Shots - 28
Yuhuuu update🫶🏻🫶🏻🫶🏻
Yok komen yok🥰🥰🥰 mau double update? Kalo mau, komen segunung!😍
#Playlist: Jesse McCartney - Just So You Know
•
•
Milky duduk di dekat kolam renang sambil memperhatikan suasana di dalam. Kaca jendela ruang keluarga terbuat serba kaca sehingga memudahkan dirinya melihat kegiatan ke dalam. Neneknya sedang bermain biliar bersama Belva. Sebenarnya Belva tidak bisa melakukan apa, sih? Kenapa hampir semuanya mahir?
"Merhatiin Belva terus. Patah, tuh, leher," ledek Tiffany yang baru saja datang dengan membawa cokelat hangat untuk dirinya dan Milky. Dia menyodorkan satu gelas kepada sepupunya. "Nih, buat lo. Jangan sampai kedinginan. Belva minta tolong sama gue untuk buatin cokelat ini."
"Thanks, Tiff." Milky mengambil gelas yang disodorkan, memegangnya dengan hati-hati. "Lo nggak ikutan main biliar?"
"Nggak, ah, takut ada yang cemburu kalau gue tempelin Belva."
"Siapa?"
"Masih nanya? Lo lah." Tiffany tertawa geli. "Dari awal ketemu, udah kentara banget kalian saling uwu-uwu. Gue sama Nera udah jadi penumpang kapal lo sama Belva. Kalau nanti lo milih Sunday, kapal yang gue tempatin mendadak jomplang."
"Nggak jelas, deh, lo."
Tiffany masih tetap tertawa. Sebentar saja sebelum mengganti dengan senyuman. "Mengelak, tuh, paling gampang, Milk. Tapi mau sampai kapan? Kelihatan, kok, pas Belva bercanda mau dijodohin sama gue, ada cemburu yang terpancar dari gelagat dan mata lo. Kalau nggak tertarik sama Belva, lo nggak bakal ikut campur dan mendukung sepenuh hati."
Milky diam tidak menanggapi. Dia menyesap cokelat hangat, menikmati rasanya yang pas di lidah.
"Milk, mungkin lo lagi dilanda bingung sekarang. Antara terima Sunday atau berusaha sadar akan sosok Belva. Tapi sebenarnya, lo udah tahu jawabannya. Tanpa lo ubek-ubek hati pun, lo udah tahu. Tapi mengelak memang lebih gampang dari menerima," tambah Tiffany.
"Gue takut." Akhirnya Milky mulai buka suara.
"Takut kenapa? Takut Belva playboy?"
"Bukan."
"Terus?"
"Takut perasaan gue buat Belva hilang di tengah jalan. Lo tahu gue, kan? Gue suka gonta-ganti gebetan karena bosan. Bernard satu-satunya gebetan yang nggak bikin bosan. Dan Sunday yang bikin gue mau pacaran. Gue takut Belva cuma jadi pelarian gue selagi hati gue terluka putus dari Sunday. Kalau lihat usaha Sunday, dia jauh lebih mengenal gue dari siapa pun. Sedangkan Belva baru lihat sepertiga sikap gue. Bukannya lebih baik gue kembali sama Sunday yang udah jauh lebih mengenal gue?"
"Lebih mengenal, ya?" Tiffany menatap langit-langit di atas sana, mulai menyesap cokelat hangatnya. "Tapi apa nggak lebih menyakitkan kalau lo terima Sunday dengan kondisi perasaan udah kabur ke lain hati? Iya, Sunday lebih kenal lo, tapi nggak selamanya masa lalu jadi pilihan. Lain cerita kalau lo masih cinta banget sama Sunday seperti Nera ke Bara. Pilih masa lalu udah pasti jadi pilihan pertama. Kalau ini, kan, sikonnya perasaan lo udah mulai hilang. Lo malah jatuh cinta sama yang lain."
"Tapi Sunday ... dia udah melakukan banyak hal untuk gue, Tiff. Gue nggak bisa mengabaikan fakta itu. He loves me more than anything."
"Well, lo bisa lihat sendiri tiap usaha Sunday atau Belva. Gue nggak punya kapasitas mengukur usaha mereka. Soalnya ini cuma lo yang tahu. Tapi yang pasti, lo lebih tahu lagi soal perasaan lo. Kalau memang masih ragu, coba habiskan satu hari penuh sama mereka dalam waktu berbeda. Lo bisa rasain sendiri apa yang perasaan lo mau," saran Tiffany.
"Kalau gue langsung terima Sunday gimana?"
Tiffany menyesap kembali cokelat hangatnya. "Milk, gue kenal lo bukan cuma baru sebulan atau dua bulan. Kita tumbuh besar bersama. Gue tahu lo nggak pernah ragu atau mempertanyakan keputusan lo sama orang lain. Lo bukan tipe yang seperti itu. Lo tahu apa yang lo mau. Kalau udah mantap, pasti akan langsung lo lakukan. Kalau lo meragu dan nanya orang gini, lo harus tanya diri lo lagi. Itu aja."
"Sialan," umpatnya kasar.
Tiffany tertawa geli. "Khas Milky banget, ya, sering mengumpat. Tapi gue baru lihat lo bisa mirip tikus yang terjebak umpan, diam dan kalem gitu pas bareng Belva. Berasa nemu pawang. Kalau sama Sunday aja lo masih suka nggak kekontrol."
"Berisik, deh. Jadi nggak lo mau double date?"
Tiffany memasang senyum meledek. "Jadi, dong. Gue mau meluk-meluk Belva. Kapan lagi gue tikung cogan yang ditaksir sepupu sendiri."
Milky berdecak. "Ya bukan Belva lah. Ajak yang lain aja."
"Mana bisa. Oma nyuruhnya Belva, lho. Lagian gue nggak keberatan. Kalau lo nggak mau, gue siap menikung. Belva ganteng, gemesin, gentle pula. Kalau ada yang centil sama dia, tinggal gue usir. Lo juga nggak boleh centilin dia," ujar Tiffany pura-pura galak.
Milky mendelik tajam. "Nggak boleh bawa dia. Awas lo."
Tiffany tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya sampai membuat Milky risih dan memukul paha Tiffany cukup keras.
"Milk, lo tahu nggak?"
"Apaan?"
"You love him. Head over heels."
Milky diam seribu bahasa.
"Udah jangan denial mulu. Kalau ragu, ajak dua-duanya kencan di hari yang berbeda. Dari sana, lo bisa tahu mana yang bikin lo nyaman dan deg-deg ser macam ABG."
Milky manggut-manggut. Dia perlu bertemu dua orang itu di hari yang berbeda. Dia perlu meyakinkan dirinya lagi.
☕️☕️☕️
Seperti saran Tiffany kemarin, Milky mengajak Belva pergi untuk memastikan isi hatinya. Besok dia baru pergi dengan Sunday. Dia berdiri menunggu Belva menjemput. Dia tidak mengatakan untuk mengajak kencan, hanya sebatas menemaninya latihan judo.
Tepat saat Milky mengeluarkan ponsel, dia melihat motor Kawasaki Ninja 250cc warna hijau berhenti di depannya. Saat kaca helm dinaikkan, Milky tahu kalau laki-laki yang mengendarai motor yang sama dengan miliknya adalah Belva.
"Tumben bawanya motor?" tanya Milky penasaran.
"Sekali-kali biar kamu ngerasain naik motor bareng saya." Belva meraih tangan Milky, menarik pelan hingga yang bersangkutan sedikit lebih dekat dengannya. "Sini biar saya bantu pakai helm."
"Saya bisa sendiri."
"Kalau ada yang mau bantu, kenapa harus nolak?"
Milky tidak bertanya lagi, membiarkan Belva membantunya memakai helm. Setelah itu dia menduduki jok motor. Milky tidak memegang apa pun begitu sudah siap untuk berangkat.
"Pegangan, Milk. Takutnya kamu jatuh," ucap Belva.
"Kamu nggak akan sengaja ngebut biar saya peluk, kan?"
Belva tertawa kecil. "Kok, kamu tahu niat saya? Kalau udah tahu, jangan lupa pegangan. Kita berangkat, ya."
Milky tetap tidak mau berpegangan. Namun, ketika Belva mulai melajukan motornya dengan tiba-tiba, satu tangan Milky refleks mencengkeram bahu Belva. Dengan cepat Milky memukul bahu Belva.
"Jangan mendadak, dong. Bikin kaget aja," protes Milky.
"Maaf, maaf, Milk. Saya pikir udah siap berangkat," balas Belva cukup keras.
Milky berdecak kasar. Dia menarik tangannya dari bahu Belva, kembali tidak berpegangan. Milky jadi ingat waktu mengantar Belva ke rumah orang tuanya, Belva sempat menyuruhnya pelan-pelan. Mungkin ini ajang balas dendam?
Alih-alih mengebut, Belva melajukan motornya dengan cukup santai, tidak mau membuat Milky panik atau ketakutan seperti yang dia rasakan waktu dibonceng Milky. Apalagi Belva tahu Milky tidak pegangan jadi dia takut kalau nanti mengebut dan terjadi hal yang tidak diinginkan, dia takut Milky mendapat celaka serius.
"Kamu pernah jatuh nggak bawa motor ini?" tanya Milky dengan cukup keras, membiarkan kaca helmnya terbuka agar bisa bertanya.
"Pernah. Waktu itu sama Miawly. Ada mobil nerobos lampu merah dari arah berlawanan. Niatnya mau menggindar, eh, malah nggak bisa jadinya jatuh. Untung nggak dimarahin suaminya Miawly," jawab Belva terkenang cerita lama. Kalau ingat itu, dia merasa bersalah.
"Kenapa kamu boncengin istri orang? Nggak biasa boncengin yang single, ya?"
Belva terkekeh. Pasti dikira dia senang dekat sama istri orang. "Saat itu Miawly ajak ketemu dan curhat. Dia bilang mau nebeng sekalian dan suaminya nggak bakal marah. Ya udah saya antar."
"Heran. Kamu demen banget dekat sama istri orang. Kalau saya jadi Pangeran, saya maki-maki kamu. Udah antar pulang seenaknya, malah kecelakaan lagi."
"Bukan berarti saya mau ambil istri orang, Milk. Ann, kan, sahabat saya. Waktu itu dia lagi benci-bencinya sama Pangeran, baru dijodohin. Setelah itu, saya nggak antar dia pulang lagi, kok. Pangeran yang jemput istrinya," jelas Belva.
"Tetap aja. Mau sahabat pun, kamu harus tahu posisi kamu. Nggak cuma sama Miawly yang kamu ceritain, kamu sama Kak Kissy juga gitu. Mepet terus macam perangko," cerocos Milky dengan sedikit sewot. "Duh, punya pacar kayak kamu mah batin. Sebentar-sebentar dekat sama A, besoknya sama B, besoknya lagi sama C. Apa nggak bisa gitu kamu nggak digandrungi banyak perempuan?"
"Bisa aja. Kalau saya punya pacar, mereka bakal berhenti dekat-dekat. Makanya saya pengin kamu jadi pacar saya. Mau nggak?"
Milky tersentak kaget mendapat pertanyaan blak-blakan itu. Bibirnya mendadak mengatup rapat, tidak berani menanggapi apa-apa.
"Oh, iya, saya lupa. Kamu, kan, bentar lagi mau nikah sama Sunday. Nah, ini saya nemenin kamu bukannya nanti bakal dikira mepet-mepet sama jodoh orang? Kenapa mendadak ajak saya buat nemenin kamu, hm? Kenapa bukan Sunday aja?"
"Uhm ... itu ... Sunday lagi sibuk. Jadi saya minta kamu temani biar ada teman aja. Mungkin kamu tertarik ikut beladiri judo," jawab Milky beralasan.
"Wah ... saya jadi selingan, nih? Lumayan juga, belajar jadi selingkuhan," canda Belva.
Milky spontan memukul pundak Belva. "Jangan mengada-ngada, ya."
"Canda, Milk, canda. Ampun ... gebukannya sakit juga. Kali-kali dipijitin, dong, jangan digebukin mulu." Belva mengusap-usap pundaknya, yang kebetulan bisa bebas berbuat demikian saat lampu lalu lintas berwarna merah. "Kalau diusap-usap biar sakitnya hilang lebih bagus lagi."
"Nggak usah manja, deh."
Belva menahan tawa. Niatnya dia mau menggoda Milky jadi jangan sampai ketahuan tertawa. Belva kembali mengusap pundaknya, berpura-pura masih kesakitan.
"Kamu pura-pura sakit, ya, biar saya pijitin?" tembak Milky.
"Ketahuan, ya?" Belva sedikit menoleh ke belakang dengan menahan tawa. "Kamu pintar menebak, nih. Tapi kenapa nggak bisa nebak perasaan saya?"
Kata-kata Belva sedikit terdengar pengendara lain yang kebetulan cukup mepet dengan motor mereka. Dua orang perempuan seumurannya menahan kaget, salah satunya bahkan menepuk pundak temannya seolah memberi tahu sedang gemas. Melihat hal itu, Milky menutup kaca helm Belva agar tidak bicara lagi dengannya.
Milky melengos ke arah lain, menutup kaca helmnya. Bibir ditutup rapat-rapat agar tidak membahas hal lain. Biarlah mereka berjalan menuju tujuan tanpa pembicaraan. Sementara Belva, dia tertawa kecil menikmati reaksi Milky. Meskipun Belva tidak berharap apa-apa, tapi kalau melihat tingkah Milky yang selucu ini, dia jadi mau merebut Milky. Hanya saja Belva bukan tipe yang senang serobot sana-sini jadi biarlah seperti ini.
Baru beberapa menit setelah lampu lalu lintas berganti hijau, ponsel Milky bergetar berulang kali, membuat Milky terpaksa mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Milky melihat pesan yang berdatangan dari grup judo. Dalam pesan tersebut tertulis kalau latihan diundur esok hari karena pelatih mereka berhalangan hadir. Milky menaikkan kaca helmnya.
"Bel," Milky menepuk pundak Belva berulang kali.
"Ya?" Belva membuka kaca helmnya. "Kenapa?"
"Saya nggak jadi latihan judo. Kamu punya tujuan lain nggak? Saya bingung mau ke mana."
"Ada, sih. Sepertinya kamu suka tempatnya."
"Ya udah pergi ke tujuan kamu aja."
"Siap, Ibu Ratu."
Belva melajukan motornya lebih cepat. Begitu ada putar balik, Belva putar balik untuk pergi menuju tempat tujuan yang ada dalam benaknya. Sementara itu, Milky mulai berpegangan pada pundak Belva. Lambat laun pegangan Milky turun menuju pinggang Belva, yang pelan-pelan mulai melingkari perut Belva dan mengunci kedua tangan dengan erat.
Tindakan Milky berhasil mengalihkan pandangan Belva secara singkat pada tubuhnya yang dipeluk erat. Senyum di wajah Belva langsung muncul. Hatinya senang, berdebar-debar. Namun, kalau ingat Milky akan menikah, dia jadi tidak punya banyak harapan selain meminta waktu tidak berlalu dengan cepat.
☕️☕️☕️
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🥰
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro