Shots - 10
Yuhuuu update lagi❤❤
•
•
Selama hampir dua puluh menit tiba di tempat tujuan, tidak ada obrolan sama sekali. Belva mengajak Milky mendatangi bar & lounge milik sepupunya. Kebetulan sepupunya lagi sibuk jadi tidak sempat menemui.
Belva duduk manis memandangi Milky yang tidak henti-hentinya minum red wine. Milky tampak bersemangat meneguk setiap tetes dari gelas berkaki panjang.
Belva baru tahu Milky kuat minum. Sudah lima gelas, Milky belum mabuk. Walaupun kelihatan kuat minum, Belva tidak mau Milky menghabiskan satu botol wine. Sebelum Milky menuang red wine ke dalam gelas lagi, Belva lebih dulu menarik botolnya menjauh.
"Bu, tadi bukannya mau cerita? Kenapa cuma minum?" mulai Belva.
Milky memandangi gelas yang dipegang. "Pak Belva pernah jatuh cinta sama seseorang sampai rasanya sakit?"
"Pernah, Bu."
Pandangan Milky beralih pada Belva. "Pak Belva nggak berjuang kejar orang itu?"
Belva terkekeh. "Saya udah berjuang, tapi sepertinya nggak cukup. Jadi ya udah. Saya relakan dia dengan pilihannya."
"Kenapa nggak coba egois? Maksa dia memilih Pak Belva?"
"Maksa, ya?" Belva terkekeh lagi. Kekehannya berubah menjadi senyum tipis. "Memaksa orang memilih saya bukannya kejam, Bu? Perasaan nggak bisa dipaksa, keinginan pun sama. Kalau saya bukan pilihannya, kenapa saya harus maksa untuk dipilih? Lebih baik merelakan, kan? Meski sedih, tapi pasti bakal ikhlas pelan-pelan."
"Kenapa Pak Belva sebaik itu? Kalau saya, udah pasti saya paksa. Saya nggak rela orang yang saya cinta dan perjuangkan milih jalan lain."
"Bu, cinta yang indah itu saling menginginkan. Bukan cuma salah satu yang menginginkan. Lagian kalau sama-sama diinginkan, bukannya senang berlipat-lipat, Bu?"
"Entahlah." Tangan Milky terulur mencoba meraih botol wine. Sialnya, tidak sampai. "Pak, saya mau tuang wine-nya lagi. Tolong kasih botolnya."
"Udah, Bu, cukup. Nanti mabuk. Bagusnya minum wine nggak banyak-banyak, Bu," tolak Belva.
"Ya udah saya pesan lagi."
Milky memanggil pelan dan segera memesan sebotol red wine lainnya. Belva hendak menghentikan, tapi kalah dengan ngototnya Milky. Mau tidak mau Belva mendorong botol wine dan membatalkan pesanan. Milky pun bersorak senang dan mengambil botolnya.
"Kenapa Bu Milky nanya hal itu?" tanya Belva.
"Kenapa? Soalnya saya lagi merasakan hal itu."
"Lagi sakit karena seseorang?"
Milky meneguk sisa wine dari botol langsung, membuat Belva terbelalak kaget. Juga, orang-orang di sekitar mereka tidak kalah terkejut Milky meneguknya seperti meminum air putih.
"Nenek saya nggak setuju sama hubungan saya dan seseorang. Kami putus. Tapi tadi kami ketemu. Dia nanya kenapa saya nggak mau dia berjuang dulu untuk hubungan kami." Sambil meletakkan botol wine di atas meja, Milky menunduk. "Saya cuma nggak mau dia terluka seandainya udah berjuang. Kalau berhasil. Kalau gagal? Bukannya cuma nambah luka?"
"Bu, gagal atau berhasil, luka atau nggak terluka, itu urusan nanti. Bukannya lebih baik berjuang daripada nggak usaha sama sekali?"
"Iya, saya tahu. Tapi kalau gagal saya cuma nambah luka seseorang. Dan kami juga nggak bakal sama-sama lagi. Bukannya percuma?"
"Ada satu hal yang bikin saya bertanya-tanya, Bu."
Milky menaikkan pandangan, melihat Belva dengan tatapan sedihnya. Kepala mulai berputar. Milky sudah mencapai batas minum alkohol.
"Kenapa Bu Milky udah berpikir jauh padahal nggak bisa prediksi masa depan? Bu Milky takut dia terluka atau Bu Milky yang takut terluka?"
Alih-alih menjawab, Milky menidurkan keningnya di atas meja dengan tangan terlipat. Selama beberapa saat tenang. Namun, secara tiba-tiba suara isak tangis Milky mengudara, berhasil membuat Belva kaget.
"Bu? Nangis? Eh?" Belva bangun dari tempat duduknya, buru-buru mengambil tempat di samping Milky.
"Pak Belva jahat," gumam Milky diselipi isak tangis.
"Hah? Jahat kenapa? Saya ngapain?"
Milky mengangkat kepalanya, menatap Belva dengan bibir mengerucut sempurna dan air mata yang berurai deras. Dalam keadaan setengah sadar, Milky memukul dada Belva.
"Pak Belva bilang saya takut terluka. Apa nggak jahat? Pak Belva bilang saya pengecut."
Belva melongo. "Tunggu, tunggu. Saya nggak bilang pengecut, Bu. Ada salah pengertian, nih, Bu."
"Pokoknya Pak Belva jahat!"
Milky menginjak-injak kakinya ke lantai sambil tetap menangis dan memukuli dada Belva berulang kali. Tindakan Milky sukses menjadikan mereka bahan tontonan. Belva melihat ke kanan dan kiri, memamerkan cengiran kuda dari tatapan orang-orang.
"Bu, ayo, pulang aja. Kelihatannya Bu Milky udah mabuk," bujuk Belva seraya bangun dari tempat duduknya.
"Nggak mau. Saya nggak mau pulang. Maunya ngesot." Lagi, Milky menginjak-injak tanah seperti sedang menginjak kecoa. Dendamnya pol.
"Jangan, Bu." Belva menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Kebingungan sendiri. Melihat orang-orang mulai menaruh perhatian dan bisik-bisik, Belva takut dicap laki-laki jahat yang senang membuat perempuan menangis. "Kalau gitu saya gendong aja. Mau nggak? Asal nggak ngesot, Bu. Serem. Yuk?"
"Nggak mau! Nggak mau!"
Belva tambah bingung. Dia duduk kembali setelah mengambil tisu dari atas meja. Dia menyeka air mata Milky dan mengusap jejak air mata yang membekas di pipi.
"Jahat. Pak Belva laki-laki terjahat sedunia. Pokoknya saya nggak suka," ucap Milky.
"Iya, iya, saya jahat. Saya minta maaf, ya, Bu. Tapi jangan nangis lagi, Bu. Nanti dikiranya saya habis selingkuhin Bu Milky," balas Belva dengan lembut.
Bukannya dijawab, Milky malah menundukkan kepala lagi di atas meja. Menangis lagi. Kali ini lebih sesegukan. Meraung-raung seperti anak macan kehilangan mangsa. Belva tidak bisa berbuat banyak selain menepuk-nepuk punggung Milky dan mengusap kepalanya dengan lembut. Kalau dikira habis selingkuh, ya sudah. Belva pasrah. Lagi pula tidak mungkin Belva main gendong Milky kalau orang yang bersangkutan masih mode meraung-raung.
"Bu, mau pulang nggak? Kalau masih mau di sini...." Kalimat Belva tertahan lantaran Milky sudah mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tangis yang mulai berhenti.
"Mau pulang sekarang, Bu?"
"Daripada saya sakit hati lagi, lebih baik kencan sama Pak Belva. Mau kencan sama saya nggak, Pak?"
Belum sempat Belva menjawab, Milky mengalungkan kedua tangan di leher Belva. Milky tertawa kecil.
Sambil nyengir, Milky menarik tangannya dan meletakkan jari telunjuk di bibir Belva. Jarinya yang lentik bergerak menyentuh tiap sudut bibir Belva. "Pak Belva ganteng banget. Saya nggak bisa lihat yang terlalu ganteng. Pengin saya cium."
Tanpa aba-aba Milky menangkup wajah Belva dan mengecup bibirnya. Sekali saja. Lantas, Milky nyengir memandangi Belva yang terkejut. Belva hendak menarik diri, tapi Milky menarik wajahnya lagi dan mengecup bibirnya. Kali ini berulang kali sampai bunyi muah terdengar jelas. Belva terkaget-kaget sampai wajahnya merah padam. Dan kemudian Milky memeluk Belva.
"Nyaman. Nanti peluk saya lagi, ya, Pak," lanjut Milky sambil menggesek-gesek kepalanya di pundak kokoh Belva.
Belva masih terbawa kaget akibat tindakan Milky. Dia tidak tahu kalau Milky sudah mabuk akan seperti ini. Tadi marah, menangis, memuji dan tiba-tiba mengecup bibir. Belva pusing sendiri. Meski begitu, dia berusaha tenang supaya bisa membawa Milky pulang.
"Bu, mending pulang dulu. Saya gendong, ya? Nggak apa-apa, kan?" bujuk Belva.
Tidak ada jawaban, Belva merasakan tangan Milky yang melingkar di lehernya mulai melonggar. Selanjutnya, Belva hanya mendengar embusan napas Milky. Merasakan tak ada lagi pelukan seerat sebelumnya, Belva menurunkan tangan Milky dan memeriksa keadaan. Rupanya Milky jatuh terlelap. Hal ini memudahkan Belva untuk membawa Milky pulang.
Tidak mau menunggu lama, Belva menyampirkan tas Milky dan kemudian menggendong Milky yang jatuh terlelap. Setelah itu Belva meninggalkan kartu debitnya dan meminta sepupunya untuk menekan pin miliknya sendiri nanti. Soalnya Belva terlalu repot untuk mengurus pembayaran. Dan kemudian Belva pergi berlalu dengan cepat.
☕☕☕
Milky bangun dari tidurnya. Kepala terasa sakit. Dia mengusap wajah sambil sesekali menguap. Dia mengedarkan pandangan untuk melihat jam dinding yang ada di kamar. Namun, dia tidak menemukannya sampai sadar kalau kamar yang ditempati bukanlah kamarnya. Aromanya berbeda.
"Oh, hei. Kamu udah bangun?" Sapaan asing itu mendengung jelas di telinga Milky.
Milky melihat ke arah sumber suara––tepatnya pintu masuk kamar berada. Dia mendapati seorang perempuan cantik berambut panjang sepunggung berwarna cokelat melempar senyum padanya. Dia tidak tahu siapa perempuan itu.
"Saya bawain kamu sarapan. Ada sup untuk hilangin pengar kamu."
Masih diam saja, Milky memandangi perempuan itu meletakkan nampan di atas nakas. Ada nasi goreng, sup, susu, air putih, dan buah––itulah yang dilihat oleh Milky. Banyak hidangan.
"Kamu ada di apartemen saya." Perempuan itu mengulas senyum lebar. Tak melihat reaksi lain dari Milky, dia melanjutkan, "Aduh, saya sampai lupa memperkenalkan diri." Lalu, dia menarik senyum lebih lebar. "Saya Jelita, sepupunya Belva. Dia menitipkan kamu semalam di sini."
"Oh, halo." Milky menyapa canggung.
"Belva yang siapin sarapan ini untuk kamu. Dia nggak tahu rumah kamu makanya dibawa ke sini. Katanya nggak enak kalau bawa kamu ke apartemennya pas lagi mabuk."
Milky diam cukup lama. Mabuk? Dia tidak ingat sama sekali. Yang dia ingat cuma lagi bertukar cerita sama Belva dan––argh! Dia tidak ingat apa-apa lagi selanjutnya.
"Tapi kayaknya kalau udah kenal lama, Belva nggak bakal segan-segan mempersilakan kamu masuk apartemennya. Belva diam-diam, kan––"
"Gosip. Mulai mengada-ngada, deh, Kak," serobot Belva, yang baru saja masuk ke dalam kamar.
Jelita terkekeh. "Mengada-ngada? Itu ciwik-ciwik yang sering wara-wiri ke apartemen lo apa kabar? Nggak takut dikira threesome apa?"
Belva geleng-geleng kepala. "Mereka mah sahabat doang, Kak. Udah, ah, pagi-pagi ngawur aja. Mending siapin makanan buat Manis, tuh. Anaknya lagi ngambek mau ke sini."
Jelita menepuk keningnya. "Hadeh! Si monyet kecil itu kenapa, sih? Mampir mulu. Ganggu kehidupan gue aja." Lantas, dia melempar senyum manis kepada Milky. "Kalau gitu saya tinggal, ya. See you, Milky! Saya mau masak dulu. Senang bisa kenalan sama kamu. Kalau Belva macam-macam, tendang aja burung beonya."
Jelita menepuk pundak Belva berulang kali sambil mengerlingkan mata. Belva cuma geleng-geleng kepala menanggapi keisengan sang sepupu.
"Gimana kepalanya, Bu? Masih pusing nggak?" Belva segera bertanya setelah Jelita tidak ada lagi di dalam kamar.
"Lumayan pusing."
"Bu Milky makan dulu habis itu minum ini. Saya lihat resepnya di Google. Katanya bagus untuk pengar."
Belva mengambilkan meja lipat yang ada di lemari sang sepupu, lalu meletakkan dan memasangnya dengan rapi di atas tempat tidur. Dia menyajikan beberapa piring di atas meja lipat tersebut dengan rapi.
"Bu Milky mau makan dulu atau mandi dulu? Kalau Bu Milky mau mandi, semua keperluannya udah disiapkan di dalam kamar mandi sama sepupu saya, Bu. Sepupu saya punya baju baru yang nggak pernah dipakai."
"Saya mau tidur aja. Kepala saya masih sakit."
"Nggak kerja, Bu?"
Milky mendesah kasar. "Kerja. Nggak jadi tidur."
Tidak mau membuang banyak waktu, Milky mengambil sendok dan mulai menyeruput sup yang dibuat Belva. Tak perlu mempertanyakan bagaimana cita rasanya karena semua pas di lidah.
"Enak, Bu?" tanya Belva.
Milky mengangguk.
"Syukurlah." Senyum Belva terukir lebar. Lega. "Lain kali jangan mabuk kalau nggak lagi sama keluarga atau teman dekat, Bu. Bahaya."
Tangan Milky berhenti. Pandangannya tertuju pada Belva. Mendengar kalimat Belva, dia teringat kebiasaan gilanya kalau sedang mabuk. Dia punya kebiasaan mencium dan memeluk orang yang ada di dekatnya. Semua sepupunya sudah pernah kena kecup-kecup di pipi dan dipeluk erat-erat olehnya. Apa mungkin dia mengeluarkan kebiasaan gilanya itu?
"Maksudnya bahaya?" Milky bertanya setengah panik.
"Ya, gitu. Takut nggak ada yang mapah, Bu." Belva bangun dari tempat duduknya. Sambil tetap tersenyum, dia mengusap kepala Milky. "Btw, saya tunggu di luar, ya, Bu. Kalau udah selesai mandi dan ganti pakaian langsung keluar aja. Saya antar Bu Milky ke kantor."
Pikiran Milky melayang jauh. Belva sudah mendekati pintu. Dia perlu menghentikan supaya tidak penasaran.
"Pak Belva," panggil Milky.
Belva menoleh. "Ya? Ada yang dibutuhin, Bu?"
Milky menggeleng. Dia berdeham sebentar. "Uhm ... waktu mabuk saya nggak bertindak gila, kan?"
"Bertindak gila?" ulang Belva.
Milky menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Bingung sekaligus malu untuk menanyakan.
"Saya nggak nyium atau meluk Pak Belva, kan?" Milky menggaruk lagi kepalanya yang tidak gatal. "Soalnya saya punya kebiasaan buruk itu kalau mabuk."
Belva menyunggingkan senyum lebar. "Soal itu cukup saya, Tuhan, dan pengunjung bar yang tahu." Lalu, dia mengerlingkan mata kepada Milky sebelum akhirnya meninggalkan kamar.
Milky terperangah melihat senyum dan kerlingan jahil itu. Sialan. Jangan bilang dia benar-benar melakukannya di depan Belva. Gila. Milky ingin menenggelamkan diri ke dalam air dingin supaya beku. Malu!
☕☕☕
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘🤗❤
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro