Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

.
.
.

Detik demi detik dan menit demi menit berlalu. Yoichi paham benar bahwa ini bukanlah denah yang mereka lalui tadi. Mempunyai indra yang sensitif, membuatnya paham akan perubahan sekecil apa pun. Apa karena terjatuh makanya topografinya berubah? Seharusnya tidak begitu. Atau karena sesuatu yang mistis ikut campur tangan? Yoichi merinding, memeluk diri sendiri seraya berharap semua akan baik-baik saja.

Kau mengerang, cukup lelah akibat terlalu lama berjalan. Tidak tahan, kau pun menghentikan langkahmu, membuat Yoichi segera menoleh dan memperhatikan di balik iris birunya dengan khawatir. Yoichi bertanya, "Ada apa, [Name]?"

"Oh, tidak, hanya saja aku sedikit capek ..."

Benar, kalian berdua sudah berjalan cukup lama. Baginya yang bergelud dengan dunia sepak bola, tentu saja, bukan hal yang sulit. Namun, berbeda dengan dirimu. Menjalani keseharian layaknya seorang gadis SMA biasa pastilah hal seperti ini menyusahkan. Meskipun kau sedikit lebih kuat dari gadis lainnya. Lantas, ia duduk dan menggerutu.

"Aah, benar juga! Aku merasa lelah sekali! Bagaimana kalau kita istirahat dulu?" tanya Yoichi dengan ekspresi gusar yang dibuat-buatnya. Kau mengerjap, memperhatikan secara seksama akan tingkah temanmu tersebut. Suaramu tercekat, ingin membalas, tetapi segera Yoichi potong dengan kalimatnya seraya menatap ke arahmu, "lagipula hari sudah malam. Aku tidak ingin kau terluka karena tidak bisa melihat dengan jelas."

"Oh iya, kau benar juga," balasmu sembari mengulas senyum kikuk.

Pemuda berambut hitam itu menyadarinya, hanya saja tidak ingin ia bahas. Ia hanya perlu untuk membuatmu merasa senang dan bukannya tambah khawatir, tidak lebih. Lalu, kalian berdua duduk berhadapan dalam kesunyian, membiarkan hewan malam berbunyi seperti biasa. Yoichi memperhatikan sekitarnya dalam diam, berusaha berpikir untuk dapat kembali.

Tadi lewat rute yang mana?

Mengapa ia tidak bisa berkonsentrasi akan letak tempat yang saat ini ia pijaki? Padahal, jika di lapangan, ia seolah mampu melihat segalanya. Mendapati Yoichi yang sibuk dengan pikirannya sendiri, kau pun mengangkat suara, "Sudah lama ya, kita tidak berdua seperti ini."

"Eh?"

Kau tersenyum, samar-samar dalam cahaya bulan yang remang, berusaha mencairkan suasana. Namun berbanding terbalik akan reaksi Yoichi yang jantungnya kini berdebar kencang. Wajahnya cukup panas, membuat ia menggaruk pipunya yang tak gatal dengan gugup.

"Kau benar, haha. Tapi, timing-nya kurang pas. Kita malah terjebak dalam situasi kurang bersahabat begini," balasnya sembari tertawa canggung.

"Maaf, karena aku, kita malah terjatuh dan tersesat."

"Bukan salahmu! Sudah kubilang, jangan menyalahkan dirimu sendiri, [Name]. Aku juga salah karena mengajakmu sebagai tamu untuk ikut mencari kayu bakar bersamaku! Jadi, jangan begini lagi, ya?"

Sosok di hadapanmu itu memasang ekspresi memelasnya, tidak enakan. Ia memohon, membuatmu teringat akan memori bersamanya selama beberapa tahun kalian hidup. Menjadi teman masa kecil Isagi Yoichi adalah salah satu bagian kesenanganmu. Tawa, tangis, marah, dan seluruh emosinya. Kau bisa merasakan hal tersebut.

Karena itu, saat ini, kau paham akan Yoichi yang bersikeras untuk menyelesaikan permasalahan sendirian. Masalah karena kecerobohanmu.

Bisa-bisanya kau datang ke sini hanya untuk mencari kelegaan, sementara dirinya tengah berusaha keras menggapai mimpinya?

"[Name]?" panggil Yoichi dengan suaranya yang khas.

Angin berembus, menerpa kulitmu, merasakan sensasi dinginnya. Kau tersentak kaget saat jari-jemari yang gagah nan hangat itu menyentuh pipimu, mengusapnya perlahan dan lembut, seolah kau adalah barang berharga yang dapat pecah kapan saja. Napasmu tertahan, bibirmu membuka, memanggilnya, "Yoichi-kun?"

"Ah, benar-benar, apa yang harus kulakukan padamu?" gumamnya sedikit frustasi, menunduk, masih dengan tangannya yang menyentuh pipimu.

Kau mengernyit, "Hei, jangan mengucapkan kalimat yang terdengar seperti di film horror, dong. Padahal, dulu kau tidak bisa menonton karena selalu menangis. Tetapi, sekarang bertingkah begini ..."

"Oi, aku memang menangis. Tetapi, aku tidak berniat menggodamu begitu! Cara yang buruk sekali dalam mendapatkan perhatian."

"Tuh, kan."

Kau dan dia tertawa. Yoichi merasa lega karena melihatmu menampakkan ekspresi lembut itu sekali lagi. Untuk sekarang, pemuda itu hanya ingin melihatmu tersenyum dalam situasi yang membuat cemas ini, "Nah, sekarang, aku sudah tidak lelah lagi. Apa [Name] sudah bisa lanjut berjalan?"

"Hm, iya bisa! Oh, mengenai tempat tadi. Kita bisa mengikuti bintang utara, bukan?"

"Eh, bintang utara ..."

Yoichi mengerjap, senyum merekah di wajah tampannya. Ia bangkit sembari mengepalkan tangan, melemparkan tatapan antusias. Ia berseru, "Itu dia! Kita bisa berjalan mengikuti arah bintang utara!"

Ia lantas menengadah, mengedarkan pandangannya, iris biru itu menatap ke arah langit. Seketika, senyuman yang ia ulas tersebut berubah tatkala mendapati langit berawan. Bulan masih nampak sedikit, tetapi bintang-bintang mulai ditutupi. Lebih parahnya lagi, dahan dedaunan menghalangi pandangan.

"Oh ... tidak."

Yoichi menampakkan ekspresi kecewa.

Badanmu bergetar, sudah tidak mampu lagi menahan rasa dingin. Meski ini musim panas, tetapi saat malam hari, tentu saja dingin. Suara jangkrik dan serangga lainnya terdengar, seolah menertawakan harapan terakhir kalian berdua.

Kaki Yoichi yang tergores, kedinginan, sebentar lagi mereka juga akan melewati jam makan malam. Kau meremas jaketmu, kesal akan diri sendiri. Matamu terasa panas, berkaca-kaca menahan nangis, "Yoichi-kun, bagaimana ini ...?"

"[Na-Name] ..."

Ia menoleh, mendapati dirimu yang berekspresi sedih sekaligus kesal. Lalu, ia mengepalkan tangan. Yoichi tidak menyukai momen di saat kau memasang raut wajah seperti itu. Menurutnya, kau hanya perlu selalu tersenyum.

Tubuhmu yang bergetaran akibat ketakutan, membuat pemuda yang menyandang gelar sebagai Blue Lock's Ace itu mengutuk dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkanmu sedih, ia perlu melindungimu hingga kembali menemukan lokasi camping kalian.

Ah, bintang utara. Ia perlu menemukan cahaya itu di balik awan sesegera mungkin.

Skill visualnya saat ini tidak terlalu membantu di tengah kegelapan malam dan suasana yang tak familiar. Ia menggenggam tanganmu, membuat dirimu mengedipkan kelopak mata, "[Name], aku berjanji, kau tidak akan terluka. Baik kau, maupun diriku. Kau khawatir kalau aku tidak bisa kembali ke Blue Lock tepat waktu, bukan?"

Kau mengangguk pelan, "Maaf."

Yoichi tersenyum tipis. Kau selalu seperti ini, mencoba memprioritaskan dirinya dibanding dirimu. Berusaha tegar, kini adalah gilirannya. Isagi Yoichi tidak ingin selalu dianggap sebagai adik lelaki kecil yang tak bisa apa pun. Sosok yang hanya bisa berlindung di balik punggungmu. Bukankah saat ini, tingginya sudah melebihi dirimu?

Kau bahkan dengan sukarela memperlihatkan sisi lemahmu, yang mana menurut Yoichi sangatlah manis. Tetapi, ia lebih menyukai saat di mana kau tersenyum cerah. Tidak ada kata lain selain kebahagiaan yang cocok dengan dirimu.

"Seharusnya aku tidak datang di camping ini. Kalau saja begitu, kau masih bisa menghabiskan waktu bersama mereka dan lanjut latihan," ujarmu. Yoichi menyeka air matamu yang mulai turun, diam mendengarkan, "hanya karena aku kesepian di sekolah tanpamu, seharusnya aku tidak mengacaukan jalan mimpimu."

Yoichi mengerjap, menduga bahwa memang benar ada masalah selama ia tak berada di sisimu, "[Name], apa terjadi sesuatu saat aku tidak ada?"

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro