Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03

"Hoi, bangun." Tanpa menunggu respon, Manjiro menendang Ubi satu yang terlelap di dalam tenda.

"Sialan! Gila, ya!?" kutuk Ubi satu yang terperanjat bangun. Mengelus punggungnya yang nyeri.

Di tangan Manjiro sebuah bento terikat rapi. Sudah dua hari semenjak Ubi satu memutuskan untuk berkemah. Selama itu, Manjiro selalu datang kembali untuk memberikannya bento, meski ingin menolak, Ubi satu tidak tega untuk menyia-nyiakan usaha Emma dan Sachi yang sudah bersusah payah memastikan dia makan teratur. Padahal dia pergi dari rumah untuk mengurangi pengeluaran anggaran keluarga Sano.

Sambil mengunyah bento yang sudah berpindah tangan, Ubi satu mencibir Manjiro; yang duduk bersila, berpangku tangan menatapnya makan.

"Bisa tidak berhenti membangunkanku sekasar itu?" Ubi satu memandang Manjiro tajam. "Padahal kudengar kau bilang untuk tidak memukul perempuan."

"Oh, ya? Aku lupa kau perempuan."

Memutuskan untuk tidak meladeni Manjiro, Ubi satu memutuskan untuk fokus menikmati katsudon di tangannya. Di dalam hati, dia tau Manjiro tidak pernah menyukainya sejak ia menginjakkan kaki di kediaman Sano. Tapi dia juga bersyukur, Manjiro tidak membencinya sampai ingin membuatnya masuk ke rumah sakit, Ubi satu tahu betul, Manjiro bisa langsung mengirimnya ke ICU dengan satu tendangan.

"Kau tau? Sudah sangat lama aku tidak kemah," ucap Manjiro tiba-tiba.

"trus?"

"Hari ini aku ikut tidur di sini."

Detik berikutnya Ubi satu tersedak sampai hampir sekarat.

Dalam waktu singkat, matahari kembali terbenam.

Ubi satu mengumpul ranting kering, matanya tidak pernah berhenti menatap risih Manjiro yang mengikutinya.

"Bukannya kau harus pulang? Nanti Shinichiro mencarimu."

"Aku bilang kalau mau menginap di rumah baji."

Saat dia selesai mandi di pemandian umum, Ubi satu pikir Manjiro akan segera pergi setelah bicara melantur. Ternyata dia serius.

"Bisa tidak duduk tenang?" ucap Ubi satu kesal sambil menumpuk ranting kayu.

"Kau mau memasak apa?"

"Ubi."

"... huh."

"Aku tau apa yang kau pikirkan, jangan diutarakan."

Mengabaikan sejumput penasaran di mana Ubi satu dapat menemukan ubi, Manjiro memutuskan mengutarakan pertanyaan lain yang selama ini mengganggunya.

"Kenapa kau dan Ubi dua sangat menyukai ubi?"

Dengan ubi merah di tangan, Ubi satu menjawab dengan santai. "Ubi satu-satunya yang bisa kami makan dulu." memori lama saat dia dan adiknya mencoba bertahan hidup sendirian di tengah musim dingin teringat kembali.

"Aku malah sangat membenci ubi."

Setelah itu, akhirnya Manjiro menutup mulutnya.

Kembali datang bintang-bintang malam itu, kali ini bertemankan bulan yang berbinar terang. Manjiro lebih menyukai belaian sinar hangat matahari, tapi cahaya dingin bulan pun, dapat membuat sepasang mata cokelat berkilau indah. Jika tak familiar, Manjiro mungkin akan salah mengira mereka salah satu bintang yang berserak anggun.

"aku tadi ke rumah sakit." Manjiro tiba-tiba bersuara. Sesaat pandangannya berubah sendu.

"... oh, ya?"

"Ibu bertanya tentangmu."

Kali ini Ubi satu yang terdiam.

"... begitu."

"Jika ibu tau kondisi di rumah, mungkin dia akan sedih."

Mengambil salah satu ubi hangat, Manjiro mengupas kulitnya sambil terus bercerita. "Ibu sangat menyukaimu."

"Itu salah satu alasan kenapa dia tidak ingin kau pergi."

Kembali, Ubi satu mengikuti Manjiro. Mengambil umbi yang sudah puluhan kali ia makan.

"Aku sangat berterima kasih pada bibi dan Kak Shinichiro. Aku tau, kehadiranku dan Sachi tidak benar-benar diinginkan," Ungkapnya tenang. Tatapan sinis yang terus-terusan ia lemparkan sudah menghilang, dilalap hilang bersamaan ranting kering yang dihapus api unggun.

Iris kelam Manjiro menatap Ubi satu dengan sorot mata yang tidak bisa dibaca. Namun di kepalanya, sebuah konflik berlangsung. Kemudian dengan pelan dia berbicara, seakan mencoba menghibur Ubi satu.

"Vas yang pecah itu adalah peninggalan nenek. itu lah kenapa kakek sangat marah." Manjiro melirik Ubi satu. "Aku tidak berpikir kakek benar-benar membenci kalian, dan kulihat dia cukup menyukai Sachi. Dia hanya Tsundere."

"Ah ... aku tidak tau." Perasaan bersalah perlahan menghampiri Ubi satu. Tidak mengira sebuah vas yang dia dengan arogannya sebut barang biasa, ternyata merupakan bagian dari kenangan berharga seseorang. Terutama sang kakek yang dua hari lalu baru saja dia bentak.

"Tapi, bahkan jika kakek tidak membenci kami. Kau tidak menyukai kami kan?" Sebuah pertanyaan terlontar dan Manjiro tidak bisa menjawabnya.

"Aku minta maaf." Ubi satu tersenyum kecil.

"Jujur aku merasa bersalah karena membuatmu tidak nyaman di rumahmu sendiri."

Udara dingin, ubi yang hangat, cahaya redup bulan dan api unggun kecil, membawa ingatan melankolis kembali mengunjungi Ubi satu.

Bayangan seseorang terbayang, yang dulu sempat menemani Ubi satu dan adiknya di dekapan malam.

Ah, benar.

Adiknya.

"Aku tau permintaanku egois, tapi tolong tetap terima sachi di keluarga kalian. Aku tidak masalah sendirian, tapi dia butuh tempat untuk tinggal."

"Jika suatu saat aku benar-benar tidak akan kembali, jaga dia. Meski kau membenciku."

Manjiro berhenti menjawab, namun ubi yang ia makan malam itu, tiba-tiba terasa hambar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro