Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Alone

Sofi masuk ke dalam rumah setelah Hesa mengantarkannya kembali pulang.

Suasana rumah sepi tanpa manusia.

Tentu saja ayahnya Bara sedang mengajar, ibu dan Erlin pun sama. Ada sedikit kelegaan karena tak harus berjumpa dengan orang-orang rumah. Sofi harus memikirkan apa alasan ia urung berangkat ke Thailand.

Ia bahkan tak memerdulikan tas kopernya yang tertinggal di bandara. Segala pikiran Sofi berkecamuk.

Masalah dengan Ida dan Vino membuat kepalanya berdenyut. Bagaimana keadaan Vallena kembali berdua saja dengan ibunya yang mengerikan. Lalu, Vino, sampai kapan lelaki itu terus mengganggunya? Sofi benar-benar muak. Jengah.

Kebahagiaan sejati terpampang jelas di depan mata, namun ternyata banyak ranjau sebelum menjangkaunya.

Sofi merebahkan tubuh ke atas ranjang. Beringsut meringkuk memejamkan mata. Berharap segala masalah akan menghilang ketika ia bangun nanti.

***

"Sof? Kamu kok ada di rumah?!" Magda terperanjat melihat sosok anak perempuannya keluar dari kamar.

"Aku batal ke Thailand, bu," jawab Sofi.

"Kenapa? Bukannya kamu harusnya berangkat kemarin lusa, kenapa baru pulang sekarang?" cecar Magda.

"Vallena tiba-tiba sakit. Aku dimintai tolong bu Ida untuk menjaganya," kilah Sofi. Ada rasa bersalah bersarang pada relung ketika harus berbohong kepada sang ibu.

Magda berkecimus, "Gitu kok ya enggak ngomong sih, Sof? Kita semua mikir kamu itu sekarang ya sudah di Thailand. Eh, tau-tau ternyata batal!"

"Iya, bu. Maaf, kemarin memang ribet dan sibuk banget. Sampai tidak sempat kabarin kalau aku batal berangkat," ujar Sofi.

"Memangnya Vallena sakit apa, Sof?"

Sofi terdiam sesaat. Memikirkan kebohongan selanjutnya.

"Di-dia ... alerginya kumat. Enggak sengaja makan kacang," jawab Sofi.

Sekarang batin Sofi makin penuh dosa. Berkali-kali mengarang dusta pada keluarga.

***

Hesa tiba di rumah ketika kakak dan keponakannya sedang bertengkar. Suara teriakan Ida bahkan nyaring terdengar hingga keluar garasi mobil.

Dengan gontai, Hesa melangkahkan kaki masuk. Berkali-kali sang dokter menghela napas panjang, keributan apa lagi kali ini?

"Aku ingin kembali menjadi lelaki! Suka atau tidak, kau harus menerimanya, mom. Ini adalah hidupku!" teriak Vallena.

"Pikiranmu sedang kacau karena tergoda oleh Sofi! Mommy yang paling mengerti kamu, karena kamu adalah anakku. Sedari kecil kau adalah perempuan dan jangan sampai kau menyesal nantinya dengan keputusanmu!" sanggah Ida.

"Seumur hidup aku penuh dengan keraguan, mom! Kau saksinya, kau sendiri yang melihatku tumbuh dengan depresi dan berkali-kali mengalami mental breakdown. Aku tidak bahagia, mom! Kini, aku benar-benar merasakan kebahagiaan," jelas Vallena.

"Tidak, Valle! Kau tidak akan bahagia! Karirmu akan hancur dan menerima sanksi sosial dari masyarakat. Kau akan dikucilkan. Itu yang kamu mau?" sanggah Ida. Matanya melotot, sekuat tenaga kembali meyakinkan anaknya.

"Aku tidak peduli jika karirku hancur. Aku hanya ingin bahagia," Vallena menatap mata ibunya lamat-lamat, "kini aku bahkan mulai meragukan semua masa laluku. Apakah benar, memang aku sendiri yang ingin menjadi seorang wanita? Atau semua ini adalah rekayasamu, mom? Tapi kenapa?" tanyanya.

Jantung Ida berhenti sejenak. Bibirnya kelu tak mampu menjawab pertanyaan Vallena yang sepenuhnya benar.

"Vallena, istirahatlah dulu di kamarmu. Kau dan ibumu membutuhkan waktu untuk saling berpikir," Hesa menghampiri kedua insan yang saling mendebat di ruang tengah.

"Ya, Hesa benar. Aku memang butuh istirahat," elak Ida. Wanita paruh baya itu kemudian melangkah menghindari Vallena.

"Kenapa kau tidak menjawabku, mom?" cecar Vallena.

Ida tak acuh. Seakan telinganya tak mendengar ucapan Vallena. Ia terus saja berjalan menjauh.

"Aku tetap pada keputusanku!" Vallena berteriak.

Sosok Ida makin samar, menghilang ke dalam koridor rumah Hesa yang luas dan megah.

Hesa menepuk pundak keponakannya.

"Istirahatlah, Vall."

Vallena mengangguk lemah. Ia sama sekali tak paham dengan jalan pikiran si ibu. Bukankah harusnya ia senang karena anaknya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Makin lama, Vallena makin sadar, Ida sangat terobsesi menjadikannya seorang wanita. Tapi kenapa?

Satu per satu, Vallena menaikkan kaki ke atas tangga. Setibanya di lantai dua, langkahnya berbelok menuju perpustakaan pribadi sang paman. Niatnya masuk kamar urung, karena sama sekali tak merasa kantuk.

Ruang perpustakaan itu dipenuhi rak-rak kayu kecoklatan yang penuh dengan buku kedokteran. Di depan jendela kaca yang besar, terdapat sectional sofa berwarna midnight blue dilengkapi meja sudut di sisi kanannya.

Vallena berkeliling, mencari buku untuk dibaca. Barangkali, membaca mampu menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Namun, rupanya buku-buku yang ada di perpustakaan pamannya didominasi oleh buku dibidang kesehatan. Saat Vallena akan berpaling pergi, matanya menangkap sebuah buku tebal bersampul hitam kekuningan. Buku yang tampak berbeda dari buku-buku lain.

Diambilnya buku tersebut, The Complete Tales & Poems of Edgar Allan Poe. Vallena duduk di atas sofa, nama sang penyair bagai tak asing. Ia pasti pernah mendengar namanya saat bersekolah dulu. Vallena membuka lembar demi lembar buku di pangkuannya. Larut dengan kata demi kata sang penulis.

Buku itu berisi beberapa karya cerita bergenre gothik horror, diantaranya The Raven, The Black Cat, The Tall Tale Heart, dan Annabelle Lee. Selain itu, terdapat juga karya-karya puisi karangan Poe yang melegendaris semasa hidupnya.

Sebuah puisi berjudul 'Alone', menarik netra Vallena. Bait kata yang mengandung kesedihan dan kegetiran hidup.

Alone

From childhood's hour I have not been
As others were-I have not seen
As others saw-I could not bring
My passions from a common spring-
From the same source I have not taken
My sorrow-I could not awaken
My heart to joy at the same tone-
And all I lov'd-I lov'd alone-
Then-in my childhood-in the dawn
Of a most stormy life-was drawn
From ev'ry depth of good and ill
The mystery which binds me still-
From the torrent, or the fountain-
From the red cliff of the mountain-
From the sun that 'round me roll'd
In its autumn tint of gold-
From the lightning in the sky
As it pass'd me flying by-
From the thunder, and the storm-
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)

Of a demon in my view-


Air mata Vallena mendadak menitik.

Seolah puisi ini mewakili kehidupan dirinya. Kehidupan masa kanak-kanak yang berbeda dari anak lain. Mengakibatkan pandangan Vallena pun ikut berbeda dari pemikiran orang kebanyakan. Jika musim semi adalah musim yang membahagiakan, bagi Poe, biasa saja.

Kesedihan demi kesedihan selalu membayangi hidupnya. Tak dapat dihilangkan, meskipun ia ingin. Oleh karena itu, daripada keramaian, ia lebih tertarik dengan kesendirian.

Masa kecil yang terlalu berat dijalani hingga berpengaruh pada diri dewasanya yang penuh trauma dan depresi. Menjadikan alkohol sebagai sahabat, meskipun hanya menghilangkan kesedihan sesaat. Terkenal sebagai supermodel dan memiliki seorang ibu sukses nan kaya raya tak membuat ia bahagia.

... From the thunder, and the storm-
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)

Of a demon in my view-


Selama tiga puluh tahun Vallena hidup, ia selalu terkungkung dalam kesendirian dan belenggu jiwa. Mirip seperti apa yang dituliskan oleh Edgar Allan Poe, "Of a demon in my view", yang ia lihat adalah setan. Setan yang ada di dalam dirinya sendiri. Setan itu adalah gambaran dirinya sendiri.

Sama seperti Vallena. Ia benci pada dirinya. Bahkan, jijik dan muak.

Air mata Vallena mengalir. Menangis dalam hening suasana. Kebahagiaan tampak di depan mata, namun terasa sulit untuk menggapainya. Pintanya sederhana, ia hanya ingin bahagia.

***

Dua hari berlalu semenjak insiden di penginapan.

Vallena tak ada kabar.

Sofi berkali-kali menghubungi ponsel sang kekasih, namun tak aktif. Kesabarannya sudah habis. Besok, ia akan pergi ke rumah dokter Hesa untuk menemui Vallena. Memastikan keadaan apakah sang kekasih baik-baik saja.

Sebelum itu, Sofi mengirim pesan kepada Hesa, untuk memastikan di mana keberadaan Vallena. Pesannya terkirim, tetapi belum terbalas. Ia maklum, dokter Hesa pasti sibuk.

Jumat siang ini, seperti biasa, Sofi seorang diri saja di rumah, seluruh keluarga sedang bekerja. Rencananya, ia akan bertemu Mahmud selepas salat Jumat. Setelah mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, Sofi membuka lemari kamar dan memilih-milih pakaian.

CEKREK

Sofi tersentak karena pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Saat menoleh, sosok tinggi Vino sudah berdiri menyeringai di depan pintu.

"Mau apa kamu, Vin?! Kenapa bisa masuk rumahku?!" teriak Sofi menarik lilitan handuk yang membalut tubuhnya erat. Jantung Sofi berdegup kencang, kengerian menjalar di sekujur nadinya.

"Sugar, apa kamu lupa? Aku bisa lewat pintu belakang rumah, aku sudah hafal semua tabiat dan kebiasaan kalian. Aku bahkan masih ingat dengan tempat persembunyian kunci cadangan di rumah ini," seringai Vino menutup pintu kamar. Matanya jelalatan memandang badan Sofi yang hanya berbalut handuk.

"Kamu keluar dari sini sekarang, Vin! Keluar!" bentak Sofi. Matanya melirik ponselnya yang tergeletak di atas ranjang.

Vino menyadari ancang-ancang Sofi. Dengan sigap ia meraih ponsel milik sang mantan kekasih dan kembali membuka pintu kamar untuk melempar ponsel Sofi.

"Bangsat! Kamu mau apa, sih?!" Sofi memekik.

Vino tetap tenang. Menutup rapat-rapat pintu kamar. Berjalan mendekati Sofi sembari melepas t-shirt yang membalut tubuh atletisnya.

"Tadinya aku berharap bisa bercinta dengan kalian berdua. Apalagi setelah mengetahui ternyata kalian adalah pasangan lesbian, aku jadi makin horny membayangkan pergumulan kalian di kasur," ucap Vino mengulas senyum licik.

"Vin, masih banyak wanita lain di luar sana yang bisa kamu dapatkan! Kenapa kamu terus saja mengganggu hidupku?! Kenapa, Vin! Please, aku mohon jangan macam-macam! Kalau orang tuaku tau kamu melakukan ini, kamu akan dipenjarakan!"

Vino menggeleng, "Tidak kalau aku bisa membuatmu hamil, Sugar. Kau lupa, ayahmu adalah abdi negara yang terhormat. Ibu dan saudari-saudarimu merupakan pegawai pemerintahan. Kira-kira apa yang akan mereka lakukan jika tau kau hamil anakku? Tentu saja mereka akan segera menikahkan kita untuk menghindari aib. Toh, sudah lama juga kedua orang tuamu memang ingin kita menikah. Kenapa tidak 'kan?"

Sofi merapatkan diri ke dinding. Ketakutan dengan perbuatan Vino selanjutnya.

"Kau sudah gila, Vin. Kau sudah tidak waras ..." air mata Sofi membasahi pelupuk mata lentiknya.

Vino kini berdiri tepat di depan Sofi. Sofi menghindar ke arah samping, namun tangan Vino buru-buru mencengkram lengannya. Mendorong Sofi hingga ambruk ke atas ranjang.

Sofi meronta-ronta. Menendang sekuat tenaga, tapi sia-sia. Kekuatannya tak sebanding dengan Vino. Vino menindih badan Sofi, sementara tangan satunya menarik handuk yang membalut. Sehingga, berhasil menampakkan tubuh telanjang Sofi.

"Vino! Lepaskan!!!" Sofi memekik. Tangisnya pecah. Demi Tuhan, gelombang kengerian melemahkan sendi-sendi kakinya.

"Ah, aku makin bergairah kalau kau berontak begini," kelakar Vino.

Tangan Sofi berhasil lepas dari genggaman Vino, ia kepalkan tangannya dan meninju wajah si lelaki beringas yang hendak memerkosanya.

"Dasar pelacur! Berani-beraninya memukul wajahku!" Vino membalas dengan melayangkan tamparan keras pada pipi Sofi. "BAGAIMANA SEKARANG? MASIH BERANI KAMU TONJOK AKU LAGI?!" hardik Vino.

Jari Vino menerebos menembus kemaluan Sofi secara paksa. Jemarinya keluar-masuk kasar menusuk-nusuk kewanitaan Sofi.

"Bagaimana? Enak? Menikmati 'kan kamu?! Dasar pelacur lesbian! Lesbian kotor! Begini permainanmu dan Vallena, hah?!"

Sofi terisak. Tak mampu berteriak karena tangan kanan Vino membekap mulutnya. Bahkan, untuk bernapas saja ia kesusahan.

"Sudah cukup foreplay-nya, ya! Sekarang persiapkan dirimu untuk menjadi calon ibu!" Vino melepas resleting jeans yang ia kenakan. Mengeluarkan batang keras miliknya untuk segera menyetubuhi Sofi.

----





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro