Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Renjana

Berderet-deret mobil terparkir di setiap sisi jalan. Semua kendaraan milik pasien-pasien dokter Hesa yang mengunjungi rumah praktiknya.

Bara mengintip dari dalam kaca.

Rumah mewah dengan pilar tinggi menyangga, beralamat di jalan Manyar. Beberapa orang sedang duduk antri di depan teras rumah.

Bara melangkahkan kaki, berjalan memasuki gerbang. Seorang wanita terlihat terkejut dengan kedatangan Bara. Ia bangkit dari meja kecil yang berada di depan pintu ruang praktik.

"Pak, sudah registrasi online? Kalau belum, maaf, kami sudah tidak menerima pasien lagi malam ini," ucapnya.

Bara menggeleng, "Saya bukan mau periksa. Saya mau ketemu Vallena," sahutnya ketus.

Wanita itu membentuk huruf O dengan bibirnya. "Tekan bel pintu utama saja, pak. Kalau di sini tempat praktiknya dokter Hesa," ia menunjuk ke samping. Bagian sisi lain dari rumah megah itu.

Bara mengangguk.

Melengos, menaiki undakan lantai marmer. Menuju serambi sebelum memasuki pintu masuk sebuah bangunan bertiang tinggi dan luas.

Jarinya lantas menekan bel rumah beberapa kali.

***

Dahi Ida berkernyit.

Ia tak pernah kedatangan tamu sebelumnya. Diliriknya jam bandul antik di pojok ruangan yang menunjukkan pukul delapan malam.

Terpaksa, ia bangkit untuk membuka pintu. Para asisten rumah tangga sudah pulang sebelum sore. Ia memang tak suka ada orang asing di rumah. Untuk itu Ida mempekerjakan para ART yang pulang-pergi.

Pintu terbuka.

Bara dan Ida saling berpandangan. Keduanya sama-sama berekspresi gusar.

"Ya? Siapa, ya?" tanya Ida.

"Anda siapa?" Bara balik bertanya.

Mata Ida melotot, "Lho, anda yang datang ke rumah saya, kok, anda yang tanya saya siapa? Anda itu yang siapa?!" cercanya.

"Saya ingin ketemu Vallena," sahut Bara.

Kedua alis Ida bertautan.

"Ada urusan apa ketemu Vallena? Bicara sama saya saja. Saya ibu sekaligus managernya," terang Ida.

Bara berdehem, "Maaf, bu. Tapi, saya perlu ketemu langsung sama Vallena."

"Kalau ini soal pekerjaan, bicaranya sama saya, pak!" Ida mulai kesal.

"Bukan soal pekerjaan! Urusan pribadi!" Bara tak kalah sengit.

Nada Ida mulai meninggi, "Urusan pribadi apa? Semua urusan Vallena itu urusan saya!"

Bara menelan ludah. Wanita yang ia hadapi begitu keras kepala dan sulit dihadapi.

"Saya ayahnya Sofi," aku Bara menyerah.

"Ooh ..." Ida menaikkan sebelah alis. Kedua tangannya terlipat. Sangat angkuh.

"Apa anda tau, anak anda itu sudah merugikan keluarga saya. Semenjak bergaul dengan Vallena, Sofi berubah."

"Berubah bagaimana?" pancing Ida.

Napas Bara memburu. Rasanya sulit menyebut jika anaknya adalah penyuka sesama jenis.

"Vallena itu artis. Model. Pernah tinggal lama di luar negeri. Wajar kalau kehidupannya bebas. Tapi, anak saya itu sudah dididik disiplin dengan basic agama sedari kecil. Kalau bukan dari pengaruh lingkungan sekitar, dia tak mungkin sampai khilaf!" nada suara Bara bergetar.

"Khilaf bagaimana?" Ida memicingkan mata.

"Vallena merayu Sofi. Mereka itu sama-sama perempuan! Apa ibu sebagai orang tua dari Vallena tau itu?!"

Ida mendengkus.

Setidaknya, Sofi tetap tutup mulut akan jati diri Vallena yang sebenarnya, bahkan dengan keluarganya sendiri.

"Gini ya, pak," Ida menghela napas, "kalau ditanya siapa yang rugi, jelas Vallena yang rugi. Pertama, Vallena itu sudah bayar Sofi mahal. Kedua, Vallena adalah model yang sangat menjaga citra baik dengan menghindari skandal. Ketiga, bukan Valle yang menggoda, tapi putri bapak."

"A-apa? Tidak mungkin ..." gumam Bara.

"Sofi itu sepertinya memang sudah ada kecendrungan menyukai sesama jenis. Ke mana-mana Vallena pergi, dia selalu minta ikut. Bahkan, hari libur saja dia sering main ke apartemen Vallena. Yang terakhir, kemarin saat kami hendak ke Thailand, Sofi juga yang ajak Vallena kabur untuk pacaran berdua. Gara-gara hal itu, saya marah besar. Saya juga enggak mau tuh anak saya menjadi seorang penyuka sesama jenis. Masih banyak lelaki-lelaki potensial yang mengantri untuk mendapatkan Vallena."

Bara terhenyak.

Ia begitu syok dan terpukul dengan segala ucapan Ida.

"Saya bersyukur anda datang kemari, saya pesan agar anda juga menjaga si Sofi agar jangan sampai mengganggu kehidupan Vallena lagi. Sebentar lagi kami akan kembali ke Jakarta karena syuting sudah rampung. Jadi, semoga Sofi tidak menyusul Vallena ke sana."

Bara terdiam. Masih tak menjawab. Batinnya tercekat. Malu.

"Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya akan masuk ke dalam," seloroh Ida berancang-ancang menutup pintu.

Kaki Bara mundur selangkah demi selangkah. Tanpa pamit, ia berjalan pergi meninggalkan kediaman mewah itu. Pulang dengan membawa sisa-sisa kekecewaan kepada si anak.

***

Keesokan harinya.

Vallena sedang duduk di dalam perpustakaan. Membaca buku Edgar Allan Poe yang berhasil mencuri hatinya. Hingga sayup-sayup ia mendengar percakapan antara ibu dan omnya di koridor.

"Aku dan Vallena harus segera kembali ke Jakarta. Muak aku di sini, banyak sekali orang-orang yang datang menganggu silih berganti!" seru Ida dongkol.

"Ada apa lagi sih, kak?"

"Kemarin malam, ayah si lacur itu datang ke sini. Nampaknya ia sudah tau hubungan anaknya dengan Vallena. Tapi, untung saja, si lacur itu tidak membongkar rahasia mengenai jati diri Vallena yang sebenarnya. Ayahnya tidak terima, dipikirnya Vallena yang menggoda Sofi hingga anaknya belok jadi lesbian. Padahal jelas-jelas anaknya yang lacur! Bawa sial!!" sungut Ida.

Hesa berdecak, "Bicara yang baik, kak. Jangan panggil Sofi dengan sebutan macam itu. Anak itu anak yang tulus. Ikhlaskan sajalah hubungan mereka. Biarkan Vallena menjalani hidup sebagai lelaki. Sebagaimana ia dilahirkan!"

"Gila kamu, Hesa! Dan dia akan kehilangan semua popularitas yang susah payah ia bangun! Digunjing, dikucilkan, dan dihina orang!"

"Kak ... sadar, kak! Kamu itu berdosa karena ..."

"Diam, Hesa!" bentak Ida menyela perkataan adiknya. "Ngomong sama kamu itu sekarang percuma. Sudah. Kau tidak ke rumah sakit 'kan hari ini? Jaga Vallena, jangan biarkan dia ke mana-mana. Aku akan ke apartemennya sebentar. Mengambil barang-barang dan mengepaknya. Kami akan segera kembali ke Jakarta!"

Hesa tak bersuara.

Jantung Vallena berdegup begitu kencang. Ayah Sofi kemarin datang ke rumah? Dia sudah mengetahui hubungan Sofi dengannya?

Lalu bagaimana dengan Sofi? Kekasihnya itu pasti menderita seorang diri menahan amukan dari keluarga.

Hati Vallena mulai cemas dan getir.

Ia harus menemui Sofi.

Tak selang berapa lama setelah Ida pergi, Vallena buru-buru menuruni tangga dan berlari menuju pintu utama.

"Mau ke mana, Vall?" tanya Hesa.

Vallena tersentak. Tak menyadari kemunculan sang paman.

Hesa menghampiri Vallena. Dipandangnya sosok sang keponakan dengan iba. Pakaiannya tak berganti sejak berhari-hari lalu. Pakaian yang sama sejak Ida dan dirinya menjemput mereka di Malang. Sepasang kaos hitam sederhana dengan jogger pants abu.

Hati Hesa nelangsa.

"Kamu tidak pernah ganti pakaian?" tanyanya.

Vallena menggeleng, "Aku sudah tak nyaman dengan pakaian wanita, om. Kuharap kau tak memaksaku. Hanya ini pakaian lelaki yang kupunya."

Hesa mengangguk sembari membetulkan kaca matanya.

"Lalu kau mau ke mana? Kau tau 'kan mommy-mu berpesan agar kau tak keluar ke mana-mana, apalagi dengan penampilan seperti itu. Kalau nanti dilihat orang dan viral, bisa menambah masalah baru," tutur Hesa.

Vallena tertunduk.

"Aku ingin menemui Sofi. Sekali ini saja. Aku tau semalam ayahnya datang. Aku juga tau kalau keluarga Sofi adalah keluarga yang tegas dan agamis. Aku tak bisa bayangkan dengan apa yang terjadi dengan dia sekarang. Aku ingin bertemu," matanya memelas.

Vallena meraih kedua tangan Hesa.

"Aku mohon, om. Aku tau kau masih punya hati nurani. Demi Sofi, demi ketenangan hidupnya, aku janji ini terakhir kalinya aku akan menemuinya. Aku juga sadar, mom adalah orang yang keras hati. Ia juga sanggup melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Itu membuatku takut ia akan melakukan hal buruk pada Sofi. Ditambah lagi campur tangan media massa. Aku benar-benar sadar kalau hubunganku dan Sofi hanya akan menyebabkan banyak penderitaan baginya. Untuk itu, sekali ini saja, biarkan aku mengucap perpisahan."

Hesa bak memakan buah simalakama¹.

Ingin sekali mengatakan kejujuran agar Vallena bisa lepas dari jeratan Ida, tetapi mana mungkin, bagaimanapun juga Ida adalah kakak kandung yang ia sayang dan hormati.

Mungkin dengan mengijinkan ia pergi menemui Sofi, adalah satu-satunya kesempatan untuk sedikit berbuat kebaikan pada Vallena.

"Pergilah. Jangan terlalu lama, jangan sampai kau belum kembali saat nanti mommy-mu tiba."

Mata Vallena berseri, "Terima kasih, om!"

"Valle, pakailah mobilku. Kau sudah hapal jalanan Surabaya?" tanya Hesa.

Vallena terdiam. Ia biasanya memakai aplikasi map pada ponsel. Namun, kini ponselnya tak berada di tangan karena disimpan Ida.

Hesa mengangguk. Paham dengan kondisi keponakan.

"Ikutlah ke kamarku, kupinjamkan ponsel lamaku yang tak terpakai. Kau juga bisa memakai salah satu pakaianku di lemari. Tak mungkin bertemu kekasih berpenampilan lusuh begitu, bukan?"

Vallena mengulas senyum penuh keharuan. Berulang kali ia berterima kasih pada pamannya itu.

Sebuah asa kala itu terutas dalam rahsa, tak berapa lama lagi, ia akan menunaikan renjana² sanubarinya. Bertemu dengan sang belahan jiwa.

----

¹ Bak memakan buah simalakama : peribahasa yang berarti serba salah. Keadaan ketika seseorang harus memilih antara dua hal yang yang sulit untuk ditentukan

² Renjana : arti rasa hati yang kuat, perpaduan antara rindu dan cinta kasih.

----

Hello, Folks!

Sorry tak pernah menyapa akhir-akhir ini.

I've been struggling with my mental health ... but, don't worry, im fine 😁

Semoga kalian selalu sehat dan bahagia di sana!

Salam sayang ♡♡♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro