Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🤍13 : Rawa-Rawa.

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
{اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ}

"Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad."

Sebelum memulai membaca cerita ini mari kita kita awali dengan membaca sholawat bersama🥰

.

.

.

.

.

Mampir ke sebuah rumah di Kampung Hikmah, Edward memarkirkan mobilnya tepat di depan halaman berdekatan dengan pohon mangga tua yang sedang berbuah. Keluar dari mobil dia memperhatikan tangga ulin menuju teras rumah, tangga itu terlihat mengkilap tersiram air hujan. Dengan hati-hati dia melangkah naik. Mengetuk pelan pintu rumah menunggu sang empunya untuk keluar.

Maryam istri Kiayi Khalid keluar, wanita setengah baya itu tersenyum lantas mempersilahkan dia untuk masuk ke dalam. Tidak ada barang mewah yang terpajang hanya beberapa lemari tua dan bingkai kaligrafi yang menghiasi dinding. Edward duduk di karpet rotan menunggu Kiayi Khalid untuk keluar.

Tirai hijau di samping tempat duduknya terbuka Kiayi Khalid keluar dari kamar. Pria tengah baya itu terlihat hanya mengenakan kaos oblong putih dan sarung menyapanya dengan ramah.

Walau beliau adalah seorang pemimpin Pesantren yang bisa dipastikan kaya raya, namun kehidupannya begitu sederhana. Maryam keluar membawa nampan berisi dua geleas teh hangat.

Khadijah adik Rahmat berjalan mengikuti sang ibu dengan malu-malu, pakaiannya terlihat sangat longgar dengan kain panjang yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Remaja perempuan yang masih duduk di bangku kelas 12 Aliyah itu datang membawa sepiring kue lempeng khas Kalimantan Selatan terbuat dari tepung terigu dengan isian pisang.

"Tuan, mari silahkan dinikmati, mohon maaf hanya ini yang ada di rumah," ucap Kiayi Khalid.

Tersenyum, Edward mengangguk mengangkat gelas dan meminum perlahan teh yang telah disuguhkan. Walau hanya teh sederhana namun terasa sangat nikmat.

"Ada perlu apa Tuan datang kemari? Apakah Rahmat membuat kekacaun di sana?" tanya Kiayi Khalid.

Menggeleng, "Tidak, pa Kiayi. Justru saya yang berterimakasih karena Rahmat sudah banyak membantu saya di rumah," ucap Edward.

Menghela napas pelan Edward memperhatikan lukisan kaligrafi yang terpajang di dinding rumah. Haruskah dia mengatakan itu sekarang? Rasanya malu sekali jika dia terus bergantung pada orang lain, namun mau bagaimana lagi ini sudah di luar kemampuannya.

"Pa Kiayi saya khawatir dengan putra saya. Anak itu sulit sekali di ajak bicara, bahkan untuk di ajak keluar rumah pun sulit, dia selalu keluar di malam hari. Saya mengerti mengapa dia seperti itu, lingkungan di sekitar rumah tidak baik untuknya." Terdiam sejenak, Edward menatap Kiayi Khalid.

"Saya ada mendengar dari Rahmat kemarin putraku jalan-jalan bersama pa Kiayi dan anak itu terlihat ceria, saya ingin anak itu lebih banyak bersosialisasi dengan orang lain. Bisakah saya titipkan Keen kepada pa Kiayi di siang hari?" tanya Edward.

Terdiam Kiayi Khalid tidak bicara, terus mendengarkan penjelasan dari Edward dia mengerti betapa sulitnya jadi Edward. Mengurus anak spesial yang sedikit berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Anak itu berada di lingkungan yang tidak tepat sedangkan dia butuh dukungan, dia berjuang melawan sakit, itu tidak mudah.

"Rahmat di siang hari kuliah, saya dan Lena bekerja. Dan Aiden kemarin sudah izin dengan saya hendak belajar bela diri di siang hari, saya tidak bisa melarangnya," ucap Edward.

Menghela napas pelan, Kiayi Khalid mengangguk dia tersenyum meminum teh sebentar.

"Baiklah, besok antar Pangeran ke sini. Kebetulan sekali Guru saya Syekh Ali yang punya toko kelontong di ujung Desa kemarin mau ajak Pangeran mengangkat jaring di rawa-rawa." Tersenyum Kiayi Khalid teringat betapa senangnya Keenan ketika di ajak naik perahu ke rawa-rawa.

Mengangguk senang Edward meminuh tehnya kembali, memakan sepotong kue yang telah disajikan. Dia mengulas senyuman ternyata ada banyak rahasia yang tidak dia ketahui, pria tua yang selalu dia singgahi untuk berbelanja itu ternyata adalah seorang Syekh. Beliau sama sederhananya dengan Kiayi Khalid, Keenan di bawah didikan mereka pasti akan menjadi anak yang hebat.

"Baiklah besok pagi sebelum berangkat ke rumah sakit saya akan antar Keen ke sini," ucap Edward.

🤍🤍🤍🤍🤍

Malam telah berganti, pagi pun tiba. Mobil sedang hitam milik Edward berjalan cepat menelurusi jalan raya kecil, rumah-rumah warga berada di sisi jalan. Keenan duduk di pangkuan Helena sedang memperhatikan sekitar melalui jendela mobil.

Terlihat di depan sebuah toko kelontong Kiayi Khalid dan seorang pria tua sedang menunggu kedatanganya, Edward menoleh menanyakan sesuatu pada Helena.

"Mah, perlengkapan Keen aman kan?" tanya Edward yang hanya dibalas anggukan oleh Helena.

Mobil berhenti, Helena membawa Keenan turun. Sebelum menurunkan tubuh putra kecilnya terlebih dahulu Helena mencium pipi Keenan, menyalurkan kasih sayang mendalam untuk putranya.

"Bermainlah dengan baik sayang," ucap Helena.

Turun dari gendongan Helena, Keenan beralih pada Edward. Sang ayah berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Keenan, memeluk serta mencium kening dan kedua pipinya. Tanganya terulur untuk mengelus lembut puncak kepala putra mungilnya.

"Papa pamit ya sayang, Keen baik-baik di sini jangan ngerepotin, okey," ucap Edward yang di balas anggukan oleh Keenan.

Mendekat ke arah Syekh Ali, Edward menundukan kepala sebentar menyerahkan Keenan kepada lelaki tua itu.

"Syekh saya titip Keen, jika ada apa-apa segera hubungi kami," ucap Edward.

Mengangguk Syekh Ali mengenggam tangan Keenan lembut menatap kepergian Edward dan Helena. Tangan mungil Keenan melambai, manik mata mungil itu terus memperhatikan mobil yang sedang melaju hingga tak terlihat lagi.

Memastikan kedua orang tuanya sudah pergi jauh, Keenan berbalik wajahnya mendongak menatap Syekh Ali yang jauh lebih tinggi darinya. Manik mungil itu terlihat berbinar sangat mengemaskan.

"Kakek, kita ke rawa cekarang?" tanya Keenan.

Tertawa pelan Syekh Ali mengangguk, berpamitan dengan Kiayi Khalid dia mengangkat Keenan kedalam gendongan. Membawa anak kecil itu menuju ke belakang rumah, menelusuri jalan setapak penuh lumpur. Bebek-bebek peliharaan warga terlihat berkeliaran di sekitar pohon kelapa.

Menengadah ke atas Keenan terkagum dengan buah kelapa yang tinggi di atas saja, tanganya terangkat menunjuk ke atas dengan manik mata berbinar.

"Kakek, itu pohon kelapa yah?" tanya Keenan.

Mendongak sebentar, Syekh Ali tersenyum dia menganggukan kepala. Sebuah perahu kecil terikat ke sebuah pohon kelapa, Syekh Ali mengucap basmalah mulai menurunkan tubuh Keenan ke atas perahu, membiarkan anak kecil itu nyaman duduk di bangku kecil yang ada di dalam perahu.

"Pangeran, duduk diam di sini yah," ucapnya.

Membuka gembok kecil yang ada di rantai pengikat perahu, dengan hati-hati dia menaiki perahu dengan bantuan sebilah bambu panjang perahu mulai bergerak mengapung di rawa-rawa.

Air yang bercampur lumpur berwarna coklat muda seperti susu coklat. Keenan menurunkan tangan mungilnya perlahan, air rawa rasanya sangat dingin. Sudut bibirnya terangkat mengukir senyuman tipis, menaruh telapak tangan di dalam air dengan keadaan perahu yang sedang berjalan itu mengasikan.

Menyadari apa yang sedang dilakukan Keenan, Syekh Ali tersenyum. Badan mungil itu terlihat condong ke samping berusaha untuk meraih air rawa dengan tangan mungilnya.

"Pangeran, tanganya," tegur Syekh Ali dengan suara lembut.

Merasa di tegur Keenan mengeluarkan tanganya dari dalam air, melihat sekumpulan bebek yang sedang berenang. Kepalanya menoleh berusaha untuk melihat lebih jelas, perahu semakin berjalan menjauh badanya berputar nyaris terjatuh dari perahu.

"Pangeran! Hati-hati!" tegur Syekh Ali yang terkaget karena perahunya nyaris oleng.

Keenan duduk tenang di dalam perahu, napasnya tidak beraturan. Jantungnya berdetak kencang nyaris saja terjatuh, entah seberapa dalam air rawa ini dia merasa sangat takut.

Melihat Syekh Ali yang tersenyum ke arahnya, Keenan mengangguk dia akan duduk diam sekarang.

Perahu semakin jauh masuk ke tengah rawa-rawa, cahaya mentari terpantul di air rawa yang dalam. Keenan melihat ke permukaan air tampak ada sedikit goyangan ombak kecil dari hembusan angin. Di atas burung-burung kecil berterbangan, sangat indah sekali. Dia tersenyum, melihat pantulan wajahnya yang ada di permukaan air.

Tanaman eceng gondok tumbuh secara berkelompok bunganya yang indah berwarna ungu bermekaran.

"Kakek nyau itu," ucap Keenan.

Tersenyum Syekh Ali membawa perahu menjauh, menuju ke tujuan utama mereka yaitu rawa milik Syekh Ali. Di mana jaring ikan dipasang, pada waktu surut rawa-rawa ini akan di tanami padi oleh warga sekitar setiap petak rawa ada pemiliknya.

"Nanti ya Pangeran," ucap Syekh Ali.

Tiba di tempat tujuan Syekh Ali memasukan bambu panjangnya ke dalam perahu mulai menarik jaring yang telah terbentang di permukaan rawa. Ikan sepat ikan betok juga ikan tawes terjerat di setiap bolongan jaring, Syekh Ali mengambil mereka dan memasukannya ke dalam ember berisi sedikit air.

Keenan dengan tangan mungilnya mengeluarkan ikan sepat dengan hati-hati, perilaku itu tidak luput dari perhatian Syekh Ali. Dia mengulas senyuman, tampaknya anak kecil itu sudah belajar mengasihi makhluk-makhluk kecil.

"Pangeran lihat ini ikan papuyunya besar-besar, Pangeran mau di masak apa nanti ikannya?" tanya Syekh Ali.

Ikan Papuyu atau sering di sebut ikat betok merupakan ikan khas air tawar. Keenan memperhatikan ikan papuyu yang ada di dalam ember, terlihat besar-besar pasti akan lezat kalau di bakar dan di makan dengan nasi dan cacapan jeruk nipis."

"Di bakar," jawab Keenan.

Tersenyum Syekh Ali menganggukan kepalanya, ikan hasil tangkapan hari ini cukup banyak bahkan mungkin paling banyak dari biasanya. Hanya dengan satu jaring ikan yang di dapatkan hampir setengah ember plastik.

"Pangeran lihat di sana, ada bunga eceng gondok, Pangeran mau?" tanya Syekh Ali.

Jembata kayu panjang berada di tengah-tengah rawa biasa menjadi akses jalan bagi para warga yang hendak ke sawah mereka. Rawa itu adalah sawah, jika air sudah surut akan menjadi sawah dan di tanami padi, di musim kemarau sawah akan kering. Dan di musim penghujan biasanya akan banjir dan menjadi rawa-rawa.

"Nyau," jawab Keenan dengan mata berbinar.

Mendekatkan perahu ke kumpulan tanaman eceng gondok, Syekh Ali memetik beberapa tangkai bunga untuk Keenan. Memutar perahu di depan sana terlihat tanaman teratai dan lotus yang berdekatan, bunga teratai yang indah berwarna merah muda keunguan Keenan menarik bunga itu dengan tangan mungilnya. Batangnya yang panjang ikut tercabut dan dibawa masuk ke dalam perahu.

Melihat Pangeran kecil itu begitu lihai menarik batang teratai Syekh Ali tersenyum, "Pangeran mau makan tumis batang tanding?" tanya Syekh Ali di balas anggukan oleh Keenan.

Entah makanan model apa itu selagi di tawarin dia akan menganggukan kepala. Batang teratai atau bisa di sebut batang tanding dalam bahasa banjar merupakan jenis sayuran yang umum di masak oleh masyarakat suku Banjar Kalimantan Selatan.

Tumbuhan teratai berbeda dengan lotus, hampir seluruh bagaian teratai dapat di makan dari biji hingga bunga dan batangnya dapat menjadi lauk pauk yang enak jika di masak dengan benar.

"Kakek mau itu," ucap Keenan menunjuk ke arah buah lotus yang ada di depan sana.

"Baiklah kakek ambilin yah, bunganya mau?" tanya Syekh Ali yang di balas anggukan oleh Keenan.

Bunga lotus, bunga dan batang teratai serta biji-biji lotus hampir memenuhi sebagian besar perahu. Syekh Ali menjalannya perahunya untuk pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Keenan sibuk dengan biji lotusnya, membuka kulitnya dengan hati-hati dan memakannya seperti memakan kacang.

Rasanya yang tawar sedikit manis, Syekh Ali mengulas senyuman melihat bagaimana anak itu makan biji lotus dengan lahap.

Mendongak dia menatap Syekh Ali, "Kakek, cenapa kakek tidak mau ambilin bung eceng gondok tadi di jalan? Cenapa kakek suruh Ceen tunggu?" tanya Keenan.

Mengulas senyuman yang di tunggu akhirnya tiba, Pangeran kecil ini bertanya. Dia sengaja melakukan itu untuk mengajarkan sedikit pengetahun untuk Keenan.

🤍🤍🤍🤍🤍

Hay-hay bagaimana kabarnya hari ini? Saya harap kalian sehat selalu🙏🥰

Oh iya di sini saya mau jelasin sedikit tentang bicara cadel Keenan, mungkin ada yang salfok di beberapa kata Keenan tidak bisa ngomong huruf K tapi di kalimat lain dia bisa nyebut huruf K. 

Pada anak usia ini memang masih belajar mengontrol otot-otot mulutnya untuk membentuk suara. Dan Keenan masih sedikit kesulitan mengucapkan beberapa kata yang mungkin agak sulit untuknya. Ya bisa di bilang masih sedikit kebingunan menghubungkan suara-suara dalam kata. 

Kaya kata "Kakek" terdengar simpel untuk diucapkan olehnya sedangkan namanya sendiri yaitu "Keen" agak sulit untuknya menyebutkan dengan benar. 

Oh iya tentang pertanyaan Keenan di ujung adegan kira-kira ada yang bisa nebak ga nih apa sih alasan Syekh Ali melakukan itu?

Sampai jumpa di bab selanjutnya, salam sehat semuanya🙏🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro