Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Who am I?

Media massa sedang gempar.

Dalam seminggu ini para pemburu berita makin ganas mengungkap segala hal yang berhubungan dengan Vallena Valla. Tertangkapnya Ida dan Alex, serta kaitan mereka berdua atas kematian Vino menjadi kasus yang ramai diperbincangkan.

Tak hanya saluran infotainment, berita lokal pun turut serta menyiarkan tragedi menggemparkan itu.

Semua bukti sudah dikumpulkan oleh pihak yang berwajib. Video CCTV di dekat lokasi kejadian, rekaman pembicaraan Ida dan Alex di telepon, bahkan history percakapan Vino dan Ida pun tak luput menjadi barang bukti. Motifnya sudah jelas, dendam. Ida tidak terima karena Vino menghianati perjanjian mereka dan membocorkan hubungan sesama jenis Vallena dan Sofi di Twitter.

Vallena masih terpuruk di rumah.

Ia bak dihantam oleh palu gadam tiada henti. Mana ia sangka, ibunya tega merencanakan hal teramat keji terhadap Vino. Parahnya, lelaki itu hingga tewas karena ulah sang ibu. Walaupun Vallena juga menyimpan sakit hati dan kemarahan kepada Vino, tak sedikit pun terbesit dalam angannya untuk menghabisi nyawa seseorang.

Alasan Ida mengadopsinya pun tak wajar. Hanya karena ia berwajah mirip dengan mendiang putrinya, Vallena.

Vallena tertawa getir dalam kesendiriannya.

Selama hampir tiga puluh tahun, TIGA PULUH TAHUN, ia hidup dalam manipulasi dan kebohongan. Tega sekali Ida 'membentuk' dirinya bak robot. Jika boleh memilih, Vallena lebih baik mati karena kelaparan dan kedinginan, ketimbang diselamatkan oleh Ida.

Ia begitu sakit hati.

Ida adalah sosok ibu yang ia kenal.

Ternyata semuanya palsu dan tipuan. Anehnya, Vallena masih merasa peduli dan menyayangi Ida, setelah apa yang telah wanita itu lakukan padanya. Ida telah merusak hidupnya. Ida merusak dirinya. Mungkin, karena ia begitu lama hidup bersama Ida dan setulus hati menganggap wanita itu sebagai ibunya. Ibu yang menyayanginya.

Ida memang menyanyainya, lebih tepatnya, menyayangi Vallena.

Dan dia,

Bukan Vallena.

Pintu ruang perpustakaan terbuka, sosok Hesa masuk ke dalam dengan ekspresi gamang bercampur getir.

"Vall," sapanya.

Vallena tak menoleh. Matanya terus terpaku menatap langit dari jendela.

"Aku bukan Vallena. Kenapa om masih memanggilku begitu?" Ia terdiam sejenak, tersenyum sinis, "dan kau juga bukan paman kandungku."

Hesa berdehem, "Vall, aku tau ini berat untukmu. Atas nama kakakku, aku minta maaf."

"Minta maaf untuk apa?" tanya Vallena, "untuk menghancurkan hidupku, hah!" bentaknya.

Hesa menelan ludah. Vallena benar.

"Andai saja aku tak bertemu Sofi dan menuruti paksaan mom untuk operasi, maka hidupku akan benar-benar hancur, om! Apa kalian sadar itu? Teganya kalian menipuku begini? Aku ini manusia! MANUSIA!" Vallena menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya.

Hesa merangkul keponakannya, "M-maafkan aku. Aku adalah seorang pengecut yang tak berani melawan kakakku. Maafkan aku. Maafkan kami karena merusak hidupmu," sesalnya.

"Lalu aku ini siapa, om!? Aku ini tidak nyata. Aku hanya karangan Ida. Aku ini siapa?!" raung Vallena.

"Maafkan kami," Bulir air mata penyesalan membasahi pelupuk mata Hesa. Tak ada kata yang mampu terucap, selain, maaf.

***

Hesa menyodorkan sepucuk surat kepada Vallena. Surat yang tampak usang dan lawas.

"Ini adalah surat yang dikirimkan oleh Cliff Valla ke alamat ini 18 tahun yang lalu. Sepertinya ia hanya tau alamat rumah kak Ida yang lama, 18 tahun yang lalu kalau tidak salah, kalian masih tinggal di Paris. Aku sempat memberikan surat ini kepada kak Ida, tapi ia membuangnya. Entah mengapa, aku merasa wajib menyimpan surat ini. Surat ini ditujukan untukmu, Vall. Maafkan aku, baru sekarang aku memberikannya padamu," terangnya.

Vallena menerima surat dari Hesa dengan tangan gemetar.

Setelah memberikan surat tersebut kepada Vallena, Hesa meninggalkannya seorang diri di ruang perpustakaan.

Jantung Vallena berdegup keras. Ida berbohong tentang Cliff. Ayahnya, masih peduli dan mengingat dirinya. Pelan-pelan dibukanya surat usang itu.

Sepucuk kertas penuh dengan goresan tinta yang ditulis dalam bahasa Belanda.

Dag lieve jongen¹,

Apa kabarmu? Tiada hari-hariku tanpa memikirkan tentang dirimu, anakku.

Sekarang usiamu sudah 18 tahun. Kudengar kau dan Ida menetap di Paris, namun aku tidak mengetahui alamatmu di sana. Terpaksa, kukirimkan surat ini ke alamat rumah lama mommymu di Surabaya, semoga tersampaikan padamu.

Nak, rasa bersalah selalu bersarang di hatiku. Bertanya-tanya apakah hidupmu bahagia dengan keputusanmu menjadi seorang transgender.

Jika terselip ragu dan bimbang, dengarkan saja kata hatimu. Kejarlah kebahagiaanmu dan jangan pedulikan kata orang. Termasuk mommy-mu. Kau adalah apa yang kau mau.

Aku tidak tau apa saja yang Ida katakan tentangku. Satu hal yang ingin kau yakin bahwa, aku sangat mencintaimu. Kau adalah anakku. Anakku tersayang.

Maafkan aku karena tak mempertahankan keberadaanmu. Karena kebodohanku, bertahun-tahun aku menangis dalam malam. Sorot mata biru indahmu, selalu terbayang dalam ingatanku, nak. Maafkan ketidakberdayaan daddy. Het spijt me².

Sudikah kau membalas surat ini kelak?

Aku harap kau berkenan membalas suratku, atau mungkin meneleponku, nak. Kunantikan saat itu dengan sabar dan penuh harapan.

Aku selalu menyayangimu.

Daddymu,

Cliff Valla

Vallena terisak menempelkan surat bertuliskan tangan dari sang ayah. Meskipun ia kecewa karena Cliff tak membantu menyuarakan kebebasannya pada Ida. Ia masih teramat kecil dan tak berdaya kala Ida mendidiknya sebagai anak perempuan.

Sebuah foto terjatuh dari dalam amplop, dengan cepat Vallena memungut foto lama itu. Bulir air matanya turun lebih deras. Foto lama dirinya dan Cliff, ia lupa kapan foto itu diambil. Gambar yang terabadikan menunjukkan betapa hangatnya kasih sayang Cliff padanya dulu.

***

Vallena Valla dan Hesa Surya diminta datang ke Polrestabes.

Para wartawan menyerbu bagai gerombolan hyena yang melihat bangkai rusa. Vallena terus berjalan tanpa memberikan komentar. Ia mengenakan topi dan kacamata hitam untuk menyembunyikan ekspresi wajah dari incaran kamera.

"Vallena, kenapa potong rambut? Kamu butchy, ya?"

"Vall, apakah bersekongkol dengan ibumu dalam pembunuhan ini?"

"Sejak kapan jadi penyuka sesama jenis, Vall?"

"Vall, kasih statement, dong!"

Berjuta pertanyaan yang mengusik mental menyerbu Vallena. Ia tetap bungkam dan tak bergeming, hingga akhirnya melesat masuk ke dalam ruangan.

Para wartawan hanya bisa pasrah. Tidak mendapat sepatah kata pun dari Vallena. Namun, paling tidak, kemunculan Vallena Valla yang berhasil mereka abadikan, sudah cukup sebagai bahan narasi konten selanjutnya.

***

Vallena berada di ruangan terpisah dari Hesa.

Ruangan berbentuk persegi empat. Satu buah meja komputer, lengkap dengan arm-chair di depannya. Selain meja introgasi, terdapat satu buah sofa panjang berwarna hitam dengan meja kaca di depannya.

"Ibu Ida Surya sudah mengakui semua perbuatannya. Tak ada rasa bersalah dari pernyataan yang beliau lontarkan. Psikiater juga sudah melakukan serangkaian pemeriksaan dan Ida tergolong sebagai seorang sosiopat³. Apa kamu menyadari bahwa ibumu memiliki gejala penyakit mental?" tanya petugas kepolisian yang duduk di belakang meja komputer.

Vallena menghela napas berat, "Tidak," jawabnya singkat.

"Adakah ia membahas mengenai Vino padamu?"

"Tidak," jawab Vallena lagi.

"Lalu apakah kamu tau kesepakatan yang Ida lakukan bersama Vino?"

"Tidak," Vallena tertunduk.

"Apa kamu tau ibumu telah membayar Vino sebesar 500 juta untuk tutup mulut akan hubungan asmaramu dengan Sophia Alfira?"

Mata Vallena membelalak. Ia benar-benar tidak mengetahui bahwa ibunya begitu berusaha menyembunyikan hubungannya dengan Sofi. "Tidak," sahut Vallena lagi.

Petugas kepolisian tersenyum menyeringai, "Sepertinya ibumu kesal karena Vino mencuranginya. Ia sebegitu mati-matiannya melindungi nama baikmu."

Vallena tertunduk.

Hatinya tak karuan. Ida telah menghancurkan hidupnya, namun, Ida juga segenap jiwa dan raga melindunginya.

***

Waktu terus berlalu.

Kasus makin bergulir menuju babak akhir.

Vallena tak bisa menemui Ida, melalui pengacaranya, Ida berpesan bahwa ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan Vallena. Hingga akhirnya, Hakim memutuskan hukuman penjara seumur hidup untuk Ida atas pembunuhan berencana yang ia lakukan.

Mulut Ida tetap bungkam akan jati diri Vallena yang sebenarnya. Tak sepatah pun informasi itu ia sampaikan pada pihak yang berwajib. Psikiater tak mampu menggali penyebab Ida menjadi seorang sosiopat. Ida mengunci rapat rahasia kelamnya.

Kehilangan seorang anak yang ia cintai adalah awal mula depresinya.

Trauma mendalam yang berujung pada obsesi berlebihan. Meskipun begitu, nalurinya untuk melindungi Vallena masih tertancap dalam relung hatinya. Ia sadar, jika ia mengungkap segala masa lalunya, maka kepolisian akan mengusut siapa saja yang terlibat dalam perbuatan ilegal yang dilakukan Ida.

Cliff Valla dan Hesa, yang merahasiakan kematian Vallena kecil akan ikut terseret ke dalam jeruji besi. Hanya Ida yang mengetahui isi hatinya, dibalik sikap kejam yang ia tampilkan, masih tersisa rasa kasih seorang wanita yang menyimpan luka.

***

Satu bulan berlalu.

Ida mengenakan pakaian tahanan menuju ruang kunjungan didampingi oleh satu orang sipir.

Setiap minggu, adiknya Hesa rutin mengunjunginya. Belum genap seminggu, mengapa Hesa harus datang lagi?

Mata Ida membelalak, dari balik sekat jeruji, sosok Vallena sudah duduk menunggunya.

"Aku sudah bilang tidak mau bertemu!" Ida melengos hendak pergi meninggalkan Vallena.

"Mom! Tunggu!" panggil Vallena, "sebentar saja! Aku ke sini untuk berpamitan!"

Ida menghentikan langkahnya.

Vallena melanjutkan, "Aku akan mencari daddy di Belanda. Aku harap kau selalu sehat, mom," terang Vallena.

Ida tak bergeming. Tetap membelakangi Vallena.

"Kalau begitu aku pergi," ucap Vallena.

Vallena kemudian berbalik, berjalan pergi meninggalkan ruang tahanan.

Ida berbalik badan. Memandangi sosok Vallena yang melangkah menjauh. Anak yang ia rawat selama hampir tiga puluh tahun. Vallena mengenakan jaket hitam dan jeans berwarna gelap. Semua ciri feminin yang melekat dalam bayangan Ida akan sosok anak itu perlahan memudar.

Baru beberapa langkah berjalan, Vallena kembali menengok ke belakang. Mata Vallena dan Ida saling beradu.

Vallena memandangi Ida dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya membisik.

"Dank u wel, mom⁴."

Seketika Ida berpaling.

Wajahnya tetap datar, namun matanya berkabut. Sekuat tenaga ia menahan bulir air mata yang hampir meluncur turun.

----

¹ Dag lieve jongen : hallo anakku sayang. Jongen, sebutan untuk anak laki-laki (bahasa Belanda)

² Het spjit me : saya minta maaf (bahasa Belanda)

³ Sosiopat : jenis gangguan kepribadian yang ditandai dengan perilaku dan pola pikir antisosial. Karakter seorang sosiopat umumnya adalah perilaku yang eksploitatif, melanggar hukum, tidak peduli dengan orang lain, dan kasar

⁴ Dank u wel, mom : terima kasih, mom (bahasa Belanda)

----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro