Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Shots - 16

Yuhuuu update🤗❤️

#Playlist: David Guetta ft Bebe Rexha - Family

Di depan ibunya Belva, sikap Milky semanis anak kecil yang menuruti sang ibu. Dia ikut saja waktu Jihan mengajaknya makan di restoran Jepang. Jihan memesankan ramen dan sushi. Milky tidak menolak dan setuju saja.

Dalam perjalanan menuju restoran, Milky bilang sudah berpacaran dengan Belva. Soalnya dia mendengar Jihan berharap mereka pacaran jadi sekalian saja berbohong. Anggap sebagai balasan darinya untuk Belva yang sudah bersedia menjadi kekasih palsunya di depan Oma. Sekarang dia harus melakoni perannya dengan baik.

"Akhirnya bisa berduaan sama calon menantu." Jihan tersenyum gembira. "Tante, tuh, udah lama banget pengin ajak pacarnya Belva jalan berdua gini. Eh, dianya nggak punya pacar lagi setelah putus dari Sabrina."

Apakah Sabrina adalah perempuan yang paling lama berpacaran dengan Belva? Milky penasaran.

"Yang paling lama pacaran sama Belva, Tante?" tebak Milky.

"Bukan, Nak. Yang paling lama sama Belva mah Miawly. Sabrina ini pacar kedua dan terakhir yang dipacarin sama Belva. Kalau nggak salah Belva udah jomlo dua tahun, deh, setelah putus dari Sabrina."

Milky baru tahu kalau ternyata sosok terlama yang dipacari Belva merupakan istri dari Pangeran. Ajaib sekali Pangeran mengizinkan Miawly mampir ke apartemen Belva waktu itu. Kalau dia jadi Pangeran, dia takkan mengizinkan meski ada embel-embel sahabat. Mana ada perempuan dan laki-laki bersahabat? Apalagi pernah ada hubungan di masa lalu.

"Belva nggak cerita soal mereka berdua, ya?"

Milky menggeleng. Ya, jelas tidak cerita. Siapa pula dia sampai harus tahu masa lalu Belva? Tidak mungkin Belva menceritakan hubungan terdahulu. Mereka, kan, tidak lagi pendekatan.

"Miawly paling lama sama Belva. Mereka putusnya baik-baik, sih. Kalau sama Sabrina agak ngeselin. Marah-marahin Miawly gara-gara terlalu akrab sama Belva. Eh, ternyata duri di kakinya sendiri. Sabrina selingkuh mulu cuma Belva diemin sampai capek sendiri. Heran tante, tuh. Kok, Belva malah diem aja gitu? Nggak sakit hati apa?" cerita Jihan.

"Belva diselingkuhin?" ulang Milky.

"Iya, Nak. Tante suka bingung, apa yang kurang sama anak tante sampai diselingkuhi, ya? Padahal Belva anaknya baik. Nggak pernah marah atau ngambek sama Tante. Pokoknya baik banget. Tante minta apa pasti dibeliin sama Belva. Makanya heran, sebaik itu malah disia-siain. Apa jangan-jangan Belva cuek, ya?"

"Nggak, kok, Tante. Belva perhatian banget. Nggak ada cuek-cueknya. Mungkin salah ketemu perempuan aja."

Jihan menghela napas, menggamit tangan Milky, dan menggenggamnya. "Tolong baik-baik sama Belva, ya, Nak. Tante penginnya Belva bahagia."

"Tenang aja, Tante. Belva berada di tangan yang tepat." Milky mengulas senyum melancarkan akting palsunya sebagai kekasih yang baik.

"Makasih, Milky." Jihan mengulas senyum lebar. "Omong-omong––"

"Jihan?" Sapaan tidak terduga itu datang dari samping kiri. Kontan, mereka berdua menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggil.

"Ah, ampun. Ketemu aja lagi," gerutu Jihan terang-terangan.

"Kenapa, sih, tiap ketemu aku, omongan kamu begitu? Padahal aku cuma nyapa, bukan malak uang," balas pria itu.

"Soalnya muak." Jihan memutar bola matanya menunjukkan ketidaksukaan.

"Memangnya kamu pikir aku nggak muak?"

Milky memperhatikan keduanya bergantian. Wajah pria itu sangat tampan dengan tubuh tinggi. Wajah-wajah blasteran yang tiada dua. Kalau kata perempuan-perempuan seumurannya, wajah om-om kaya raya versi novel mafia. Warna iris pria itu cokelat seperti warna irisnya Belva.

"Berisik, deh. Malu sama calon mantu, tahu," dengkus Jihan, yang segera melihat Milky. "Nak, maaf, ya. Semoga kamu nggak menganggap Tante dan Om tua ini beneran berantem. Kami senang begitu tiap ketemu."

"Menantu?" ulang pria itu.

"Iya. Ini pacarnya Belva. Makanya jangan urusin Freya doang. Belva punya pacar baru." Jihan memberi tahu. Lantas, dia menunjuk pria itu saat melihat Milky. "Nak, ini papanya Belva, Steven Russell."

"Halo, saya Steven." Pria itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah.

Milky menyambut uluran tangan pria itu sambil ikut tersenyum. "Halo, Om. Saya Milky. Senang berkenalan dengan Om."

"Senang juga bisa berkenalan dengan kamu, Milky," balas Steven.

Jadi ini sosok yang tidak pernah dekat dengan Belva. Kalau melihat sikap ramah Steven, dia rasa tidak ada yang salah. Selain itu, senyum yang dimiliki Steven sangat mirip dengan senyumnya Belva. Seakan-akan senyum ayah dan anak itu diturunkan secara khusus.

"Udah sana pergi. Aku mau makan sama Milky," usir Jihan.

Alih-alih pergi, Steven duduk di samping Jihan. Tentu saja Jihan memelototi Steven dan berdecak berulang kali agar pergi. Namun, Steven tidak mau pergi sama sekali. Malah Steven seenaknya menyeruput ocha dingin punya Jihan tanpa permisi.

"Ah, ampun. Bikin emosi aja. Jangan ganggu acara makan siang aku, deh. Kamu perusak suasana banget," dumel Jihan sebal.

"Memangnya nggak boleh gabung? Aku juga mau makan siang bareng Milky. Mau kenalan sama dia lebih jauh," balas Steven tak mau kalah.

"Memangnya kamu nggak makan bareng teman kantor atau istri kamu? Jangan mendadak jadi orang ketiga, deh. Ini cuma untuk perempuan aja. Kamu bukan perempuan, kan?"

"Nggak. Lagi makan sendiri. Anggap aja aku perempuan. Dulu kamu pernah nyuruh aku ganti pakai rok aja daripada celana, kan?"

Jihan berdecak. "Rese!"

Milky memperhatikan dan mengamati keduanya. Walau mungkin terkesan saling jengkel-jengkelan, keduanya masih menunjukkan percikan ramah sedikit di antara mereka. Bisa dibilang diam-diam ada perhatian yang masih tertuang untuk satu sama lain. Milky bisa menangkapnya dari cara Jihan mengambilkan sumpit dan meletakkan di atas piring kosong milik Steven. Padahal sumpit berada lebih dekat dengan Steven. Sedangkan Steven menarik kursi Jihan sedikit lebih dekat setelah ada pelayan sedang terburu-buru membawa nampan. Sebenarnya hal-hal kecil itulah yang paling mencolok ketimbang obrolan penuh emosi.

"Udah lama pacaran sama Belva, Milky?" mulai Steven.

Milky tersentak melamunkan kedua orang di depannya. Dia menjawab pelan. "Belum lama, Om. Baru pacaran."

"Oh, gitu." Steven manggut-manggut. "Berarti udah pernah ke kedai kopinya Belva?"

"Sering lah. Ya kali nggak ke sana. Kamu gimana, sih? Pertanyaan aneh," serobot Jihan sewot.

"Aku nanya Milky, kenapa kamu yang jawab? Kan, pengin tahu. Siapa tahu Belva nggak ajak ke sana."

"Kalau kamu orangnya jelas dia nggak mau ajak ke sana. Kamu nyebelin," ujar Jihan.

Steven ingin membalas, tapi dia tidak enak dengan Milky. Melihat Milky senyam-senyum, dia yakin Milky menganggap mereka seperti kucing dan anjing. "Maaf, Milky. Kami sering begini. Semoga nggak bikin kamu risih, ya."

"Nggak, kok, Om. Santai aja." Milky terus memasang senyum sampai tulang pipinya sakit. Dia tidak terbiasa senyum lama-lama. Duh, gini amat jadi pacar palsu. Sok manis banget gue.

"Kamu pergi, deh, sebelum Belva datang. Aku minta dia nyusul ke sini," usir Jihan sambil menunjuk pintu keluar dengan gerakan bola matanya.

"Belva datang?" Raut wajah Steven berubah cerah. "Kalau gitu aku tungguin."

"Terserah, deh." Jihan menyerah. Biar saja mantan suaminya kena amuk Belva. Toh, dia sudah memberi tahu.

"Oh, ya, kira-kira udah ada omongan menikah belum?" tanya Steven ingin tahu.

"Mereka mau nikah dua bulan lagi. Kamu nggak diundang," celetuk Jihan.

"Oh, ya?" Kegembiraan di wajah Steven meredup. Kesedihan tampak nyata mengisi wajah rupawannya.

"Nggak, Om. Kami belum kepikiran ke sana. Kan, baru pacaran. Kami masih saling mengenal dulu. Kalau nanti ada omongan itu, saya pasti sampaikan sama Om dan Tante," balas Milky lembut.

"Makasih, ya, Milky. Om senang dengarnya." Senyum di wajah Steven kembali mengembang. "Nanti kalau Belva...." Kalimat Steven tertahan setelah menyadari kedatangan putranya. "Bel," sapanya pelan dengan senyum cerah.

Tadinya Belva tersenyum lebar melihat sang ibu. Saat menyadari ayahnya ada di sana, raut wajahnya berubah. Senyumnya pudar. Dia memalingkan wajah tanpa menanggapi sapaan ayahnya, lantas melihat Milky yang duduk memunggungi pintu masuk.

"Ayo, pulang," ajak Belva kepada Milky.

"Apa-apaan pulang. Baru juga sampai, Bel," protes Jihan. Detik selanjutnya dia sadar akan sosok di sampingnya dan memutar bola mata. "Ah, kamu, sih. Udah tahu anakmu nggak suka."

Milky memperhatikan Belva. Tidak ada senyum sama sekali. Seperti sosok lain yang baru dia lihat. Mata Belva memancarkan penuh kebencian.

"Makan dulu, ya," bujuk Milky.

"Nanti lagi aja makan sama Mama. Sekarang kita pulang," balas Belva dingin.

Milky menggamit tangan Belva, menggenggamnya dengan menunjukkan puppy eyes. Sambil mendongak, dia membujuk lagi. "Makan dulu aja, ya. Mau, kan ... Mas?"

Tatapan membujuk Milky berhasil menghancurkan pertahanan Belva untuk menolak. Sudah begitu Milky sangat imut menunjukkan tatapan memohon padanya seperti anak kucing. Aduh, tidak bisa dielak kalau dia gemas! Dan juga, Milky memanggilnya dengan embel-embel 'Mas'. Dunia serasa mau runtuh. Akhirnya Belva luluh dan duduk di samping Milky.

Jihan senyam-senyum melihat Belva tunduk seperti anak ayam. Steven tersenyum secara terang-terangan senang melihat Belva bersedia satu meja dengannya.

Tak lama setelah itu, Steven memanggil pelayan dan memesan makanan. Begitu pula Belva yang terpaksa memesan makanan gara-gara Milky memaksa. Seusai memesan makanan, suasana kembali hening dan canggung. Mereka diam cukup lama.

"Bel, minggu depan––"

"Ma, pesawatnya berangkat jam berapa?" Belva memotong kalimat Steven yang belum selesai dipertanyakan.

"Mama, kan, udah kasih tahu. Memang..." Jihan segera sadar putranya cuma basa-basi. Tentu untuk menghindari pertanyaan Steven. "Jam sepuluh malam baru berangkat," lanjutnya.

"Ya udah nanti aku antar ke bandara," kata Belva.

"Iya, Nak."

Milky memperhatikan Steven yang mengurungkan niat untuk bicara dengan Belva. Dia melihat Steven berusaha untuk menjangkau, tapi Belva terang-terangan mendorong obrolan agar tidak terlibat dengan Steven.

"Om tadi mau ngomong apa?" sela Milky.

Steven menggeleng. "Nggak jadi, Milky."

Milky tidak tahu seberapa besar kebencian menumpuk dalam diri Belva untuk ayahnya. Namun, hanya dari obrolan yang tidak ditanggapi, tampaknya ketidaksukaan Belva sangat jelas. Dia bisa melihat Belva sebagai sosok yang berbeda jika bersama ayahnya. Tidak ada keramahan. Senyum pun tidak ada.

"Om suka main golf nggak?" Milky berusaha mengajak Steven bicara.

"Suka. Milky suka?" balas Steven.

"Lumayan, Om. Kapan-kapan kalau Om ada waktu, kita main golf bareng. Nanti Belva juga ikut." Milky menyenggol lengan Belva sampai laki-laki itu menoleh padanya. "Ikut, ya, kalau nanti main golf bareng papa kamu?" Tahu Belva akan menolak, dia sengaja menggenggam tangan Belva dari bawah meja. Memasang senyum manis lagi untuk membujuk laki-laki itu.

Seperti tahu Belva mulai terombang-ambing sejak tadi melihat senyum Milky, dia mengangguk pelan menyetujui. Persetujuannya memberi Belva akses untuk melihat senyum lebar Milky yang tidak pernah ditunjukkan sekali pun.

"Minggu depan biar Om atur waktu. Makasih, Milky." Raut wajah Steven berubah cerah.

Milky ikut senang. "Iya, Om." Lalu, dia membebaskan tangan Belva dari belenggu genggamannya. "Kalau Tante udah pulang dari Jepang, kita belanja bareng, ya," lanjutnya.

"Pasti. Duuuuh, nggak sabar!" seru Jihan penuh semangat.

Setelah itu obrolan berlanjut. Milky mengajak Steven bergabung dalam obrolan bersama Jihan. Sedangkan Belva cuma diam dan memperhatikan, tidak mau ikut-ikutan mengobrol. Kalau Belva berdua ibunya, mereka akan membahas banyak hal. Berhubung ada ayahnya, Belva menahan diri untuk tidak bicara. Belva terlalu malas menanggapi ayahnya.

Tak terasa perbincangan yang berlangsung mengikis waktu menunggu makanan tiba. Ramen dan sushi datang lebih dahulu, lalu kemudian disusul ramen pesanan Steven.

Steven hendak mengambil sambal yang terletak di dekat Belva, tapi dia ragu-ragu. Milky menyadarinya dan segera menyenggol lengan Belva untuk mengambilkan. Belva menyerahkan sambal kepada ayahnya dengan wajah dingin.

Tak lama gyoza pesanan Belva datang. Milky tahu Belva tidak akan menawarkan ayahnya dan cuma menganggap ibunya saja.

"Om mau gyoza?" tanya Milky.

Steven ragu-ragu menjawab sambil memperhatikan ekspresi putranya. "Uhm ... nanti Om pesan sendiri."

Milky menyenggol bahu Belva. Saat laki-laki itu menoleh, dia berkata, "Kasih Papa gyoza kamu, tuh. Papa mau."

Milky pikir suaranya cukup pelan hanya untuk didengar Belva. Nyatanya Steven dan Jihan bisa mendengar dengan jelas. Milky tidak sadar mulutnya berulah.

"Papa?" ulang Belva.

Sialan! Milky mengumpat dalam hati. Kok, gue manggil Papa, sih? Itu, kan, bapaknya Belva bukan bapak gue. Dia pun buru-buru meralat, "Maksudnya papa kamu. Sori."

"Ih ... kok, gemes!" celetuk Jihan senyam-senyum.

"Kamu boleh manggil Papa, kok, Milk. Om nggak masalah," sambung Steven.

Milky nyengir. "Iya, Om." Sebelum semakin malu, dia melihat Belva lagi, memberi kode pada laki-laki itu melalui matanya untuk memberikan gyoza kepada Steven.

Belva sudah seperti robot penurut di depan Milky. Dia menuruti semua yang dikatakan Milky tanpa berniat menolak. Belva meletakkan empat gyoza di atas piring kecil kosong dan menyerahkan kepada ayahnya.

"Jangan lupa bilang selamat makan," bisik Milky.

Belva mengikuti lagi. "Selamat makan, Pa."

"Good job," bisik Milky lagi.

Kali ini Belva berbisik, "Kalau good job harusnya nggak kabur gitu aja pagi ini."

Milky tidak membalas, memamerkan senyum saat menatap orang tua Belva. Dia lupa soal itu. Semoga saja setelah ini dia bisa pulang dengan tenang tanpa diberondong pertanyaan Belva soal kepergiannya.

"Saya tunggu penjelasannya, Milky," bisik Belva sekali lagi.

Sialan. Belva seperti bisa membaca pikirannya. Milky harus segera mencari cara agar tidak berurusan dengan Belva. Bukan apa-apa, dia malu. Takut ketahuan kalau dia menikmati malam panjang mereka.

☕️☕️☕️

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗❤️

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Bapaknya Belva😍😍🫶🏻

Salam dari mamanya Belva🤗🫶🏻🫶🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro