Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Shots - 11

Chapter ini asli panjang banget hampir 3000 kata wkwk 

Komen yang banyak ya gaes~~~ biar lancar jaya updatenya kasih komen ehehe

#Playlist: Zhang Bichen - You Are My Only Wish (OST HIDDEN LOVE)

Kata orang, terlalu banyak berpikir jauh tidaklah baik. Namun, Milky kepikiran sejak masuk kantor gara-gara kebiasaan buruknya kalau sedang mabuk. Belva tetap bungkam meski dia sudah bertanya berulang kali dan malah pamer senyum saja.

"Ah, gila! Manusia gila!" Milky menggebrak meja tidak bisa tenang. Dia mengacak rambutnya frustrasi.

Kalau memang dia mencium Belva, dia harus tahu bagian mana yang dicium. Memikirkan saja sudah bikin sakit kepala. Bisa-bisanya dia mencium Belva padahal mereka tidak sedekat itu.

"Siapa yang gila? Ngamuk mulu tiap hari," sela Casya, yang baru saja memasuki ruangan Milky.

Milky tersentak kaget. "Ketuk pintu dulu, kek. Ngagetin aja!"

"Gue udah ketuk pintu, lho. Lo aja nggak dengar. Terlalu fokus acak rambut udah mirip orang gila," ledek Casya.

Memang benar, Casya sudah mengetuk pintu. Namun, Milky tidak menyahuti sehingga Casya masuk saja. Takutnya Milky tidak ada di ruangan atau sedang melipir ke divisi legal.

"Gimana? Lo udah tanya perihal tempat sama Pak Belva?" tanya Casya seraya duduk di sofa ruangan Milky––posisinya berhadapan dengan meja kerja sang sahabat.

"Astaga!" Milky menepuk keningnya. Sibuk memikirkan mabuk, dia kelupaan bahas bisnis. Padahal rencana awal mengunjungi Belva untuk menanyakan soal kedai kopi. "Nanti, deh. Gue lupa."

"Tanyain segera. Jangan sibuk kencan sama Pak Belva." Lagi, Casya meledek. Kali ini setengah terkekeh.

"Siapa yang kencan? Ngarang aja," elak Milky.

"Really?" Casya memainkan alisnya menggoda sang sahabat. "Siapa yang tadi pagi berangkat bareng? Dibukain pintu, dikasih makanan, dan disenyumin. Apa yang naik mobilnya Pak Belva cuma mirip sama lo? Tapi yang mukanya ngeselin, ya ... lo doang."

"Sialan." Milky mendengkus sebal. "Udah, ah, nggak usah gosip. Gue ketemu di pinggir jalan terus dia ajak bareng. Ya udah sekalian."

Casya senyam-senyum penuh arti. "Nggak apa-apa kalau lo memang pendekatan sama dia. He's a good man. Kelihatannya, sih. Belum kenal secara personal. Tapi mukanya memang muka good boy."

"Gue mau periksa kontrak penulis baru. Lebih baik lo keluar. Jangan ganggu kerja gue," usir Milky.

Casya bangun dari tempat duduknya. "Iya, deh, yang mau fokus makan makanan dari Pak Belva. Gue cabut. Nanti kabarin kalau udah bahas sama dia. Oke? Jangan kencan mulu dibanyakin. Kerjaan kita numpuk, Saaay!"

Milky sudah menaikkan tangannya hendak melempar sandal. Untungnya Casya sadar dan sigap berlari keluar. Saat pintu akan ditutup rapat, Casya menjulurkan lidahnya meledek Milky sebelum akhirnya pergi dari sana.

Milky mendesah kasar. Dia melirik tas tote pemberian Belva di atas meja kerjanya. Belva bilang dia harus minum jus dan makan makanan bergizi. Ada pula sandwich dan biskuit berserat tinggi yang bisa dinikmati di waktu senggang saat bekerja. Dia tidak pernah diberikan bekal seperti ini kecuali sama Belva.

Bahas soal Belva sampai sekarang dia tidak punya nomor Belva. Alamat rumah sudah tahu. Tinggal menanyakan nomor ponsel kepada yang bersangkutan. Dan Milky jadi beneran lapar gara-gara ingat Belva menyiapkan sandwich untuknya.

Dia mengeluarkan tiga kotak makan dan satu botol minum. Yang tidak Milky sangka botol minumnya bukan sembarang botol minum melainkan terbagi menjadi dua bagian. Satu diisi dengan jus, satunya lagi diisi kopi. Selain botol dan kotak makan, Milky menemukan sticky note ditempel di tiap bagian kotaknya untuk sebuah penjelasan. Milky membaca salah satunya. 

Ini untuk mengisi perut Bu Milky yang kosong. Jangan sampai sakit. 

-Bel

"Masih ada, ya, laki jenis ini di muka bumi?" gumam Milky tidak percaya.

Catatan demi catatan yang ditinggalkan semakin membuat Milky tambah tidak percaya dan curiga. "Bener kali, ya, si Belva ini naksirnya laki? Biasanya yang manis-manis gini naksirnya laki-laki ganteng juga. Jarang banget naksir perempuan yang manis dan romantis gini."

Sebelum sejumlah pertanyaan memusingkan kepala karena tidak ada jawabannya, Milky memutuskan melahap sandwich dengan tenang sambil melihat layar komputer. Beberapa menit sibuk mengunyah sandwich, mata melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Sepertinya dia harus mengajak Belva makan siang bersama untuk membahas bisnis. 

Milky buru-buru merapikan kotak makan dan meneguk sedikit jus. Barulah setelah itu dia turun ke bawah untuk membahas perihal bisnis. Ya, semoga saja ada Belva. Jika tidak, dia akan menghampiri Belva di kedai kopi utama atau apartemen laki-laki itu.

☕☕☕

Tiba di lobby, Milky menemukan Belva sedang berbincang dengan seorang perempuan di dalam kedai kopi. Belva tidak tersenyum lebar, hanya tipis seperti lembar tisu. Wajah perempuan itu tampak sedih. Milky penasaran. Apa yang sedang terjadi? Tidak mau cuma sebatas memperhatikan, Milky memasuki kedai kopi. Dan baru beberapa langkah masuk, dia mendengar obrolan para pegawai kedai kopi.

"Ini udah perempuan ke berapa yang ditolak sama Pak Belva?" 

"Empat puluh? Lima puluh? Duh, banyak banget sampai nggak kehitung." 

"Pak Belva nggak mau coba pendekatan dulu apa? Atau, jangan-jangan seleranya beda?" 

"Suka laki-laki? Ih ... gue juga mikir begitu, sih."

Mendengar obrolan itu, membuat Milky berdeham. Dia memesan kopi, memutus obrolan asal bunyi. Setelah selesai memesan kopi, Milky duduk di ujung ruangan dekat jendela. Tempat terbaik untuk menghindari suara obrolan orang dan bisa tenang mnikmati pemandangan. Dia sempat melengos pura-pura tidak melihat Belva yang melempar senyum saat masih berhadapan dengan perempuan asing itu. 

"Kayaknya memang naksir laki-laki. Masa nggak mau pendekatan dulu?" gumam Milky sambil melihat ke luar jendela.

"Siapa yang nggak mau pendekatan, Bu? Bu Milky sama saya?" 

Milky terlonjak kaget. Saat melihat Belva duduk di depannya sambil tersenyum, dia hampir saja mengumpat. 

"Kenapa tadi saya senyumin nggak dibalas, Bu? Kan, mau lihat senyumnya Bu Milky." Belva memasang wajah pura-pura sedih. Bibirnya melengkung ke bawah. 

"Takut ganggu Pak Belva sama gebetan."

"Gebetan saya mah Bu Milky, dong." Belva bertopang dagu, memasang senyum meledek. 

Milky berdecak. "Orang gila." Lalu, dia melihat pemandangan di luar sana. "Omong-omong, saya mau bahas bisnis. Saya mau makan di luar. Pak Belva mau ikut atau bahas bisnisnya nanti aja?"

"Ini ajakan kencan, ya, Bu?" goda Belva.

"Terserah." 

Belva terkekeh. "Saya ikut, Bu. Mau pergi sekarang?"

Tanpa mau membuang waktu, Milky keluar dari tempat duduknya. Sebelum dia mengambil cup kopi, Belva sudah melakukan lebih dulu. Milky membiarkan Belva membawakan kopinya dan berjalan lebih dahulu. 

Tiba-tiba ponsel Milky berdering. Milky melihat nama Nerakasara muncul sebagai id caller. Niat hati tidak ingin menjawab lantaran sepupunya suka meminta hal di luar nalar. Namun, ujung-ujungnya dia menjawab, takut penting.

"Apaan?" jawab Milky jutek. 

"Damn! Oma mau jodohin lo, Susuuuu!" sahut Nerakasara.

"Maksud lo? Jangan bercanda, ya." 

"Gue serius tahu! Ini gue lagi di rumah Oma. Gue dengar dia mau jodohin lo sama cucunya siapa gitu. Cucu temannya, deh. Soalnya dia khawatir lo nggak mau nikah setelah bubar sama Sunday. Apalagi adik lo udah nikah. Dia makin takut lo terlalu nyaman sendiri. Gue nggak bohong. Mending lo bawa aja pacar ke rumah Oma nanti sore." 

Milky berdecak. "Lo gila, ya? Gue nggak punya waktu cari pacar. Mana ada instan begitu."

"Lo pungut, kek, dari jalanan. Lo juga bisa minta tolong Partikel pura-pura jadi pacar lo. Apa lo lebih baik dijodohin? Ih ... gue, sih, ogah. Bukan zaman Siti Nurbaya, Sist." Suara Nerakasara terdengar heboh dan menggebu-gebu. Cara bicaranya cepat seperti sedang dikejar-kejar. "Eh, eh, minta Belva aja. He's the right one! Gila lo, sesempurna Belva dilupakan."

Milky spontan melihat Belva yang berdiri di sampingnya. Ketimbang Partikel, dia lebih leluasa meminta tolong kepada Belva. Belakangan mereka sedang akrab jadi mungkin saja Belva bersedia. Dia berdeham sebentar. 

"Nanti gue pikirin. Lo bilang aja sama Oma kalau nanti sore gue mau ke sana. Bye." 

"Oke, gue sampaikan sama Oma. See you, Susu Basiiiiii!"

Sambungan telepon langsung dimatikan sepihak oleh Nerakasara. Ingin rasanya Milky mengumpat, tapi dia menahan diri. Dia melihat ke samping mendapati Belva tersenyum seperti biasa. Lama-lama Milky terbiasa melihat senyum ramah itu. 

"Kenapa, Bu?" tanya Belva.

"Pak Belva mau jadi pacar saya?" 

"Gimana, Bu?" ulang Belva. 

"Pacar palsu. Nenek saya mau jodohin saya sama kenalannya. Kalau saya bawa pacar, nenek saya pasti tahu kalau saya nggak mau dijodohkan. Ya ... kalau Pak Belva nggak bisa bantu saya nggak apa-apa, kok. Saya mintanya mendadak. Maaf." 

Belva terkekeh. "Kenapa harus minta maaf, Bu? Saya bersedia, kok. Pura-pura jadi pacar doang, kan?" 

Milky mengangguk. "Masalah berapa lama pacaran atau apa pun itu, terserah Pak Belva. Oma saya pasti nanyanya sama Pak Belva, bukan saya." 

"Oke, saya ingat. Terus sekarang jadi lunch date nggak, Bu?"

Saat Belva menyebutkan lunch date, ada beberapa pegawai kedai kopi dan penerbitan yang lewat. Milky menyadarinya dan langsung memukul lengan Belva sebagai refleks untuk menyangkal pertanyaan. 

"Bukan lunch date, maksi biasa. Saya mau bahas bisnis," tegas Milky.

"Iya, iya, lunch date. Saya paham," canda Belva.

"Bukan! Saya bilang maksi biasa," protes Milky merengut sebal.

Belva selalu suka ekspresi kesal Milky yang menurutnya cukup menggemaskan. Padahal dia bukan tipe yang suka senyam-senyum perkara ekspresi kesal. Namun, ekspresi Milky tidak pernah gagal membuat Belva terkekeh geli. 

"Aduh, lucunya..." Belva refleks mengacak-acak rambut Milky.

Milky diam tertegun. Orang-orang yang tidak sengaja melihat langsung berbisik-bisik menciptakan gosip. Milky pun buru-buru mempercepat langkahnya setelah menepis tangan Belva. Bukan Milky tidak suka, tapi ada yang membuat dadanya berdebar-debar.

"Dasar gila! Seenaknya aja acak-acak rambut gue," gerutunya sebal. 

Namun, wajah Milky menunjukkan hasil sebaliknya. Merah padam. Warna merahnya seperti habis berjemur di bawah matahari. Dan sementara itu, Belva menyusul dari belakang sambil tidak berhenti senyam-senyum. 

☕☕☕

Di ruang tamu kediaman Oma Aya, neneknya Milky, suasana cukup tegang. Milky dan Belva duduk bersampingan, sedangkan Oma Aya duduk berhadapan dengan mereka. Di sisi sofa kayu lainnya terdapat Nerakasara dan Cloud. Mereka sedang janjian menunggu Milky dan bersiap menjadi tameng jika sewaktu-waktu Oma Aya meledak-ledak.

Oma Aya mengamati Belva. Dari ujung kepala sampai jempol kaki. Milky berdeham guna menyudahi tatapan neneknya yang cukup memuakkan. 

"Kamu serius sama Milky? Mau dibawa ke mana hubungan kalian?" tanya Oma Aya setelah perkenalan berlalu beberapa menit.

"Saya serius, Oma. Saya punya planning menikah dengan Milky," jawab Belva tenang.

Milky lirik-lirik tipis ke samping. Dia was-was, Belva tenang. Tampaknya Belva tidak punya takut sama sekali menghadapi neneknya yang super menyebalkan. Milky sendiri sudah muak. Namun, Belva tenang-tenang saja.

"Oke. Kamu punya tato, merokok, dan suka mabuk-mabukan?" 

"Saya nggak punya tato sama sekali, saya nggak merokok, dan saya nggak suka mabuk-mabukan, Oma."

"Buat apa, sih, Oma nanya begituan? Itu, kan--"

Oma Aya menyela ucapan Milky yang belum selesai. "Kamu diam aja. Oma nanya demi kebaikan kamu."

Milky ingin protes lagi, tapi Belva memberinya kode melalui genggaman tangan dan senyum manis. Selama memperkenalkan Belva, dia sudah bergenggaman tangan dengan Belva supaya neneknya muak duluan. Jangankan muak, neneknya malah menginterogasi seperti sedang seleksi calon suami. Padahal Milky cuma mau mengajak Belva sebagai pacar agar tidak dijodohkan, bukan calon suami yang perlu diselidiki.

"Kamu punya saudara kandung? Keluarga kamu bercerai?" tanya Oma.

"Oma!" Mata Milky melotot tajam. Terserah bagaimana neneknya akan menganggap dia sopan atau tidak. Dia kesal mendengar pertanyaannya. "Nggak usah dijawab yang terakhir," ucapnya pada Belva.

"It's okay." Belva mengusap kepala Milky, masih dengan senyum yang sama. Dengan tenangnya dia menjawab, "Keluarga saya bisa dibilang nggak utuh lagi. Papa dan Mama saya udah menikah lagi. Soal saudara kandung, saya punya satu kakak perempuan. Saya punya dua saudara tiri dari ayah tiri saya, dua-duanya perempuan dan lebih tua. Sedangkan yang satu ayah sama saya dan beda ibu, ada dua adik perempuan dan laki-laki. Jadi keluarga saya cukup ramai."

Oma Aya manggut-manggut. "Kamu tahu nggak keluarga kami nggak ada yang cerai? Kami terdiri dari keluarga utuh dan menjunjung tinggi kesetiaan." 

Nerakasara dan Cloud kaget sekaget-kagetnya mendengar ucapan nenek mereka. Milky hampir saja menggebrak meja dan berdiri kalau Belva tidak menahannya.

Sebelum Milky mengamuk, Belva lebih dulu membuka mulutnya. Belva tetap tenang meskipun ucapan Oma Aya terdengar cukup ofensif. Belva tidak tahu neneknya Milky seperti ini, hanya saja dia sudah terbiasa dengan perbincangan orang-orang mengenai keluarganya. Belva mengerti, terlahir di keluarga broken home meninggalkan banyak pandangan buruk. Tidak peduli bagaimana Belva tumbuh sebagai laki-laki gentle atau tidak, orang-orang akan tetap menganggapnya tidak bisa membahagiakan seseorang. 

"Saya tahu keluarga Milky baik-baik aja. Saya iri."Belva melihat Milky sebentar, berpura-pura menatapnya dengan penuh cinta. Lantas, dia kembali menatap Oma Aya. "Tapi bukan berarti saya nggak bisa menciptakan keluarga utuh seperti keluarganya Milky. Tumbuh di keluarga broken home bukan berarti nggak bisa memberikan kebahagiaan seutuhnya untuk pasangan. Orang tua saya membesarkan saya dengan penuh kasih sayang walau mereka udah bercerai. Begitu pula orang tua tiri saya yang sama besarnya memberi kasih sayang. Saya dibesarkan dengan baik dan memahami hal-hal baik melalui mereka."

Kenyataannya Belva tidak merasakan kasih sayang ayah kandungnya. Sekali pun tidak. Ibu tirinya pun tidak pernah peduli dengannya. Hubungan baik dan kasih sayang hanya didapat Belva dari ibu kandungnya. Selebihnya Belva cuma merasakan penderitaan tidak pernah ditanya ayah kandungnya. Belva tidak punya figur ayah di hidupnya. Baru setelah ibunya menikah di umurnya yang sudah tua seperti ini, dia baru menemukan sisi baik seorang ayah dari ayah tirinya. 

Oma Aya diam cukup lama, memperhatikan Belva dengan memasang wajah angkuh. Sebenarnya dia ingin membalas ucapan Belva, tapi masih ada satu pertanyaan yang perlu ditanyakan. Jadi dia akan menyimpannya untuk nanti.

"Kamu kerja di mana, Belva?" lanjut Oma.

"Saya pemilik kedai kopi, Oma. Saya berwirausaha." 

Oma Aya melirik Milky. "Belva tahu nggak penghasilan kamu berapa? Apa cukup hasil dari kedai kopi memenuhi semua pengeluaran kamu, Milky?"

"Oma bisa nggak, sih, nggak usah nanya hal pribadi? Milky datang cuma untuk kenalin Belva sebagai pacar, bukan buat nikah besok!" omel Milky.

"Tapi Belva bilang mau bawa hubungan kalian ke jenjang pernikahan. Ya, Oma harus tahu. Oma nggak mau kamu asal pacarin laki-laki nggak jelas. Duluan udah seenaknya sama Sunday. Jangan asal-asalan lagi," balas Oma tak mau kalah. 

"Asal-asalan? Sunday direktur perusahaan dan Oma bilang asal-asalan?" Suara Milky naik beberapa oktaf. 

"Ya, nggak asal-asalan banget. Lebih mending daripada cuma punya kedai kopi." Oma Aya bersedekap di dada. 

Belva mengerti maksud kakaknya sekarang. Walau sebatas pacar pura-pura, tapi kata-kata Oma Aya cukup menyentilnya. Kalau dia punya jabatan dan profesi yang lebih tinggi dari sekadar pengusaha kedai kopi, mungkin akan lebih dihargai. Ya, mungkin seperti itu di mata neneknya Milky. Namun, dia yakin menjadi pemilik kedai kopi tidak akan mengurangi pandangan orang lain terhadapnya. 

Nerakasara dan Cloud mengelus dada. Begini banget punya nenek. Mereka malu sendiri. 

"Oma," Belva menyela. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya cuma pengin bilang kalau saya ingin serius dengan Milky bukan berarti saya nggak punya apa-apa dan ingin menumpang dengan dia. Kalau mau menumpang, saya cari aja tante-tante yang jauh lebih kaya. Milky lebih muda dari saya. Dan kalau saya udah berniat ingin menikahi dia, itu berarti saya punya uang yang lebih dari cukup dari sebatas jabatan saya sebagai pemilik kedai kopi."

Milky diam memandangi Belva merasa tidak enak. Seharusnya bukan seperti ini. 

"Saya pasti akan memberikan apa pun untuk Milky meski itu harus membuat saya berdarah-darah. Sebagai laki-laki yang mencintai pasangannya, saya nggak mungkin membiarkan Milky hidup menderita. Kalau saya cuma ingin Milky menderita, saya nggak akan punya niat untuk menikah. Saya nggak mungkin tega lihat Milky menderita karena saya. Saya ingin settle down karena saya udah mampu untuk itu. Dari kesiapan, kemantapan, keuangan, tanggung jawab, dan segala hal yang dibutuhkan sebelum menikah," lanjut Belva tetap tenang. 

Oma Aya menarik senyum miring. Dia bangun dari tempat duduknya. "Besok datang lagi ke sini. Saya masih punya banyak pertanyaan. Saya mau istirahat dulu sekarang. Jangan nggak datang."

"Baik, Oma," sahut Belva.

Oma Aya meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh ke belakang. Nerakasara dan Cloud menghela napas.

"Gila. Oma masih aja senyebelin itu. Astaga!" celoteh Nerakasara.

Cloud elus-elus dada sambil geleng kepala. "Ampun ... untung Unique nggak kena semprot dulu. Bisa gila gue kalau terjadi."

Belva menahan tawa. Sebenarnya tidak ada yang salah dari neneknya Milky. Tergantung bagaimana orang melihat. Belva melihat dari seluruh kacamata yang ada, sebagai laki-laki yang berpura-pura memacari Milky, sebagai seorang cucu, sebagai seorang nenek, dan lain-lain. Belva yakin neneknya Milky punya alasan untuk semua pertanyaan.

"Apaan, sih, nyebelin banget!" gerutu Milky sebal. Tangannya mengepal sempurna. "Besok nggak usah datang lagi. Biar aja, saya nggak bakal injak kaki sampai nanti ketemu jodoh buat nikah."

"Jangan, dong, Bu. Oma Aya pasti punya alasan kenapa dia begitu." Belva mencoba menenangkan.

"Cih! Alasan apa coba?" 

"Alasan untuk lihat Bu Milky bahagia." 

"Mana ada." Milky mendengkus saat menatap Belva.

"Ada, Bu." Belva menatap balik Milky. "Senyum, dong, Bu. Saya udah keburu rindu lihat senyum Bu Milky. Apalagi udah pas banget digenggam gini. Tinggal disenyumin doang, nih," tambahnya seraya memainkan kedua alis secara bergantian.

Milky diam cukup lama memandangi Belva yang sejak tadi tetap tenang. Melihat Belva senyum dan memainkan alis dengan jahil, dia jadi salah tingkah. Dengan cepat Milky menarik tangannya dari genggaman Belva dan melengos. "Ini lagi. Lebih gila dari Oma."

Belva tertawa kecil. Milky bangun dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan Belva.

"Ayo, pulang. Jangan kelamaan duduk situ nanti ambeien," ucap Milky dengan cukup keras.

"Tunggu, dong, Sayang," sahut Belva jahil.

"Sayang dari Hongkong!" 

Belva menyusul sambil tertawa. Sebelum mengejar ketinggalannya, dia lebih dulu pamit kepada Nerakasara dan Cloud. Sedangkan Milky sudah menjauh tanpa pamit.

"Sayang, nggak pamit dulu sama Nera dan Cloud?" canda Belva.

"Nggak perlu. Males." 

Tanpa bertanya lagi Belva mempercepat langkahnya. Nerakasara dan Cloud memperhatikan dengan senyum penuh arti. Mereka saling melempar pandang, menyadari hal-hal yang perlu disampaikan di grup Atmaja. Dan tentunya mereka senang Belva menjadi sosok yang berhadapan nenek mereka.

☕☕☕

Jangan lupa vote dan komentar kalian🤗❤

Follow IG: anothermissjo

Nih kalo ada yang bilang Belva the greenest of green flag, itu bener :") wkwkwk coba baca Hello, My Prince dan Hello, My Cat deh. (Ini ada di paid jadi udah nyatu gitu). Belva banyak kontribusinya di sana. Sedihnya juga ada wkwk jadi sebenarnya kalo mau mengenal Belva harus dari sana dulu sih. He's the greenest between all :'3

-

Cerita ini merupakan project kolaborasi dengan genre Komedi Romantis. Nama serinya: #BadassLove yang digawangi 3 wanita super badass, namun berhati baik. Berikut judul dan penulisnya:

#1 Lose The Plot oleh sephturnus

#2 Round The Bend oleh azizahazeha 

#3 Call The Shots oleh anothermissjo

Salam dari Belva >_<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro