⊱┊1. Derana
Sinar mentari telah merayap perlahan merangkak tinggi. Para pedagang pasar telah memulai aktivitas mereka. Suara-suara pedagang dan pembeli yang bersahutan memekakan langit atas mereka. Kesibukan seperti biasa di wilayah Kerajaan Hokuto.
Langkah pelan seorang perempuan ikut meramaikan pasar. Dengan tas kecil yang berisi uang di tangan, yukata biru tua terbalut di tubuh, dan rambut pirang yang diikat dua menjuntai di punggung. Iris biru tua itu menjelajah ke seluruh penjuru sambil melangkah. Mencari pedagang yang tepat untuk berbelanja. Iris pun terpaku pada pedagang wanita tua yang berada di salah satu kios pojokan. Pedagang itu menjual bahan-bahan kebutuhan pokok. Perempuan itu pun mempercepat langkahnya menuju ke sana.
"Oho, nak Eri, sudah lama aku tak melihatmu," sapa si pedagang wanita tua saat melihat Eri tiba di kiosnya.
Eri menguarkan senyum lalu membalas dengan sedikit gugup,"A-Akhir-akhir ini saya banyak urusan dan baru hari ini sempat berbelanja."
Pedagang wanita itu hanya mengangguk-angguk. "Seperti itu rupanya. Ya sudah, silakan dipilih mau belanja apa."
Seraya memilih bahan, mereka mengobrol ringan karena sudah lama tak jumpa. Ya, Eri dengan pedagang wanita tua ini berkenalan dengan baik lantaran Eri telah menjadi pelanggan setianya.
"Hei, itu bukannya istrinya Ryomen-sama?"
Sayup-sayup Eri mendengar bisikan dari arah samping yang membuatnya otomatis menghentikan pergerakannya.
"Benar. Eri namanya."
Mengerjap lalu bergerak patah-patah sambil mengambil bahan sayuran. Ia tahu dua wanita yang tak jauh berada di kios sebelah itu akan berkata apa. Oleh karenanya ia telah bersiap untuk menutup telinga.
"Ternyata benar, dia wanita yang biasa saja. Sangat tidak cocok bersanding dengan Ryomen-sama."
Sesuai dugaan. Cemoohan yang ke sekian kalinya selama dua bulan ini. Ujaran itu diucapkan dengan suara yang cukup keras oleh dua pembeli wanita di kios sebelah. Sepertinya memang disengaja melihat ada beberapa pedagang dan pembeli yang akhirnya memusatkan perhatiannya kepada Eri. Berusaha mempermalukan sang wanita yang telah menyandang marga Ryomen itu.
"Jangan didengarkan."
Sebuah sentuhan di atas tangannya yang tanpa sadar mencengkram seikat sayur membuat Eri tersentak. Pedagang langganannya tersenyum lembut ke arahnya dengan tatapan teduh yang mampu menenangkan hati Eri.
"Ah, kau, kan, pernah cerita jika Ryomen-sama menyukai sup miso buatanmu. Ini, kupilihkan bahan-bahan terbaik. Istri yang mampu menghidangkan suaminya dengan masakan enak adalah istri yang patut dibanggakan dibanding dengan seorang istri yang hanya bisa bicara dan mencemooh, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa."
Pedagang wanita langganan Eri berucap dengan suara yang lumayan lantang. Bertujuan membalas ejekan secara halus kepada dua wanita penggosip di kios sebelah. Kedua wanita itu langsung berubah ekspresinya. Kentara merasa tersindir dan kesal. Beberapa pasang mata yang tadinya melihat Eri langsung kembali ke aktivitas semula. Tidak ingin berurusan lebih dalam.
"Mereka adalah istri para saudagar dari Kerajaan Nishi. Makanya mereka baru tahu soal pernikahanmu dengan Ryomen-sama. Ya, suamimu itu memiliki nama yang besar di dalam kalangan saudagar. Jadi, kau harus kuat menghadapi mereka," tutur sang pedagang seraya membungkusi belanjaan yang telah dipilih Eri.
Eri hanya mengangguk-angguk lalu membuka tas kecilnya untuk mengambil uang lalu membayar belanjaannya. Saat hendak memberikan uang, lengan yukata-nya sedikit tersingkap memperlihatkan tangannya yang diperban. Sontak pedagang wanita menahan tangan Eri dengan ekspresi terkejut yang kentara. "Tanganmu kenapa diperban Eri?"
Eri terkejut saat sang pedagang wanita menahan tangannya. Ia buru-buru menarik tangannya kembali lalu membetulkan lengan yukata-nya. Kentara sekali jika ia panik.
"T-Tidak apa-apa, Bi. Ha-Hanya kecelakaan kecil di dapur. K-Kalau begitu saya permisi. Sampai jumpa besok!"
Belanjaan dengan cepat diambil lalu langkah menjauhi kios. Sang pedagang hanya menatap bertanya-tanya hingga akhirnya teralih oleh pembeli baru. Eri terus melangkah menjauhi pasar. Matanya awas menatap sekitar. Beberapa pasang mata mengikuti pergerakannya. Hal yang tidak akan pernah membuat Eri terbiasa selama dua bulan terakhir.
Rumah berpagar besar yang jauh dari pemukiman warga lain dan sangat dekat dengan kompleks istana adalah tujuannya. Tempat bernaungnya selama dua bulan terakhir. Pagar dibuka lalu halaman luas menyambut. Jarak dari pagar menuju rumah utama lumayan jauh. Namun, dari kejauhan ia dapat melihat sosok pria yang sedang kepayahan hendak masuk rumah. Suaminya, Ryomen Sukuna.
Eri pun berlari menghampiri sang suami. Saat mendekat, ia bisa melihat penampilan Sukuna yang berantakan dan terlihat dari wajahnya sepertinya pria itu mabuk berat.
'Lagi dan lagi ...'
"Danna-sama!"
Eri hendak memapah tubuh Sukuna yang akan terjatuh. Namun, sebelum tangannya menyentuh punggung tegap yang terbalut yukata abu-abu itu, Sukuna sudah menepis tangannya duluan dengan sangat keras hingga menimbulkan suara.
"Jangan menyentuhku! Aku baik-baik saja," desis Sukuna dengan lirikan tajam. Eri hanya tersentak lalu menelan ludahnya. Sikap kasar Sukuna tidak akan pernah membuatnya terbiasa.
Maka yang hanya bisa Eri lakukan hanyalah mengawasi sang suami dari belakang. Pria itu terseok-seok melangkah masuk ke dalam rumah. Sepertinya semalam sang suami pergi ke kedai sake seperti yang sudah-sudah. Mabuk-mabukan seusai mengurus bisnis dan di jam segini baru pulang. Bertahan di rumah hanya beberapa jam. Rutinitas Sukuna yang sangat dihafal oleh Eri.
Mereka telah masuk di rumah besar bergaya tradisional. Sukuna perlahan melangkah melewati lorong rumah menuju kamarnya. Eri di belakang terus mengawasi hingga Sukuna menghilang dibalik pintu geser kamarnya lalu langkah wanita itu pun terhenti. Kamar Sukuna adalah area yang tidak boleh didekatinya. Ya, mereka sepasang suami istri namun kamar mereka terpisah.
Ia pun berbalik lalu melangkah menuju dapur. Berniat memasak sarapan walau sebenarnya tahu bahwa Sukuna mungkin tidak akan menyentuh masakannya karena setelah terbangun, pria itu langsung pergi mengurus bisnis kain sutranya. Mengabaikan presensi dirinya sebagai sang istri dan kadang melakukan tindak kekerasan kepada dirinya, terbukti dengan tangannya yang diperban. Hal yang selalu dilakukan Sukuna selama dua bulan ini.
Tak perlu heran dan tak perlu merasa ini tidak wajar karena pernikahan mereka bukan atas perasaan, tetapi atas wasiat yang harus dilaksanakan. Ryomen Sukuna tidak pernah mencintai perempuan yang bernama Eri. Lalu, Eri sendiri?
Perasaannya sudah mengakar kuat, mencengkram atma dan atensinya. Perasaan sepihak yang begitu menyakitkan. Walaupun begitu, ia memutuskan untuk bertahan.
Hai Eri!
Cais telah mengikatmu dengan sang durkarsa, Ryomen Sukuna. Kamu tidak bisa lari dan tidak bisa mengingkari takdirmu karena telah tertulis bahwa derana dan durkarsa adalah sepasang atma yang saling membelenggu hingga akhir hayat mereka ...
.
.
.
.
.
.
.
.
"Saya Itadori Yuuji, utusan dari kerajaan yang diperintahkan untuk menyampaikan undangan ini kepada Anda, Ryomen-sama," tutur pria berambut merah muda yang mengenakan seragam pasukan kerajaan bernama Itadori Yuuji itu.
Mereka kini berada di ruang kerja kediaman Ryomen. Sukuna duduk di tatami dengan meja di hadapannya. Beberapa meter di depannya Itadori sedang berlutut lalu Eri dan seorang pria yang merupakan asisten Sukuna duduk bersimpuh di dekat pintu. Ada dua penjaga dari kerajaan berdiri depan pintu geser ruangan.
"Bacakan undangannya!"
Gulungan kertas yang terbalut kain beludru itu dibentangkan di depan wajah Itadori lalu pria itu pun membaca isi undangan dengan suara yang cukup lantang.
"Salam sejahtera untuk rakyat Hokuto! Kami atas nama istana mengundang Keluarga Ryomen ke acara perjamuan makan malam dalam rangka perjodohan Tuan Putri Mio dari Kerajaan Hokuto dengan Pangeran Satoru dari Kerajaan Hokusei yang akan diadakan pada hari keenam bulan keempat. Diharapkan kedatangannya sekeluarga. Sekian. Tertanda Kaisar Gojou dan Zenin."
Gulungan kertas pun ditutup. Bersamaan itu Sukuna diam-diam menyeringai.
"Terima kasih karena telah menyampaikan undangannya ke sini. Berikan undangannya kepada Jougo, asistenku yang ada di sana lalu Jougo, antar mereka ke depan."
Jougo pun membungkuk sejenak tanda patuh lalu bangkit. Begitu juga dengan Itadori. Undangan diberikan kepada Jougo lalu membungkuk tanda hormat ke arah Sukuna sebelum beranjak pergi. Ruangan pun hanya menyisakan Sukuna dan Eri.
"Aku akan memanggil guru tata krama untuk mengajarimu bagaimana tata krama makan malam di istana. Masih ada waktu selama dua bulan, belajarlah dengan niat. Jangan sampai kau mempermalukan klan Ryomen," titah Sukuna dengan tatapan yang begitu tajam.
"Ha'i." Eri hanya mengangguk patuh sambil sedikit membungkuk. Bebannya bertambah sebagai perempuan bermarga Ryomen. Namun, ia sama sekali tidak menyesalinya.
••••••••••
Di sisi lain, di kediaman Istana Hokuto
Seorang perempuan cantik dengan kimono perpaduan warna merah dan ungu bermotif bunga serta rambut hitam legam yang digelung rapi dengan hiasan-hiasan cantik sedang berdiri di tepian kolam dengan payung terapit di antara lengan. Aura keanggunan yang menguar dari perempuan itu kentara luar biasa. Di belakangnya terdapat dua dayang yang sedang berdiri menemani.
Iris yang sewarna dengan rambutnya itu menatap lama permukaan kolam yang bening. Bersamaan itu datanglah seorang dayang lain ke mereka. Berdiri sejajar dengan dua dayang di belakang sang perempuan.
"Undangan kepada para bangsawan dan saudagar sudah disebar, Hime-sama," tutur dayang yang baru saja datang sembari sedikit membungkuk.
Perempuan yang dipanggil Hime-sama itu hanya bergumam terima kasih sebagai balasan. Iris hitamnya masih terfokus kepada air kolam biru bening dengan ikan-ikan yang bergerak bebas di dalamnya. Pikirannya kini telah melanglangbuana, terfokus pada sebuah nama yang tidak terbayangkan rupanya di dalam benaknya.
"Gojou Satoru Oji-sama ya ..."
Bersambung ...
Catatan penulis ada di kolom komentar
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro