14
Bayu menatap Giana yang terbaring lemah dengan sedih. Ia tak mengerti apa yang membuat gadis itu melakukan hal tersebut. Tangannya membungkus tangan Giana yang lebih kecil darinya dan jempolnya mengusap punggung tangan itu dengan lembut.
"Gi, lo tuh sebenarnya kenapa? Kalau ada masalah, cerita aja. Gak usah nyakitin diri sendiri kayak gini." Kedua netra Bayu kembali menyusuri kedua lengan Giana yang sudah diperban sempurna.
Suara pintu terbuka membuat Bayu menoleh. Seorang lelaki masuk ke dalam dengan wajah khawatirnya. Bayu mengenali wajah tersebut, ia lelaki yang tadi siang menuntut penjelasan dari Giana-lelaki bernama Noah yang diakui pacar oleh Giana.
Mata Noah langsung jatuh pada kedua lengan Giana yang sudah diperban. "Bagaimana keadaannya sekarang?"
Bayu menggeleng pelan. "Kata dokter, darahnya banyak yang kurang. Dan menurutnya, masalahnya bukan di fisik Giana, tapi psikisnya. Dia tertekan, tapi dia tak pernah mengatakan atau pun menunjukkannya."
Noah mengangguk tanda mengerti. Ia paham betul Giana memang orang yang seperti itu. Tembok yang dibangun gadis itu terlalu tinggi dan tebal hingga tak ada seorang pun yang bisa melompatinya.
"Apa kamu tahu apa yang terjadi sebelum dia seperti ini? Karena setahu saya, dia baik-baik saja setelah berpisah dengan saya tadi siang. Dia bahkan bisa tersenyum tulus," ucap Noah berusaha mengorek informasi.
Bayu menghela napas berat. Matanya masih terpancang pada wajah pucat Giana. Gelengan pelan ia berikan pada Noah.
"Apa saja bisa membantu. Saya ini dokter Giana. Saya harus tahu apa yang dialami oleh Giana agar saya bisa mengambil langkah yang tepat," jelas Noah membuat Bayu memandangnya dengan ekspresi lega.
Noah terkekeh. "Apa dia mengatakan pada Anda bahwa saya pacarnya?"
Bayu mengangguk, lalu menggeleng. Ia lantas mengusap tengkuknya salah tingkah. "Itu .... Apakah itu benar?"
Gelak tawa meluncur dari bibir Noah. Ia tertawa begitu puas hingga bahunya ikut terguncang karenanya. Ia sampai harus memegangi perutnya yang mulai terasa keram.
"Sepertinya Anda begitu menyukainya, ya?" tanya Noah setelah berhasil berhenti tertawa.
Bayu berdeham keras untuk menutupi rasa malunya. Ia lantas memilih untuk diam karena tanpa ia jawab pun sepertinya pria itu tahu jawabannya.
Noah menggedikkan bahu tak acuh. "Dia memang layak untuk dicintai, tapi ia tak pernah mengakuinya. Dia selalu berpikir kalau dia tak layak untuk dicintai. Yah, selama ini hidupnya memang sulit. Korban kekerasan dalam rumah tangga hingga ia membawa trauma tersebut sampai sekarang."
"Kekerasan dalam rumah tangga? Apa dia punya keluarga lainnya?" tanya Bayu mulai menatap lawan bicaranya tertarik.
Noah mengangguk mengiakan, tetapi raut pria itu terlihat sendu. Napas berat ia embuskan seolah mengisyaratkan bahwa itu bukanlah sesuatu yang bagus.
"Di mana?" tanya Bayu antusias.
Noah menatap Giana sejenak, menimbang apakah informasi tersebut boleh ia bocorkan kepada orang lain ataukah tidak.
"Maaf, sepertinya itu melanggar kode etik seorang dokter. Saya tidak bisa mengatakannya pada seseorang yang bukan keluarga," ucapnya pada akhirnya setelah terdiam selama lima menit.
Bayu berdiri dan menatap Noah semangat. "Belum. Bukan 'bukan'," ralatnya.
Noah tersenyum ramah. "Jika sudah menjadi keluarganya, pada saat itulah saya akan menceritakan apa yang saya ketahui pada Anda."
Bayu yang melihat keraguan di raut Noah, pun masih berusaha mengorek informasi. "Anda tahu, 'kan? Kalau penyakit psikis itu bisa disembuhkan bukan hanya dengan bantuan ahli, tapi juga dengan bantuan orang-orang terdekat? Bagaimana jika Anda memberikan sedikit informasi pada saya agar saya bisa membantu menjaga Giana? Maksudnya agar saya bisa mengawasi Giana untuk mencegahnya melakukan hal seperti ini lagi."
Noah memandang Bayu dengan tatapan menyelidik. Ia bisa menilai bahwa Bayu bukanlah tipe manusia kepo yang hanya mau tahu mengenai kehidupan orang lain, melainkan tipe manusia yang ingin tahu lantaran peduli. Walau begitu, ia terikat sumpah kalau ia tak boleh membeberkan rahasia pasien.
"Maaf, saya tidak bisa menceritakannya. Walau Giana bukan pasien resmi saya, tapi tetap saja bagi saya itu melanggar kode etik seorang dokter. Tapi ...."
Belum sempat Noah menyelesaikan kalimatnya, Bayu segera memotong, "Tidak usah menceritakan semua. Ceritakan saja garis besarnya saja. Saya akan mendengar cerita lengkapnya suatu saat dari mulut Gia sendiri karena saya tau itu melanggar privasinya."
Bayu terdiam. Rasa bimbang bergelayut manja di sudut hatinya. Walau benar apa yang ia katakan tadi-Giana bukanlah pasiennya-ia benar-benar tak berhak membocorkan kisah Giana pada siapapun-baik kekasih, ataupun calon kekasih.
"Baiklah. Saya mengerti, tetapi bisakah Anda memberitahukan kepada saya apa gangguan psikis yang dialami oleh Giana?" Bayu memilih menyerah lantaran sadar bahwa bukan hal yang bijak memaksa seseorang yang sudah terikat sumpah untuk membocorkan rahasia pasien.
Noah mengangguk dan memberikan senyum sebagai ungkapan terima kasih. Matanya menyusuri lengan Giana yang penuh perban dan mulai berbicara, "Seperti yang kamu lihat sekarang. Dia seorang penderita self harming. Dia melampiaskan tekanan yang didapatkannya dengan cara melukai dirinya sendiri."
Bayu mengangguk, laku kembali bertanya, "Apakah sudah lama ia mengalami hal tersebut?"
Kali ini giliran Noah mengangguk. "Ya, sudah lama. Menurut pengakuannya, sejak ia berumur 15 tahun. Berarti sudah terjadi selama 8 tahun. Akan tetapi, sejauh yang saya tahu, sudah 2 tahun terakhir dia tak melakukannya lagi. Dan sekitar dua minggu lalu adalah yang pertama kali ia lakukan lagi selama 2 tahun lamanya. Apa penyebabnya? Saya tidak tahu karena dia tak menceritakannya, itu sebabnya tadi siang saya mendatanginya di kantor kalian. Lalu setelahnya, saya dapat kabar dari teman saya-dokter yang menanganinya-kalau dia masuk UGD karena kehabisan banyak darah."
"Saya mengerti," ucap Bayu. Tangannya ia sentuhkan lembut pada pipi pucat Giana.
"Apa kamu tahu kira-kira apa penyebabnya hingga ia melakukannya kembali hari ini? Karena setahu saya, hari ini dia baik-baik saja," tanya Noah yang masih berusaha mencari alasan dibalik tindakan Giana.
Bayu menggeleng pelan. Ia benar-benar tidak tahu. Tak ada satu pun alasan yang bisa ia berikan pada Noah. Walau sempat terlintas di otaknya adegan pertengkaran Giana dengan Siska tadi siang, ia tak yakin karena sudah sering Siska mengatakan kata-kata kasar pada Giana dan Giana tak pernah terlihat peduli akan hal tersebut.
"Apa, ya? Di lingkungan kantor ...," gumam Noah kecil, ia mengusap dagunya dengan telunjuk dan mengerutkan keningnya-berusaha memikirkan beberapa kemungkinan-, "tidak mungkin dia terlibat pertengkaran fisik di kantor. Dia bukan tipe yang seperti itu."
"Hah? Apa tadi Anda bilang?" Bayu menoleh secepat kilat saat telinganya menangkap hipotesis Noah.
Noah terdiam sejenak sebelum mengatakan kembali hipotesis yang menurutnya tak masuk akal. "Terlibat pertengkaran fisik?" tanyanya memastikan.
Melihat Bayu yang hanya terdiam, Noah pun melanjutkan, "Tentu saja tak mungkin. Saya tahu tipe orang seperti apa Giana. Ia hanya akan diam kalau ada yang mengganggunya, jadi pertengkaran pun akan sangat jarang terjadi. Terutama pertengkaran fisik yang bisa sangat menguncang psikisnya."
Bayu menepuk kedua telapak tangannya dengan semangat seolah baru saja memenangkan lotre berhadiah besar. Matanya berbinar senang. "Itu!" ucapnya senang seolah mendapatkan jawaban dari teka-teki silang yang tak bisa dijawab oleh banyak orang.
"Itu?" Noah membeo dengan nada heran. Keningnya berkerut tak mengerti.
Dengan semangat Bayu mengangguk. Wajahnya cerah karena sudah mendapatkan jawaban dari tindakan Giana. "Iya! Itu! Pertengkaran fisik!"
Noah menggeleng dan terbahak. Ia melambaikan tangannya sembari memamerkan raut tak mungkin pada Bayu. Namun melihat keseriusan dalam binar mata Bayu, keyakinannya runtuh.
"Tak mungkin!" gumamnya.
Bayu menggeleng, menepis berbagai skenario bar-bar yang diproses oleh otak Noah.
"Bukan pertengkaran fisik sungguhan. Hanya hampir. Saat itu, Kak Siska memarahi Giana, tapi Giana seperti biasa diam saja. Dan kalau pun Giana menjawab, ia akan menjawabnya dengan tenang. Tapi sepertinya itu membuat Kak Siska semakin marah sampai ia mengangkat tangannya hendak memukul Giana. Lalu setelah itu, Giana bertingkah aneh dan langsung lari ke dalam toilet. Selanjutnya ...." Bayu menunjuk Giana yang terbaring lemah.
Noah mengangguk tanda mengerti. Ia kini tahu apa alasan Giana sampai melakukan itu, tapi sejauh mana psikis Giana terguncang, ia masih belum mengetahuinya. Dan untuk itu, ia berharap Giana segera sadar agar ia bisa mengetahui bagaimana keadaan psikis gadis itu.
-----------------------------------
1264.16052020
Eum...
Wkwkwkkw..
Gimana menurut kalian??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro