01. papa upan
"Liung masih sakit, [Name]?"
Hari ini hari libur. Biasanya Taufan dan [Name] akan jalan mengelilingi kota dengan mobil namun karena putra mereka sakit, terpaksa mereka harus di rumah merawat sang putra.
"Masih. Jangan diganggu, nanti yang repot kamu sendiri ya mampus."
"Ih, padahal hari ini aku mau ajak kalian jalan. Lagian Liung baru enam bulan, kok bisa sakit, sih? Masa masih bayi udah sakit."
"Ya lo pikir bayi ga bisa sakit?"
Aduh, emosi, kan.
Taufan hanya menghela napas kasar. Telunjuk miliknya ia gunakan untuk menoel-noel pipi lembut milik Beliung.
"Kira-kira besarnya bakal kayak Kak Liung, gak, ya...."
Sedikit info. Ada dua Beliung disini. Beliung sepupu Taufan, dan Beliung anak Taufan.
Sengaja, ini karena permohonan Beliung saat wisuda. Kata Beliung, nanti kalo punya anak, tolong kasih nama yang sama kayak dia. Biar mirip dia gitu pas gede maksudnya.
"Enggak mau. Aku gak mau ya anakku jadi sadboy kayak Beliung."
"Ta-tapi! Kak Liung itu gambaran pria sejati!!"
[Name] lama-lama jadi berpikir, kenapa, sih, dia mau menikahi dan menyukai pria seperti Taufan? Cinta buta sih.
"Oh iya, Fan, omong-omong aku ada janji ketemu sama orang di butik. Jadi kalaupun Beliung sehat kita tetep gak bisa jalan, terus—"
"—iya, Upan mau, kok! Sini, Upan yang jagain Liung."
Belum selesai [Name] berbicaralah, Taufan sudah lebih dulu memotongnya dan mengambil alih Beliung yang ada di pelukan [Name] tadi.
[Name] ini walau seorang ibu, dia masih berkarir. Dia punya butik yang akhir-akhir ini lagi naik daun. Selain itu, [Name] juga ibu kost, loh.
[Name] yang ingin memiliki butik dan membuat kost-an itu didukung oleh suaminya, Taufan. Makanya sekarang ia sangat serius dalam dua hal itu, soalnya didukung pak suami.
"Jangan diapa-apain anakku."
"Anak kita, [Name]."
Sebelum [Name] benar-benar pergi untuk bersiap, Taufan memajukan wajah [Name] lalu mencium pipi dan keningnya pelan. Setelah itu baru deh ia lepaskan [Name].
"Nanti mau kujemput?"
"Aku pulang sendiri."
"Yaah, padahal Upan yang ganteng ini mau jemput Tuan Putri."
"Gak boleh. Kamu gak boleh jemput aku."
[ame] tak mau lagi jika Taufan menjemput dirinya ketika selesai janji temu.
Terakhir kali Taufan menjemputnya, Taufan datang sambil membawa buket bunga mawar, pokoknya yang sok romantis gitu, deh. [Name] jadi malu karena diliatin karyawan dan tamunya. Ditambah, dicie-ciein.
"Aku pergi, kamu harus jaga Liung."
"Iyaa, sweetie."
Taufan, pria berusia 22 tahun yang punya mimpi memiliki sebelas anak laki-laki—ya, walau saat ini baru memiliki satu, sih—hari ini dia akan merawat dan menjaga bayi yang sedang demam sendirian, dikarenakan sang istri yang memiliki janji temu.
Saatnya berubah menjadi papa Upan.
———— ✧ :-
"Awaewa ... hhhhwaaa uee! Mmmamamaa!"
Ketika membuka mata setelah tidur, Beliung melihat ke sekitar. Mencari keberadaan sang ibu, namun, hasilnya nihil. Ia tak bisa menemukan ibunya. Membuatnya menangis karena tak biasa bangun sendiri seperti ini.
Tangisan kecilnya itu terdengar di telinga Taufan yang sedang melihat-lihat desain buatan [Name] untuk butik nya. Langsung saja Taufan pergi ke arah asal suara tangisan dan mengangkat putranya.
"Haha~! Liung kaget karena enggak ada Mamaa? Hari ini, Liung sama Papa dulu, ya. Mama lagi ada janji! Liung mau apa? Liung haus? Laper? Cape? Atau apa?"
Pertanyaan-pertanyaan ia lontarkan pada bayi berusia enam bulan itu, hanya sekedar bicara saja. Taufan tahu jika Beliung tak akan paham.
"Liung kayaknya tidurnya enggak nyenyak karena lagi sakit, ya?"
Kayaknya karena kamu, sih, Pan.
Dia peluk anaknya sambil menepuk-nepuk pelan punggung mungil itu. Bermaksud menenangkan si anak yang masih terisak.
"Liung mau bobo lagi atau makan? Tapi kalo mau makan, Mamamu itu belum buatin bubur, sih. Jangan suruh Papa masak, Papa lagi males."
Hadeh, Upan.
"Udahlah, kamu tidur lagi aja."
Agak maksa gitu, ya.
Tepukan di punggung Beliung semakin keras, membuat sang empunya punggung terkejut dan kembali menangis karena sedikit kesakitan.
Oh, pelakunya pasti Papa Upan.
"Walah ... malah nangis."
Kalau sudah seperti ini. Taufan jadi panik. Takut-takut anaknya tak mau berhenti menangis hingga sang istri datang. Bisa-bisa dia diamuk istri.
"Emm, oh! Liung mau liat foto Papa Mama, gak? Sama foto Om Liung jaman dulu juga."
Masa bodo, mau Beliung kembali menangis atau tidak, Taufan tetap membawanya ke deretan album yang ada di samping televisi.
Matanya ia dekatkan sedikit, mencoba mencari album foto yang berisi tentang dirinya dan sang istri di masa kuliah.
Maaf, ya. Taufan itu saat kuliah lima puluh persen serius, lima puluh persennya lagi sibuk bucin. Gak beda jauh sama saudaranya yang nomor tujuh.
"Nah! Ini!"
Setelah mendapatkan yang ia mau, Taufan langsung membuka album tersebut dan memperlihatkannya kepada Beliung yang sudah mulai berhenti menangis.
Mata kecil Beliung nampak tertarik pada salah satu foto yang ditunjukkan ayahnya. Dia menunjuknya dengan jari mungilnya itu sambil meracau.
"... iks, mamammmaaaa."
"Ih, pinter! Kok Liung bisa tau itu Mama? Muka Mama masih sama kayak dulu, ya? Masih cantik, ya? Iya, dong. Siapa dulu suaminya? Papa Upan!"
"Nah, coba kalo yang ini. Papa yang mana?"
Itu foto mereka bertujuh saat jaman kuliah.
Di foto itu ada Halilintar yang sedang membaca buku di sofa rumah Tok Aba, lalu ada Taufan yang memegang kamera, Gempa yang masih memakai celemek—lalu, Blaze yang menyeret Ice karena Ice tidur. Oh, ada Thorn juga yang kotor habis berkebun, dan Solar yang sibuk dengan ponselnya.
Sejujurnya, saat melihat foto itu, Beliung jadi merasa pusing. Serasa ayahnya pecah tujuh.
Dengan asal, Beliung menunjuk Ice yang sedang diseret Blaze pada foto itu.
"Hahaha ... mirip, ya? Tapi itu bukan Papa. Itu Om Ice, apa karena sama-sama pake baju biru, ya, makanya Liung kira itu Papa?"
Sebenarnya Beliung tak begitu peduli yang mana ayahnya di album ini. Yang dia pedulikan hanya foto sang ibunda tercinta.
Bahkan, setiap ada foto [Name], Beliung langsung menunjuknya dan berkata,
"mmamaaaa!"
Pokoknya, Beliung senang saat ayahnya terus memperlihatkan foto ibunya jaman kuliah.
"... kamu giliran Mama aja tau, giliran disuruh cari yang mana Papa malah gak tau."
Taufan tersakiti.
———— ✧ :-
"Aku pulang,"
Seorang wanita yang sudah memiliki anak satu itu memasuki rumahnya. Lampu di dalam rumah masih menyala semua, kecuali kamar mereka.
Langsung saja [Name] menuju kamar mereka yang pintunya sedikit terbuka. "Taufan?"
"Oh, [Naaameee]! Akhirnya kamu pulang juga, Upan kangen tau! Liung juga kangen."
Pria yang merupakan suaminya itu turun dari ranjang, ia menghampiri sang istri lalu bergelayutan manja padanya.
Ih, harusnya, kan, [Name] yang seperti itu.
"Liung tidur?"
"Iya, baru aja. Huhu, susaah bikin Liung tidur, dia kenapa aktif banget, sih!?"
"Ya salahin Bapaknya."
"Kok aku!?"
"Kamu kayak ulet bulu, sih. Gak bisa diem."
"Iih! Tapi [Name] suka, kan?"
"Najis."
Taufan terkekeh mendengar respon istrinya, tak apa, sudah biasa dia. Tak usah dibawa ke hati.
"Dia udah makan?"
"Eum ... hehe, belum, tapi dia udah minum."
Aduh, dasar Taufan.
"Haish, kamu ini gimana, sih? Masa gak makan tapi minum?"
"Ya-Ya maaf, [Name]."
Suaminya itu sedikit memanyunkan bibirnya, ia langsung melepaskan sang istri dan menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Aku kan udah usaha...."
Puk.
Sebuah elusan di kepala dirasa oleh Taufan. Membuatnya mengangkat kepala dan mendapati istrinya yang tengah memberi elusan.
"Iya, ma-makasih udah jagain Liung hari ini. Maaf aku lama ninggalinnya, kamu jadi repot."
Aduh, Taufan bisa melihat rona merah yang hampir memenuhi wajah istrinya. Ditambah setelah berkata seperti itu sang istri langsung mengalihkan pandangannya dari dia.
"Hihii~ [Name] gak usah gengsi gitu, deh!"
Setelahnya, [Name] dipeluk erat oleh Taufan sampai susah bernapas.
"Thauffaan! Seshak. Leephasihn gghak!"
"Gaaak mauu, karena aku sayang [Name]!"
________
Sjshdusj harusnya ini di up kemarin, sih. Tapi aku ngerasa janggal kemarin, kayak ada yang kuraaang gitu.
Tapi akhirnya sampe sekarang aku gataw apa yang kurang 😔😔 yaudah di up aja.
Semangat buat yang ujian, dan selamat buat yang udah selesai ujian—shshs besok aku juga masih ujian si
See u, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro