Bagian XI
Bedhor berdiri dari duduknya. Lincak bambu itu seraya berderit kencang, sepertinya ia lepas dari derita himpitan berat yang sangat membebaninya. Bedhor tersentak ketika menatap mata gadis jelita itu. seperti ada api jahanam tertanam dalam di sorot mata itu.
"Astagfirullah," seru Bedhor.
"Kenapa, Mas?"
"Saya harus pergi, Dek."
Ketika menyalami tangan gadis jelita itu seolah ada tarikan energi yang sangat kuat. Menyedot kekuatan Bedhor. Bedhor membaca ayat kursi dalam hati. Tangan Cresil terlepas lemas. Bedhor melangkah keluar gubuk reot itu, gadis jelita itu melepas dengan tatapan penuh kekecewaan. Tiga langkah dari pintu gubuk reot Bedhor membalikan badan untuk melihat ekspresi gadis jelita itu, betapa kagetnya Bedhor ternyata rumah itu telah hilang. Bedhor hanya mendapati hutan jati gersang yang sedang meranggas. "Subhanallah, Allahu Akbar!" seru Bedhor.
Bedhor melangkah buru-buru meninggalkan tempat itu. Ia setengah berlari menyusuri jalan setapak yang agak menanjak. Sekawanan burung gagak mengaok-kaok memperhatikan setiap langkah Bedhor. Belalang kayu dan serangga lain berterbangan ketika mendengar gemerasak kaki Bedhor menginjak daun-daun jati yang sudah mengering. Udara yang berhembus terasa sekali lengasnya, menampar kulit Bedhor yang terlihat kusam.
"Sepertinya aku tersesat di dalam hutan ini," gumam Bedhor dalam hati. Kakinya terus melangkah, sesekali ia memperhatikan matahari yang sepertinya sudah melewati batas ubun-ubunnya. Bedhor berusaha untuk menemukan tempat yang tepat untuk Salat Dhuhur. Pada jalan yang agak menurun ia menemukan parit kecil yang di aliri air. Bedhor segera mengambil air wudhu dan mendirikan Salat Dhuhur di pinggir parit kecil itu.
"Hati-hati di jalan, Nak. Pasti para iblis tidak akan begitu saja menyerahkan hegemoni kekuasaannya atas desa itu dan atas Markenes," ucap Gus Mur.
"Iya, Abah. Kira-kira rintangan apa yang akan saya hadapi, Abah?" tanya Bedhor.
"Bisa berupa apapun, maka berhati-hatilah."
"Baik, Abah. Mohon doa restunya atas perjalanan saya menuju ke desa itu, Abah."
"Tentu, Nak. Jangan pernah membanggakan diri sebagai orang baik. Jangan takabur, jangan sombong, jangan selalu menganggap diri kita paling benar, dan jangan menganggap dirimu manusia suci. Semua itu milik Allah."
"Iya, Abah."
Bedhor terjaga dari lamunannya kala burung gagak berkaok-kaok di dahan pohon jati tepat di atas kepalanya. "Apakah kau untusan iblis juga wahai burung?" gumam Bedhor dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro