7
Bayu terdiam di tempatnya duduk. Ia memutar otaknya cepat, mengulangi setiap adegan yang baru saja terjadi. Ia tak merasa ada yang salah dengan perkataannya. Akan tetapi, kenapa Giana begitu marah?
"Tunggu!" Mata Bayu membulat seolah mengingat sesuatu yang penting.
"Ada batas yang gak boleh kamu lewati kalau masih ingin tetap menjadi teman," gumamnya mengulangi kalimat terakhir Giana sebelum hengkang dari tempatnya sembari mengusap dagunya dengan jari telunjuknya.
Keningnya berkerut dalam. Otaknya bekerja cepat memikirkan segala kemungkinan yang ada. "Apa maksudnya itu? Apa gue kelewatan? Tapi sepertinya enggak, deh. Ya, sudah lah. Nanti gue minta maaf aja."
Pemuda itu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah gontai menuju gedung perkantorannya. Saat memasuki gedung, ia menyapa satpam dan resepsionis yang ia kenal dan juga beberapa kenalannya yang juga baru sampai. Begitu sampai di ruangannya, ia segera melangkah mantap menuju kubikel Giana.
"Loh?" serunya heran saat mendapati kubikel Giana tak berpenghuni.
Ditolehkan kepalanya ke arah kanan dan ditoelnya wanita yang duduk santai sembari menyumpal telinganya dengan earphone. "Kak, Giana ke mana?"
Sierra mendongak, menatap Bayu sejenak sebelum melongokkan kepalanya ke dalam kubikel Giana. "Eh? Kok tumben belum datang? Tapi UPS sama printer udah idup, kok. Harusnya udah datang. Mungkin di toilet."
"Mungkin aja," gumam Bayu sembari berpikir, "thanks, Kak. Gue balik dulu kalau gitu," lanjutnya sambil menepuk pelan pundak Sierra.
Lima belas menit lagi sudah mau jam delapan tepat. Namun, Giana yang sudah ia tunggu lima menit lamanya tak kunjung kembali ke kubikel. Jangankan orangnya, tas yang tadinya ada di sana bahkan sekarang sudah lenyap tak bersisa. Bayu menjadi semakin gelisah.
Bayu melirik jam di tangannya, lalu menatap nyalang kubikel Giana yang masih kosong. Tiga menit menuju jam delapan, tetapi pemilik dari kubikel itu belum kembali. Ia yakin sekali kalau Giana sudah sempat sampai di kantor bahkan sudah sampai di kubikelnya karena tas ransel milik Giana telah raib.
"Bay, lo udah belajar sampai mana? Kerjaan lo masih ada, 'kan?"
Bayu sedikit kaget saat suara Haykal menginterupsi pemikirannya mengenai Giana. Detik selanjutnya, Bayu menatap Haykal heran. "Masih, tapi kenapa lo tanya, Kak?"
"Giana gak kasih tau lo kalau hari ini dia gak masuk?" tanya Haykal tanpa menjawab pertanyaan Bayu.
Kerutan di dahi Bayu semakin dalam. "Giana? Gak masuk?" ulangnya heran. Jelas-jelas tadi Giana sarapan bersamanya dan mereka terlibat perdebatan. Akan tetapi, sekarang Haykal bilang Giana tidak masuk? Kalau tidak masuk, yang tadi pagi itu siapa? Setannya Giana?
"Iya. Giana gak masuk. Tadi dia permisi pulang sama Pak Calvint. Udah. Lo kerjain aja kerjaan lo dulu. Kalau ada yang gak lo ngerti, lo boleh tanya gue. Kalau gak mau tanya gue, lo boleh langsung tanya ke Pak Calvint," jelas Haykal, lalu kembali duduk di kubikelnya.
"Kenapa?" gumam Bayu tak mengerti. Setelah berpikir cukup lama dan tak menemukan jawabannya, Bayu memilih mempercepat kerjanya agar bisa pulang tepat jam lima sore. Kemudian ia akan langsung ke rumah Giana.
**
Giana meringkuk di atas ranjangnya dililit oleh selimut tebal. Di wajahnya terdapat bekas air mata yang masih belum mengering. Sementara itu, di lengan kanan yang terjulur keluar-tidak terbalut selimut-terdapat bekas gerosan-goresan dan juga bekas darah yang mulai mengering.
Giana mengerang saat suara gedoran pintu mengganggu tidurnya. Gadis itu merenggangkan tubuhnya, lalu menendang-nendangkan kakinya kesal. Tak pernah ia mendapatkan tamu setaksabaran itu.
Kesal bercampur malas. Giana menjejakkan kakinya keras ke lantai, lalu berjalan menuju ruang tamu. "Siapa?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Gia! Lo gak papa?" Gedoran di pintu terhenti dan digantikan suara bass bernada cemas.
"Saya tidak apa-apa. Kamu pulang saja," ucap Giana tegas membuat Bayu tersentak.
"Lo abis nangis." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Giana terdiam. Ia mengikis jaraknya dengan pintu dan bersandar padanya. "Kamu pulang aja. Aku gak papa. Tolong!" pintanya lemah.
Bayu terdiam. Ia menyentuh pintu itu lembut seolah pintu itu adalah wajah Giana. Ia menggangguk pelan. "Oke. Kalau ada apa-apa, hubungi gue. Gue bakal datang ke sini secepat yang gue bisa. Ngerti?"
Giana menenggelamkan wajahnya di lipatan kakinya. "Iya. Besok aku masuk kerja."
Bayu menatap pintu itu nanar. Jemarinya yang masih menyentuh lembut pintu itu, ia kepalkan. Ia tak tahu apa yang terjadi dan ia juga sangat penasaran. Hatinya memintanya mendobrak pintu itu, lalu mengecek sendiri keadaan Giana. Namun, logikanya memerintahnya untuk mengikuti kemauan gadis itu agar gadis itu tak semakin tersakiti.
"Oke. Gue pulang. Jangan lupa makan, Gi! Ingat! Kalau ada apa-apa lo harus telepon gue, " pamitnya. Bayu membalikkan tubuhnya dan melangkah berat menjauhi pintu tersebut. Begitu kakinya melangkah tiga langkah, ia membalikkan badannya dan menatap rindu pintu rumah Giana. Ia terus melakukan hal tersebut hingga pintu rumah Giana tak terlihat.
Bayu pulang ke rumah dengan setengah nyawa. Ia membersihkan diri dan makan di ruang makan dalam keadaan linglung. Bahkan beberapa kali ia menabrak tembok yang menjadi sekat setiap ruangan.
"Bayu? Kamu kenapa, Nak?" Suara keibuan nan lembut membelai indra pendengaran Bayu dan menariknya ke Bumi.
"Gak papa, Ma," balas Bayu sembari tersenyum manis.
Marie-ibu Bayu-tersenyum hangat. Ia berjalan menuju putranya dan merangkul putranya hangat. "Aduh! Anak mama udah main rahasia-rahasiaan, ya, sekarang? Udah gak temenan lagi, ya, sama mama?" goda sang ibu sembari mengusap pucuk kepala putranya lembut.
Bayu langsung panik. Ia menggenggam tangan sang ibu erat dan menatap netra coklat terang itu dengan rasa bersalah. "Bukan gitu, Ma. Bayu emang gak papa. Lagian, Mama ngomong apa, sih? Mama bakal selalu jadi Mama dan juga sahabat terbaik Bayu. Sampai kapan pun."
Lengan kekar itu dililitkan di sekitar pinggang Marie dan disandarkan kepalanya di perut Marie. Namun, belum semenit ia berada di posisi itu, pelukan itu diurai paksa oleh lengan kekar lainnya.
"Bayu, kalau mau manja-manjaan, cari istri aja sana! Jangan manja-manjaan sama mama. Mama punya Papa, tau?" omel Hendrawan sembari menarik istrinya ke pelukannya.
"Ih! Papa gak tau malu, ih! Masa cemburu sama anak sendiri?" ledek Bayu. Lidahnya ia julurkan ke arah sang ayah sambil menarik kembali sang ibu ke pelukannya.
Marie tertawa senang. Ia menatap dua prianya dengan tatapan lembut. "Ah! Papa! Masa udah tua cemburu sama anak sendiri?"
Bayu semakin mempererat pelukannya pada Marie saat mendengar pembelaan tersebut. "Tuh! Denger kata mama, Pa," ucapnya membuat sang ayah dongkol.
"Iya. Udah. Lagian kamu kenapa? Hmm? Ada masalah di kantor? Ada kerjaan yang kamu gak bisa? Atau rekan kerjanya yang gak baik?" tanya Hendrawan mengalihkan topik-lebih tepatnya, mengembalikan ke topik utama.
Bayu mengusap tengkuknya pelan. "Gak papa. Gak ada masalah di kantor, kerjaannya gampang, rekan kerjanya juga baik."
Marie menepuk pundak Bayu pelan hingga Bayu melepaskan pelukannya. "Oh! Ini pasti masalah cewek,"-Marie bertepuk tangan senang, "ya, 'kan, Pa?" tanya Marie pada Hendrawan, meminta persetujuan.
"Pasti! Gak ada yang lain lagi," ucap Hendrawan yakin.
"Bukan!" serunya cepat, terlalu cepat hingga membuat kedua orangtuanya terkekeh senang. Bayu sontak menolak menatap kedua orangtuanya.
"Salah tingkah dia, Ma," ucap Hendrawan semakin gencar menggoda putranya.
"Lihat, Ma! Telinganya merah. Malu dia, Ma." Semakin lama, Hendrawan semakin menjadi.
Bayu yang tak tahu harus bagaimana pun memilih meninggalkan ruang keluarga hingga membuat Hendrawan dan Marie tertawa puas.
"Mau ke mana kamu, Nak?" tanya Marie lembut menghentikan acara kabur Bayu.
"Kamar, Ma," jawab Bayu setelah membalikkan badannya dan menatap Marie. Sejak kecil, ia diajarkan agar selalu menatap lawan bicaranya saat berbicara karena begitu lebih sopan.
"Kabur?" goda Hendrawan membuat Bayu jengah.
"Kabur apaan, sih, Pa? Bayu mau ngerjain makalah buat tugas mata kuliah pengendalian mutu," elak Bayu.
"Udah jelas kabur, malah bilang mau kerjain tugas. Sini dulu. Cerita-cerita. Mama-Papa kan pengen tahu cerita cinta kamu," ucap Hendrawan tegas hingga Bayu tak lagi bisa kabur.
Bayu kembali duduk di tempatnya tadi. Di hadapan sang ayah dan di sebelah sang ibu. Ia menceritakan kejadian tadi pagi mengenai dirinya dan juga Giana. Ia juga mengungkapkan dirinya yang masih belum mengerti di mana letak kesalahannya.
"Bayu, pasti ada alasannya dia bersikap seperti itu. Semua orang punya cerita masing-masing. Kamu juga, Giana juga. Bisa saja cerita di balik tinggal sendirinya Giana merupakan hal yang sensitif bagi Giana. Jadi, kalau dia gak mau cerita. Jangan dipaksa! Nanti pasti ada waktunya dia bakal cerita ke kamu," ucap Marie bijak.
Setelah mendapat respon dari sang mama, kini perasaannya menjadi lebih baik. Senyum Bayu merekah. Ia menyesali keputusannya yang tak mau cerita lebih awal pada sang mama. "Iya, Ma. Makasih, ya, Ma," ucap Bayu tulus.
Hendrawan berdeham membuat perhatian ibu dan anak itu tertuju padanya. "Mama doang yang dibilangin makasih? Papanya gak?" Terselip nada cemburu di balik pertanyaan yang diucapkan sedatar mungkin itu.
"Emang Papa ngapain sampai perlu dibilangin terima kasih?" tanya Bayu sok polos.
Hendrawan mendengus. "Jadi? Kamu udah ketemu sama gadismu itu?" Lagi-lagi Hendrawan mengalihkan topik. Itu memang kebiasaannya di rumah saat sudah kalah debat dengan sang anak.
"Siapa? Eca?" tanya Bayu balik.
"Iya. Itu. Udah?" Hendrawan menatap Bayu penasaran.
Bayu terdiam. Ia menatap Hendrawan tenang dan menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Butuh bantuan? Papa bisa tanya ke ibu panti kalau kamu mau," tawar Hendrawan yang langsung ditolak oleh sang putra tanpa perlu berpikir.
"Gak usah, Pa. Bayu gak mau ngerepotin Papa. Biar Bayu cari sendiri aja. Bayu naik ke kamar, ya?" tanpa menunggu jawaban dari kedua orangtuanya, Bayu segera melenggang menuju kamarnya.
"Maaf, Pa. Bukan belum ketemu, tapi dianya gak mau ditemui," gumam Bayu sebelum menutup matanya dan terbang menuju ke alam sebelah.
------------------
1524.22042020
Ihiy..
Panjang..
Tapi gak jelas jadinya..
Maapkan daku yak..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro