⊱┊14. Cinta
Gojou Satoru
Pangeran Hokusei yang berparas menawan dan diagung-agungkan. Visual yang selayaknya peri mampu membuat kaum hawa mendamba. Ia hidup dengan segala pujian, tuntutan, dan kewajiban. Pangeran tangguh dengan banyak harapan di punggungnya.
Mungkin tidak akan ada yang menyangka jika seorang Pangeran Hokusei mengagumi kisah cinta. Tidak dalam artian hiperbola mengagumi mendayu-dayu. Bagi Satoru, cinta adalah hal abstrak yang ingin ia rasakan.
Sejak kecil ia telah melihat hubungan kaisar dan permaisuri yang begitu kaku dan formal sebagai suami istri. Berbeda sekali dengan pengawal pribadinya dulu ketika kecil (orang tua Suguru) yang berinteraksi manis dengan istrinya. Satoru juga masih mengingat cerita-cerita Suguru tentang kedua orang tuanya yang begitu perhatian sama lain dan memanjakannya ketika mereka masih anak-anak.
Adapun tabib kerajaan yang tak pernah bosan menceritakan mendiang istrinya walau sudah ditinggal selama empat tahun. Satoru kecil pun bertanya-tanya, hal apa yang membuat mereka bisa saling menyayangi sebegitunya? Tak pernah bosan membicarakan satu sama lain, tetap merindu walau sudah ditinggal bertahun-tahun, dan bisa saling tersenyum walau hanya sekadar bersua. Seperti orang paling bahagia sedunia.
Cinta
Dan hal itu tidak dimiliki oleh kedua orang tuanya yang menikah karena politik. Ibunya permaisuri yang jarang tersenyum jika di sisi kaisar. Begitu pula ayahnya kaisar yang tak bisa berlama-lama jika berduaan dengan permaisuri. Mereka sama sekali tak bahagia walau sudah memiliki Satoru di sisi mereka.
Satoru pun bertekad agar pernikahannya tidak seperti itu sekalipun pernikahannya nanti pernikahan politik. Ia ingin mengenal calon istrinya nanti. Ingin tahu tentang kebiasaannya, makanan yang disukai dan tidak, apa yang akan membuatnya marah, semuanya. Ia ingin hubungan dengan istrinya nanti hangat dan penuh kasih sayang seperti tuan dan nyonya Getou ataupun tabib istana.
Dan Mio pun datang ke kehidupannya. Putri bermahkota hitam legam dan mempunyai sorot penuh keanggunan. Pada tatap pertama kali mereka, Satoru langsung merasakan detakan yang begitu cepat di dadanya. Seiring senyuman yang diuarkan Mio, ada sesuatu yang meledak-ledak di dalam dirinya. Sosok Mio yang terus terbayang di dalam kepalanya setelah pertemuan pertama mereka.
Akhirnya ia merasakan yang namanya jatuh cinta.
**********
Hari ini Mio mengajak Satoru untuk pergi ke area latihan prajurit Kerajaan Hokuto. Lebih tepatnya ke lapangan memanah. Hari keempat setelah pertemuan pertama mereka. Tentunya mereka telah melewati banyak perbincangan.
"Aku ingin melihatmu memanah, ouji-sama. Kemarin kau menyinggung keahlianmu tersebut dan aku jadi penasaran ingin melihatnya langsung."
Ujung bibir Satoru tertarik saat mendengar alasan Mio mengajaknya ke sini. Sejujurnya, ini adalah murni keinginan Mio dari hati, melihat Satoru memanah. Gadis itu sama sekali tak memikirkan lagi soal tantangan saling membuat jatuh cinta. Ia lupa tepat setelah pertemuan pertama mereka. Rasa penasarannya jauh lebih besar ketimbang tantangan tersebut. Ia ingin mengenal Satoru lebih dalam.
"Baiklah, tantangan diterima, hime-sama."
Panah dan busur diberikan kepada Satoru oleh pengawal kerajaan. Satoru memegang busur tersebut dengan ringan seolah terbiasa menggunakannya. Mio tahu betul jika senjata dibuat oleh pengrajin yang berbeda maka akan berpengaruh kepada penggunanya. Tentunya busur buatan Hokuto dengan Hokusei sangatlah berbeda baik dari tekstur maupun lekukannya. Seharusnya Satoru tampak tak terbiasa dan tidak nyaman. Namun, yang Mio lihat justru sebaliknya. Sepertinya Satoru memang sudah dilatih agar mahir menggunakan busur siapa saja.
Papan target berada 10 meter di depan mereka. Satoru mulai menarik anak panah. Sorot kristal biru itu tampak menajam saat sedang membidik. Mio memperhatikannya dengan seksama. Terpana.
Satoru benar-benar lihai bagaimana ia menarik senar busur, jari-jari yang menahan anak panah, dan sikap tubuhnya. Benar-benar meneriakkan seorang pemanah sejati. Anak panah itu pun dilepaskan. Melesat melawan angin. Prajurit yang Mio perintahkan untuk melihat tembakan anak panah Satoru memberikan sinyal bahwa panah yang baru ditembakkan Satoru tepat ke titik tengah target. Mio tercengang.
"Luar biasa, ouji-sama, tepat mengenai target," puji Mio spontan. Satoru hanya tersenyum senang.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ubah targetnya yang lebih menantang?"
Satoru menaikkan alis kala mendengar Mio berkata demikian. Mio bertepuk tangan dua kali. Lima prajurit pun datang. Mereka berdiri di posisi yang sama dengan papan target. Terdapat apel di atas kepala mereka.
"Jadi, hime-sama ingin aku menembakkan anak panah ke apel-apel itu?" tanya Satoru retorik.
"Ya, tepat sekali ouji-sama. Kalau bisa tanpa jeda menembakkannya."
Satoru hanya menyeringai,"Tantangan diterima, Mio-sama."
Satoru pun mengambil lima anak panah baru. Ia memposisikan diri ke hadapan target paling kiri. Busur ditarik lalu dilepaskan. Anak panah melesat mengenai apel hingga terjatuh. Sesuai permintaan Mio, ia langsung ke target selanjutnya tanpa ragu. Anak panah melesat, apel tertusuk lalu terjatuh berurutan. Satoru berhasil menembak lima apel di atas kepala prajurit tanpa melukai mereka sedikitpun. Mio tertawa kecil tanda puas.
"Apa ada tantangan yang lebih menarik lagi, hime-sama?" Satoru mendatangi Mio dengan sorot percaya diri. Mio yang melihat itu hanya tersenyum tenang.
"Tentu, Satoru ouji-sama. Yang terakhir ini jauh lebih menantang."
Mio pun menepuk tangannya sekali. Tak lama kemudian seorang prajurit membawa kuda putih kesayangan Mio, Haru. Satoru yang melihat kedatangan kuda tersebut langsung mengernyit heran.
"Kenalkan Yang Mulia, namanya Haru. Dia adalah kuda kesayanganku. Kami tumbuh bersama."
Satoru hanya terdiam. Ia memutuskan untuk mendengarkan Mio lebih lanjut.
"Haru ini sangat menuruti keinginanku. Dia akan berlari secepat yang aku mau. Dia juga akan berjalan biasa jika aku memerintahkannya begitu."
"Jadi?" potong Satoru penasaran. Mio hanya tersenyum. Ia tiba-tiba membalikkan tubuhnya untuk memperlihatkan tatanan rambutnya.
"Ouji-sama bisa melihat rambutku dahulu."
Hari ini, tatanan rambut Mio jauh lebih sederhana dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ia hanya menggulung sebagian rambutnya menggunakan jepit berhiaskan permata biru sehingga sisa rambut lainnya tergerai indah di punggungnya.
"Jika aku menarik jepit rambutku searah dengan tangan kananku, maka gelungan rambutku akan terlepas. Jadi, aku ingin kau menembak anak panah ke jepit rambutku agar terlepas saat aku berkuda dengan kecepatan tinggi. Tentunya menggunakan anak panah khusus demi menghindari rambutku terpotong."
Seorang prajurit memberikannya tiga anak panah khusus yang disebut Mio sebelumnya. Anak panah itu jauh lebih kecil dari anak panah biasa dan bilah anak panahnya bukanlah besi yang tajam, melainkan kayu yang ditutupi lapisan kain.
"Tidak disangka, hime-sama ingin mengujiku sebegininya."
Mio hanya terkekeh. "Bagaimana ouji-sama, apakah kau menerima tantangan ini?"
Satoru menyeringai. Sorot matanya jauh lebih semangat dari sebelumnya. "Dengan senang hati, hime-sama."
Mio pun menaiki kudanya. Bekas apel dan papan target telah disingkirkan. Prajurit pun meminggir. Kini di lapangan hanya ada Satoru dengan panahnya dan Mio bersama Haru berjalan perlahan mengitarinya. Namun, tak lama kemudian Mio menambah kecepatan kudanya hingga benar-benar berlari cepat mengitari Satoru.
Satoru yang melihat itu kagum seketika lantaran Mio yang begitu lihai mengendalikan Haru yang berlari cepat dengan lintasan melingkar. Ini pertama kalinya Satoru melihat seorang putri yang begitu ahli berkuda.
Satoru menatap anak panah di pegangannya. Hanya ada tiga anak panah. Itu artinya ia hanya diberi tiga kali kesempatan. Satoru tertawa kecil. Sudah lama ia tidak merasakan adrenalin seperti ini.
Anak panah pertama diambil dan Satoru pun memposisikan diri untuk menembak. Sedikit kesulitan karena ia harus berputar untuk menyesuaikan Mio yang melaju dengan Haru. Namun, hal itu tidak menyurutkan fokus Satoru pada jepit rambut yang menjadi target. Jantungnya berpacu cepat lantaran adrenalin yang ia rasakan.
Setelah keyakinan penuh, anak panah dilepaskan. Namun, sayang anak panah tersebut malah melesat di atas gelungan rambut Mio. Dua anak panah tersisa. Kali ini Satoru lebih fokus dari sebelumnya. Ia berputar untuk menyesuaikan posisinya dengan Mio. Namun, busur panah digenggamannya begitu kokoh seolah tak terganggu dengan posisi Satoru yang berputar di tempat. Mio yang melihat itu hanya berdecak kagum. Ia pun semakin menambah kecepatan.
Anak panah kedua dilesatkan. Sayang sekali meleset walau hanya sepersekian senti dari gelungan rambut. Kening Satoru semakin mengerut. Kesempatan terakhir. Mio semakin mempercepat laju Haru.
Satoru menarik napas dalam-dalam. Kristal biru itu fokus membidik. Posturnya begitu kokoh walau ia berputar di tempat. Anak panah ia pegang erat-erat. Mio yang terus memutarinya dengan Haru menjadi fokus utamanya. Belum saatnya menembak. Belum saatnya. Permata dari jepit itu berkilau dari kejauhan. Saatnya.
TAK!
Satoru berhasil menembak jepit rambut milik Mio. Alhasil rambutnya pun tergerai sepenuhnya. Mio yang menyadari jika Satoru berhasil pun langsung tersenyum lebar. Kemudia ia tertawa senang sambil mendongak dengan mata terpejam. Tawa yang begitu tulus.
"Luar biasa! Satoru-sama, Anda begitu luar biasa!" serunya kesenangan.
Satoru takjub dengan pemandangan di depannya. Rambut Mio yang berkibar, kuda putih yang dinaikinya, serta tawa tulus dari sang putri. Tampak tidak nyata dan begitu indah. Satoru seperti melihat seorang dewi yang berada di dongeng-dongeng.
Saat itu, tepat di detik itu, Satoru benar-benar tak bisa mengendalikan detak jantungnya.
.
.
.
.
.
Saat ini Mio dan Satoru berada di taman bunga di bukit belakang istana untuk menikmati senja. Ada bangunan semi terbuka di pinggir taman khusus untuk anggota kerajaan yang ingin menikmati keindahan taman. Keduanya duduk bersisian sambil menatap hamparan bunga-bunga.
Satoru sedari tadi diam mengagumi hamparan bunga-bunga di depannya. Di Hokusei tidak ada kebun bunga seindah ini. Hokuto memang terkenal dengan bukit-bukitnya yang penuh hamparan bunga.
"Kau sering ke sini, hime-sama?"
"Ya, begitulah. Tempat ini sangat cocok untuk menenangkan diri."
Angin berembus, menerbangkan kelopak-kelopak sehingga semerbak wangi bunga melewati indera penciumannya. Satoru melirik ke arah Mio. Putri tersebut tidak menggelung lagi rambutnya. Ia membiarkannya tergerai indah di punggung dan sisi depan tubuhnya. Jepit rambut dengan permata biru tadi kini disematkan di sisi kanan kepalanya. Cantik. Sangat cantik. Surai hitam legam Mio dengan jepit rambut dengan permata berwarna biru itu benar-benar serasi dengan Mio. Satoru ingin menatapnya lama-lama.
"Ouji-sama, jika boleh tahu, mengapa Anda lebih suka memanah dibanding berpedang? Maksudku, aku pikir seorang pangeran lebih suka menyombongkan kemampuan berpedangnya. Bahkan para pendahulu Anda pun merupakan seorang ahli pedang yang ditakuti."
Satoru menoleh sepenuhnya ke arah Mio. Kemudian ia tersenyum tipis.
"Kau benar-benar mengetahui soal sejarah Hokusei, ya."
"Tentu saja. Aku ini calon istri dari pewaris tahta Kerajaan Hokusei. Jadi, aku harus tahu tentang seluk beluknya hingga latar belakang kerajaannya."
Mendengar itu, Satoru hanya bisa menahan rasa gelitik yang menguasai perutnya. Mio benar-benar menawan.
"Berpedang itu memang kemampuan yang hebat. Dengan bilah tajam itu, kau bisa menebas apapun yang menghalangimu. Tapi, menurutku memanah itu memiliki level kehebatan di atas berpedang."
"Mengapa demikian?"
"Karena kau hanya membutuhkan sedikit usaha untuk melumpuhkan musuh. Dibanding berpedang yang mengerahkan otot tangan, kelincahan kaki, dan fokus pandangan, memanah hanya perlu melakukan dua usaha. Gerakan tangan dan fokus mata. Tak perlu banyak menggerakkan diri asal bidikanmu tepat, kau bisa melumpuhkan musuh dalam sekejap dan itu benar-benar menakjubkan."
Mio tak bisa melewatkan binar mata Satoru kala ia menumpahkan isi pikirannya tentang memanah tersebut. Kristal biru itu tampak berkilau seiring sinar senja memantul di sana. Mio terpukau.
"Begitu rupanya."
Ada jeda keheningan lama yang diisi oleh desau angin dan suara kelopak-kelopak yang berayun. Tiba-tiba Satoru bangkit.
"Apa tak masalah jika aku memetik salah satu bunga?"
Mio mengerjap. Ia pun menggeleng,"Tidak masalah. Bunga-bunga di sini boleh diambil oleh siapapun."
Satoru hanya mengangguk lalu ia pun berjalan menuju hamparan bunga. Kadang ia berpindah tempat dari kumpulan bunga yang satu ke satunya. Mio hanya mengawasi dari tempatnya sambil terheran. Pangeran Satoru sedang mencari bunga apa?
Satoru pun kembali dengan beberapa bunga kecil berwarna ungu di tangannya. Ia pun berdiri di hadapan Mio dengan senyuman menawan.
"Sebelumnya maaf, hime-sama, izinkan aku memasang ini di rambutmu."
Mio mengerjap bingung. Namun, ia pun hanya mengangguk. Satoru pun mendekat. Ia menyelipkan beberapa bunga ungu di atas jepitan rambut Mio lalu ia pun menyelipkan rambut bagian kiri di atas telinga kiri Mio dan menaruh bunga ungu terakhir di sana.
"Bunga primula ungu ini sangat serasi dengan dirimu, Mio. Indah dan cantik."
Dan Mio tak kuasa menahan debaran gila yang ada di dadanya kala wajah mereka begitu dekat dan Mio bisa melihat iris biru Satoru dengan jelas juga senyuman menawannya. Mio rasa ia tak akan bisa mengenyahkan sosok Satoru dari kepalanya di hari-hari berikutnya.
Primula ungu: cinta
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro