9
Giana menghela napas pelan. Ia mendongak guna melihat langit kelam tanpa bintang yang sekelam hatinya saat ini. Kembali lagi helaan napas panjang ia embuskan.
Seukir senyum tipis tertarik dari kedua sudut bibirnya. "Malam. Kalian apa kabar? Aku harap kalian baik-baik aja di sana. Kalian keberatan gak kalau aku pengen hidup bebas? Gak boleh, ya? Pasti gak boleh, ya?"
Desahan panjang dikeluarkan dari bibir tipis itu. Kepala yang semula mendongak, kini pun telah tertunduk lesu. Air mata menggenang di kedua sudutnya. Hatinya sesak. Ingin rasanya ia berteriak, tetapi ia tak bisa karena tak ingin dilaporkan ke pihak berwajib karena telah mengganggu ketertiban umum.
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Giana. Giana segera menoleh dengan harapan tangan tersebut merupakan tangan milik Gilang. Akan tetapi, harapannya harus terjun bebas ke dalan dasar jurang. Yang menepuk bahunya barusan adalah Calvint.
"Ya, Pak?" tanya Giana sopan.
"Butuh tempat cerita?" tanya Calvint ringan. Ia tahu banyak hal yang mengganggu pikiran anggotanya itu. "Kali ini, ada apa? Jangan katakan masalah perkuliahan! Karna setahu saya kamu sudah tamat dan diwisuda tahun kemarin," seloroh Calvint sambil tertawa kecil.
Giana menatap Calvint ragu. Bukan ragu pada Calvint karena takut rahasianya akan bocor, tapi ia ragu apakah ia boleh menceritakannya pada Calvint ataukah tidak. Selama ini, memang Calvintlah tempat ia bercerita dan mengambil solusi. Calvint bukan hanya sosok atasan bagi Giana, tapi juga sosok ayah dan kakak yang tak pernah dimiliki olehnya.
"Bolehkah?" lirih Giana meragu.
Calvint tertawa. "Tentu saja boleh. Bukankah sudah saya katakan sebelumnya? Jika di luar masalah pekerjaan, kamu boleh anggap saya sebagai kakak kamu."
Giana masih ragu. Bolehkah ia menceritakan kegundahan hatinya pada sang atasan? Pantaskah ia curhat kepada atasannya mengenai kegalauan hatinya?
"Sudahlah! Ayo!" Calvint menyeret Giana menuju mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan sedang menuju sebuah cafe yang lumayan sepi dan nyaman. Keduanya segera berjalan menuju meja di pojok.
"Nasi goreng seafood dua, lemon tea dua," pesan Calvint pada pramusaji yang menanyakan pesanan mereka. Setelah si pramusaji mengulangi pesanan dan diangguki oleh keduanya, pramusaji tersebut pun pergi meninggalkan keduanya.
Giana menatap Calvint tenang, walau dalam hatinya ia gugup sekali. Ia merasa, tatapan yang ditujukan Calvint padanya adalah tatapan seorang ayah yang tengah menegur sang anak yang baru saja berbuat salah. Giana berdeham, membersihkan tenggorokannya. "Jadi ...."
"Permisi, pesanannya. Nasi goreng seafood dua, lemon tea dua? Benar?" Seorang pramusaji pria menatap Giana dan Calvint secara bergantian dan segera diangguki keduanya. Pramusaji tersebut menurunkan dua piring nasi goreng dan dua gelas lemon tea.
"Terima kasih," ucap Giana sopan.
Pramusaji tersebut tersenyum dan mengangguk ramah. "Silakan dinikmati. Jika ada lagi yang ingin dipesan, silakan panggil saja lagi."
"Jadi ...." Sekali lagi ucapan Giana dipotong. Akan tetapi kali ini oleh Calvint.
"Makan dulu aja. Saya sudah lapar," ucapnya sembari menyendokkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Selama lima belas menit lamanya, keduanya makan dalam keadaan tenang. Tak ada satu pun dari mereka yang memulai perbincangan.
"Kenyang? Kalau gak, pesan aja lagi," canda Calvint ringan setelah Giana menyilangkan sendok dan garpunya, serta menyeruput lemon tea-nya hingga setengah.
"Kenyang, kok. Kenyang," ucap Giana cepat.
"Jadi ... itu ... tidak, tidak ada apa-apa." Giana menunduk dengan tangan yang saling meremas. Ia menyesali dirinya yang tadi menuruti Calvint untuk makan terlebih dahulu karena kini rasanya makanan tersebut tengah berlomba-lomba untuk mendesak keluar.
Calvint tersenyum lembut. Ia tahu betul bahwa saat ini Giana tengah berperang melawan diri sendiri antara ingin mengatakan hal yang menganggunya ataukah tidak. Ia sadar betul posisinya sebagai atasan Giana yang membuat gadis itu sungkan. Akan tetapi, jika gadis itu terus bungkam seperti ini dan malah berpotensi merusak kinerjanya, ia tak bisa membiarkannya begitu saja. Walau ia tahu, Giana bukanlah tipe orang yang mencampur adukkan masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Tetap saja ia masih khawatir.
"Menurut kamu, kinerja Bayu selama satu setengah bulan belakangan ini bagaimana?" Calvint memulai percakapan dengan topik yang dipikirnya ringan.
Giana mengerjap, "Maaf, Pak?" tanyanya karena tak yakin dengan pendengarannya.
"Menurut kamu, kinerja Bayu selama satu setengah bulan belakangan ini bagaimana?" ulang Calvint tenang.
Giana mengangguk, "Baik, Pak. Dia cepat tanggap, rajin, cekatan, mau menerima masukkan, kreatif, dan tidak pasif. Tapi ..., Pak." Giana terdiam, ia terlihat ragu dengan ucapan yang akan dilontarkannya.
Calvint mengangkat alisnya penasaran, "Tapi?"
Giana meremas tangannya dan menatap Calvint penuh tanya, "Apakah nantinya Bayu akan menjabat sebagai direktur di perusahaan?"
"Tentu saja. Anak Pak Hendrawan kan cuma Bayu seorang. Dan tujuan Bayu magang di divisi kita karena ia sedang dididik untuk menjadi direktur perusahaan," jawab Calvint tegas.
Giana menatap Calvint khawatir. "Nah! Itu masalahnya, Pak."
Lagi-lagi Calvint mengangkat alisnya heran. Keningnya juga berkerut dalam. "Masalahnya? Di mana? Di dia anak Pak Hendrawan atau dia magang di divisi kita?"
Giana menggeleng pelan. Mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertutup kembali karena keraguan meliputi dirinya.
Calvint menghela napas panjang, "Katakan saja, Giana. Di mana masalahnya? Biar kita bisa menyarankannya untuk memperbaiki hal tersebut."
"Bayu gak cocok jadi pemimpin karena gak pernah ngambil keputusan sendiri, dia hanya mengikuti keputusan yang diputuskan oleh orang lain," ucap Giana cepat.
Calvint terbahak keras membuat Giana menatapnya ngeri. "Ternyata begitu penilaian kamu? Yah, sebenarnya penilaian kamu gak sepenuhnya salah, sih. Mungkin dia itu sudah terbiasa ikut dengan keputusan orang tuanya."
Giana mengangguk, lalu membuka mulutnya dan segera disela oleh Calvint, "Bukan maksud saya Pak Hendrawan dan istrinya adalah tukang ngatur. Tapi karena sejak kecil, Bayu tak pernah menunjukkan minatnya pada apapun jadi Pak Hendrawan dan istrinya membantu mengarahkan Bayu. Dan Bayu tak pernah menolak, entah karena ia merasa tak boleh menolaknya atau karena dia memang menyukainya. Saya tidak tahu."
Giana sekali lagi mengangguk paham. Kemudian seolah tersadar dari sesuatu, ia pun bertanya dengan heran. "Kenapa Bapak bisa tahu banyak tentang keluarga Pak Hendrawan seolah-olah Bapak melihat semua kejadian itu dengan mata kepala Bapak sendiri?"
Calvint mengangguk-anggukkan kepalanya seperti mainan kucing yang sering bertengger di dashboard mobil. Ia tersenyum senang. Ia memang harus mengacungi jempol pada ketelitian yang dimiliki oleh Giana. "Ya, karena saya memang melihat dengan mata kepala saya sendiri."
Giana terdiam. Otaknya berusaha mencerna informasi yang disampaikan oleh Calvint barusan. Calvint melihat tumbuh kembangnya Bayu dengan mata kepala sendiri? Apa maksudnya itu?
Otak Giana mulai memproses segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kedua matanya terbelalak kaget saat sebuah alasan yang dikiranya masuk akal melintas di dalam benaknya.
"Bapak anak Pak Hendrawan juga?"
--------------------------
1036.29042020
Apa ini? Haduh. Makin lama makin kacau aja ya?
Maapkan.
Eh, btw kemaren pas di-update gak lengkap ya??
Baru sempat ngecek tadi sore..
Maapkan kecerobohanku..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro