Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian XV

Bedhor naik di atas tumpukan kayu bakar, ranting-ranting pohon jati yang sudah mengering. Tubuh Bedhor sudah berayun-ayun di atas gerobak milik kakek tua itu. sapi-sapi itu sepertinya gembira bisa membantu Bedhor yang kelihatan letih yang sangat. Di sepanjang perjalanan menuju desa, dua sapi putih nan gemuk-gemuk itu bernyanyi mengibur Bedhor. Bedhor yang tahu maknanya hanya tersenyum kecil sambil berayun-ayun di atas tumpukan kayu bakar di gerobak yang dikendalikan kakek tua itu.

"Mas Bedhor mau ke Desa Sindang Sari?" tanya salah satu sapi sambil rengeng-rengeng berdendang.

"Kok kamu tahu, Pi?" jawab Bedhor.

"Aku bisa melihat dari jidat sampean."

"Hayah! Ngacau kamu, Pi."

"Serius, Mas. Ada tulisannya kok di jidatmu. Hanya bangsa binatang yang bisa baca."

"Kenapa begitu, Pi?"

"Gusti Allah sudah tidak percaya dengan bangsa sampean, Mas. Dikasih kekuasaan menindas, dikasih amanah dikhianati, dikasih kepintaran untuk menistakan Tuhan, dikasih keelokan rupa diperjualbelikan."

"Hahaha.. kamu bisa saja, Pi."

Bedhor terkikik sendiri mendengar sarkas dari sapi itu. Kakek tua pengendali gerobak terkejut mendengar tawa anak muda itu.

"Kok tertawa sendiri, Nak?" Tanya kakek kusir gerobak.

"Oh. Tidak, Kek. Mungkin saya sedang mengigau karena sangking capeknya," ucap Bedhor.

"Ooo, ya sudah istirahatlah. Perjalanan masih satu jam, Nak."

Sapi-sapi penarik gerobak itu kembali menyayikan lagu-lagu untuk menghibur Bedhor. Sambil matanya jelalatan mengamati jalanan yang tidak rata. Melihat pohon-pohon jati yang meranggas, terlihat nestapa diterpa kemarau yang panjang.  Angin lembab menghempas dedaunan kuning yang masih menggantung di ranting-ranting yang kehausan. Satu persatu pegangan daun kepada ranting terlepas, menghempaslah mereka ke bumi yang tandus.

Bumi kian meronta keberatan akan dosa-dosa manusia. Air mengering oleh panas jahanam dari aura dosa pada muka manusia. Hampir tidak ada kesejukan pada raut manusia. Wajah-wajah penuh dosa itu memancarkan panas amarah, berahi kekuasaan, tamak akan harta, serakah akan keindahan wanita, dan rakus atas harta benda. Bumi sepertinya sudah muak dengan penghuni yang kian jauh dari cahaya Illahi.

Itulah bunyi syair-syair satire sarkas yang ditembangkan dengan lantang oleh kedua sapi penarik gerobak milik kakek tua itu. Bedhor terkantuk-kantuk mendengarkan nyanyian yang penuh sindiran kasar itu. Sebagai bangsa manusia, Bedhor merasa prihatin akan kondisi moral ummatnya. Inilah jahiliyah modern gumam Bedhor sambil meresapi nyanyian kedua sapi itu.

"Masih jauh, Kek?"tanya Bedhor.

"Kira-kira setengah jam lagi, Nak."

"Kakek pakai sendiri kayu bakar ini?"

"O, tidak. Pagi-pagi sekali saya jual ke pasar, Nak. Kakek tidak punya sawah lagi. Inilah penghidupanku selain gaduh sapi ini."

"Sapi ini bukan punyamu, Kek?"

"Bukan. Punya juragan di kampungku, Nak."

"O, demikian. Kakek tinggal sendiri?"

"Ya sendiri, Nak."

"O, begitu."

"Ya. Begitu, Nak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro