Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Princess of Papaya (part 3)

REO nggak tahu setan jenis apa yang merasukinya hingga dirinya sanggup memuntahkan kata-kata ajakan nonton latihan klub kepada Aida beberapa hari lalu.

Dan Reo juga nggak nyangka bahwa Aida bakal menyanggupi.

Yang jelas, pagi ini Reo mendapati dirinya sudah tiba di parkiran SMA Bakti, pukul sepuluh kurang. Dengan bermodalkan mobil pinjaman dari ayahnya, dia menjemput Aida yang saat ini tengah duduk di kursi penumpang.

"Sori ya, tadi orangtua gue rada lebay pas lo dateng jemput." Aida meringis sementara mereka melepaskan sabuk pengaman.

Reo hanya tersenyum simpul, "Nggak papa. Bentar, gue keluarin kursi lo dulu."

Terus terang, seumur hidupnya Reo belum pernah bertemu dengan orang yang menderita kelumpuhan. Karena itu segala yang terjadi pagi ini benar-benar memaksa cowok itu keluar dari zona nyaman.

Reo menurunkan kursi roda dan memposisikannya persis di samping pintu penumpang, lalu dia menegakkan diri.

"Erm... pegangan sama gue nggak papa?" Reo menawarkan lengannya pada Aida.

Aida tersenyum tulus, "Makasih ya."

Setelah berhasil membantu Aida turun dengan memegangi kedua lengan cewek itu dan sukses mendudukkannya di atas kursi roda, Reo menutup pintu mobil dan mendorong kursi roda Aida menuju ke dalam sekolah.

"Reo, bentar." Aida menyentuh tangan Reo yang tengah memegang dorongan kursi, membuat mereka berhenti.

"Kenapa?"

Dari belakang sini, Reo nggak bisa melihat bagaimana ekspresi Aida sekarang. Tetapi dia bisa melihat kedua tangan cewek itu terkepal tegang di pangkuannya.

"Gue... nervous."

Reo mengulum senyum. Dia menepuk pundak Aida lembut untuk menghilangkan ketegangannya.

"Tenang aja. Nggak bakal ada yang berani macem-macem sama si Perawan Tua."

Mendengar itu, tawa Aida pecah. Ketika cewek itu akhirnya mengangguk, Reo kembali mendorong kursi rodanya. Sepanjang lorong yang sepi, Aida mengadakan 'temu kangen' dengan beberapa staf sekolah yang mengenalinya. Dan ketika sampai di ruang klub lari, terjadi kegemparan begitu seisi kelas menyambut mereka dengan riuh.

"KAK AIDA!!!" beberapa junior yang mengenali Aida berlarian menghampirinya dan mengerubunginya antusias.

"Reo?" Mike berjalan menghampiri mereka, menatap Reo dan Aida bergantian dengan ternganga, "K-Kak Aida? Kok...? Gimana...?"

"Kangen sama klub lari. Diajak ketua kalian buat nonton latihan persiapan maraton hari ini, boleh nggak?" tanya Aida mencairkan suasana.

"Boleh banget, Kak!" suara sahutan riuh dari para junior kelas sepuluh terdengar. Tasya menghampiri kakak sepupunya dengan mata berkaca-kaca dan berlutut untuk memeluknya.

"Kangen banget liat lo di sekolah, Kak." isaknya di pundak Aida.

"Hush, pagi-pagi udah cengeng aja!" Aida tertawa renyah seraya mengelus-elus pundak Tasya. Setelah saling melepaskan pelukan, Aida menatap sekeliling dan bertanya, "Nggak ada kelas dua belasnya ya?"

"Nggak, Kak. Kelas dua belas udah nggak boleh aktif klub lagi karena mesti fokus UAS. Jadi pengurusnya kami-kami ini kelas sebelas." Mike merangkul Reo, yang merasa risih dan menyingkirkan lengan cowok itu dari pundaknya.

"Oke, karena sekarang udah kumpul semua, kita mulai latihan keliling sekolah." Reo memulai arahan. "Start-nya dari lapangan basket, kayak biasa, dan finish-nya di deket taman. Yang jadi timer hari ini--"

"Kak Reo sama Kak Aida!!!" Vika dan beberapa junior lainnya berteriak kompak.

Reo mengernyit, "Kenapa jadi gue lagi? Kan kemaren lusa gue udah--"

"Yang setuju angkat tangan." potong Mike nggak sopan dan semua orang langsung mengangkat tangannya dengan muka-muka bersekongkol. Sementara Aida hanya tertawa.

Maka, setelah selesai memimpin pemanasan setengah jam kemudian, Reo bersama Aida sudah duduk bersebelahan di pos mereka di taman, persis di bawah pohon rindang untuk menghindari sengatan matahari pagi yang cukup silau. Aida siaga dengan stopwatch di ponselnya, sementara Reo yang bertugas mencatat waktu untuk memantau perkembangan kecepatan lari tiap-tiap anggota.

Karena masih butuh cukup banyak loop bagi para anggota untuk mencapai jarak tujuh kilometer, Reo dan Aida hanya duduk-duduk santai untuk saat ini.

Reo diam-diam mengamati Aida, yang tampak begitu menikmati momen ini. Matanya tak berhenti menyusuri sudut-sudut sekolah dengan tatapan berbinar, terkadang dari bibirnya terlontar komentar-komentar terhadap hal-hal yang berubah dari nyaris setahun yang lalu. Ring basket yang diperbarui. Cat pintu dan jendela kelas-kelas yang warnanya berubah. Tembok belakang yang semakin hijau dengan adanya tanaman rambat...

Kemudian ketika mata cewek itu beralih kepada Reo, cowok itu buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Reo, makasih ya." tiba-tiba Aida bergumam.

"Buat?"

"Udah ngajak gue ke sini. Bisa liat sekolah ini lagi. Bisa liat anak-anak klub lari. Jadi pengen balik ke masa lalu deh, hahaha..."

Selama ini, Reo terkenal akan sifatnya yang nggak peka. Tetapi nyatanya, cowok itu masih mampu menangkap nada sendu yang terselip dalam suara Aida barusan. Dia berusaha keras mengabaikannya, tetapi gagal total.

"Masa lalu nggak bisa diubah." Reo menanggapi lugas.

Aida tersenyum pahit, "Iya. Sayang, ya."

Reo memandangi ujung-ujung sepatunya, "Kita cuma bisa berusaha sebaik mungkin di masa ini."

Selama beberapa saat, tidak ada yang bersuara. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan di atas mereka, suara kerikil beradu dengan aspal lapangan saat tertiup angin, dan samar-samar nyanyian para anggota paduan suara dari arah dalam gedung sekolah.

Akhirnya, Reo memberanikan diri menoleh menatap Aida, yang ternyata tengah memandanginya dengan sorot tak terbaca.

Keduanya hanya saling bertatapan selama beberapa detik, hingga akhirnya, sebuah senyuman lebar merekah di wajah Aida, nyaris menyaingi cerahnya mentari pagi di langit di atas mereka.

Aida mengangguk sumringah, dan nada suaranya saat mengucapkan perkataan selanjutnya terdengar tak tergoyahkan.

"Berusaha untuk masa ini."

🍹

Kamis malam, seminggu kemudian. Bunyi dentingan ponsel memecahkan fokus Reo dari acara televisi yang tengah disaksikannya dari sofa di rumahnya.

Halo, Mulut Tega.

Reo langsung terduduk tegak. Dia.

Halo, Perawan Tua.

Reo menunggu balasan dengan jantung berdegup tak karuan. Ada yang salah dengan jantungnya. Kayaknya dia harus check-up ke dokter.

Gw udh minta izin sm ortu. Mereka bolehin gw nonton lomba maraton hr Sabtu bsk.

Kepalan tangan Reo meninju udara. Yes!

Satu chat lagi datang dari Aida.

Berangkatnya gw dianter tetangga yg punya mobil. Dia jg mau nonton lomba bareng keluarganya. Ortu gw nyusul pake motor krn mesti ngurus warung dulu paginya.

Reo membalas cepat.

Ok. Tp gw bawa mobil bokap jd pulangnya gw yg anter lo.

Ting!

Oh. Makasih ya :)

Reo membalas lagi.

;)

Sent.

Reo mengutuk dirinya sendiri. Rasanya dia kepingin menghapus balasannya yang idih itu. Tapi sudah terlanjur terbaca.

Tak lama, sebuah chat dari Mike tiba.

Gmn? Sabtu dia bisa?

Ini anak kayak dukun, pas banget timingnya, batin Reo takjub sembari membalas.

Yup. Stick to the plan.

Ting!

Ok, gw woro2 ke yg lain, termasuk Pak Wandi.

Ting!

Gw pernah blg ga sih, biarpun lo ngeselin, gw bangga punya ketua macem lo di klub?

Reo memutar bola mata, walaupun tak mampu membendung cengiran puas yang terkembang di wajahnya.

🍹

Hari Sabtu akhirnya tiba.

Perlombaan maraton pendek berlangsung dengan cukup lancar. Sekitar seratus orang berpartisipasi dalam lomba. Staf-staf keamanan dan kesehatan ditempatkan di titik-titik strategis, sementara sisanya berkumpul di lapangan sepak bola SMA Bakti yang digunakan sebagai titik start dan finish. Kios-kios makanan dan minuman pun didirikan di area sekolah. Bahkan tim pemandu sorak dan marching band SMA Bakti ikut memeriahkan suasana dengan menyuguhkan atraksi dan penampilan untuk menyemangati para peserta maraton.

Saat ini, Reo telah mendahului nyaris seluruh anggota klub lari dan hanya beberapa orang yang berada di depannya. Dia sudah memasuki kawasan perumahan dekat perkebunan pepaya, dan ketika melintasi warung jus yang digantungi tulisan 'TUTUP', dirinya merasa ganjil. Dia tahu cewek cepol itu tengah menunggu bersama yang lainnya di lapangan sekolah, namun tetap saja, melihat warung itu kosong tanpa kehadiran seseorang yang begitu... signifikan, membuatnya merasakan sensasi kesepian yang aneh.

Reo menggeleng-geleng. Fokus.

Perlombaan berlangsung sekitar dua setengah jam, hingga seluruh peserta berhasil mencapai titik finish. Reo berhasil meraih posisi ketiga, sementara Tasya, tak diduga-duga menyusulnya dengan posisi kelima. Sementara Mike cukup jauh tertinggal di belakang. Dia meraih posisi ke dua puluh satu.

Kepala sekolah SMA Bakti, Lurah setempat, serta beberapa perwakilan dari yayasan amal anak yatim memberi selamat kepada para pemenang maraton dan memberikan hadiah-hadiah. Sementara itu, kotak amal diedarkan untuk orang-orang yang lebih muda dan para pelajar, sementara yang lebih tua dibagikan formulir-formulir untuk diisi bila berminat menyumbang.

Setelah berhasil meloloskan diri dari teman-temannya yang memberi ucapan dan tepukan selamat, Reo mengedarkan pandangan ke seantero lapangan. Dia akhirnya menemukan puncak cepol cewek itu berada di balik kios minuman, agak tertutupi dispenser-dispenser sirup aneka warna yang dijajakan tim konsumsi.

Sembari mengamati dari jauh, Reo terkekeh pelan karena menyadari betapa familiarnya dirinya terhadap pemandangan itu; si cepol yang duduk di balik dispenser minuman.

Cowok itu menghampiri Aida dan menepuk bahunya, membuatnya menoleh kaget.

"Reo!" senyuman cerah seketika tersungging di bibirnya, "Selamat dapet juara ketiga, Pak Ketua!"

"Trims." kata Reo, "Ke depan panggung, yuk. Bentar lagi Pak Wandi mau pidato penutupan."

Kali ini, Aida menolak ketika Reo hendak mendorong kursi rodanya dari belakang. Reo berjalan pelan di samping Aida sementara cewek itu mengendalikan sendiri kursinya. Menurut Aida, dia tak punya banyak kesempatan untuk melakukannya sendiri selama berada di area publik karena orang-orang bersikeras membantunya setiap saat.

Ketika tiba di arena depan panggung--mereka berada di barisan paling belakang--tiba-tiba Aida menyeletuk.

"Re."

"Hm?"

"Gue mau ngasih hadiah buat lo."

Reo menunduk menatap cewek itu bingung, "Hadiah?"

Aida merogoh ke dalam tas selempang kecil di pangkuannya dan mengeluarkan sebuah medali. Namun, medali itu tidak tampak seperti medali biasa. Itu seperti medali yang dibuat khusus.

"Ini medali kejuaraan lari yang pertama kali gue menangin." jelas Aida, merentangkannya di depannya, "Gue kasih ini sebagai hadiah kemenangan lo hari ini."

Reo tak sanggup berkata-kata.

Dia ngasih benda sepenting itu ke gue?

"Tapi itu--"

"Buat lo." putus Aida pendek.

Di leher Reo saat ini sudah terkalung medali juara tiga yang tadi diberikan oleh Bapak Lurah. Tetapi dia sama sekali nggak keberatan menutupinya dengan medali milik Aida. Malah, dia bangga.

Aida meminta Reo untuk menunduk sedikit agar dia bisa mengalungkan medali itu ke lehernya, tetapi tanpa ragu Reo langsung separuh berlutut di hadapan Aida.

"Apaan sih!" desis Aida panik sambil celingukan, takut mereka dilihat orang. "Kayak ksatria mau dilantik aja..."

Reo hanya menatap cewek itu sambil menyunggingkan cengiran kecil, menunggu.

Akhirnya Aida mengalungkan medalinya ke leher Reo. Reo mengamat-amati medali yang unik itu. Dan yang membuatnya terperangah, ada bordiran huruf-huruf biru membentuk nama 'REO' yang dijahit rapi di talinya.

"Ini custom-made?" tanyanya penasaran.

"Medalinya asli, talinya aja yang gue ganti. Soalnya tali aslinya udah jelek." Aida mengakui malu, "Disimpen ya."

Reo mendongak, nyengir. "Pasti. Makasih, Aida."

Aida balas menatapnya dan tersenyum. Entah kenapa tampak agak berkaca-kaca, "Sama-sama, Reo."

Momen itu berakhir ketika suara pengeras suara terdengar dari arah panggung. Pak Wandi memulai pidato untuk menutup acara maraton hari ini sembari memberi selamat sekali lagi kepada para pemenang. Kemudian, setelah bertukar pandang penuh arti dengan Reo dan Mike dari atas panggung, pria itu menambahkan.

"Satu hal lagi yang ingin saya sampaikan. Hari ini kita kedatangan tamu spesial. Dia adalah mantan murid saya dan mantan ketua ekskul lari di SMA Bakti. Semuanya, kenalkan, saudari Aida di belakang sana."

Tepuk tangan terdengar riuh dari para penonton, terutama dari semua anggota klub lari. Orang-orang yang berada di barisan di depan mereka berbalik menghadap Aida, yang tampak kaget dan merona karena mendadak seluruh perhatian terpusat padanya.

"Pak Wandi ngapain, sih?" Aida menggumam risih seraya menarik-narik ujung kaus yang dikenakan Reo, sementara cowok itu hanya mengangkat bahu sambil berusaha menahan senyuman.

"Dari pandangan saya sebagai mantan gurunya, Nak Aida adalah siswi yang tegas dan... agak galak. Terutama waktu dia saya percayakan tugas sebagai ketua klub lari. Nggak ada yang berani membantah. Dan kayaknya bakat alaminya itu menurun ke ketua yang sekarang." Pak Wandi mengedip pada Reo, yang merasa tengkuknya terbakar, sementara anak-anak klub lari menertawainya.

"Sejujurnya, saya merasa terpukul ketika dulu Nak Aida memberitahukan keputusannya untuk tidak meneruskan sekolah, dan mengundurkan diri dari jabatan ketua klub. Saya menghormati keputusan Aida dan keluarganya.

"Tetapi, baru-baru ini saya merasa tersentuh karena ternyata bukan hanya saya yang ingin Nak Aida kembali bersekolah. Bahwa ternyata, sangat banyak yang peduli terhadap Nak Aida. Seorang anak binaan saya di klub lari mendatangi saya dan merencanakan ini." Pak Wandi lagi-lagi memberi tatapan penuh arti kepada Reo, "Maka saya merundingkannya dengan berbagai pihak. Teman-teman sekelas Aida dulu. Para guru. Kepala sekolah dan Dinas Pendidikan... dan hasilnya, dengan bangga kami mengumumkan bahwa sekolah sanggup menyediakan program khusus bagi Nak Aida kapanpun dia siap untuk kembali ke SMA Bakti. Serta, kami siap melakukan penyesuaian dalam berbagai aspek sehingga penyandang disabilitas tidak perlu takut maupun ragu untuk mengenyam pendidikan publik.

"Juga, berkat bantuan donatur sekolah, sponsor, dan kerja sama dengan pihak-pihak penyelenggara acara ini, kami ingin memberikan hadiah kepada Nak Aida, yaitu program terapi penyembuhan cedera tulang belakang gratis yang bisa diikuti Nak Aida mulai tahun ini."

Entah siapa yang lebih terlihat terguncang saat ini, Aida atau orangtuanya. Kedua orangtua Aida berlari memeluk anak perempuannya dengan wajah banjir airmata, sementara Aida sendiri hanya mematung syok di kursi rodanya, memandangi Pak Wandi di panggung dengan sorot tak percaya. Pak Wandi mengangguk kepada Aida dari balik microphone seraya tersenyum lebar, dan akhirnya berkata, "Dengan demikian, saya nyatakan bahwa acara maraton amal tahun ini telah resmi ditutup! Selamat siang semuanya!"

Setelah itu, mantan teman-teman sekelas Aida berbondong-bondong keluar dari dalam gedung sekolah untuk memberi kejutan. Reo terpaksa mengalah dan menyingkir sejenak dari sisi Aida yang saat ini tengah dikerubungi teman-teman yang peduli dan menyayanginya. Dari jauh, Reo bisa melihat tangis bahagia Aida melalui celah-celah kerumunan.

Angin berhembus kencang, memporak-porandakan puncak rambut Reo. Cowok itu menunduk dan menggenggam erat medali pemberian Aida yang terkalung di lehernya, mengamat-amatinya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Reo merasa bahagia sekaligus puas karena menganggap dirinya telah meraih sebuah pencapaian besar. Bukan soal medali juara ketiga-nya, tetapi karena dia mampu berkontribusi terhadap sesuatu yang berarti untuk orang lain.

Dan untuk pertama kalinya pula, dia merasa bahwa keputusannya untuk mencicipi jus pepaya yang dijajakan seorang cewek berambut cepol di sebuah warung, adalah keputusan terbaik dalam hidupnya.

THE END


TMI:

- Aida menjalani sesi terapinya dengan rajin. Walaupun dia tahu kemungkinan dirinya dapat kembali berjalan dan berlari dengan normal sangatlah kecil, Aida tidak membiarkan hal itu menyurutkan semangatnya.

- Prospek Aida kembali ke sekolah membuat warga SMA Bakti begitu bersemangat. Para orangtua murid ikut membantu dengan memberi sumbangan demi meningkatkan fasilitas sekolah, dan Kepala Sekolah memberi tahu keluarga Aida bahwa hanya dalam beberapa bulan lagi, Aida sudah bisa kembali datang ke SMA Bakti seperti dulu.

- Sejak perlombaan maraton, setiap pulang sekolah, Reo selalu menyempatkan diri untuk mampir ke warung jus Aida. Reo pun heran sendiri dengan kelakuannya. Apakah demi jus pepaya? Sampai-sampai dia mencoba membuat jus pepaya sendiri di rumahnya, yang berujung kekecewaan semata karena rasanya jauh berbeda dari jus warung Aida.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro