Bagian IV
"Kenapa masjid se megah ini begitu sunyi? Kemana umatnya? Penyeru azan pun tak ada. Apa ini tanda akhir jaman?" Suara itu hanya menggaung dalam hati tanpa bisa menembus bibirnya yang mengatup rapat. Di tangannya sudah tergenggam sapu ijuk untuk menyapu lantai masjid yang berdebu dan penuh kotoran burung yang sudah mengering.
Bedhor menangis dalam salatnya. Ia nampak berduka menyaksikan kemegahan masjid yang semu. Bagunan fisiknya nampak kokoh, bertiang beton angkuh yang menjulang, menyangga kubah mewah berhiaskan kaligrafi nan cantik. Sebuah lampu kristal mewah menjuntai ke bawah dari tengah kubah. Dinding bagian depan marmer yang bagus. Kaligrafi kalimatullah menghiasi pada dinding itu sampai pada ujungnya. Namun tak satu jamaah pun yang salat di masjid itu. Kumandang azan pun tiada.
Bedhor menangis sejadi-jadinya. Seolah ia sedang menangis di bawah telapak kaki Tuhan. Ia mengadukan keadaan umatnya yang kian jauh dari masjid, kian menjauh dari Allah, dan makin memikirkan dunia. Puas mengadu Bedhor bangkit dari sujudnya, ia mengusap air mata yang berlinangan membasahi pipinya. Suara burung sriti dan gereja di kubah masjid itulah yang memusikalisasi tangis Bedhor.
Bedhor meraih bungkusan kain yang berisi pakaiannya. Ia kembali memanggulnya dengan tongkat bambu yang tidak pernah lepas dari bahunya. Dengan langkah gontai ia kembali ke Rumah Makan Goyang Lidah, namun ia sudah tidak mendapati truk yang ia tumpangi tadi.
"Assalamu'alaikum. Numpang tanya, Bu, Truk Derita Di Atas Roda tadi sudah berangkat ya?' tanya Bedhor pada seorang wanita tua pemilik rumah makan.
"Ooo Si Kenthung? Sudah, Mas. Dia sudah berangkat menuju ke Barat." jawab pemilik rumah makan itu.
"Waduh."
"Loh kenapa, Mas?"
"Tidak kenapa, Bu. Saya tadi menumpang truk itu dari kampung."
"Oh, kasihan. Tunggu saja di sini, Mas. Masih banyak kok truk yang biasa makan di sini yang menuju ke Barat."
"Baiklah, Bu. Kalau begitu saya numpang duduk di sini."
"Iya silakan. Kalau boleh tahu kemana tujuannya, Mas?"
"Saya tidak punya tujuan, Bu. Pokoknya saya ingin berjalan terus ke arah Barat sampai ditemukan sebuah desa yang konon di sana hidup seorang wanita gila, tapi kaya raya."
"Gila, kaya raya?" tanya pemilik rumah makan.
"Ya. Gila tapi kaya-raya, Bu."
"Untuk apa sampean menemuinya?"
"Aku mendapat perintah dari kiai saya, Bu."
"Kiai? Di jaman semodern ini masih ada kiai?"
"Masih, Bu. Kenapa sampean heran?"
"Saya pikir orang soleh sudah punah dari dunia ini, Mas."
Bedhor terperanjat mendengar pernyataan pemilik rumah makan itu. Ia teringat masjid besar dan megah tapi ditingglkan jama'ah nya tadi. Apa benar orang soleh sudah langka dan menjadi kelompok manusia yang aneh di jaman yang sudah sangat modern ini.
"Kenapa melamun, Mas?"
"Oh tidak, Bu. Saya hanya berfikir apa benar orang soleh makin langka dan dianggap aneh sekarang ini?"
"Bukan lagi langka, Mas. Tapi sudah tidak ada menurutku."
"Masih ada, Bu. Jangan pesimis dan apatis terhadap nilai-nilai kebenaran."
"sampena tidak makan siang, Mas?"
"Oh. Saya puasa, Bu."
"Puasa?"
"Ya, saya puasa."
"Puasa apa?"
"Puasa Daud, Bu."
"Aku percaya kalau orang soleh ternyata masih ada." ucap pemilik warung sambil tersenyum manis kepada Bedhor.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro