6
"Mau pulang bareng gak?"
Giana menoleh dan mendapati Haykal tengah menatapnya bimbang. Giana menimbang sejenak, ia tahu ada yang ingin disampaikan pemuda itu. Akhirnya ia pun mengangguk lemah.
"Ayo! Aku tahu kakak mau tanya sesuatu, 'kan? Kita ngobrolnya di rumah makan dekat sini aja, ya? Gak usah nganter pulang," putus Giana sebelum mereka mulai jalan.
"Ah, iya. Gimana kalau kita makan di cafe depan kantor aja?" Haykal menyerahkan helm pada Giana.
Giana menatap ragu helm tersebut. "Tempat yang mau kita datangi jauh, ya, Kak?"
Haykal mendongak. Ia terdiam sejenak, lalu menggaruk kepalanya. "Hmm ... gak, sih. Lo gak mau naik motor, ya?"
"Bukan. Bukan gitu. Cuma nanya aja, kok." Giana menyambar helm tersebut, lalu naik ke motor setelah memakainya.
Giana segera memimpin jalan menuju pojokan cafe yang tak banyak dilirik oleh orang. Haykal mengekor dengan tenang walau hatinya saat ini tengah bergemuruh. Otaknya ribut menyusun kata-kata yang akan diucapkannya pada gadis itu.
"Mau pesan sekarang atau nanti saja, Mas, Mbak?" Seorang pelayan memecahkan keributan dalam otak Haykal.
"Hot Choco satu,"-Giana menyerahkan menu pada pelayan wanita itu, lalu beralih ke Haykal,-"Kak Haykal mau pesen apa?"
"Lo gak makan, Gi?" tanya Haykal balik.
"Gak. Aku gak lapar," balas Giana datar.
"Mocha latte satu, Mbak," ucap Haykal kemudian menyerahkan menu pada pelayan.
Pelayan itu tersenyum ramah dan mengangguk paham, "Baik. Saya ulangi pesanannya, ya? Hot choco satu, mocha latte satu. Ada lagi?"
Giana menggeleng, "Itu aja, Mbak. Terima kasih."
"Jadi? Kakak mau ngomong apa?" tanya Giana langsung.
Haykal hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu bahwa gadis itu tak mau berbasa-basi dan lebih suka langsung menuju intinya saja. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, menenangkan detak jantungnya yang mendadak menggila.
"Maaf. Ini pesanan kalian. Silakan dinikmati." Segelas hot choco dan mocha latte diletakkan di hadapan mereka membuat Haykal menghela napas lega sejenak. Ia masih bisa mengulur waktu.
Haykal menyeruput mocha latte-nya. "Hmm ... jadi ...."
Giana mendongakkan kepalanya. Matanya menatap Haykal dengan sorot serius. "Apa?" tanyanya saat Haykal terdiam lima menit lamanya.
"Oh. Itu ... gue ...," ucap Haykal terbata. Ia melarikan pandangannya dari tatapan serius Giana. Ia merasa akan gila saat menatap wajah polos yang serius itu. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang malah seperti orang bodoh di depan Giana.
Padahal banyak sekali yang ingin dikatakan olehnya. Apakah Giana mau jadi pacarnya? Siapa lelaki yang mengantarnya pulang kemarin? Kenapa ia bisa tersenyum pada lelaki itu, tapi tidak pada yang lain?
"Kak Haykal sebenarnya mau ngomong apa gak, sih?" Giana geram. Pasalnya sudah satu jam berlalu, bahkan minum mereka berdua juga sudah habis. Akan tetapi, Haykal masih sibuk bergumam sendiri. Lelaki itu bahkan selalu menghindari tatapannya.
"Kalau gak mau ngomong, lebih baik aku pergi aja. Selamat malam!" Giana beranjak dari kursinya setelah menunggu lima belas menit lamanya tanpa hasil.
"Kamu mau gak jadi pacarku?" lirih Haykal sembari menatap punggung kecil itu nanar. Ia mengacak rambutnya frustrasi.
"Ah! Bodoh! Cuma gitu doang masa gak bisa ngomong? Percuma punya banyak temen, tapi sekalinya mau ngomong gak bisa. Tolol lo, Kal," omelnya pada diri sendiri sembari beranjak dari kursinya untuk membayar pesanannya.
"Giana!"
"Gilang!" serunya tanpa sadar. Senyum manis pun terukir di wajahnya walau hanya sebentar. Binar senang menghiasi mata sipitnya. Ia berdiri di tempat tanpa menoleh, menunggu pemuda itu menghampirinya.
Dari jauh, Haykal melihat adegan itu. Hati Haykal terasa tercubit saat melihat binar senang Giana yang disebabkan oleh lelaki selain dirinya. Ia menatap pemuda ber-hoodie hitam itu iri. Ia sangat ingin berganti tempat dengan pemuda itu.
"Ngapain lo di sini?" tanya Giana saat pemuda itu ada di hadapannya.
"Jemput lo," ucap pemuda itu santai. Tangannya merangkul bahu Giana dengan gerakan yang alami, seolah ia sudah sering melakukan hal tersebut.
"Hah?" Giana mengangkat wajahnya. Memberikan tatapan heran pada Gilang. Gadis itu menyadari lengan Gilang yang telah bertengger sempurna di bahunya. Walau begitu, ia tak memprotesnya sama sekali. Entah mengapa, ia merasa senang.
"Iya, jemput lo. Gue anter lo pulang. Naik bus tapi," jelas pemuda itu sembari mengacak rambut Giana mesra.
Giana yang biasa tak suka disentuh orang hanya bisa diam terpaku. Entah terpesona pada ucapan pemuda itu atau merasa senang akan tangan hangat yang mengusap pucuk kepalanya.
"Lo gak suka?" tanya Gilang saat tak mendapat respon apapun.
Giana menggeleng. "Aneh!"
Gilang berhenti dan menatap Giana heran, "Apanya yang aneh? Gue aneh?"
Giana terkekeh pelan. "Rasanya aneh aja kalau ada yang jemput gue. Oh! Dan lo juga aneh. Kenapa harus pake topi, masker, sama hoodie hitam? Lo jadi kelihatan kayak teroris tau gak?"
Gilang tersenyum. Ia menyadari Giana tengah mengalihkan pembicaraan.
"Biarin. Anggap aja ini ciri khas gue. Jadi kalau lo ketemu gue di mana aja, lo bisa tau kalau itu gue," balasnya enteng.
"Ciri khas lo? Ciri khas maling, iya!" ejek Giana sembari menatap ke depan.
"Gi, lo tinggal sendiri?"
Giana mengangguk.
"Udah berapa lama?" tanya Gilang hati-hati.
Giana mematung. "Hmm ... berapa lama, ya? Lima tahun? Enam tahun? Gue gak ingat."
Gilang mengangguk tanda mengerti, lalu keduanya berjalan berdampingan menuju halte dalam diam. Saat di dalam bus pun keduanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Begitu juga saat berjalan menuju rumah Giana.
"Makasih. Hati-hati pulangnya. Good night. Sweet dream," ucap Giana sesaat sebelum menutup pintu.
Gilang mengangguk pelan. "Iya. Good night. Sweet dream."
***
"Pagi, Gi!" sapa Bayu ceria, tetapi tak direspon oleh Giana.
Ia menundukkan kepalanya dan menatap wajah Giana. Alisnya bertaut saat melihat mata Giana mengawang. Gadis itu memang berdiri di sebelahnya menunggu lift, tetapi roh gadis itu seolah tak di sana.
"Gi?" panggil Bayu sembari melambaikan tangannya di depan wajah Giana. Lagi-lagi gadis itu tak memberi respon.
"Uwaa!" seru Giana kaget saat merasakan tepukan pelan di bahunya.
"Oh, udah sadar?" tanya Bayu datar.
Giana mendelik, "Dari tadi juga sadar, kok."
"Iya, sadar. Matanya aja kebuka. Rohnya entah di mana," ejek Bayu. Pemuda itu berjalan menuju UPS dan menghidupkannya. Kemudian menghidupkan printer dan komputernya sendiri.
Giana yang kembali dalam mode melamun malah mematikan UPS hingga printer dan komputer milik Bayu mati.
"Giana!" geram Bayu kesal, "lo kenapa, sih? Baru dateng juga udah error aja."
"Hah? Apa yang error? Komputer kamu error?" tanya Giana tak mengerti.
Bayu menghela napas panjang. Sabar. "Otak lo, Gia. Otak lo yang error. UPS-nya udah idup, malah lo matiin. Gue panggil-panggil bukannya jawab, malah bengong. Lo tuh kenapa, sih?"
"Gak! Aku gak apa. Maaf. Biar aku hidupin lagi," ucap Giana, lalu menghidupkan kembali UPS.
Bayu menghadang Giana yang hendak duduk. "Ikut gue. Kayaknya lo belum sarapan, makanya otak lo error. Atau lo ada masalah? Lo bisa kok cerita-cerita ke gue."
Giana diseret ke restoran cepat saji yang ada di depan kantor tanpa persetujuan. Gadis itu didudukkan di salah satu meja di pojok ruangan. Tak berapa lama, Bayu duduk di sana sembari mengantarkan dua gelas kopi dan dua potong sandwich.
"Lo kenapa? Gak tidur?" tanya Bayu setelah memperhatikan kembali wajah Giana. Kantong mata hitam gadis itu terlihat sangat jelas. Mata gadis itu bahkan berwarna merah seakan belum terpejam sama sekali.
Giana menyesap kopinya, lalu menggeleng pelan. "Gak."
"Hah? Maksudnya gimana? Emang kenapa lo tinggal sendirian?" tanya Bayu penasaran.
Giana mendongak. Ia menatap Bayu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati dan pikirannya berkecamuk saat ini. "Dari mana kamu tau?"
"Lo sendiri yang tanya barusan. 'Udah berapa lama aku hidup sendiri?' itu yang lo tanya ke gue tadi," jelas Bayu kalem, "jadi? Kenapa lo hidup sendiri? Cerita aja. Kita kan teman," lanjutnya santai.
Giana menggebrak meja dengan keras. Beruntung cafe tengah sepi sehingga tak banyak pasang mata yang menatap mereka penasaran.
"Ada batas yang gak boleh kamu lewati kalau masih ingin tetap menjadi teman," ucap Giana marah sebelum meninggalkan cafe tersebut dengan langkah lebar.
--------------------------
1260.18042020
Huaaaaa
Apa ini???
Makin ke sini kok rasanya makin aneh, ya??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro