1
Suara tuts papan ketik yang ditekan saling bersahutan seolah menjadi sebuah harmoni yang sangat indah di ruangan tersebut. Beberapa menit berlalu, irama entakkan sepatu yang keras turut serta memeriahkan orkestra itu. Tanpa perlu bertanya, mereka sudah tahu bahwa pemilik entakkan tersebut tengah kesal.
Entakkan tersebut berhenti di depan sebuah kubikel yang berisi seorang gadis yang tengah menatap komputernya serius dengan tangan yang menari lincah di atas tuts papan ketik.
"Gi, lo dipanggil sama Pak Calvint." Nada suara tersebut terdengar tak bersahabat seolah tengah mengumumkan hukuman mati.
Gadis itu mendongak, lalu mengangguk pelan. Ia menatap wajah mendung di depannya datar, ia tahu jelas bahwa gadis itu baru saja ditegur oleh atasan mereka. "Jangan diambil hati ucapan Pak Calvint," ucapnya pelan sebelum meninggalkan gadis itu dengan langkah gontai.
Sesampainya ia di ruangan yang berlabelkan "Kepala bagian", Giana mengetuk pintu kayu coklat itu dua kali. Ia berdiri tegak sambil menunggu dipersilakan masuk.
"Masuk!" Walau suara bariton dari dalam terdengar tak bersabahat, Giana tetap santai melangkah masuk. Ia membuka dan menutup pintu dengan gerakan sehalus mungkin.
Sembari berdiri di samping pintu, ia bertanya, "Ada apa Bapak memanggil saya?"
"Duduk!" Perintah tersebut dilontarkan tanpa melihat wajah sang lawan bicara. Walau begitu, Giana tak terlihat kesal sama sekali. Ia dengan patuh duduk di kursi yang dimaksudkan sembari bertanya-tanya apa kesalahan yang telah ia perbuat.
"Giana."
"Ya, Pak?" Giana mendongak dan menatap lurus ke arah Calvint.
"Saya sudah lihat laporan petty cash yang kamu kerjakan. Semuanya rapi dan jelas. Kerja bagus," puji Calvint sembari memamerkan senyum bangganya.
"Ya? Terima kasih, Pak," balas Giana sopan. Giana menautkan alisnya karena yakin Calvint memanggilnya ke ruangan bukan hanya untuk memujinya. "Saya yakin maksud Bapak memanggil saya ke sini bukan hanya untuk memuji saya saja," ucap Giana karena Calvint telah memberi jeda selama beberapa menit.
Calvint mengangguk membenarkan. Wajahnya terlihat puas dengan ketanggapan karyawannya yang satu itu. "Kamu memang jeli, Giana. Baiklah. Saya tidak akan berbasa-basi lagi. Beberapa hari lagi, kita akan kehadiran seorang karyawan magang. Kamu tahu?"
Giana menggeleng. "Bukankah kita memang sering kedatangan karyawan magang, Pak?"
Sekali lagi Calvint mengangguk membenarkan hingga membuat keheranan menghiasi otak Giana. "Lalu apa masalahnya, Pak?"
"Kali ini, karyawan magangnya berbeda. Kamu tahu kalau Pak Hendrawan memiliki seorang putra?"
Pertanyaan dari Calvint membuat pemikiran Giana menjadi terbuka. "Karyawan magang kali ini adalah putra Pak Hendrawan? Lalu?"
"Saya ingin kamu yang melatih karyawan magang tersebut nantinya." Giana membatu mendengar ucapan Calvint. Apa maksud dari kata-kata Calvint? Kenapa dirinya yang harus melatih karyawan magang padahal biasanya ada orang lain yang lebih mampu melatih karyawan tersebut.
"Kenapa harus saya?" Giana bertanya tanpa bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada tugas barunya ini.
Calvint mengangguk pelan. "Ya. Benar. Kenapa harus kamu? Karna saya tahu kamu bisa melakukannya. Lagi pula, sudah seharusnya kamu memiliki bawahan setelah lima tahun lamanya kamu bekerja, 'kan?"
Giana membuka mulutnya hendak memprotes, tetapi langsung dipotong oleh Calvint. "Saya tidak menerima penolakan, Giana. Saya tahu kamu kapabel dalam tugas ini. Tidak ada orang lain yang sekapabel kamu dalam hal ini. Ajari dia apa yang kamu ketahui dengan baik. Jangan khawatir, dia bukan karyawan magang biasa. Dia tak akan membuat masalah untukmu. Saya bisa menjaminnya."
Mau tak mau. Suka tak suka. Giana akhirnya memilih mengambil peran tersebut tanpa perlawanan lebih lanjut. "Baik, Pak. Saya akan berusaha yang terbaik. Jika tidak ada lagi yang ingin Bapak sampaikan, maka saya permisi."
Giana keluar dengan lesu seolah habis kalah di medan perang. Melihat kondisi Giana yang mengenaskan, mendadak irama tuts papan ketik yang ditekan menjadi pelan kemudian hilang. Selama lima tahun gadis itu bekerja, mereka tak pernah mendapati gadis itu begitu lesu setelah keluar dari ruangan Calvint. Biasanya gadis itu tak pernah menampakkan perasaannya, bahkan ketika ia dimaki di depan umum sekali pun. Namun, melihat keadaanya sekarang, mereka segera diserang pemikiran negatif.
"Omongan Pak Calvint jangan terlalu dimasukkan ke hati, Gi." Gadis itu mendongak dan menatap pria di depannya dengan pandangan heran.
"Omongan yang mana, Kak?" tanyanya balik.
Sang pria pun menjadi bingung. "Ya omongan Pak Calvint barusan. Lo habis kena marah, 'kan? Jangan terlalu dimasukkan ke hati. Itu yang selalu lo ajarin ke kita-kita, 'kan?"
Giana tersenyum singkat. Ia mengerti sekarang karena ia keluar dengan wajah lusuh, maka orang-orang berpikir ia baru saja ditegur. Saat ini, Haykal tengah menyemangatinya. Ingin rasanya ia tertawa geli, tetapi ia tak bisa melakukannya karena seolah ada sesuatu yang menahan dirinya melakukan hal tersebut.
"Nah! Semangat, Gi! Gih, balik kerja! Nanti kelar kerja kita pesta makan aja buat ngelampiasin stress. Oke?" Haykal menatapnya antusias.
"Makasih, Kak. Tapi aku gak ikut," tolak Giana sembari berjalan menuju kubikelnya. Dari belakang ia mendengar bisik-bisik kesal yang ditujukan pada Haykal.
"Lo, sih, Kal. Ngapain ajakin dia? Ditolak mulu gak kapok apa?" omel Siska kesal.
"Sombong banget, sih, dia. Tiap diajakin makan, pasti gak mau ikutan," timpal Desi ikut memanasi suasana.
"Iya, tuh. Bener banget. Sombong banget! Kalau gitu, sih, mana bisa dapat temen," timpal Arka tak mau kalah.
Giana yang mendengar semuanya hanya memilih untuk menutup telinga rapat-rapat dan kembali fokus pada pekerjaannya. Bekerja membuatnya melewati waktu dengan cepat hingga tanpa terasa jam pulang telah datang.
"Giana, waktunya pulang." Sebuah suara bariton memecah fokus Giana. Ia mendongak dan mendapati Calvint menatapnya tajam, lalu menunduk kembali dan meneliti sudut kanan komputernya yang menunjukkan sudah pukul 18.15 WIB.
"Baik, Pak," balasnya sopan sembari membereskan barang-barangnya dengan lincah. Dalam waktu lima menit, kubikel milik Giana telah rapi seolah tak pernah disentuh sama sekali.
"Saya duluan, Pak. Selamat malam," pamit Giana sopan pada sang atasan, lalu berjalan pelan menuju halte bus.
Sesampainya di halte bus, Giana mendongak menatap langit gelap. Tak banyak bintang di sana lantaran tempatnya berdiri sangatlah terang. Giana kembali menunduk dan melihat arloji yang melingkar manis di pergelangannya.
"Sepertinya jalan kaki lebih menyenangkan," ucapnya sembari melangkahkan kakinya gontai ke arah utara meninggalkan halte tersebut.
Ia berjalan dan terus berjalan, meneliti sekelilingnya yang bising. Mobil-mobil saling mengadu kecepatannya membelah jalanan gelap yang padat. Saling ngotot hingga terkadang membuat kemacetan. Udara malam yang dingin membelai Giana dengan kejam. Lima belas menit berlalu, ia kini berada di sebuah perumahan yang agak kumuh dan sepi. Tak ada lagi mobil-mobil yang lalu lalang, bahkan lampu jalanan di tempat ini pun jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya.
Giana mendongak menatap langit. Napas panjang ia tarik dan embuskan dengan kasar. Matanya mengawang. "Aku lelah. Bolehkah kita berkumpul sekarang? Maafkan aku. Aku sangat lelah. Maafkan aku karena aku terlalu lemah. Maaf telah menyia-nyiakan hidup yang telah kamu berikan padaku."
Sebulir tetes bening jatuh dari kelopak mata indah tersebut kemudian disusul oleh tetes-tetes lainnya. Semakin lama semakin banyak. Walau begitu, tak ada isak yang lolos dari bibir tipis itu. Bibir itu terkatup rapat dan digigit dengan kuat. "Berhenti! Bodoh!" makinya kesal sembari mengusap air matanya kasar. Akan tetapi, bukannya berhenti air mata air mata bodoh itu malah turun semakin derasnya.
Giana berjongkok dan menenggelamkan wajahnya di antara kakinya. Entah berapa lama ia berada di posisi tersebut hingga ia merasakan ada yang menyentuh bahunya pelan. Ajaibnya air matanya berhenti dan berganti menjadi bulir-bulir keringat sebesar biji jagung menghiasi seluruh pelipisnya.
Otaknya memutar cerita-cerita pembunuhan serta pemerkosaan yang tengah marak terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Tanpa aba-aba, ia segera menghantamkan tas ranselnya tepat di wajah sosok tersebut dan lantas lari tanpa melihat ke belakang lagi. Ia berlari dan terus berlari, tetapi yang ditemuinya hanya gang kosong tanpa orang lain yang bisa dimintai pertolongan. Sedangkan, di belakangnya sosok tersebut masih dengan gigih mengejarnya.
Brak!
----------------------------------
1237.01042020
Baru sadar hari ini adalah April fools day.
Wkwkwkkw
Karya pertama lagi setelah seeeeeeeeekian lama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro