Shots - 25
Nih dikasih triple update🤗
Inget, udah triple update, kudu kasih komen bejibun🙏😂
#Playlist: Lyodra - Mengapa Kita #TerlanjurMencinta
•
•
Setelah film usai, Milky pulang bersama Sunday. Mereka baru saja menyelesaikan film Mission: Impossible - Dead Reckoning Part One. Ingat film, dia teringat Belva. Dia pernah menonton film bersama Belva--hari itu pula dia main asal menyeruput minuman Belva. Pertama kalinya dia salah tingkah dan malu gara-gara hal itu.
"Milky?"
Milky tersentak. "I-iya?"
"Kamu mikirin apa? Daritadi aku panggil, lho," tanya Sunday.
"Aku lagi mikirin kerjaan," balasnya berbohong.
"Kenapa? Ada masalah sama penulis?"
"Nggak, lagi banyak yang perlu diurus aja soalnya mau ada acara meet and greet. Minggu depan acaranya. Aku kepikiran. Takut nggak berjalan lancar."
Sunday meraih tangan Milky, menggenggamnya dengan erat dan mengusap-usap punggung tangannya. "Tenang aja, semua pasti berjalan lancar. Kamu percaya aja. Jangan takut. Aku tahu kamu bisa."
"Iya. Makasih, Sun."
Milky memaksakan senyum. Melihat Sunday yang baik dan berusaha menenangkannya, dia teringat Belva yang pernah melakukan hal sama saat dia kesal. Sialan. Kenapa pikiran harus bawa-bawa Belva?
"Btw, kita mau makan di mana? Kamu punya tempat rekomendasi nggak?"
"Nggak. Kamu tentuin aja."
Kalau bersama Belva, sudah pasti tahu tempat tujuan tanpa perlu bertanya. Milky cuma tinggal ikut dan duduk manis. Dan lagi, pikiran sialan itu membuatnya kesal. Cukup bahas Belva. Dia sedang bersama sosok yang tengah berusaha agar bersamanya. Milky mengusir ingatan demi ingatan tentang Belva, berusaha fokus hanya dengan sosok di sampingnya.
"Mau makan di pinggir jalan?"
"Boleh."
"Oke, meluncur. Aku tahu tempat makan yang enak."
Milky diam seribu bahasa. Masih dengan tangan yang digenggam Sunday, dia berpikir cukup lama. Apa yang perlu dia lakukan supaya Oma memberi restu? Bicara mengenai restu, dia teringat lagi soal Belva. Kenapa Belva mempertanyakan hal itu? Apa benar Belva tertarik padanya?
"Milk?"
Milky tersentak lagi. "Ya?"
"Tumben diam aja. Jangan pikirin kerjaan terus. Kenapa nggak mikirin aku aja?"
Milky memaksakan tawa kecil. "Buat apa mikirin kamu kalau kamu ada di samping aku? Iya, kan?" Lantas, dia sedikit menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Sunday dan menyandarkan kepala di pundak laki-laki itu. "Kalau nanti Oma nggak merestui hubungan kita, jangan usaha lagi. Kita bisa nikah tanpa restu Oma, kok."
"Kamu yakin? Kalau Oma nggak datang ke pernikahan kita nanti, apa kamu nggak masalah?"
"Nggak apa-apa. Asalkan orang tua kita datang, itu cukup."
Sunday mengusap kepala Milky. Kebetulan lampu lalu lintas sedang merah jadi dia bisa mengusap kepala pujaan hatinya.
"Biar gimana Oma termasuk keluarga inti. Nanti orang-orang bingung kenapa nenek kamu nggak datang. Pokoknya kita usaha dulu, ya. Kalau nggak bisa, ya udah. Nanti kita cari cara lain. Oke?" ucap Sunday lembut.
Milky sedikit mendongak menatap Sunday. Senyum Sunday tidak pernah gagal menenangkannya.
"I love you, Milk."
Milky cuma bisa menarik senyum memandangi Sunday. Dan pelan-pelan wajah mereka berdekatan hingga menautkan bibir masing-masing. Jelas ini bukan kecupan biasa. Milky menutup matanya ketika ciuman mereka semakin dalam.
Ketika Milky memejamkan mata, berciuman dengan Sunday, sosok Belva muncul mengganggu pikiran. Ketimbang menikmati ciuman yang sedang berlangsung, dia malah teringat ciumannya dengan Belva. Teringat senyum dan tawa laki-laki itu saat bersamanya.
Milky tidak perlu mempertanyakan pikirannya. Dia sadar satu hal setelah cukup lama berpikir dan merasa perlu menemukan jawaban. Dia jatuh cinta dengan Belva. Hatinya telah berpaling. Perasaannya pada Sunday sudah tidak lagi seperti dulu. Entah bagaimana Belva meraih hatinya, dia hanya tahu bahwa dia merindukan laki-laki itu sekarang.
Dan ciuman yang cukup menguras banyak oksigen itu berakhir seiring lampu lalu lintas yang berganti hijau. Milky tidak menikmatinya.
Semua terasa kosong.
☕️☕️☕️
Hari ini merupakan acara meet and greet penerbitan Labyrinth Books. Semua penulis Labyrinth Books hadir. Hanya enam puluh orang beruntung saja yang bisa datang memeriahkan acara dan mendapat tanda tangan eksklusif secara langsung dari penulisnya.
Para pegawai Labyrinth Books sibuk mempersiapkan dan memastikan tidak ada yang kurang sebelum acara dimulai. Pegawai kedai kopi pun turut membantu atas perintah Belva. Yang punya kedai kopi juga ikut membantu secara sukarela.
"Mas Bel baik banget, deh, mau bantuin kita." Casya mulai jahil, melancarkan godaan supaya Milky terganggu. "Saya manggil Mas Bel seperti Milky. Boleh, kan, Mas Bel?"
Belva melirik Milky yang tengah merapikan rumbai-rumbai sebagai background belakang tempat duduk penulis. "Panggil Pak aja, Bu Casya."
"Yah ... nggak boleh, nih?" Casya pura-pura sedih.
Oceana menyerobot, "Biar Milky aja, ya, yang panggil Mas?"
"Iya, biar spesial," balas Belva dengan senyum lebar. Pandangannya beralih pada Milky, yang kebetulan Milky menoleh padanya.
Casya dan Oceana saling melempar pandang. Mereka senggol-senggolan bahu saking gemasnya. Tidak berhenti senyam-senyum meledek sahabat mereka. Untungnya di dekat mereka tidak ada pegawai lain jadi bisa seenaknya meledek.
"Bu Milky, dengar, tuh. Pak Belva cuma mau dipanggil Mas sama Bu Milky biar spesial," ujar Oceana jahil.
Milky berdecak. "Kalian berisik, deh. Urusin, tuh, balon ada yang pecah. Jangan ngomong mulu. Nanti yang lain keganggu."
"Galak banget Bu Milky ini. Padahal senang, tuh, lagi kembang kempis hidungnya," goda Casya.
Milky tidak menanggapi. Seperti kata Casya, hidung Milky kembang kempis. Kedua sudut bibir Milky sengaja ditahan agar tidak kentara mau tersenyum.
"Bu Milky, Pak Sunday udah datang. Tadi nitip ini soalnya Pak Sunday lagi balik ke mobil ambil barang yang ketinggalan," ucap Bella, salah satu pegawai, seraya menyerahkan buket bunga mawar pink kepada Milky.
Milky mengambil buket bunga mawar tersebut, memperhatikannya sejenak. "Makasih, Bella." Dia mencium aroma wangi dari bunga dan membaca kartu ucapan yang terpampang. Ucapan itu berupa penyemangat untuknya.
"Iya, Bu. Saya permisi," pamit Bella.
Oceana nyeletuk, "Duh, manis amat si berondong. Pak Belva nggak ikutan kasih bunga?"
Belva memperhatikan Milky. Sambil tersenyum dia menanggapi, dengan santai tentunya. "Kalau bisa beliin tokonya sekalian, kenapa harus kasih bunganya doang. Iya, kan? Milky bisa pilih mau toko bunga yang mana."
"Buset! Ini namanya aku mencintaimu secara habis-habisan, Pak Belva," canda Casya.
Oceana menimpali, "Mending secara habis-habisan. Ini secara gila-gilaan, bukan ugal-ugalan lagi."
Milky melihat Belva. Diam sebentar memperhatikan laki-laki itu yang tengah tertawa kecil mendengar candaan Casya dan Oceana.
"Kalau saya minta dibeliin 25 toko bunga, Mas Belva mau beliin?" tantang Milky.
"Tentu aja. Jangankan toko bunga, saya bisa kasih apa pun yang kamu mau," sahut Belva santai.
Casya dan Oceana berdecak sambil geleng-geleng kepala. Mereka berdeham kecil ketika Milky dan Belva saling melempar tatap.
"Udah, udah, jangan tatapan mulu. Gue lipet juga, nih, bumi!" usik Casya.
Belva terkekeh. "Bu Casya kalau mau lipet bumi, tunggu saya sama Milky pindah ke planet lain dulu. Jadi nggak ikut kelipet."
Oceana berdecak. "Hilih ... hilih ... Pak Belva, nih, kodenya ugal-ugalan banget. Pelan-pelan, Pak, pelan-pelan. Takutnya nyusruk doang."
Belva tertawa geli. Sebelum semakin terpingkal-pingkal dan takut dikira kesenangan dengar candaan Oceana dan Casya, ada baiknya dia pergi.
"Saya duluan, ya, Milk. Saya mau periksa gudang dulu. Semangat nanti acaranya. Saya doakan lancar," pamit Belva seraya mengusap kepala Milky. Tidak peduli lagi kalau nanti jadi bahan gosip.
Sepeninggal Belva, baik Casya dan Oceana saling memukul lengan masing-masing seperti anak SMA yang gemas melihat temannya dihampiri gebetan. Sementara yang diusap-usap sendiri tidak membalas. Namun, dengan sangat jelas pipi Milky merah merona.
"Asyeeeek! Pipi lo merah banget, Milk. Gile, gile, Pak Belva berhasil menggetarkan jiwa raga," ledek Oceana semakin menjadi.
Casya menambahkan, "Waduh! Pak Belva ini bukan ugal-ugalan doang, tapi gerusuk-gerusukan."
Milky berdeham, mengipas wajahnya dengan tangan agar pipinya tidak merah. Tidak mau menjadi bulan-bulanan dua sahabatnya, dia memukul bokong Casya dan Oceana agar diam. Dua sahabatnya tertawa puas menertawakan pipi merah meronanya.
Untungnya, beberapa pembaca sudah tiba. Jadi mereka kembali fokus lagi mengerjakan beberapa hal sebelum memulai acara. Milky pun fokus mengurus beberapa hal dan meletakkan buket bunga di atas meja.
☕☕☕
Dalam tiga puluh menit ke depan, acara pun dimulai. Para pembaca sudah berkumpul semua, penulis juga sudah hadir tanpa terkecuali. Mereka memulai acara dengan mengutus Sarah, salah satu pegawai, yang supel dan talkative untuk menjadi pembawa acara. Sedangkan Casya dan Oceana berdiri di belakang para pembaca untuk memastikan acara berjalan lancar. Milky sendiri duduk di barisan yang sama dengan penulis lain--bersampingan dengan Sunday.
Acara dibuka dengan basa-basi yang dilayangkan sang MC. Beberapa di antaranya menanyakan buku siapa saja yang telah mereka baca sambil menghampiri para pembaca untuk mendapat respons.
Salah satu penulis Labyrinth Books berbagi cerita dimulai dari Sunday. Bagaimana bisa menerbitkan buku hingga dilirik Labyrinth Books. Sunday yang tenang bisa dengan mudahnya bercerita mengenai pengalaman-pengalaman luar biasanya sebelum dan sesudah bergabung dengan Labyrinth Books.
Milky memperhatikan Sunday, mengingat momen pertama kali pertemuan mereka. Casya yang mengenalkan mereka. Seakan menjadi jembatan hubungan mereka, Sunday menjadikan Casya sebagai alasan untuk mendekati Milky. Teringat kenangan itu Milky jadi tertawa. Memang ada banyak jalan yang ditempuh Sunday sebelum bisa bersamanya, terutama menyingkirkan Bernard. Jauh sebelum memutuskan dengan Sunday, Milky sudah menjalin hubungan tanpa status dengan Bernard. Dan berkat Sunday pula, Milky merasakan kenyamanan dan berkeinginan untuk menjalin hubungan yang berstatus jelas. Kalau dipikir kembali akan masa lalu, kenapa sekarang perasaannya untuk Sunday menyurut?
Sesungguhnya Milky tidak pernah gagal mengetahui apa yang dia inginkan. Milky tahu betul hidup, keinginan, dan kemampuannya. Bahkan tekadnya meninggalkan Bernard yang hanya ingin bersenang-senang pun dilakukan setelah dia ingin hubungan yang stabil. Tapi khusus masalah Belva, dia butuh waktu cukup lama untuk berpikir. Apa benar dia jatuh cinta dengan Belva? Atau, pikirannya semalam muncul karena dia tidak bisa merasakan apa pun setelah berciuman dengan Sunday?
Lamunan Milky buyar setelah sang MC memanggil namanya. Milky mengambil alih microphone yang diserahkan Sunday dan mulai menceritakan pengalamannya dalam menulis sebelum mengembangkan penerbitan bersama dua sahabatnya yang berada di belakang sana.
Milky berbagi cerita dengan senyum dan canda tawa. Pandangannya sesekali beralih pada Sunday yang turut memberi tanggapan yang sama dengan para pembaca. Melihat senyum Sunday yang adem itu, dia sadar perasaannya untuk Sunday masih ada walau hanya sedikit.
Setelah Milky selesai bercerita, penulis lainnya mulai menceritakan pengalaman mereka. Usai sesi cerita-cerita, para pembaca diperbolehkan bertanya. Banyak yang mengacungkan tangan dan tidak sabar bertanya. Sang MC pun menunjuk dengan cepat dan memberi kesempatan di setiap sudut untuk bertanya.
"Selamat pagi, Kak. Saya Dona dari Jakarta Barat. Saya ingin bertanya sama Kak Sunday. Siapa inspirasi terbesar Kak Sunday dalam menulis? Terima kasih."
Sarah mengambil alih dengan tersenyum lebar, lalu menyerahkan microphone lain kepada Sunday. "Wah ... pertanyaan yang bagus, nih. Yuk, Kak Sunday boleh dijawab dulu."
Sunday mengambil alih microphone yang diserahkan Sarah padanya. Sambil memamerkan senyum, dia melirik Milky sebentar sebelum melihat pembaca yang bertanya. "Inspirasi terbesar saya tentu aja perempuan yang saya cintai. Kalian udah tahu orangnya."
"Wah ... siapakah perempuan itu?" Sarah menanggapi dengan senyum jahil. Meskipun sebenarnya sudah tahu, dia tidak berani menyiratkan secara jelas. "Ada bocoran nggak, nih? Takutnya ada yang belum tahu, Kak Sunday."
"Bocoran, ya?" Sunday bangun dari tempat duduknya, mengambil buku yang disembunyikan di belakang punggungnya. "Ini sebenarnya masih tahap cetak cuma saya udah dikasih dummy bukunya. Dalam buku ini, saya mencurahkan seluruh perasaan untuk satu perempuan. Dan..." Dia berjalan mendekati Milky sebelum akhirnya menyerahkan buku novel terbarunya kepada perempuan pujaannya sekaligus melanjutkan, "... saya harap kamu tahu kalau perempuan itu selalu kamu, Milky."
Sorak-sorak dan keterkejutan tak bisa ditampik. Para pembaca gigit jari penuh kegemasan menyaksikan kejadian itu. Para pegawai Labyrinth Books menganga, tidak menyangka Sunday akan menunjukkan cintanya secara terang-terangan.
Milky tersentak. Dia mendongak, menatap Sunday yang memasang senyum. Dia tahu buku terbaru Sunday dalam proses cetak, tapi dia tidak tahu kalau buku itu dipersembahkan untuknya. Milky membaca tulisan yang berjudul Call The Shots.
"Ada satu pertanyaan yang belum tuntas di buku ini. Jawabannya harus kamu yang jawab. Kamu boleh baca pertanyaan di akhir cerita ini," suruh Sunday.
Milky membuka lembar terakhir, menemukan pertanyaan yang menjadi akhir dari penutup cerita. "Will you marry me, My Main Squeeze?" ulangnya cukup lantang.
Panggilan My Main Squeeze adalah panggilan yang ditulikskan Milky dalam novel Main Squeeze miliknya untuk Sunday. Laki-laki itu membalas novel buatannya. Milky sulit berkata-kata.
"Ini balasan novel yang kamu buat. You're always be my favorite, My Main Squeeze. Aku nunggu jawaban kamu," tambah Sunday.
"Jawabannya apa, nih, Kak Milky? Kelihatannya yang lain juga penasaran," celetuk Sarah tak sabar. Namun, dia melihat gerakan tangan Oceana dan Casya untuk menyimpan jawaban itu. "Tapi kayaknya jawabannya disimpan dulu, ya. Biar kita jawab dulu, nih, pertanyaan yang lain. Biar kalian penasaran sampai pulang nanti."
Sunday kembali duduk ke tempatnya. Suasana bising tak kunjung surut setelah lamaran tidak terduga itu. Beberapa orang memotret momen itu dengan gemas. Tidak menyangka bakal menyaksikan dua penulis favorit mereka akan berada dalam satu frame dengan saling membalas novel.
Sunday berbisik, "Aku tunggu jawabannya, ya, Milk. Berapa lama kamu mau jawab, aku bersedia nunggu."
Milky menoleh, menatap Sunday dengan bingung. "Sunday..."
"Take your time. Nggak perlu buru-buru jawab. Oke?" Sunday mengusap kepala Milky dengan senyum cerah.
Milky diam memandangi Sunday. Kenapa? Kenapa Sunday harus berbuat hal yang membuatnya semakin bimbang? Namun, dia sudah mengenal Sunday jauh lebih lama. Laki-laki itu tahu bagaimana seluruh sikap buruknya, bisa menenangkan, dan menerimanya dengan baik. Tidak mungkin dia menolaknya, kan? Semua akan lebih mudah kalau dia memilih Sunday, yang lebih mengenalnya dengan baik daripada Belva. Iya, kan?
Sementara Milky dipenuhi kebingungan, ada hati yang patah setelah mendengar ungkapan cinta itu. Belva bersembunyi di balik dinding, mendengarkan seluruh ungkapan manis yang membuat orang-orang iri. Belva menarik senyum pahit.
Sepertinya Belva sudah tahu posisinya. Dia tidak beruntung lagi. Belva tidak tahu ucapan Hotelio soal lamaran Sunday akan dilakukan hari ini, dengan cara yang tidak bisa dia ikuti. Seperti dulu saja, dia keduluan. Lagi dan lagi.
"I'm happy for you, Milk," gumamnya pelan.
☕☕☕
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗♥️
Follow IG: anothermissjo
Salam dari Ayang Sunday😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro