08. dulu
"[Name], lo suka sama Kakak gue, kan!?"
"Hah―najis. Kakak yang mana btw?"
"Najis-najis begitu, nanya juga lo."
Solar menggelengkan kepalanya pelan, teman nya yang satu ini memang rada-rada, ya. Kayak kakak pertamanya.
"Ya Taufan, lah. Toh, lo dari awal ngelirik dia terus. Naksir, kan, lo?"
"ENGGAK!"
"Buset, santai dong kalo enggak. Ga usah sampe ngeblush segala gitu. Hadeh, kalo suka mah, suka aja."
Heran Solar. Padahal jelas sekali jika gadis di sampingnya ini memiliki perasaan pada kakak keduanya. Hanya saja, ya begitu. Denial, mana gengsian lagi. Hadeh, jadi keinget Halilintar.
"Padahal kalo suka, gue mau bantuin pdkt."
[Name] yang masih memerah itu menatap Solar malu-malu dengan rasa tertarik.
"Serius?"
"Serius. Asal lo tau, ya! Gue tuh ahli banget bikin orang jadian. Ets, tapi ada bayarannya. Bayarannya di akhir, kalo misal berhasil gitu."
Anjai, bisnis ya, Lar.
"Yakin lo? Gue butuh testi."
"Kak Hali sama pacarnya sekarang itu testi. Tapi kasian, sih Kak Thorn, dia nangis tujuh hari tujuh malam pas tau Kak Hali jadian sama crushnya dari jaman SMP."
"Parah lo, gimana jadinya kalo Thorn tau ternyata dibalik proses jadiannya Halilintar sama crushnya itu ada lo yang ngebantu. Padahal lo tau kalo Thorn udah lama suka sama dia dari zaman SMP."
"Ya makanya itu! Lo jangan cepu."
Kalau Thorn tau, Thorn langsung setel Traitor - Olivia Rodrigo, nyindir Solar. /heh
"Gimana? Mau gak gue bantu? Cukup sebut nama crush lo aja."
[Name] sedikit malu ketika Solar kembali menawarinya tawaran yang menarik. Habisnya, ia sudah lelah memandang mas crush dari jauh selama setahun.
Ia kesulitan membangun interaksi dengan mas crushnya itu, padahal satu kelas. Di kelas pun, paling interaksi juga cuma soal kerkel. Itupun kalau beruntung satu kelompok.
"T-tapi jangan ketawa pas gue sebut namanya! Gue gigit lo kalo ketawa."
"Zombie lo? Udah, ah, buru sebut aja."
Dengan malu-malu dan wajah diarahkan ke arah lain, [Name] menyebut nama crushnya.
"K-Kakakmu tadi, Taufan."
"KAN MONYEET LO SUKA SAMA KAKAK GUE."
"Bukan monyet gue yang suka sama Taufan, tapi gue...."
"Iya anjirr gue ngerti."
Flashback off.
Mengingat kembali awal mula ia mengambil langkah untuk lebih dekat dengan Taufan, rasanya [Name] malu sendiri. Apalagi, Solar orang pertama yang tahu dia menyukai Taufan waktu itu. Entah darimana Solar tahu.
Solar itu dulu satu-satunya teman [Name] yang minatnya sama. Jadi kalau ngobrol, sih nyambung aja. FYI aja, dulu Solar sempat kepincut [Name], tapi pas dia tahu [Name] itu sukanya sama kakaknya yang emang selalu bikin orang happy, yaa dia mundur.
Baginya, perempuan itu gak cuma satu. Move on itu bakal gampang kalau usaha. jadi buat apa dia sakit hati cuma karena [Name] suka sama kakaknya. Cukup tau dan mundur aja, biarin itu jadi rejeki kakaknya, pikirnya gitu, sih.
Walau sampai sekarang [Name] tak tahu jika Solar sempat memiliki perasaan padanya.
"Buun...."
Suara anak kecil membuyarkan lamunan [Name], segera [Name] menoleh ke sumber suara. Ada anak keduanya yang tengah memegang ujung dress rumahnya dengan wajah cemberut.
"Kenapa, Hali?"
"Hali mau main sama adek bayi ... tapi adek bayinya boboo. Huu, Hali juga mau kayak Kak Liung yang bisa main sama adek bayi."
[Name] terkekeh geli ketika anak keduanya menyampaikan keluh kesahnya padanya. Dia menyamakan tingginya dengan sang anak lalu mengelus kepalanya.
"Biarin adekmu bobo dulu. Dia susah bobo, loh. Bunda aja kewalahan bikin dia bobo."
"Tapi Hali mau main sama adek bayii."
Matanya mulai berlinang air mata, bibirnya semakin melengkung ke bawah. Menandakan bahwa bocah ini sudah mau mewek.
"Hali main sama Kak Liung dulu, ya?"
"Kak Liung ndak mau main sama Hali ... ndak ada yang mau main sama Halii! Huwaa!"
Bocah kecil itu memeluk bundanya dengan tubuh gemetar, air matanya tak bisa ia tahan lagi, akhirnya ia menangis juga.
"Cup, cup, cup. Hali gak main sama Papa?"
"Papa Upan juga ndak mau main sama Hali, katanya Papa lagi sibuk, kalo Hali ajak main sekalang, nanti Papa dimalahin Om Lintal. Hali ndak mau Papa dimalahin Om Lintal...."
"Hmm ... ya sudah! Main sama Bunda, deh. Hali mau main apa?"
Mendengar ucapan sang bunda, bocah kecil itu langsung mengelap bekas air matanya. Ia menatap bundanya dengan mata berbinar.
"Kalo sama Bunda, Hali mau dengel celita Papa Bunda waktu dulu lagi!"
Bocah itu langsung menarik tangan bundanya ke arah sofa. Ia mendudukkan pantatnya di atas sofa, lalu menyuruh bundanya untuk duduk di sampingnya.
"Halii mau denger cerita Papa Bunda gimana?"
"Papa pelnah bilang, Bunda dulu pemalu, mau ngoblol sama Papa aja malu!"
Oh, astaga, anaknya minta diceritakan zaman ia masih memerhatikan Taufan dari jauh.
"Bunda deket sama Papa dulu gimana? Kan katanya Bunda malu mau ngoblol sama Papa."
"Hum? Gimana, ya. Kayaknya waktu itu Bunda dibantu Om Solar, deh."
"Ih, kelen! Om Solal bikin Bunda sama Papa jadi deket! Hali mau kayak Om Solal juga."
"Loh, katanya mau kayak Om Lintar?"
"Ndak jadi. Yang itu cancel aja."
Walah. Setelah segala hal yang Halilintar berikan padamu, sekarang kamu mengkhianatinya, Hali?
[Name] tertawa, anaknya yang nomor dua ini memang sangat menggemaskan. Ia tak rela jika besarnya berwajah garang seperti Halilintar si kakak ipar.
"Ayoo celitain, Bundaa!"
"Iya-iya. Waktu itu Bunda...."
Flashback on.
"Lo satu kelas sama Kak Upan tapi hampir gak pernah ngobrol?"
[Name] mengangguk menanggapi Solar yang shock setelah mendengar bagaimana hubungannya dengan Taufan saat ini. Solar benar-benar tak menyangka jika [Name] hanya memerhatikan Taufan dari jauh saja. Benar-benar hanya sebatas itu.
"Topik dia itu ke mana-mana, Lar. Gue kalo denger dia cerita sama temen-temen nya aja pusing. Bayangin aja, awalnya bahas sapi tiba-tiba nyambung ke Pak Kepsek."
Solar tertawa, "justru itu ciri khas Kak Upan. Orang-orang, kan, nyaman sama Kak Upan salah satunya ya karena itu."
"Tapi kok gue malah pusing, ya?"
"Berarti lo yang kelainan."
Aduh, ingin [Name] memukul Solar sekarang juga. Tapi, niatnya itu ia urungkan ketika Solar berniat membantunya.
"Kenapa lo gak coba gabung aja tiap Kak Upan cerita ke temen-temennya? Kayak bersuara, menanggapi gitu. Dia gak sirkel-sirkelan, kan? Dia selalu cerita ke semua temen satu kelasnya. Jadi satu kelas tau ceritanya, buktinya lo aja tau."
"Ntar gue disangka aneh. Selama ini gak pernah bersuara, tiba-tiba bersuara."
"Lo dari awal memang aneh, sih."
Kan, ngajak gelud banget manusia satu ini.
"Kak Upan itu anaknya easy going banget, kok. Lo gak usah ragu-ragu dah [Name]. Lo mau SKSD juga nanti malah dia yang lebih SKSD. Percaya gue."
"Kata Hali, percaya lo itu syirik, sih."
"Anj―Halilintar lo-"
Tahan. Harus berbakti sebagai bungsu.
Flashback off.
"Jadi Bunda dulu deket banget, ya, sama Om Solal?"
"Enggak, sih. Om Solar lebih deket sama Istrinya. Bunda cuma ketemu Om Solar tiap istirahat aja atau pas di perpustakaan."
"Ughh sekalang masih deket?"
"Enggak juga ... kenapa memangnya?"
"Ndak boleh! Hali ndak suka Bunda deket sama yang lain selain sama Papa! Bundaaa cuma punyaa Papa, punya kitaaa."
"Ih, ngatur."
"Buunnnnd!"
[Name] tertawa sedikit kencang. Lucu sekali putranya ini. Sebenarnya jika ditanya, [Name] lebih suka menghabiskan waktu dengan siapa di rumah, jawabannya sama Hali. Bocah kecil itu penuh rasa penasaran yang membuat [Name] gemas. Ia juga selalu membuat [Name] bernostalgia karena rasa penasaran nya itu terkadang.
"Iya. Bunda punya kaliaan, sini, peluk dulu."
Hanya pada Hali ia seperti ini. Mungkin jika Taufan yang mengatakan hal seperti itu padanya, [Name] pasti malah melayangkan tinjuan atau marah karena malu.
"Halii sayang Bunda! Eh tapi, Hali penasalan, Bunda dekat sama Papa gimana? Intelaksi kalian beldua!"
Aduh, itu hal memalukan yang tak ingin [Name] ceritakan. Cukup Solar dan Taufan saja yang tau.
Waktu itu―
"Misi, Fan. Aku boleh duduk di sini? Kursi kantin lain penuh soalnya. Kamu cuma sendiri jadi y-ya...."
"Eh, kamu! Boleh, dong. Gak ada yang nempatin kok. Duduk aja."
Bohong sekali, padahal Gempa sudah nge-take tempatnya.
"Um, makasih."
Setelahnya, [Name] duduk di hadapan Taufan dengan [f/f] kesukaannya. Ini memang makanan kesukaan [Name] dari dulu.
"Maaf, padahal gak deket tapi minta satu meja kantin."
"Santai atuh, [Name]. Terus makannya pelan-pelan aja, jangan kayak dikejar apaan gitu. Gak usah ngerasa gak enak!"
"En-enggak! Aku makan cepet s-soalnya...."
"Soalnya?"
"Ya cepet aja makannya! A-aku gak enak sama kamu. Lagian sebenarnya aku duduk di sini juga―"
Ucapan [Name] terhenti. Ia terlalu gengsi untuk mengucapkan 'ingin dekat dengan Taufan.' ya, sedikit malu.
"Karenaaa?"
"Ss-sebenarnya...."
Aduh, malu, lah [Name]. Solar dari belakang pohon di belakang Taufan ngasih semangat, nyuruh [Name] keluarin kata lagi.
"Sebenarnya apa, [Name]?"
"Aa-ah, sebenarnya aku siluman badak..."
Tuh, kan. [Name] tak fokus karena gugup.
Detik itu juga, Solar berusaha menahan tawanya dari balik pohon. Begitu juga dengan Taufan, ah sudahlah, dicap aneh deh [Name].
"Keren ... siluman badak."
Mungkin [Name] mau bercanda dengan dirinya, setidaknya itu yang ada di pikiran Taufan. Walau harus ia akui ia tak paham kenapa tiba-tiba jadi badak.
Aduh, keinget lagi, kan! [Name] malu banget. Kenapa dirinya malah kepikiran badak di saat seperti itu, sih?
Sejak itu pula, nama kontaknya di ponsel Solar jadi "siluman badak".
________
Mba nem untung gak nt. Untung Taufan gak ngecap nem aneh setelah siluman badak 😔 untung berhasil jadi istri Taufan, ya, nem.
Gimana yang hari ini masuk sekolah? Apa kah kalian baik-baik sadjah.
See u rabu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro