Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

⊱┊2. Anindya

"Yang Mulia Gojou Satoru adalah seorang pangeran yang sangat didambakan Kerajaan Hokusei. Beliau memiliki paras yang tampan dengan iris biru cerah layaknya kristal juga surai seputih salju yang begitu indah. Senyumannya memesona dengan bibir-"

"Berhenti, cukup sampai disitu bacakan suratnya."

Dayang yang diperintahkan untuk membacakan surat dari bangsawan Hokusei itu hanya mengerjap bingung saat sang Tuan Putri Mio memintanya untuk berhenti membacakannya. Padahal belum ada satu paragraf yang ia bacakan.

"Simpan suratnya. Terima kasih sudah membacakannya. Sekarang kau bisa kembali ke tempatmu," titah sang Tuan Putri yang sedang duduk bersimpuh begitu anggun sambil irisnya menatap taman yang terpampang jelas dari pintu geser yang terbuka lebar di sampingnya.

Walau wajahnya dipenuhi kebingungan yang kentara, apa daya sang dayang hanya bisa mengangguk patuh lalu membungkuk mengundurkan diri dari hadapan sang Putri. Kini di ruang santai Tuan Putri Mio hanya ada dirinya beserta dayang tertua yang turun temurun melayani keluarga ini. Keheningan hinggap beberapa saat hingga akhirnya sang dayang yang duduk bersimpuh di dekat pintu geser yang terbuka lebar itu pun memberanikan diri untuk mengungkapkan kegelisahannya.

"Tuan Putri Mio, sebenarnya apa yang Anda inginkan dari surat-surat bangsawan itu? Anda meminta mereka untuk mendeskripsikan kepribadian dan fisik Pangeran Satoru, tetapi dari surat-surat yang dikirim, hampir setengahnya Anda tidak pernah mendengarkannya sampai habis."

Mio hanya menghela napas saat mendengar pertanyaan dari sang dayang. Gadis bertahta itu bukannya menjawab, ia hanya menatap sepotong langit biru yang terlihat dari dalam. Cukup lama mereka saling diam hingga akhirnya Mio pun berujar lembut.

"Aku ingin mereka menceritakan Pangeran Satoru apa adanya. Tetapi, mereka malah menceritakan semua kebaikan dan kehebatannya. Pencitraan dan aku muak."

"Jadi ... Tuan Putri ingin mengetahui sisi Pangeran yang tidak diketahui banyak orang? Maksud saya ... seperti tabiat buruk?"

"Ya, tepat sekali."

Sang dayang dengan rupa yang mulai menua itu hanya bisa mengembuskan napas pelan. "Bukannya Anda bisa mengetahuinya setelah menikah nanti? Mengapa buru-buru sekali."

"Aku butuh persiapan untuk menangani sifatnya nanti setelah menikah agar aku bisa melayaninya dengan sempurna," tegas Mio dengan nada lembut yang menusuk disertai lirikan tajam. Sang dayang yang melihat itu pun terkesiap. Ia tahu betul akan sifat Tuan Putri yang terobsesi dengan kesempurnaan. Tidak seperti kisah putri-putri kerajaan lain yang terkesan menolak jika dijodohkan juga memaksakan diri ketika menghadapi pria yang dijodohkan dengannya. Mio malah menerimanya bahkan menganggapnya sebuah tantangan.

Gadis bagaikan angsa yang elok itu benar-benar menerima takdirnya sebagai seorang putri kerajaan walau beban yang ditanggung begitu berat. Tidak ada penolakan maupun pengekangan. Mio menjalani kehidupannya sebagai Tuan Putri begitu sempurna.

Oleh karena itu, nanti ketika ia menjalani perannya sebagai seorang istri dan Ratu di Kerajaan Hokusei, ia ingin semuanya berjalan sempurna. Mio ingin ia tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya nanti. Maka dari itu, ia butuh persiapan yang matang sejak saat ini. Mengetahui tabiat sang calon suami salah satunya. Ia ingin ketika sudah menikah nanti, pasangannya itu bisa ia tangani dengan baik.

Namun, sepertinya langkahnya akan menjadi sulit dikarenakan surat-surat dari bangsawan sana yang penuh pencitraan. Mereka benar-benar ingin menjaga nama baik sang pangeran. Ya, tidak salah sebenarnya hanya saja Mio jadi tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

'Sepertinya aku memang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tabiat aslinya setelah menikah nanti.'

"Tuan Putri, saya jadi teringat sesuatu. Anda mengenal Nona Maki?"

Mio segera menoleh ke arah sang dayang dengan raut bingung. Gadis itu mencoba mencari sosok Maki dalam ingatannya. "Ah, Maki putri dari Jenderal Ogi?"

"Benar, Tuan Putri. Saya teringat jika Nona Maki pernah berada di perguruan beladiri yang sama dengan pangeran-pangeran yang ada penjuru negeri termasuk Pangeran Satoru," tutur sang dayang. Mio yang mendengar itu pun tercenung. Tak lama kemudian, iris hitam itu memancarkan kilau pengharapan disertai senyuman tenang.

"Kalau begitu atur pertemuanku dengan Maki. Tanyakan padanya kapan ia bisa menemuiku," perintahnya pada sang dayang yang langsung disanggupi dan meninggalkan Mio sendirian di ruangan.

Mio kini berdiri, pindah posisi untuk duduk di teras dekat pintu geser yang terbuka lebar dan menghadap taman. Kepala didongakkan untuk menatap langit yang biru. Ekspresi cerah terpancar di wajahnya ditambah sinar matahari yang hangat menciumi wajahnya dengan lembut. Gadis itu sudah tidak sabar untuk berinteraksi dengan Maki dan menanyakan semuanya.









Yang Mulia Zenin Mio, salam hormatku untuk Anda.
Cais telah mengikat Anda dengan sang adiwira, Gojou Satoru. Di sana tertuliskan jika anindya dan adiwira ditakdirkan untuk saling melengkapi. Tak peduli berbagai halangan yang akan terjadi, asmaraloka kalian akan menjadi kisah yang abadi ...

.
.
.
.
.
.
.
.










Iris biru cemerlang itu disipitkan untuk memfokuskan pandangan kepada target. Tali busur ditarik, menimbulkan suara yang khas. Ada beberapa detik untuk membidik hingga intuisi meyakinkan diri untuk melepaskan anak panah. Potongan kayu tipis yang memanjang itu melesat menuju target lalu menancap dengan sempurna pada titik target yang ada di tengah. Pemuda itu pun menurunkan busurnya sambil menyunggingkan senyum yang menawan. Matahari yang terik tak menjadikan pria muda itu kehilangan semangat berdiri di tengah-tengah tanah lapang yang berfungsi sebagai tempat latihan prajurit kerajaan.

Tetes-tetes keringat membasahi sebagian helaian rambut berwarna putih yang ada di dekat telinga, menambah kesan atraktif pada sang pria muda. Ditambah senyuman itu sedari tadi belum hilang. Tangan putih yang bercumbu dengan sinar matahari terik itu kembali mengambil anak panah yang ada di wadah sebelahnya. Bersiap melepaskan anak panah lagi. Namun, ada seseorang yang menginterupsi gerakannya dengan sebuah panggilan. Spontan saja pria muda itu menoleh dan mendapati pengawal setianya yang rambutnya selalu digelung ke belakang itu menghampiri dirinya.

"Pangeran Satoru!"

"Ada apa Suguru?" tanyanya sambil kembali menurunkan busur lalu menempatkannya di sebelah badan.

"Lukisan Tuan Putri Mio yang Anda minta sudah datang. Sekarang sudah ditaruh di ruangan Anda," jawab Suguru sambil memposisikan diri di samping sang pangeran. Mendengar itu, netra biru cemerlang itu menampakkan kilat penuh semangat. "Baiklah, aku akan ke sana sekarang. Tolong bereskan peralatan panahan ini, Suguru."

"Baik, Yang Mulia."

Dengan segera Satoru pun meninggalkan Suguru dari lapangan. Masih mengenakan pakaian latihan, sang pangeran itu berjalan melewati lorong kerajaan. Menjadi tontonan yang mencuci mata para gadis dayang yang ada di sana.

"Yang Mulia benar-benar tampan sekali jika mengenakan pakaian latihan, ya."

"Lihat, rambutnya basah oleh keringat. Astaga, benar-benar menawan ..."

Begitulah pujian-pujian yang menguar kala sang pangeran berjalan dengan gagahnya melewati mereka. Satoru sendiri yang mendengar itu langsung membanggakan diri di dalam hati. Sang pangeran tahu betul akan pesonanya.

Ruangan yang dituju, ruangan bersantai, telah di depan mata. Dengan cepat ia pun membuka pintu gesernya lalu menutupnya kembali ketika sudah di dalam. Sebuah kanvas yang berdiri di tengah ruangan menarik perhatiannya. Ia pun melangkah pelan menuju kanvas itu lalu berdiri di depannya.

Sebuah lukisan seorang wanita muda menjadi hal yang dilihatnya. Wanita yang sedang duduk di dalam lukisan itu benar-benar cantik. Rambut sehitam arang yang digelung cantik dengan berbagai aksesoris sederhana menghiasinya. Kimono bunga-bunga berwarna biru muda yang begitu cocok di tubuhnya. Iris hitam yang memancarkan kelembutan. Senyuman tipis yang indah, menampakkan aura bangsawan yang anggun. Zenin Mio, putri Kerajaan Hokuto, calon istrinya ini benar-benar memesona.

Iris biru cerah itu menatap lukisan calon wanitanya begitu lembut dengan senyuman yang teduh. Tangan menggapai lukisan, menyentuh bagian rambut sang wanita pelan seolah-olah pria itu sedang menyentuhnya sungguhan. Netranya menyorot penuh afeksi kepada objek lukisan.

"Ah, aku sangat tidak sabar untuk bertemu denganmu, Tuan Putri."

••••••••••

Kembali ke Kerajaan Hokuto yang sudah disambut malam. Aktivitas para dayang berangsur-angsur sepi dikarenakan telah memasuki waktu istirahat. Begitu juga dengan Itadori Yuuna, dayang yang bertugas di bagian dapur. Ia telah menyelesaikan semua cucian piring bekas makan malam keluarga kerajaan.

"Yuuna, apa kau sudah selesai?" tanya kepala dayang bagian dapur sambil berjalan masuk. Yuuna yang sedang menata piring-piring di rak pun menoleh. "Ya, Ibu Dayang, saya sebentar lagi selesai."

"Sudah, biarkan aku yang membereskan sisanya. Suamimu sudah menunggu di luar, jangan membuatnya menunggu."

Mendengar itu, Yuuna pun langsung bergerak kaku. Ia masih belum terbiasa mendengar kata suami. Melihat bawahannya itu tampak malu-malu membuat kepala dayang langsung terkekeh.

'Dasar pengantin baru ...'

"Sudah, sana temui suamimu," titahnya sambil menghampiri Yuuna lalu menepuk kepalanya pelan.

"Ba-Baik, terima kasih Ibu Dayang. Sa-Saya permisi ..."

Sang kepala dayang hanya mengangguk lalu Yuuna pun berjalan keluar dari bangunan besar yang berfungsi sebagai dapur ini. Di depan, ia mendapati seorang pria dengan rambut merah muda mengenakan pakaian prajurit sedang berdiri menunggunya. Sang suami, Itadori Yuuji.

"Ah, Yuuna, akhirnya kau selesai juga."

Senyuman hangat menyambutnya kala perempuan muda itu menampakkan diri. Dengan segera Yuuna pun menghampiri Yuuji dengan senyuman manis.

"Ayo pulang!"

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro