya. "Per-"
"Kita satu sekolah, kok," ujar cowok itu sambil sedikit membuka jaket lalu menunjuk seragamnya. "Tunggu aja bentar, dikit lagi juga sampai."
Anka masih belum menemukan suaranya. Ternyata mereka satu sekolah. Fakta itu membuat Anka bingung, karena tidak pernah melihatnya sebelum ini. Well ... dia harusnya tidak perlu heran, sih, mengingat selama ini dia memang jarang keluar kelas kecuali untuk menghampiri Bora, ke kantin bersama sahabatnya itu, atau ke perpustakaan. Dan oh, ke toilet, pastinya.
"Brav. Braven Dwi Paskal." Cowok itu mengulurkan tangan, sambil tetap menampilkan senyum yang mampu menawan hati tiap orang yang melihatnya.
Kening Anka masih berkerut sampai-sampai tidak meladeni tangan Brav yang terulur, sampai cowok itu kembali bersuara sambil mengangguk-angguk. "Oke. Gue akan cari tau sendiri nama lo nanti." Dia berbalik sebentar, lalu kembali menoleh dalam hitungan detik. "Dan mulai sekarang, lo harus siap-siap, karena gue akan ngikutin lo kayak bayangan."
Bus yang mereka naiki akhirnya berhenti tepat di halte depan sekolah mereka. Brav masih tersenyum saat berdiri, lalu dia mengedikkan kepala saat sadar Anka belum juga beranjak dari tempatnya. "Ayo, sebelum telat."
_____________________________________________
Part ini ada perubahan. Tadinya ada bagian Reksa sama Bora, tapi dihapus. Nanti mereka akan dikasih lapak sendiri 😁
Karakter baru udah muncul nih. Aku sukaaaaa Oppa itu. Pada tau nggak? Oppa super manis yang pernah main di While You Were Sleeping.
Tetap ditunggu vote, komen dan sarannya ya! 😄😄
With love,
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro