32
"Ca, maaf Gilang datang terlambat." Bayu menarik Giana—yang rupanya sudah duduk diam sambil menatap kosong lurus ke depan—ke dalam pelukannya. Ia mengelus belakang kepala Giana dengan lembut sembari sesekali mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala gadis itu.
"Gilang balik khusus buat Eca, jadi Gilang mohon sama Eca. Jangan tinggalin Gilang sendiri di sini," pintanya lembut—lebih ke berbisik—tepat di telinga Giana yang masih diam tanpa respons.
Satu menit berlalu, masih belum ada pergerakan apapun dari Giana hingga ia mendengar suara teriakan penuh amarah yang terhenti akibat tertahan dari Ariel.
"Heh! Bocah sinting!"
Tepat di saat Bayu hendak berbalik dan memohon pada Ariel untuk memberinya waktu sebentar saja, Bayu merasakan sebuah remasan pada belakang bajunya. Baju di bagian dadanya terasa basah. Dan telinganya juga menangkap isakan kecil. Bayu bahkan juga bisa merasakan getaran dari bahu gadis yang sedang ia peluk.
"Kenapa?" Suara gadis itu terdengar parau dan begitu kering. Namun, Bayu bisa menangkap kerinduan di suara itu.
Senyum merekah dari bibir Bayu. Hatinya begitu lega mendapat respons positif dari pujaan hatinya. "Maaf." Hanya itu yang bisa ia ucapkan berkali-kali sambil mempererat pelukannya. Ia bahkan sudah melupakan keempat manusia yang tengah berdiri di pintu masuk sambil melongo lebar.
"Gilang minta maaf, Ca," pintanya lembut sembari mendaratkan kecupan ringan di kening gadis itu. Bayu menangkupkan kedua tangannya demi memerangkap wajah Giana yang sudah basah. Dengan ibu jarinya, Bayu mengusap air mata Giana yang mengalir deras. Lalu dikecupnya ringan kedua kelopak mata gadis itu.
"Eca jelek kalau nangis," ledek Bayu santai yang tak dihiraukan Giana sama sekali. Sekali lagi, Bayu mendaratkan kecupan ringan pada kedua kelopak mata Giana dan berharap dengan itu air mata Giana akan berhenti mengalir.
Satu menit lamanya Giana mencoba mengatur napasnya yang masih sesenggukan. Sebuah senyum manis dan tulus terukir di bibirnya.
"Kamu beneran Gilang, 'kan? Bukan setannya Gilang?" Pertanyaan Giana dengan nada polos itu membuat Bayu sedikit tersinggung. Ia bersyukur bahwa saat ini hanya ada mereka berdua di ruangan ini. Noah beserta ketiga orang lainnya sudah pergi meninggalkan mereka berdua—memberi mereka privasi untuk sementara waktu. Awalnya Ariel menolak meninggalkan Bayu dan Giana sendirian. Akan tetapi, tentu saja, Ariel kalah lantaran ia melawan tiga orang. Dengan berat hati—dan omelan panjang lebar—Ariel meninggalkan ruangan itu.
Bayu mendengus, "Memangnya kamu kira aku udah mati?" tanyanya tak terima.
Giana menunduk dan mengangguk sedih. "Hari itu ... kamu berdarah ... banyak. Lalu kamu pergi untuk meminta bantuan pada Bunda Eva, tapi kamu gak pernah kembali lagi. Jadi aku pikir ... kamu gak akan balik lagi. Sama seperti Erwin."
Sekali lagi tangis Giana pecah. Memori akan kejadian hari itu masih diingatnya dengan jelas seolah baru dialaminya tadi pagi.
"Elsa! Erwin!"
Elsa dan Erwin yang tengah bersembunyi di dalam lemari segera menerobos ke luar. Ayahnya yang pemabuk sudah pulang. Dan mereka berdua yakin sekali, saat ini, ayah mereka juga pasti tengah mabuk. Pintu depan digedor dengan brutal membuat kedua bocah kecil itu mempercepat langkah mereka.
"Gilang, jangan!" teriak Elsa untuk mencegah Gilang membuka pintu. Namun, terlambat. Gilang sudah membuka pintu terlebih dahulu dan mendapatkan hantaman keras dari ayahnya dengan botol bir. Kepala bocah kecil itu berdarah lantaran botol kaca itu pecah tepat setelah menghantam kepalanya.
Elsa segera berlari menghampiri Gilang yang sudah hampir menangis. Ia membantu bocah kecil itu berdiri dan membersihkan darahnya. Lukanya cukup besar, tetapi tak begitu dalam.
"Gilang pulang sekarang. Kalau bisa, tolong minta bantuan pada Bunda Eva, ya?" pinta Elsa sedikit panik saat mendapati sang ayah tengah mengacung-acungkan pecahan botol kaca itu pada abangnya yang berusaha menenangkannya.
Gilang mengangguk patuh dan segera berlari menuju panti asuhan tempat dirinya tinggal. Walau kepalanya pusing dan sakit, ia tetap berlari menuju tempat di mana kira-kira Bunda Eva berada. Tempat pertama yang dia kunjungi adalah ruangan kerja Eva. Tanpa mengetuk, bocah kecil itu mendobraknya dengan kasar hingga tiga orang di dalamnya terlompat kaget.
"Bunda, Eca ... Elwin ...." Gilang tak mampu menyelesaikan kalimatnya dan hanya bisa menunjuk-nunjuk ke arah luar dengan panik sebelum akhirnya terkulai lemas.
Melihat anak asuhnya pingsan dan sempat menangis panik sambil memanggil nama dua anak temannya itu, Eva segera bertindak.
"Maaf, Pak Hendrawan, Bu Maria. Saya minta tolong urus anak ini terlebih dahulu, ya. Ada keadaan yang lebih darurat." Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Eva segera melesat menuju rumah temannya yang memang tak jauh dari panti asuhan miliknya.
Sesampainya di sana, ia terpatung sejenak lantaran terlalu kaget. Ia mendapati pemandangan yang luar biasa mengerikan. Tubuh kecil Erwin terkulai lemas bersimbah darah. Wajah mungil itu terdapat banyak luka dan terlihat sangat amat pucat hingga ia sendiri tak yakin nyawa anak itu akan tertolong. Sementara itu, tubuh kecil Elsa tak kalah menyedihkan. Elsa kecil yang masih sadar—dan bersimbah darah—tengah menggigiti tangan sang ayah sambil menangis.
"Erwin? Erwin? Bangun, Nak. Kamu bisa dengar suara Bunda?" tanya Eva sambil memeluk tubuh kecil Erwin yang sangat pucat. Eva segera membebat luka Erwin untuk menghentikan pendarahannya. Fokusnya kemudian teralih saat mendengar teriakan kesakitan Elsa. Eva melepas pelukannya dan berlari ke arah Handoko, ayah Elsa dan Erwin, dan menahan tangan yang sudah terangkat tinggi ingin memukuli tubuh kecil Elsa lagi.
"Cukup! Kamu sudah gila? Hah?!" bentaknya sambil berusaha menarik tubuh Handoko yang masih menyerang Elsa kecil secara membabi buta.
Eva yang tak mampu menarik tubuh Handoko menjauh dari Elsa pun akhirnya membawa Elsa ke dalam pelukannya—menggantikan Elsa untuk dipukuli. "Berhenti! Polisi sebentar lagi datang," teriaknya marah.
Benar saja. Sepuluh menit kemudian, suara sirene polisi dan ambulans saling bersahutan—terdengar begitu dekat. Selang beberapa menit, Eva merasakan pukulan yang mendarat di tubuhnya terhenti hingga ia pun mengangkat kepalanya dan mendapati Handoko tengah diamankan oleh pihak berwajib. Tubuh kecil Erwin diangkut menggunakan tandu dan dimasukkan ke dalam ambulans.
"Tunggu! Sebentar! Gadis kecil ini ...." Eva merenggangkan pelukannya dan memperlihatkan Elsa yang sudah tak sadarkan diri. Petugas medis segera mengambil alih tubuh Elsa dan membantu Eva masuk ke dalam ambulans.
Sesampainya di rumah sakit, Erwin dan Elsa didorong masuk ke dalam ruang UGD. Eva yang khawatir menolak untuk menjalani pengobatan dan hanya mondar-mandir gelisah di depan pintu UGD. Setengah jam berlalu, pintu UGD terbuka dan seorang dokter keluar bertepatan dengan Evelyn, ibu Elsa dan Erwin, sampai.
"Eva! Erwin dan Elsa bagaimana?" isaknya ketakutan. Begitu matanya menangkap sosok dokter yang baru saja keluar dari UGD, ia segera merangsek ke arahnya.
"Dok, bagaimana keadaan anak-anak saya?" tanyanya panik. Rasa panik dan takut semakin mencekiknya begitu mendapati raut wajah muram sang dokter.
"Gak! Gak! Gak boleh! Tidak!" Tangis Evelyn pecah. Tubuhnya luruh ke lantai. Eva memeluk tubuhnya dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. Setetes demi setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya hingga membentuk sungai yang lumayan deras. Evelyn melolong. Hatinya sakit seolah diremas oleh tangan tak kasat mata.
----------------------------------
1102.12082020
Hula! Hula!
Happy Wednesday
Beberapa part menuju tamat.
Hihi
Semoga kalian suka, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro