15
"Hei! Gimana keadaan kamu?" Noah yang baru saja masuk ke dalam ruang perawatan menyapa Giana dengan hangat. Giana yang masih terbaring hanya bisa tersenyum lemah. Wajah gadis itu masih pucat, bahkan ia masih tak fokus dengan sekitarnya.
Noah berjalan mendekat dan melambaikan tangannya di depan wajah Giana-berusaha menarik perhatiannya. Ia tak ingin menyentuh Giana secara tiba-tiba dan mengambil risiko bahwa gadis itu akan berteriak histeris.
"Gi?" panggilnya pelan. Tak ada respon. Giana hanya memandang kosong ke depan. Noah menghela napas panjang. Tangannya masih setia melambai pelan di depan wajah Giana.
"Gi?" Kembali lagi dipanggilnya lembut gadis itu, tetapi dengan suara agak keras. Giana sedikir tersentak dan mulai memfokuskan dirinya pada Noah hingga Noah tersenyum lega.
Ia menaruh barang bawaannya di atas nakas yang berada di sebelah kanan tempat tidur Giana. "Gimana keadaan kamu?" Noah memilih mengulang pertanyaannya karena ia yakin 100% kalau Giana tak mendengar pertanyaannya itu.
Giana mengangguk pelan. "Baik. Kamu gak praktik?"
Noah mengangkat tangannya untuk mengacak rambut Giana. Refleks, Giana meringkuk ketakutan membuat jantung Noah sedikit kebat-kebit. Akan tetapi, tangannya tetap bergerak seperti tujuan awalnya. Awalnya tubuh Giana gemetar, tetapi lama kelamaan gemetaran itu hilang. Giana menatap Noah dengan perasaan bersalah.
"Maaf," lirihnya lemah. Ia benar-benar merasa bersalah pada Noah. Ia tahu benar bahwa Noah tak akan memukulnya, tetapi alam bawah sadarnya lebih sinkron dengan gerakan tubuhnya.
Noah menepuk-nepuk pundak Giana lembut dan mengelus kepalanya pelan. "Gak apa, kok. Aku ngerti. Tenang aja. Aku gak apa. Buktinya aku masih tetap ngelus dan puk-puk kamu," candanya ringan.
Mau tak mau, Giana tersenyum kecil. Ia merasa lega bisa mendapatkan teman sepengertian Noah-terlepas dari pekerjaan Noah.
"Makasih, Noah," ucapnya tulus. Sesaat kemudian, seolah teringat sesuatu gadis itu berseru kaget, "Kerjaan kamu gimana?"
Noah terkekeh dan menggeleng pelan, "Hari ini aku off. Udah ada yang gantiin, kok."
Giana mengangguk-anggukkan kepalanya persis seperti mainan kucing di dashboard mobil. Ia menatap Noah dengan tatapan yang membuat Noah heran.
"Kenapa?" tanya Noah memancing Giana menyuarakan apa yang dipikirkannya.
Giana menggeleng dan menghela napas panjang. Ia menatap Noah, kali ini dengan tatapan penuh terima kasih.
"Matanya gak usah gitu. Aku serem tau?" canda Noah sembari menutup mata Giana-atau lebih tepatnya wajah-menggunakan telapak tangannya.
Giana menggenggam tangan Noah, tetapi karena tangan Noah besar Giana hanya bisa menggenggam jari kelingking dan manis lelaki itu. Kemudian ia menarik telapak itu turun dari wajahnya dan memamerkan senyum manisnya yang langka.
"Aku ketemu dia dan dia bilang dia kangen sama aku," ucap Giana membuat Noah tertegun karena baru kali ini ia melihat Giana begitu hidup. Mata gadis itu berbinar senang.
Noah tersenyum tulus dan berucap tenang, "Tentu saja dia kangen kamu. Gimana perasaan kamu sekarang? Masih sakit?"
Giana menggeleng. Senyum manis masih terukir di wajahnya. "Senang. Aku juga ketemu sama Bunda. Mereka bilang, nanti kita bakal kumpul lagi."
Noah terdiam, terlihat tegang. Mendadak pemikiran buruk berseliweran di otaknya. Kepalanya menoleh ke arah Giana dengan gerakan kaku. "Hmm?" gumamnya dengan nada bergetar.
Giana tertawa melihat ekspresi Noah. "Bukan. Aku gak akan ngelakuin itu karena aku udah janji sama Bunda dan dia. Aku akan berusaha buat berhenti walau keadaannya sulit aku bakal tetap berusaha buat bertahan."
Tanpa sadar Noah menghela napas lega. Di saat seperti ini, entah kenapa peringatan dosennya terngiang di telinganya.
Jangan pernah melibatkan perasaan saat menangani seorang pasien!
Saat itu, Noah merasa peringatan itu sangatlah konyol. Akan tetapi, di saat seperti ini, ia merasa bahwa peringatan itu benar adanya. Kertelibatan perasaan dalam mengurus pasien hanya akan mengacaukan cara berpikirnya. Saat mendengar ucapan Giana, secara spontan, otaknya memproses pemikiran-pemikiran negatif terlebih dahulu.
"Noah? Kamu kenapa?"
Sentuhan lembut di tangan Noah menyadarkan lelaki itu. Ia menoleh dan mendapati raut heran Giana.
Noah menggeleng dan tersenyum. "Gak. Gak apa. Oh, teman kantor kamu tadi katanya mau jenguk. Boleh mereka masuk?"
Mendadak senyum Giana hilang. Rautnya datar, tak memperlihatkan kesukaannya ataupun ketidaksukaannya. Gadis itu hanya terdiam seolah mempertimbangkan sesuatu.
"Hari ini?" tanya Giana sesantai mungkin. Akan tetapi, Noah masih bisa menangkap nada enggan dari ucapan Giana.
"Kalau kamu gak keberatan aja. Jadi?" Noah mengangkat sebelah alisnya sambil meneliti perubahan mimik Giana yang sangat minim sekali.
Lima menit berlalu, Giana masih belum memberikan persetujuannya hingga Noah mengira bahwa Giana menolak untuk bertemu rekan kerjanya. "Aku ngerti kamu butuh waktu. Aku kasih info dulu, ya, ke Bayu," izin Noah.
Noah mulai men-dial nomor Bayu-yang diberikan oleh si empunya tadi pagi. Saat nada sambung hilang dan tergantikan suara Bayu, Giana menahan tangannya dan mengangguk ragu.
"Halo, Bay! Ini saya, Noah." Noah menatap Giana yang masih terlihat ragu.
"Giana sudah siuman. Dia sekarang sudah terlihat baik. Oh, kalau boleh saya tau. Siapa saja yang akan menjenguk Giana sore nanti? Saran saya, jangan terlalu ramai. Nanti Giananya gak nyaman." Noah memperhatikan Giana yang mengambil pisau buah dan mulai mengupas apel.
"Oh, oke!" Noah memutuskan sambungan telepon dan memfokuskan diri seutuhnya pada Giana yang sudah mulai memotong-motong apelnya.
"Nih! Aaa!" Giana menyodorkan sepotong apel di depan mulut Noah. Noah menerimanya dengan senang hati, lalu Giana pun menyuapkan sepotong apel ke dalam mulutnya.
"Kak Clara mana?" tanya Giana pada Noah yang kini sibuk memandangi ponselnya.
Tanpa mengangkat wajahnya, Noah menjawab, "Bentar lagi sampai."
Begitu selesai kalimat Noah, seorang gadis masuk ke ruangan Giana dengan hebohnya. Suara ceriwisnya memenuhi seisi ruangan hingga kedua manusia yang ada di dalamnya menampilkan wajah terganggu.
"Muka kalian kenapa gitu? Gak senang aku datang?" tuduhnya sambil memamerkan mimik terluka yang dibuat-buat membuat kedua orang itu hanya bisa tercengang.
Noah yang pertama kali bereaksi. Ia mendekati wanita itu dan memeluknya erat serta mengecup kedua pipi wanita itu mesra. "Capek?"
Giana menatap kedua insan di depannya yang sedang di mabuk asmara dengan pandangan geli. Clara-wanita itu-menggeleng pelan, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu bidang Noah. Ia memperhatikan interaksi kedua insan itu dalam diam. Perasaan senang menggelayut di hatinya saat melihat kedua orang yang disayanginya begitu bahagia.
"Mohon maaf, Pak, Bu. Tolong perhatian sedikit sama perasaan yang jomblo." Bayu-yang entah kapan masuknya-tiba-tiba berceloteh ringan hingga membuat pasangan kekasih itu malu. Matanya beralih pada Giana yang sudah terlihat segar.
"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Bayu lembut. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Giana.
Giana menghindari tatapan Bayu. Ia menatap lurus ke depan dan bergumam pelan, "Begitulah!"
Setelah terdiam beberapa saat, Giana pun akhirnya menatap Bayu dengan tatapan yang sulit diartikan-ada perasaan marah, kecewa, sedih, malu, dan yang lebih dominan terlihat adalah takut. "Kamu sendiri?"
Clara mendekati Giana dan meremas pundak gadis itu pelan. "Jangan maksain diri, Dek! Kalau emang gak mau ketemu, jujur aja. Gak bakal ada yang marah, kok. Kalau ada, suruh dia nyari gue," ucap Clara bersungguh-sungguh.
Giana menyentuh tangan Clara yang ada di pundaknya dan meremasnya. Clara yang mengerti Giana butuh dukungan pun segera memeluk gadis itu dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Tenang aja! Ada gue sama Noah. Kalau ada yang berani macam-macam. Suruh Noah yang jotosin. Oke?"
"Kok aku sih, Ra?" protes Noah tak terima.
Clara memelototi Noah dan tersenyum lembut. "Memangnya kalau habis aku jotosin orang, kamu mau tanggung jawab?"
Spontan Noah menggeleng. Jelas saja ia tak akan mau membereskan kekacauan hasil pukulan Clara yang bisa dipastikan berbuntut panjang karena gadis itu merupakan seorang atlet judo internasional.
"Kalau gak mau, kamu yang jotos aja. Oke?" tanya Clara dengan suara semanis mungkin. Noah yang amat sangat mengerti bahwa itu adalah ancaman segera mengangguk dan berdoa di dalam hati agar tak ada drama jotos-jotosan yang terjadi.
"Yang datang berapa orang, Bay?" tanya Noah mengalihkan ke topik semula.
Bayu mengusap tengkuknya tak nyaman. "Dua aja, sih. Tapi ...."
Alis Noah terangkat. "Tapi? Udah. Santai aja. Kalau cuma ada dua orang lagi, harusnya Giana bisa menanganinya. Ya, 'kan, Gi?"
Walau enggan, Giana pun mengangguk lemah. "Suruh masuk aja, No."
Noah pun keluar dan mempersilakan sang tamu untuk masuk ke dalam. Begitu wajah tamu itu tertangkap oleh netra Giana. Tubuh Giana menegang, rahangnya mengeras dan giginya gemeretak tak suka.
--------------------------
1321.22052020
Halo!
Maaf atas keterlambatannya. Sebenarnya aku bingung mau lanjut apa gak..
Menurut kalian, ini harus dilanjutkan apa gak??
Niatnya sih mau revisi besar-besaran. Apa harus tunggu selesai dulu aja kali, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro