09. cemburu
Libur seperti ini, yang Taufan lakukan pastinya menghabiskan waktu bersama keluarganya. Oh, tak lupa mencari perhatian dari sang istri.
Taufan merasa akhir-akhir ini perhatian untuknya diberikan pada anak ketiganya yang sekarang sudah menginjak usia empat bulan. Sudah cukup lama sekali Taufan tidak dipeluk atau dimanja oleh istrinya itu.
"Tcih, kalo bukan anak, udah kujual di pasar gelap!" Ujarnya tepat di sebelah putranya yang sedang menyusu pada ibunya. "Heh, omonganmu, Taufan." Yang tentunya langsung mendapat teguran dari sang istri.
Kesal Taufan tuh. Setiap malam juga ia sudah jarang memeluk istrinya karena bayi empat bulan itu sering kali terbangun dan meminta kehangatan dari [Name].
"[Naaaameee]!"
"Apa? Kamu mending main sama Hali sana, Beliung akhir-akhir ini gak mau main sama Hali, dia bilang mau belajar. Katanya, dia udah kelas satu SD, sudah besar, gak boleh banyak main. Ya, syukur sih dia rajin belajar, tapi dia masih anak-anak, tau. Jangan sampe dia gila belajar kayak Solar."
Taufan mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya ia melirik ke arah putranya yang nomor dua tengah telentang dan diam saja, seperti telah dibunuh oleh kebosanan.
Taufan paham perasaan anaknya itu. Ia juga tipe orang yang mudah dibunuh oleh kebosanan.
"Gak, ah. Itu anaknya lagi anteng, paling juga nanti dia ketiduran. Entar aku tinggal angkat ke kamar terus selimutin, deh."
Setelahnya, kepalanya ia taruh di bahu [Name], matanya sesekali melirik pada bayi yang masih asik menyusu pada istrinya. Tapi, tak lama bayi itu juga balik menatap ke arah dirinya. Membuat Taufan kebingungan.
"Kenapa natap Papa kayak gitu? Mulutnya nempel di Bunda tapi matanya natap Papa kayak gitu. Gak sopan kamu!"
Sejujurnya, Taufan iri---dan cemburu. Ia juga mau dimanja oleh [Name].
"Shh, nanti dia gak tidur, Pan."
Sabar, [Name] itu sabar.
"Halah, udah minum susu segentong juga, kok masih gak tidur-tidur, sih? Bunda cape, tau. Punya Bunda lama-lama sakit, loh."
"Kamu kenapa jelas banget ngomongnya."
"Itu udah kusensor dikit, tau!"
Taufan menatap sinis bayi yang ada di dekapan [Name], matanya seolah berkata 'lepasin, aku juga mau.' pada sang putra.
"Duuuh, Haize cucu Kakek Amato yang paling ganteng! Lepasin, dooong. Papa juga butuh kasih sayang Bundaaa. Itu Bunda kesakitan."
Seolah mengerti perkataan Taufan, putranya itu langsung berhenti melakukan aktivitasnya tadi. Ia menatap papanya lekat sebelum beralih menatap bundanya dengan ekspresi murung juga khawatir, membuat Taufan langsung menutup mulutnya shock,
"Astaga, [Name]! Dia paham omonganku!"
Taufan langsung merangkul [Name] bahagia, berbeda dengan [Name] yang dirangkul, ia memutar malas bola matanya dan menyiku perut Taufan dengan kuat.
"Ije masih haus, Fan. Kamu mending minggir. Tuh, Hali udah tidur tuh. Angkat sana ke kamar. Daripada ngerusuhin Ije."
[Name] langsung berdiri, ia menunjuk sang anak kedua dengan jarinya, menyuruh suami tukang cari perhatiannya itu mengangkat anaknya ke kamar. Setelahnya, dia pergi menaiki tangga menuju lantai tiga, di mana itu lantai yang isinya empat ruang tidur.
"Ugh ... Ije mulu! Upan kapan!?"
Aduh, [Name] ingin minggat, deh. Suaminya ini kenapa masih bertingkah seperti anak kecil, sih? Padahal sudah memiliki tiga anak.
"Fan, maaf. Namanya juga bayi, mau gimana lagi."
"IIIH, emangnya cuma Ije yang mau susu? Upan juga mau, ya!!"
"A-APASIH??? GAK JELAS!"
[Name] langsung mempercepat langkahnya dan segera masuk ke dalam kamar milik dirinya. Oh, tak lupa mengunci pintu kamar untuk jaga-jaga.
Setelah Taufan ditinggal istri dan anaknya ke atas, ia kini hanya berdua di lantai dua. Lantai dua memang tempat bermainnya anak-anak, tempat bersantainya [Name] juga, sofa, televisi, meja penuh camilan ada. Intinya seperti ruang keluarga, deh. Yaa tapi ada tempat kerja Taufan sama [Name] juga, sih.
"Haish ... udahlah, biarin aja. Mas cape, Neng."
Pria itu berjalan mendekati anaknya yang tengah tertidur, ia menggendongnya dengan perlahan dan hati-hati agar si anak tak terbangun dari mimpi indahnya.
Namun hal itu sia-sia, guys. Walau sudah berhati-hati dan perlahan, Hali merasa terusik. Ia mengerang dan terbangun dengan mata sayu yang masih mengantuk.
"Ssshh, syuut. Ini Papa Upan, kok! Jangan bobo di lantai, nanti perut Hali sakit. Tidur di kamar, ya? Gak usah turun, Papa angkat."
Taufan menepuk-nepuk pelan punggung Hali, membuat Hali kembali menaruh kepalanya di bahu Taufan dan memeluknya erat. Matanya kembali terpejam seperti sebelumnya, Hali sangat mengantuk saat ini.
"Tidul sama Papa...." lirihnya di saat belum benar-benar kembali tertidur. Taufan terkekeh ketika mendengar ucapan menggemaskan dari anaknya ini. Ia mengangguk dan membawanya ke dalam kamar Hali. Awalnya, sih, mau di kamar mereka berdua saja, tapi kamarnya dikunci oleh [Name].
―――― ✧ :-
Jika boleh jujur, Taufan sangat membenci dengan apa yang dia lihat. Maksud Taufan itu, seriusan? [Name]? Setelah kemarin dengan Haize, sekarang ia jalan berdua dengan pria lain. Astaga, sengaja ingin membakar Taufan?
"[Name] ... emang aku ganggu banget kah sampe kamu mau aja jalan berdua sama cowo lain ... ih, nyebelin!"
Padahal niat Taufan keluar itu untuk membeli makan siang karena [Name] tak sempat membuatkan bekal untuknya hari ini. Eh, tapi malah jalan sama cowok lain.
Niat Taufan untuk membeli makan siang itu langsung hancur begitu saja. Ia tak jadi makan, napsu makannya sudah hilang.
Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kantornya dengan mood jelek. Ayolah, Taufan hanya ingin perhatian dari [Name], kenapa susah sekali mendapatkannya? Bahkan untuk mengajak [Name] jalan saja sangat sulit, bagaimana bisa pria itu dengan mudahnya jalan bersama [Name]?
"Kenapa lagi tuh, Kak Upan?"
Halilintar melirik ke arah yang dimaksud oleh Solar, di sana, ada adik pertamanya yang berjalan dengan malas-malasan, auranya suram, dan wajahnya terlihat sedikit marah.
"... Pasti ini karena [Name]."
"Buset, diapain lagi dia sama [Name]?"
"Paling dicuekin. Kayak lo dulu ngecuekin istri lo, haduh, lo pada punya bini dijaganya gimana sih?"
Heran Halilintar, ia selalu terlibat urusan atau masalah aneh mengherankan milik adiknya.
Padahal yang punya bini juga siapa.
"Ya kan itu dulu ... ga usah diungkit gitu, lah."
GUBRAK.
Suara benda jatuh itu menarik perhatian Solar dan Halilintar, mereka langsung menatap fokus ke arah sana. Astaga, apa lagi sekarang? Ternyata yang terjatuh itu tempat sampah kantor dan Taufan.
"... Lar, samperin gih. Ga bener ini."
"Lah, kok gue?"
"Lo adeknya."
"Lo kakaknya!"
_____________
HALOOO, AKU KEMBALIII
Taufan, kamu sabar banget 😔 kamu tahan ga dimanjain nem begitu? Ga tahan, ya. 😔
Tapi kira-kira ada yang bisa nebak cowoknya tadi siapa? Cluenya dia alien yang ada di bbb, tapi alien yang ini ganteng 🥰
Btw---
Setelah Taufan tamat, aku bakal langsung up yang iniii, beneran makasih banget yang udah nemenin aku dari awal boel series kebentuk sampe boel series mau tamat 😔😔😔❤❤❤ aku masih inget nama kalian atau nama akun kalian wahsahdg, makasii juga yang udah nemenin di tengah-tengah boel series ini, POKOKNYA LOP UUU KALIAN DEH!
See u!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro