Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

"Woi! Gi, lo gak tau, ya, peraturan kantor yang gak bolehin bawa masuk orang luar?" tanya Siska sinis.

Giana menggertakkan giginya geram. Tangannya mengepal kuat. Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam, berusaha menekan emosinya. Ketika membuka mata, dilihatnya Bayu telah berdiri di hadapan Siska.

"Bayu! Stop! Jangan membuat masalah sebelum hari pertamamu dimulai!" cegah Giana sebelum pemuda itu meluncurkan kalimat-kalimat aneh yang akan merugikan dirinya maupun pemuda itu sendiri.

Kemudian, Giana mengalihkan pandangannya pada Siska. "Maaf, Kak. Tapi dia bukan orang luar. Perkenalkan dia adalah ...."

"Jangan ada yang tahu kalau anaknya Pak Hendrawan magang di divisi kita." Ucapan Calvint beberapa hari yang lalu terngiang kembali sebelum Giana sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Perkenalkan, saya Bayu. Senin depan saya akan masuk ke divisi ini sebagai karyawan magang. Mohon bantuannya, Kak Siska." Bayu tersenyum manis.

Siska menatap Bayu dengan intens. Tentu saja, wajah tampan Bayu bukanlah sesuatu yang bisa ditolak oleh kaum hawa begitu saja. Sebuah senyum manis dilengkungkan wanita bersurai coklat terang itu. "Ah, iya. Halo, Bayu. Kalau nanti pas magang ada masalah, cari aku aja, ya," pintanya sembari mengedipkan sebelah matanya genit.

"Jangan sama Siska, sama aku aja," timpal Desi sembari menyodorkan tangannya. Senyum menggoda kedua wanita yang berusia akhir duapuluhan itu hanya dibalas dengan senyum sopan dan anggukan kepala.

Giana menatap kedua wanita itu heran. Setitik rasa dongkol terselip di hatinya. Kedua wanita itu bisa langsung akrab dengan Bayu yang bahkan belum mereka temui selama setengah jam, tetapi pada dirinya yang sudah kedua wanita itu temui selama lima tahun malah bersikap sinis.

"Dasar genit!"

Tubuh Giana sekaku batu saat mendengar umpatan tersebut. Tidak! Ia tak bermaksud mengucapkannya dengan keras. Namun saat sebuah suara tawa menggelitik indra pendengarannya, ia sadar bahwa suara itu bukanlah miliknya.

"Kaku banget mukanya! Haha. Pasti bener, 'kan? Kamu ngumpatin mereka 'dasar genit' dalam hatimu?"

Giana menoleh, menatap Bayu datar. Ia membuka mulutnya dan menutupnya kembali. Mau disangkal juga percuma karena apa yang dikatakan pemuda itu benar adanya. Pada akhirnya ia hanya bertanya, "Sejelas itukah?"

Bayu tertawa lepas, lalu menggeleng pelan. "Tidak. Tidak juga. Bisa dibilang, kamu menyembunyikannya dengan baik. Tapi ...."

Giana berhenti melangkah dan menatap Bayu dengan alis terangkat. "Tapi apa?"

"Bukan apa-apa." Bayu menggeleng pelan.

Keduanya berhenti di persimpangan lorong. "Kalau ke jalan ke kiri kamu bakal nemuin kantor direksi, lalu ada lift khusus untuk menuju ke ruangan Pak Hendrawan. Karyawan biasa seperti saya tidak boleh masuk ke sana. Lalu kalau ke arah kanan ada lift buat menuju ke bawah," jelas Giana mengakhiri tour singkat mereka di pagi itu.

"Apakah kamu ada pertanyaan?" Giana menatap Bayu dan menunggu dengan sabar.

"Jika tidak ada, maka tour singkat hari ini sudah selesai. Kalau begitu, saya permisi," pamit gadis itu.

Baru saja ia hendak melangkah, lengannya ditahan oleh Bayu. Giana berbalik dan menatap Bayu dengan alis terangkat, "Ya?"

Bayu diam. Ia menatap Giana dengan tatapan yang tak dimengerti oleh gadis itu. Bayu membuka mulutnya untuk kemudian ditutup kembali.

"Jika tidak ada yang ingin kamu sampaikan, saya akan pergi. Maaf, pekerjaan saya masih banyak." Giana melepaskan pegangan Bayu pada lengannya.

"Maaf. Silakan," ucap Bayu seolah baru kembali dari belahan dunia lainnya.

Giana segera menuju ruangan divisi akuntansi dan disambut dengan tatapan penasaran dari rekan-rekan kerjanya yang lain.

"Jadi?" tanya Sierra saat Giana baru saja mendaratkan bokongnya pada kursi empuknya.

Giana mendongak dan menatap Sierra tak mengerti, "Maksud, Kakak?"

Sierra berdecak kesal. "Siapa pemuda tampan tadi? Dia akan mulai magang di sini, ya? Mahasiswa, ya? Mahasiswa mana? Tapi, kok, kayaknya kamu perhatian banget ke dia? Kamu ada hubungan sama dia? Oh! Apa dia pacar kamu?"

Diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak disangka seperti itu membuat Giana kehabisan kata-kata.

"Ra, kalau tanya itu satu-satu," tegur Haykal, "lihat! Gia sampe bingung jawab pertanyaan kamu saking banyaknya," lanjutnya lagi. Walau Haykal tak berdiri di depan kubikel Giana seperti Sierra, tapi tak dapat dipungkiri bahwa ia sangat penasaran dengan pemuda barusan.

"Eum ... namanya Bayu. Iya, Senin nanti dia mulai magang. Iya. Gak tau, tapi sepertinya perguruan tinggi swasta. Karena saya yang bertanggung jawab untuk mengajarinya nanti. Hanya sebatas rekan kerja. Bukan," jawab Giana lempeng membuat Sierra kecewa.

"Kamu, nih, gak seru," cibir Sierra sebelum meninggalkan Giana yang hanya bisa geleng-gelang kepala.

***

Giana menatap langit malam yang walau tanpa bintang terlihat cerah. "Aku gak mau pulang,"
desahnya sambil berjalan lesu.

"Hei! Kita bertemu lagi." Sebuah tepukan kecil mendarat di pundak Giana hingga membuat gadis itu terlonjak kaget.

"Ah! Aku kira jantungku sudah copot dari tempatnya," keluh Giana sembari menatap tajam pemuda ber-hoodie hitam itu.

"Gak mungkin! Buktinya lo masih baik-baik saja sekarang. Cuma sedikit kaget gak akan membuat jantung lo copot," ucap pemuda itu kalem.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Giana dengan nada yang dinaikkan.

"Nungguin lo."

Langkah Giana terhenti, begitu juga pemuda itu. Giana menoleh dan menatap pemuda itu tak percaya. "Buat apa?" tanyanya sembari meningkatkan kewaspadaannya.

"Ngawal lo pulang. Udah malam soalnya. Kali aja lo gak lihat pintu yang terbuka lagi," ledek pemuda itu membuat Giana malu setengah mati. Wajahnya memerah hingga ke telinga.

"Tidak usah meledek! Itu semua gara-gara kamu." Nada suara Giana bergetar akibat rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubun.

"Gue gak ngeledek. Gue cuma ngungkapin kekhawatiran gue," balas pemuda itu kalem, "udah makan?" lanjutnya lagi.

"Belum," jawab Giana spontan.

"Ayo! Kita makan yang enak." Pemuda itu menarik tangan Giana tanpa persetujuannya sama sekali. Setelah berjalan selama sepuluh menit lamanya, mereka berhenti di sebuah warung makan yang menjual bakso.

"Rupanya ada warung bakso di dekat sini," ucap Giana sembari mengangguk senang.

"Pak, Baksonya satu. Teh manis dinginnya satu," pesan pemuda itu membuat Giana segera menatapnya.

"Kok cuma satu?" tanya Giana begitu ia dipaksa duduk di sudut ruangan.

"Karna yang makan cuma satu orang," jawab pemuda itu enteng.

Begitu bakso tersebut sampai di atas meja, pemuda itu menyodorkan mangkok tersebut ke hadapan Giana. "Makan!" titahnya membuat Giana tanpa sadar menurutinya.

"Kamu?"

"Gue udah makan tadi," jawab pemuda itu sembari menatap Giana yang makan dengan lahap. Di balik masker hitam yang digunakannya, seulas senyum tipis terukir manis di bibirnya.

"Ini, Pak. Terima kasih." Giana segera menyodorkan uangnya sebelum pemuda itu membayarnya.

"Kan aku yang makan. Jadi harus aku yang bayar, bukan kamu." Begitulah jawaban Giana saat pemuda itu memprotes aksi Giana.

"Terima kasih," ucap Giana tulus begitu mereka sampai di depan rumahnya.

"Masuklah. Gue bakal pergi begitu lo masuk," ucap pemuda itu saat melihat Giana masih berdiri di depan pintu.

"... kamu ...?" gumam Giana tak jelas membuat pemuda itu menunduk dan mendekatkan telinganya pada Giana.

Giana mendorong pemuda itu lantaran kaget. Terlalu dekat! Giana bahkan bisa mencium aroma sampo pemuda itu.

"Kenapa di dorong?" Pemuda itu berdecak kesal.

"Terlalu dekat," gumam Giana sembari menetralkan detak jantungnya yang mendadak menggila.

"Makanya, kalau ngomong jangan kumur-kumur. Lo mau ngomong apa tadi?" Pemuda itu bersidekap sambil menatap lurus pada Giana yang tengah menunduk.

"Nama?" ucap Giana cepat dengan suara yang sangat kecil.

"Hah? Apaan?" Lagi-lagi pemuda itu mendekat ke arah Giana dan segera ditahan oleh gadis itu.

"Nama!" bentak Giana tanpa sadar membuat tawa pemuda itu menyembur tak terkendali.

"Lo belum pernah nanya nama orang apa gimana? Mau nanya nama aja udah macam mau ngajak perang," cemooh pemuda itu membuat Giana menyesali keputusannya.

Giana hanya merasa tak enak jika ia tak mengetahui nama pemuda itu. Saat melihat sinar jail di netra hitam itu, Giana teringat suatu hal. "Giana," ucapnya pelan membuat alis pemuda itu terangkat tinggi.

"Namaku Giana. Maaf atas ketidak sopananku. Aku lupa memperkenalkan diri," jelasnya saat ia mengira pemuda itu tak mengerti. Namun begitu menangkap sinar geli di netra hitam itu, lagi-lagi Giana menyesali keputusannya.

Tak mau menanggung malu lebih jauh lagi, Giana segera membuka pintu dan membantingnya tepat di wajah pemuda itu. Ia tak peduli jika pemuda itu menganggapnya tak sopan atau apapun. Ia hanya ingin menyelamatkan mukanya saja saat ini.

"Gilang!"

Senyum kecil terbit di wajah Giana. Walau suara bass itu tak begitu keras, ia bisa menangkapnya dengan jelas.

"Gilang," gumam Giana sembari menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya.

------------------------
1320.11042020
Halo! Apa kabar kalian? Masih sanggup baca?
Makasih, ya.
Jangan lupa mampir ke series yang lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro