Bagian X
Sebentar saja Bedhor dan kakek tua itu sudah ada di depan rumah yang lebih pantas disebut gubuk. Ada keraguraguan di hati Bedhor untuk memasuki pintu yang terbuat dari bilah kayu papan yang sudah usang.
"Masuklah, Nak. Beginilah kondisi rumah kami."
"Iya, Kek."
"Masuklah, kenapa termangu di depan pintu? Apa karena rumahku buruk?"
"Tidak, Kek. Assalamu'alaikum."
"Masuklah..."
Bedhor duduk di sebuah lincak bambu yang sudah renta, serapuh kakek tua itu. Suara derit menyayat hati ketika pantat Bedhor memberikan tekanan yang kuat kepada lincak bambu itu.
"Cresil! Tolong bikin kopi untuk tamu kita, Nduk."
"Cresil?"
"Ya. Itu nama cucuku, Nak."
Tidak lama muncul seorang gadis jelita. Berkulit bersih, berambut hitam lurus, bermata sayu, hidung mungil mancung, alis mata tebal, dagu lancip. Hati Bedhor begetar hebat, badannya menggigil, dan sumbu kompornya menggeliat manja. Gadis jelita penuh pesona itu menatap Bedhor dengan tatapan penuh api berahi. Kembali leher Bedhor tercekat, napasnya cepat dan degub jantungnya rapat-rapat.
"Silakan diminum, Mas." ucap Cresil.
"Terima kasih, Mbak."
"Jangan panggil dia mbak, Nak. Cucuku lebih muda daripadamu" kata kakek tua.
Cresil melirik manja kepada Bedhor. Pemuda dari Timur itu tersungut malu. Cresil duduk di samping kakeknya. Nampan yang dipakai untuk membawa dua gelas kopi tadi diam dipangkuan gadis jelita itu.
"Ajak mas mu ini jalan-jalan di belakang rumah, Sil" sela kakek tua.
"Iya, Kek." jawab Cresil.
"Tidak usah repot, Kek. Saya tidak lama kok di sini." kata Bedhor.
"Loh menginap di sini saja, Nak. Kamu kan masih lelah."
"Tidak, Kek. Saya baik-baik saja kok."
"Ya sudah kalau begitu kalian ngobrol di sini. Kakek mau ke belakang sebentar."
Kakek tua itu mengangkat pantatnya dan berlalu dari hadapan perjaka dan gadis jelita. Suara tongkatnya berdetuk menggetarkan bumi yang dipijak oleh Bedhor. Kakek itu sangat misterius bagi Bedhor.
"Siapa nama kakekmu, Dek?" tanya Bedhor pada gadis jelita di hadapannya.
"Nama kakekku? Hmm namanya Elbus, Mas."
"Elbus? Nama yang aneh."
"Kok aneh?"
"Ya, tidak umum untuk nama orang yang sudah tua di daerah ini."
"Masa begitu, Mas?"
"Iya."
"Diminum kopinya, Mas."
"Oh. Maaf tadi saya lupa bilang kalau puasa, Dek."
"Tapi terlanjur saya buatkan untukmu, Mas."
"Maaf, Dek. Saya harus melanjutkan perjalanan."
"Loh jangan dulu, Mas. Nanti saya bisa kena marah sama kakek."
"Salam saja sama kakek, Dek. Terima kasih sudah mengajak saya singgah kemari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro