Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Asmaraloka

Bos,
Aku udah di ruang tunggu.
Bentar lagi boarding.

Vino
Mereka sekarang lagi ngapain?

Ke toilet dua2nya

Vino
Ikutin. Jangan sampe kecolongan.
Pantau terus, kemanapun!

Siap

Seorang lelaki kira-kira berusia 25 tahunan dengan topi hitam berjalan keluar dari ruang tunggu. Ia lalu berjalan menuju toilet terdekat di bandara. Sesampainya, lelaki itu berdiri menunggu di lokasi yang tidak jauh dari lorong toilet.

Lelaki itu bernama Aldi.

Salah satu karyawan di kantor travel milik Vino. Semenjak Vino memergoki Vallena dan Sofi berpelukan, rasa penasarannya menggebu-gebu. Ia menduga, Sofi dan Vallena memiliki sebuah rahasia mengenai hubungan mereka. Demi mencari jawaban atas rasa penasaran, Vino menugaskan Aldi untuk mengikuti ke manapun Vallena dan Sofi pergi.

Berbekal informasi dari Erlin, ya Erlin, adik Sofi, Vino mengetahui bahwa Sofi akan berangkat ke Thailand bersama dengan Vallena.

Jangan salahkan Erlin jika gadis polos itu memihak kepada Vino. Lelaki itu sangat karismatik dan pandai berbicara. Selain itu, Erlin tidak tega jika kakaknya Sofi selalu dijuluki 'perawan tua' oleh para tetangga. Ia bermaksud baik, ingin Sofi kembali menjalin kasih dengan Vino dan segera menikah. Ia tidak tahu, bahwa Vino adalah lelaki licik yang penuh dengan tipu daya.

"Kamu bantu aku buat dapetin mbak Sofi ya, Lin ..." mata Vino memelas.

"Gimana caranya, mas?" tanya Erlin.

"Kalau ada kabar atau info apa-apa, kamu langsung kabarin aku. Jadi, aku tau di mana harus nyamperin Sofi atau bantu dia kalau dia lagi ada masalah. Dengan seringnya kami bertemu, dia pasti akan luluh juga. Kalau ketemu di rumah, kamu tau sendiri si Sofinya nggak mau. Tapi, bakalan lain soal kalau ketemu di tempat lain. Sofi bakalan mikir kalau pertemuan kami adalah rencana dari Tuhan," ujar Vino panjang lebar.

Erlin melirik ke kanan, "Aku takut kalau ketauan sama mbak Sofi, nanti dia marah besar."

"Jangan khawatir. Aku akan hati-hati. Aku janji enggak bakal ketauan. Please, kalau bukan kamu yang jadi Cupid kami berdua, siapa lagi? Kamu mau mbakmu selamanya melajang dan jadi bulan-bulanan orang? Kasihan juga ayah sama ibu, malu selalu dinyinyirin tetangga dan keluarga besar," bujuk Vino.

"Iya juga sih, mas," timpal Erlin, "tapi mas Vino serius 'kan sama mbak Sofi? Enggak main-main?"

Vino menatap Erlin lamat-lamat, "Serius! Bahkan duarius! Kamu bisa pegang omonganku, deh. Kalau kami berhasil balikan, aku enggak akan tunggu lama dan langsung lamar dia. Aku enggak mau kehilangan Sofi lagi, Lin."

Erlin akhirnya mengangguk.

Percaya dengan ucapan sang calon 'kakak ipar'.

***

"Kamu mau 'kan? Kita pergi berdua. Kita pergi dari sini!" ajak Vallena.

Mereka saling bertatapan.

Sofi melihat keseriusan di mata Vallena. Model itu tidak sedang main-main. Pergi berdua dengan Vallena, meninggalkan semuanya tanpa perencanaan yang matang. Tak memikirkan resiko atau apa yang akan terjadi nanti. Sebuah tindakan yang sembrono dan riskan, namun, entah mengapa tak ada sedikit keraguan dan ketakutan di hati Sofi.

"Iya! Ayo kita pergi!" Sofi mengangguk. Matanya berkilat. Adrenalinnya berpacu.

Senyum Vallena merekah. Tanpa beban. Sungguh ekspresi yang jarang terukir di wajahnya.

"Kita harus segera pergi dari Bandara, jangan sampai dilihat mom," Vallena menggandeng tangan Sofi. Ia terlebih dahulu memakai masker dan kaca mata sebelum keluar dari ruang kamar mandi.

Sofi bersemangat.

Mereka berdua menahan tawa. Seperti dua anak kecil yang dilepas bermain di Playground. Sofi celingak-celinguk, jantungnya berdebar, ia serasa menjadi seorang agen khas film-film action keluaran Amerika.

"Ayo!" Sofi mengkode Vallena dengan melambaikan tangan. Lagaknya meniru tim SWAT yang hendak menggerebek gembong narkoba.

Sofi dan Vallena kemudian keluar dari kamar mandi, berjalan berjingkat kemudian berlari cepat bersama-sama. Keduanya tertawa cekikikan saat sudah berada jauh dari ruang tunggu.

Tertawa lepas.

"Kita cari taksi dan segera pergi, Sof!" kata Vallena.

"Ke mana?" tanya Sofi.

Vallena berpikir sebentar. Keduanya sama-sama menyusun rencana.

"Kita ke apartemenku dulu ambil mobil. Lalu, setelah itu kita pergi terserah ke mana," jawab Vallena bersemangat.

"Kalau begitu kita harus cepat, sebentar lagi ibu Ida pasti sadar kita terlalu lama di toilet!" Sofi berjalan menghampiri salah satu sopir taksi yang stand-by di sekitaran bandara.

Mereka masuk ke dalam taksi, setelah menyebutkan tujuan, Sofi dan Vallena saling berpandangan. Tak sabar memulai petualangan bersama.

Tangan keduanya saling menggenggam dengan erat.

***

Vallena mematikan ponsel, tak ingin menerima berondong hujatan dari sang ibu.

Setibanya di areal parkir apartemen, Vallena segera membuka pintu mobil BMW-nya, menyerahkan kunci kepada Sofi.

"Kamu yang nyetir."

"Wah? Okay?" sahut Sofi gamang. Baru pertama kali ia mengendarai mobil mahal.

Mobil mulai melaju di jalan Basuki Rachmat, lalu lintas lenggang dan lancar. Mungkin karena week-day dan office-hour, hingga mobil Vallena bisa dengan leluasa menguasai jalanan.

"Kamu mau ke mana?"

"Entahlah. Sebenarnya paling enak kalau kita kabur ke Bali atau Lombok. Tapi, di bandara masih ada mom, kalau sampai bertemu dengan dia, gagal sudah rencana kita," Vallena terkikik. Sama sekali tak ada beban di benaknya, padahal ia sedang lari dari ibunya dan membatalkan perjalanan operasi ke Thailand.

"Bali? Lombok?" gumam Sofi. Pasti ada alasan mengapa Vallena menyebutkan dua pulau tersebut. Begitu pikir Sofi. Setelah terdiam beberapa saat, Sofi melanjutkan, "Kamu pengen lihat pantai ya, Vall?" duganya.

"Ehm, kok kamu bisa tau?" Vallena melirik ke arah Sofi. Sedikit kagum dengan intuisi sang kekasih.

"Karena Bali dan Lombok terkenal dengan wisata pantainya. Kamu mau ke pantai di Malang Selatan? Kalau week day begini pasti sepi. Tapi, perjalanan kita agak jauh, lho!"

"Ya aku mau!" mata Vallena berbinar.

Sofi tak bisa menahan tawa saat melihat mata Vallena yang bercahaya karena semangat. Hatinya penuh dengan kebahagiaan.

"Dulu waktu SMA, aku dan Mahmud pernah ke Pantai Tiga Warna di Malang. Tempatnya lumayan bagus. Sepi pula. Oh ya ampun! Tapi kita harus reservasi dulu! Coba deh kamu gugling, Vall!"

"Ponselku kumatikan," jawab Vallena santai.

"Kalau begitu pakai ponselku," Sofi merogoh ponsel di dalam saku depan celana dan menyerahkannya pada Vallena.

"Mom enggak hubungi kamu, Sof? Kok kamu santai aja enggak matikan ponselmu?" tanya Vallena gamang.

"Barusan di taksi nomor bu Ida sudah aku blokir," terang Sofi.

Vallena tertawa terbahak, "Astaga, sadis juga kamu."

"Ya mau bagaimana lagi, kalau aku matikan ponsel, aku jadi enggak bisa pakai maps, enggak bisa selfie, enggak bisa hubungi orang rumah kalau ada apa-apa. Aku yakin, bu Ida enggak akan berani ngomel ke keluargaku," seloroh Sofi. Mata wanita itu fokus memandang jalanan di depan. Ia amat berhati-hati mengemudikan mobil mahal Vallena.

"Kok kamu bisa yakin gitu?" cecar Vallena.

"Ya-iya dong. Ibu Ida menyembunyikan jati dirimu dari semua orang. Enggak mungkin dia membongkar penyebab kita kabur ke keluargaku. Sama saja ia mengungkapkan rahasia besarnya."

Vallena mengangguk, "Oh iya. Kamu benar."

"Yasudah cepat cari info buat reservasi ke pantai tiga warna. Semoga aja kita beruntung dan bisa langsung masuk hari ini juga," kata Sofi.

Vallena memandangi Sofi sejenak sambil mengulum senyum. Cara Sofi bicara dengannya sudah berubah, tak ada lagi canggung, tak ada lagi sungkan. Terasa menyenangkan dan akrab.

Sofi menoleh ke arah Vallena, sadar jika dipandangi sedari tadi, "Tunggu apa lagi? Chop ... chop!!!" titahnya. Nada Sofi seakan meniru gaya bicara Vallena ketika dulu memintanya membuat teh. Vallena spontan terkikik, merasa geli karena parodi Sofi, dengan segera ia membuka halaman pencarian yang dimandatkan.

Beberapa detik kemudian, Vallena menemukan nomor yang bisa dihubungi jika ingin melakukan reservasi.

"Aku telvon dulu, ya," ujarnya.

Sofi membalas dengan anggukan.

"Hallo, ehm, gini pak," ucap Vallena berbicara di ponsel.

Sofi sesekali melirik ke arah Vallena, dari kalimat per kalimat yang ia dengar, tampak Vallena berusaha keras membujuk lawan bicaranya.

"Jadi tidak bisa sekarang? Bisanya besok pagi?" Vallena melirik Sofi.

Sofi mengangguk.

Wilayah pantai Tiga Warna masih masuk dalam kawasan konservasi. Oleh sebab itu, untuk masuk ke tempat ini tak bisa sembarangan. Para wisatawan yang berkunjung pun dibatasi perharinya.

"Gimana, Sof?" tanya Vallena membisik.

Sofi menjawab dengan mengacungkan tangan membentuk simbol 'oke' menggunakan jemarinya.

"Baik kalau begitu besok saja, pak. Untuk dua orang ya. Selebihnya kita lanjut di Whatsapp? Okay. Baik," kata Vallena. Sesekali kepalanya mantuk-mantuk.

Vallena mematikan sambungan telepon.

"Kita cari hotel di Malang aja sampai besok pagi. Gimana?" tawar Sofi.

"Boleh," sahut Vallena.

"Di Batu dan Malang juga banyak tempat wisata, kalau kamu mau," imbuh Sofi.

Vallena tersenyum, "Ini sangat menyenangkan. Aku merasa kita seperti Thelma and Louise," ucapnya.

"Aku mau jadi Louise, ya! Dia badass," kelakar Sofi. "Kau memang mirip Thelma yang sedang lari dari dominasi Darryl, bedanya Darryl di sini adalah ibumu," ledeknya. Sesaat kemudian, Sofi terdiam, ia sadar kalimatnya mungkin menyinggung Vallena. Diliriknya si model dengan merasa bersalah, "Sorry, bukan maksud aku ..."

Vallena buru-buru menyela, "Tidak! Tidak apa-apa, Sof. Jangan minta maaf. Tapi, apakah kamu menganggap bahwa aku berada dalam kungkungan ibuku?"

Sofi menelan ludah.

Membicarakan keburukan orang tua orang lain adalah perbuatan yang tidak sopan.

"Ehm, enggak kok, Vall. Aku tadi cuma asal bicara. Maaf ya. Bukan maksudku bicara tidak enak tentang ibumu," sesal Sofi.

Vallena menghela napas.

"Jujurlah, Sof. Karena aku pun kadang merasa mom memang seperti memenjarakanku. Dulu aku menganggap sikapnya itu wajar, karena aku adalah anak satu-satunya," tukasnya.

"Memenjarakanmu yang seperti apa, Vall?" pancing Sofi.

Vallena terdiam. Gamang untuk mengutarakan isi hatinya. Apakah pantas menjelek-jelekkan orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya?

"Entahlah. Ada kalanya aku merasa ..." kalimat Vallena terhenti. Ia menelan ludah untuk membasahi tenggoroan, "Aku merasa, ibuku yang lebih menginginkan aku menjadi seorang wanita, ketimbang diriku sendiri," ungkapnya.

Jantung Sofi berdegup kencang.

Itu juga persis seperti apa yang ia pikirkan. Tapi, mana ada orang tua yang ingin menjerumuskan anak ke dalam keburukan.

"Mungkin, karena ibu Ida terlalu menyayangi kamu, Vall. Dia sudah melihat sifatmu yang 'berbeda' semenjak kamu kecil. Dia hanya ingin melindungimu dari cemo'oh orang lain, maka dari itu ia terkesan seakan memaksamu."

"Ya mungkin kamu benar, Sof," timpal Vallena.

Sofi tak ingin lagi membahas Ida atau apapun yang bisa membuat perjalanan mereka tak nyaman.

"Kalau kamu ngantuk, kamu bisa tidur, Vall," usul Sofi.

Vallena menggeleng.

"Aku enggak ngantuk. Malahan sangat bersemangat. Sudah kubilang 'kan ini pertama kalinya aku pergi keluar jalan-jalan."

"Ah masa'?" mulut Sofi mencibir, "bukannya kamu dulu pernah tinggal di Paris dan Thailand, apa di sana kamu tidak pernah ke luar jalan-jalan?"

"Tidak pernah," jawab Vallena tanpa ragu. Matanya menerawang, mengenang perjalanan hidupnya dulu. "Hidupku hanya untuk sekolah modeling dan bekerja. Mom tak ingin aku terlalu akrab dengan siapapun. Kalau aku terlalu akrab dengan teman wanita, ia takut rahasiaku akan terbongkar. Sebaliknya, jika aku dekat dengan teman lelaki, ia khawatir aku akan jatuh cinta dan berujung rahasiaku akan terbongkar, lagi. Intinya, ia hanya tidak ingin rahasiaku terbongkar. Titik."

Hati Sofi terenyuh.

Ia tak sangka, hidup Vallena benar-benar kelabu. Bagai burung dalam sangkar emas.

"Bagaimana denganmu, Sof?" tanya Vallena, "apa kau memiliki banyak teman?"

Sofi mengulas senyum simpul.

"Tidak ada. Aku hanya punya Mahmud."

"Mahmud? Siapa itu?" tanya Vallena.

"Mahmud, MUA pribadi Madam Suharti Kuncoro," terang Sofi.

Alis Vallena berkernyit, "Namanya Mahmud? Di lokasi ia mengenalkan diri sebagai Berta."

Tawa Sofi meledak.

"Oh iya. Aku lupa! Nama bekennya emang Berta," ia terkikik. Tiba-tiba ada rasa rindu kepada teman kemayunya itu. Membayangkan bagaimana reaksi Mahmud kalau tahu, ia sekarang sedang 'minggat' dengan Vallena Valla.

"Kenapa kamu hanya punya Mahmud sebagai temanmu? Kupikir kamu memiliki banyak teman, Sof," cecar Vallena.

Sofi mengulum senyum, "Dulu memang banyak. Tapi, lama-kelamaan pada hilang satu per satu. Aku memiliki sifat buruk sebagai seorang wanita. Bicaraku terlalu jujur, peduliku berlebihan, dan sering terbawa emosi."

"Aku tidak paham," ungkap Vallena.

Sofi menarik napas panjang, "Ada kalanya salah satu teman wanitaku memperkenalkan kekasih atau gebetannya dan aku yakin kalau si lelaki itu tidak baik, maka secara terang-terangan aku akan menunjukkan ketidaksukaanku. Aku khawatir temanku tadi akan patah hati dan disakiti, jadi, peduliku berlebihan. Aku memarahi dan menasehatinya panjang lebar dengan menggebu-gebu. Sikap-sikap seperti itulah yang tak disukai oleh semua teman-teman wanitaku. Bagi mereka, aku emosian dan terlalu ikut campur. Anehnya, tiap kali omonganku terbukti benar, mereka akan menangis dan mengadu padaku tentang keburukan si lelaki. Hingga akhirnya aku kesal dan berujung melabrak lelaki tadi. Nanti kalau aku sudah bertengkar dengan si lelaki ini, ehh, beberapa hari kemudian mereka ternyata balikan. Terbayang betapa malunya aku. Rasanya seperti kambing congek. Karena hal itulah, banyak dari mereka yang berpaling dariku. Hanya Mahmud saja yang paling memahami sikapku," kisah Sofi.

Vallena mendengkus, "Mereka tidak pantas menjadi teman-temanmu, Sof. Kamu saja yang terlalu baik. Berhentilah untuk terlalu peduli dengan masalah orang lain. Pikirkanlah dirimu sendiri," ujarnya.

Sofi mengangguk. Senyum terukir pada bibirnya, pertama kali dalam hidup Sofi, ada seseorang yang tak menyalahkan sikapnya.

"Setelah keluar dari tol, kalau ada toserba, aku berhenti sebentar, ya. Mau beli cemilan dan baju ganti," ujar Sofi.

Vallena mengangguk.

Beberapa detik kemudian ia berkata, "Aku tunggu di mobil ya, Sof. Bisakah kamu belikan aku beberapa baju ganti juga?"

"Memang sebaiknya kamu tidak usah turun, pasti banyak yang mengenali. Kamu mau titip baju seperti apa? Yakin? Aku mau beli kaos-kaos biasa yang enggak branded seperti barang-barangmu, lho!

Vallena terkikik, "Ya. Aku tau. Aku ingin kamu belikan aku pakaian lelaki. Bisa 'kan?"

----

Holla, Folks!

Gimana weekendnya? Pada ke mana aja nih?

Btw,
Buat yang ngikutin karya aku dari awal Emma, nyadar engga sih aku suka banget nyebut Thelma & Louise. Hehehe

Buat yang belum tau,

Thelma & Louise adalah film keluaran Amerika tahun 1991'an. Dibintangi oleh Susan Sarandon (Louise) dan Geena Davis (Thelma).

Berkisah tentang dua sahabat yang merencakan liburan namun berakhir malapetaka. Ujian silih berganti datang menghampiri mereka. Tapi, seru banget buat diikuti. Film ini mengangkat tema feminism.
Walaupun wanita sampai kini belum berhasil mendominasi segala aspek kehidupan yang selama ini mayoritas diatur para pria, film ini berhasil untuk menyadarkan bahwa wanita juga setara, mereka patut diperlakukan sewajarnya dan mampu juga melakukan hal yang tidak terduga.

Oke deh, segini dulu, ya!

Vote dan Comment kalian jangan lupa, lho!

Salam sayang ♡♡♡


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro