Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 (End)

Sabtu, hari di mana masalah ini akan selesai atau bahkan menjadi tambah rusak. Bayu bangun pagi-pagi sekali dan segera bersiap-siap. Tak lupa ia menelepon Giana untuk mengingatkan gadis itu kembali janji mereka. Sejujurnya, Bayu amat sangat gugup saat ini.

Ia tahu beberapa hari belakangan Giana menjadi lebih dingin padanya, tetapi ia tak tahu apa alasannya—entah gadis itu sudah mengetahui hal ini atau firasat gadis itu sangat tajam. Bayu tak tahu dan lebih memilih menutup mata atas hal ini. Ia hanya bisa berharap bahwa urusan ini akan benar-benar terselesaikan tanpa meninggalkan satu pun ganjalan di antara mereka berdua.

"Ma, Pa, Bayu berangkat," pamitnya ada Hendrawan dan Marie yang tengah bersenda gurau di taman belakang. Sepasang suami istri paruh baya itu menoleh dan menatap Bayu lembut. Marie melambaikan tangan meminta Bayu agar mendekat.

Marie meraih tubuh Bayu ke dalam pelukannya. "Nak, apapun yang terjadi nanti. Ingatlah! Kalian hanya boleh ambil keputusan saat kalian berkepala dingin. Nanti, kalau Giana butuh teman antar ke sini, ya. Jangan antar dia ke kontrakannya. Kamu paham?" bisiknya lembut sambil mengelus punggung putranya.

Bayu mengangguk. Ia mempererat pelukan tersebut. Hangat dan nyaman hingga membuat perasaannya menjadi tenang. "Makasih, Ma." Bayu mengecup pipi Marie dan kembali memeluknya erat.

"Semangat, Boy! Kamu anak Papa yang membanggakan. Papa percaya sama kamu. Menangkan hati calon menantu Papa yang manis itu, ya." Hendrawan menepuk bahu Bayu sembari menatapnya hangat.

"Iya, Pa. Semoga hubunganku dan Elsa gak semakin runyam," balas Bayu penuh harap. Kemudian, ia berlalu dari hadapan sepasang suami istri tersebut.

Bayu mengendarai mobilnya membelah jalanan akhir minggu yang cukup padat. Perjalanannya memakan waktu lebih lama setengah jam dari biasanya. Ia sampai di kontrakan Giana dan mengetuk pintu kayu berwarna coklat itu pelan. "Ca?"

Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dan menampilkan Giana dengan penampilan santainya. Kaos longgar berwarna hitam dilapisi kardigan berwarna serupa, serta celana jeans hitam dan dipadukan dengan sneakers berwarna biru dongker. Bayu tertegun melihat gaya berbusana Giana yang seolah akan pergi ke pemakaman.

"Kamu siap?" tanya Bayu sembari memamerkan senyum manisnya.

Giana mengangguk pelan. "Ya. Kita mau ke mana memangnya?"

Bayu menggenggam tangan Giana erat dan menuntunnya menuju mobil. Ia membukakan pintu penumpang dan menutupnya setelah Giana masuk. Lalu, berlari kecil menuju pintu pengemudi dan masuk ke dalam.

"Kita akan pergi ke luar kota sebentar. Ada yang harus kamu lihat," ucap Bayu setenang mungkin. Hanya itu saja percakapan mereka sepanjang perjalanan. Tak ada lagi yang berniat membuka mulut. Masing-masing dari mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga mereka sampai di tempat tujuan. Rumah Sakit Kanker Maria.

Giana menoleh dan menatap Bayu penuh tanda tanya. Ia memutar otaknya mencari tahu apa yang harus ia lihat di sini. Apakah yang harus ia lihat adalah tunangan Bayu yang tengah sekarat? Ataukah seorang dokter atau perawat yang tengah menjalin hubungan dengan Bayu? Atau ia disuruh melihat bangunan rumah sakit ini agar bisa membangun satu yang sama? Entahlah, ia tak tahu sama sekali. Otaknya macet.

Giana tak tahu dan sama sekali tak mengerti. Ia hanya mengekori Bayu yang tak mengatakan apapun dan hanya menggenggam tangannya dengan erat. Dalam genggaman itu, ia bisa merasakan perasaan cemas, takut, dan gelisah milik Bayu. Hal tersebut menular padanya. Mereka berdua berhenti di sebuah kamar bernomor 502.

"Dia ada di sini. Kamu mau masuk sendiri atau mau aku temani?" Giana menatap Bayu penuh tanya saat mendengar kalimat pertama yang meluncur dari bibir Bayu selama lima jam terakhir.

Giana menimbang. Ia tak tahu ada apa atau siapa di dalam sana. Akan tetapi, perasaannya mengatakan bahwa lebih baik ia masuk ke dalam sendiri saja. "Sendiri aja," putusnya. Saat hendak masuk, Giana merasakan keengganan Bayu melepasnya. Genggaman tangan Bayu mengerat dan Bayu terlihat ingin menariknya agar segera pergi dari sana. Ia tak tahu mengapa, tetapi ia hanya bisa memberikan Bayu senyuman menenangkan saja sembari mengelus punggung tangan pemuda tersebut lembut.

Ia sudah jauh-jauh datang ke sini dan ia harus melihat apa yang membuat Bayu ketakutan selama seminggu belakangan. Pintu putih itu Giana geser pelan hingga menimbulkan bunyi 'srek'. Entah mengapa, perasaan Giana mendadak kacau. Tiba-tiba, ia merasa ingin berbalik dan pulang saja. Akan tetapi, kakinya tetap melangkah masuk. Begitu ia menutup pintu dan berbalik menghadap brankar.

Kaki Giana melemas dan tubuhnya gemetar tanpa bisa dikendalikan. Napasnya memburu. Ia merasa sesak. Tangannya yang gemetar merogoh ke dalam tas kecil miliknya dengan terburu-buru. Saat tangannya menggenggam botol tersebut, ia mengeluarkannya dengan cepat dan buru-buru menuangkan isinya ke atas tangan. Dua butir. Ia menelan obat penenang itu.

Setengah jam berlalu, napasnya menjadi lebih tenang. Kini ia pun bisa melihat dengan lebih jelas bahwa pria paruh bayaitu tengah berbaring tak berdaya dengan berbagai selang yang menempel di tubuhnya. Pelan tapi pasti, ia mendekati pria paruh baya tersebut. Matanya sekilas melirik papan nama pasien. Handoko Gianto.

Tangannya gemetar. Ia menggigit bibirnya keras. Dia, pria itu, pria yang selalu pulang dalam keadaan mabuk dan memukuli mereka bertiga tanpa ampun. Pria yang selalu ia anggap menakutkan. Kini, pria itu terbaring lemah tak berdaya. Bahkan untuk melayangkan satu pukulan saja, Giana tahu bahwa pria itu sulit melakukannya.

"Elsa?" Suara itu terdengar begitu lemah. Giana menoleh dan menatap wajah yang biasanya terlihat murka itu. Kini wajah yang sudah mulai berkeriput itu terlihat penuh penyesalan. Air mata menetes dari kedua sudut matanya.

"Elsa? Kamu Elsa, 'kan? Putriku." Sebuah isakan lolos dari bibir yang biasanya hanya mengeluarkan makian dan kata kasar.

"Maaf. Maafkan ayah. Maafkan ayahmu yang tak becus ini. Maaf." Air mata Giana luruh mendengar permohonan maaf yang terdengar putus asa itu. Satu kata yang maknanya begitu dalam. Satu kata yang bisa menyirami hatinya yang begitu tandus. Satu kata yang menyingkirkan semua perasaan bersalah yang selama ini menghantuinya.

Kaki Giana melemas. Tubuhnya luruh hingga ia terduduk di atas lantai. Sebuah isakan lolos. Ia tergugu mendengar permintaan maaf yang diulangi ayahnya terus menerus. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dan katakan. Ia sama sekali tak mengerti apa yang harus ia lakukan. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sudah memaafkan ayahnya. Akan tetapi, tubuhnya masih belum bisa melupakan setiap siksaan yang telah ia lalui.

Satu jam berlalu. Sepasang ayah dan anak itu tergugu dengan perasaan berbeda. Bukan perasaan yang lebih buruk, tetapi perasaan yang lebih baik. Giana mengepalkan tangannya dan berusaha bangkit berdiri. Ia membalikkan badannya tanpa mengatakan apapun. Ia menaruh tangannya di gagang pintu. Sebelum menggesernya, ia menoleh ke belakang dan memberikan ayahnya sebuah senyum tulus agar sang ayah tahu bahwa ia sudah memaafkannya.

"Elsa, berbahagialah. Kamu anak yang baik. Nasibmu tak akan buruk seperti nasib ayah. Maafkan ayah. Maaf telah membuat kamu, Erwin, dan Mamamu terluka. Terima kasih karena sudah menjadi putri yang membanggakan. Ayah bangga padamu. Berbahagialah dan jangan takut," ucap Handoko sembari tersenyum hangat.

Giana tak mengatakan apapun. Ia tak tahu harus bagaimana. Jadi ia hanya mengangguk pelan dan tersenyum singkat. Begitu membuka pintu, ia mendapati Bayu yang tengah menunggunya dengan wajah cemas. Tanpa kata, ia segera memeluk Bayu dan menangis keras di sana. Bayu membalas pelukannya dan membisikinya kata-kata lembut.

"Tidak apa-apa, Ca. Kamu hebat. Kamu kuat," bisik Bayu sembari mengelus puncak kepala Giana lembut.

Entah berapa lama Giana menangis seperti itu di luar ruang rawat sang ayah. Ia berhenti ketika ia merasa sangat lega. Giana mendongak dan menatap Bayu lembut. "Makasih, Gilang. Makasih."

Bayu mengetatkan pelukannya dan mengecup kening Giana lembut. "Aku yang makasih sama kamu karna kamu gak ninggalin aku walau aku sudah berbuat lancang. Maaf, ya, Ca. Maaf karna aku sudah berbuat seenaknya tanpa minta izin padamu terlebih dahulu."

Giana menggeleng cepat. "Gak! Kalau kamu gak ngelakuin ini. Aku gak akan yakin sama kamu. Makasih sudah pertemukan aku dan ayah. Dengan ini, aku yakin kalau kita bisa. Dan ayah ... dia bilang kalau aku bisa bahagia." Giana tersenyum senang. Matanya berbinar bahagia.

"Jadi? Kamu terima lamaran aku?" Bayu tak dapat menahan pertanyaan itu meluncur melalui bibirnya.

Wajah Giana memerah. Ia menunduk dan mengangguk malu-malu. "Iya, aku mau."




--------------------------------
1305.14102020
Yeayyyyy! Akhirnya End juga.
Makasih karna kalian udah mengikuti perjalanan Giana dan Bayu sampai sejauh ini.
Semoga kalian suka, ya.

Ah, lalu ... sepertinya aku bakal membuat, lebih tepatnya melanjutkan, cerita yang baru lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro