23. Sugar
Sepanjang perjalanan, Sofi tak mampu mengenyahkan wajah Vallena yang menari-nari di benaknya. Ia sedang jatuh cinta.
Vallena memiliki mata yang indah.
Ketika ia tersenyum, wajah Vallena berubah sangat manis. Satu senyumannya saja mampu melelehkan rongga beku di sudut hati Sofi. Sofi benar-benar sedang tergila-gila.
Namun, tiba-tiba senyumnya pudar.
Berganti dengan rasa cemas dan getir. Apakah hubungannya dengan Vallena bisa berjalan mulus? Vallena adalah wanita, setidaknya itu yang diketahui orang-orang, termasuk keluarganya. Sofi akan dilaknat, dikucilkan, atau mungkin dipukul hingga mati oleh ayahnya, Bara.
Rasa berbunga-bunga yang tadinya menyunggingkan seulas garis melengkung pada bibir Sofi, berubah seketika.
Ia menghela nafas berat.
Mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan pulang.
Setelah beberapa menit berkendara, Sofi tiba di depan rumah. Ia berdecak karena mobil Karimunnya terhalang oleh Fortuner yang terparkir tepat di depan gerbang rumah. Mungkin tamu Erlin, atau tamu ayahnya, Bara. Ia terpaksa tak memasukkan kendaraan dan memarkirnya tepat di belakang mobil si tamu.
"Assalamualaikum," salam Sofi saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam," nada Magda lembut menyapa, tak seperti biasanya. Tentu saja karena sedang ada tamu, begitu pikir Sofi.
Magda tersenyum-senyum mengelus lengan Sofi, "Baru pulang, Sof?"
"Iya, bu. Ada siapa?" tanyanya.
"Sof, kamu kerja yukensi'an gini?" Magda menilik penampilan Sofi yang menurutnya terlalu terbuka.
Sofi hanya mengangguk letih. Ia lelah seharian bekerja, kepalanya juga sedikit pening akibat menenggak wine di rumah Vallena.
"Malam, sugar," suara bariton yang terdengar familiar menyapa kedatangan Sofi.
Sofi reflek menoleh ke arah asal suara. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Vino!
***
10 tahun lalu.
Sofi sedang menanti kekasihnya, Randi, di depan teras rumah. Ia sudah berpakaian sangat rapi. Mengenakan dress bermotif floral berwarna biru muda. Sudah enam bulan ia dan Randi berpacaran. Randi adalah lelaki yang baik, sopan, dan pandai. Ia adalah teman satu kelas Sofi di Sekolah Menengah Atas.
Sofi sendiri memutuskan untuk tidak melanjutkan studi di jenjang perkuliahan. Selepas lulus SMA, ia melanjutkan sekolah di Puspita Martha International Beauty School. Cita-citanya untuk menjadi Make Up Artist sudah bulat. Ia yakin, kelak pasti bisa menjadi MUA terkenal dan mampu menghasilkan banyak uang untuk keluarganya.
Meskipun keinginannya sempat ditentang oleh kedua orang tuanya, namun Sofi tetap bersikukuh. Ia tak ada gairah jika harus melanjutkan ke Universitas. Membayangkan harus kembali mempelajari pelajaran-pelajaran yang tak ia sukai, sudah membuat perutnya mual.
Randi sendiri adalah mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Airlangga. Sudah lama Sofi memendam rasa kepada Randi, wajahnya memang tak terlalu tampan, tapi kepintaran dan sikap sopannya membuat Sofi jatuh cinta. Mengetahui sahabat baiknya sedang kesengsem kepada Randi, Mahmud tidak mau diam saja. Akibat inisiatifnya sebagai 'Mak Comblang', kedua orang itu akhirnya berpacaran setelah acara kelulusan sekolah.
Sebuah mobil Innova berhenti di depan gerbang rumah Sofi. Mata Sofi terpaku pada mobil tersebut, tak mungkin itu Randi, karena pacarnya biasa menjemput menggunakan honda Scoopy.
Lelaki berparas tampan keluar dari dalam mobil, dengan tubuh yang tegap, ia nampak cocok mengenakan kaos hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih. Lelaki itu lalu menatap Sofi dari kejauhan, mata mereka saling beradu dan si lelaki melempar senyum manis yang menampilkan kedua lesung pipit pada pipinya.
"Siapa itu?" gumam Sofi. Jantungnya sempat berdegup kencang. Wajar, siapa sih yang tak berdebar-debar disenyumi lelaki setampan itu.
Randi muncul dari kursi penumpang. Melambaikan tangan pada Sofi.
"Yang!" panggilnya.
Sofi segera berjalan menghampiri.
"Aku ke sini ngajak temenku. Nggak apa-apa 'kan? Ayo kenalan dulu," ucap Randi.
"Sorry ya, aku jadi ganggu kencan kalian. Tadinya aku enggak mau ikut, tapi Randi maksa. Kayaknya kasian sama temennya yang jomlo ini karena menghabiskan malming sendirian di kos'an," terang si lelaki tampan yang ternyata adalah teman Randi.
"Oh gitu," sahut Sofi tersenyum canggung.
"Eh, aku Vino, temen sekampusnya si Randi," Vino mengulurkan tangan pada Sofi untuk berkenalan. Sudah lama ia sangat tertarik dengan pacar Randi. Sahabatnya itu acap kali mengunggah foto-foto Sofi di sosial media. Vino yakin, wajah Sofi lebih cantik saat ditemui langsung, dan dia benar.
Sofi dan Vino kemudian saling bersalaman.
Ketika kulit mereka saling bersentuhan, dada Vino berdesir. Ia benar-benar jatuh cinta dengan wanita satu ini. Bernafsu, lebih tepatnya.
***
Mereka bertiga akhirnya sampai di Tunjungan Plaza. Berbeda dengan sikap Randi yang tidak peka, Vino justru sebaliknya. Lelaki itu amat lihai dalam memperlakukan wanita. Tanpa diminta, Vino membukakan pintu mobil untuk Sofi, membelikannya minuman ringan, dan menahan pintu lift sebelum tertutup.
Tak dapat dipungkiri, perlakuan manis Vino, sedikit membuat hati Sofi bergetar.
Pada pertengahan film, Sofi agak menggigil karena suhu penyejuk udara yang dingin. Ia bahkan sudah tidak begitu fokus lagi menonton film action yang sedang terputar sebab telapak tangannya terasa sedingin es.
"Tunggu bentar ya," Vino membisik di telinga kiri Sofi. Lelaki tampan itu kemudian bangkit dari kursi dan menuju keluar Theatre.
Sofi bertanya-tanya apa maksud dari ucapan Vino yang memintanya menunggu. Sofi tidak mengerti ke mana Vino pergi, ia menarik kesimpulan mungkin Vino sedang ke toilet.
Beberapa lama waktu berlalu, Vino tak kunjung kembali.
"Vino ke mana?" tanya Randi membisik.
"Toilet mungkin," sahut Sofi menggigil.
"Lama amat," timpal Randi. Matanya kembali fokus menyaksikan film pada layar.
Dalam kegelapan, sosok Vino akhirnya muncul. Ia berjalan kembali menghampiri Randi dan Sofi sambil menenteng jaket di tangan.
"Lama amat, bro? Mules?" ledek Randi.
Vino tersenyum sambil melirik Sofi, "Nggak. Aku tadi balik ke mobil, ambil jaketku buat si Sofi," terangnya.
Mata Sofi membelalak.
Lelaki itu kemudian membalut tubuh Sofi dengan jaket yang ia bawa. Sofi begitu terkejut sekaligus tersipu, jarak antara areal parkir dan bioskop cukup jauh. Bisa-bisanya Vino rela kembali ke mobil hanya untuk mengambil jaket untuk dirinya. Padahal, Randi si pacar saja tidak ada inisiatif untuk meminjamkan kemeja luaran yang ia kenakan untuk dipakai Sofi.
"E-ehm, ma-makasi ya," Sofi terkesima.
"Kamu kedinginan, Yang?" cecar Randi polos.
"Lumayan," sahut Sofi berkecimus. Dasar tidak peka!
Vino tersenyum puas setelah berhasil menunjukkan aksi heroik kepada Sofi.
***
Film berakhir ketika waktu menunjukkan pukul tujuh malam, raut wajah Randi sudah gelisah ingin pulang. Maklum, ia adalah anak satu-satunya dan orang tuanya cukup tegas mengenai aturan jam malam.
Sebenarnya Sofi masih ingin menghabiskan waktu bersama Randi, namun, apa mau dikata jika kekasihnya sudah mengajaknya pulang.
Mereka bertiga akhirnya menuju parkiran untuk kembali ke rumah.
"Aku antar kamu duluan ya, Ran," celetuk Vino, "rumah kamu 'kan dekat sini, setelah itu aku baru antar Sofi. Kamu enggak keberatan 'kan?"
"Enggak masalah, daripada muter-muter," sahut Randi, ia kemudian menengok pada Sofi yang duduk di belakang, "kamu enggak apa-apa 'kan, Yang? Kalau aku pulang duluan?"
Sofi menunduk, meskipun pasti canggung saat nanti berdua saja dengan Vino di dalam mobil, "Iya, enggak apa-apa," jawabnya.
Setelah menurunkan Randi, Sofi berpindah duduk di depan. Sungkan jika tetap di jok belakang, seolah Vino adalah sopir pribadi. Vino kembali melajukan kendaraannya menyisir kemacetan di malam minggu. Mereka berdua tak banyak bicara. Menikmati keheningan karena canggung.
Mobil Vino berbelok di Taman Bungkul, mencari celah kosong untuk parkir.
"Kita makan dulu di sini, ya. Kasian kamu pasti lapar karena dari sore belum makan," ujar Vino menjelaskan kepada Sofi sebelum wanita itu bertanya.
"Aku enggak apa-apa, kok," timpal Sofi.
"Jangan ah, aku enggak enak mulangin anak orang sebelum diajak makan," terang Vino mengulas senyum.
Lagi-lagi Sofi tersipu dengan perhatian yang Vino curahkan.
Setelah memarkir kendaraan, mereka berdua berjalan bersama ke arah sentra PKL di sekitaran lokasi taman.
Taman bungkul adalah Ruang Terbuka Hijau yang cukup terkenal di Surabaya. Selain letaknya yang berada di pusat kota, tempat ini juga luas dan memiliki banyak fasilitas. Amphitheater berada di tengah taman dengan bentuk melingkar, di sekelilingnya beberapa pilar batu yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Area ini biasa digunakan untuk festival musik dan kesenian.
Selain untuk bersantai, Taman Bungkul juga biasa digunakan sebagai tempat olahraga, khususnya jogging. Fasilitas Jogging Track dengan suasana yang teduh karena rimbunnya pepohonan membuat nyaman para pelari.
Pada malam hari seperti ini, banyak juga pemuda yang berkumpul dan bermain skateboard dan sepeda BMX. Sehingga, tempat ini selalu ramai dan jauh dari kesan sepi. Ditambah lagi, adanya Playground area menjadikan Taman Bungkul juga ramah bagi anak-anak.
"Kamu mau makan apa, Sof?" tanya Vino.
Mata Sofi berkeliling memandangi suasana hiruk pikuk di sekitarnya, "Apa ya? Terserah kamu, deh. Mana yang enak," jawabnya.
"Suka rawon?"
"Ehm, suka, sih," sahut Sofi tersenyum.
"Pernah coba rawon kalkulator yang terkenal di sini?"
Sofi menggeleng, "Belum."
"Oke. Kalau gitu kita makan itu aja, ya?" tawar Vino kepada Sofi.
"Boleh," Sofi mengangguk.
Sofi mengikuti langkah Vino. Mereka berdua akhirnya tiba di sebuah warung sederhana yang ramai dengan pembeli. Kain banner di depan warung bertuliskan, 'Warung Sedap Malam', membuat dahi Sofi berkernyit. Bukankah tadi Vino mengajaknya ke rawon kalkulator? Lalu mengapa nama tempatnya malah Warung Sedap Malam?
Setelah memesan dan mendapatkan tempat duduk, Sofi segera bertanya pada Vino yang duduk di sebelahnya, "Katanya rawon kalkulator? Ini nama tempatnya kok Sedap Malam?"
"Nama warungnya memang Warung Sedap Malam, tapi lebih beken dengan julukan rawon kalkulator. Nama ini didapat dari ketangkasan para pramusaji saat menghitung total biaya makan para pembeli. Dilakukan cepat namun tanpa alat hitung. Cepatnya bak kalkulator," jelas Vino.
Sofi mantuk-mantuk, "Oh gitu," ia tersenyum.
Vino membalas dengan balik melempar senyum. Sesaat kemudian, mereka saling salah tingkah. Tak selang berapa lama, pesanan diantarkan oleh pramusaji.
"Selamat makan, Sofi," ucap Vino.
"Iya. Selamat makan juga, Vin."
"Potongan dagingnya besar-besar, kualitas dagingnya juga bagus, itu yang bikin tempat ini ramai. Oh ya, kamu mau tambah telur asin?" tawar Vino.
Sofi menggeleng, "Enggak usah. Thanks," jawabnya.
Mereka berdua akhirnya berhasil menghilangkan situasi canggung yang sempat melanda. Obrolan terus mengalir selama makan. Tak dapat dipungkiri, Sofi merasa nyaman ketika bersama dengan Vino, ketimbang bersama Randi, pacarnya sendiri.
Setelah makan, Vino mengajak Sofi berjalan-jalan dulu di sekitaran area Taman Bungkul. Pembicaraan mereka tidak putus-putus dan tanpa akhir.
"Kamu di sini nge'kos? Emang asli mana?" tanya Sofi.
"Asli Surabaya," jawab Vino.
"Asli Surabaya tapi kok nge'kos?" Sofi bingung.
"Tiga tahun lalu kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan pesawat. Jadi tinggal aku sendiri di sini. Ada keluarga besar yang tinggal di Padang. Tapi, aku emang enggak mau pindah ke sana, di sini ada usaha travel yang dirintis kedua orang tuaku dari nol. Sayang kalau aku tinggalkan begitu saja, jadi, sembari kuliah, aku juga jalanin bisnis travel peninggalan orang tua," jelas Vino.
Hati Sofi terenyuh. Tak sangka kalau Vino memiliki kisah hidup yang begitu tragis.
"Vin, aku turut berduka," timpal Sofi.
"Enggak apa-apa, sudah lama kejadiannya. Aku mulai terbiasa kok, meskipun memang kesedihanku masih tersisa."
Sofi mengelus pundak Vino untuk berempati. Vino kemudian memegang jemari Sofi yang mengusap pundaknya. Mereka saling berpandangan dengan perasaan berdebar satu sama lain.
Hari sudah semakin larut, Vino dan Sofi memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Sofi sedikit kesusahan ketika membuka seat-belt-nya.
"Sorry, itu memang kadang-kadang suka macet. Let me help you," ucap Vino. Ia lalu mencondongkan tubuh mendekati Sofi. Mengutak-atik agar sabuk pengaman itu segera terbuka.
Sofi mampu mencium aroma musk yang menguar dari tubuh Vino. Jarak mereka begitu dekat. Jantungnya berdegup sangat kencang bak bunyi genderang.
"Ngobrol sama kamu menyenangkan, Sof," Vino melirik ke arah Sofi.
Sofi tertunduk, tak sanggup jika harus saling bertatapan dengan Vino. Bisa-bisa jantungnya malah melompat keluar.
"Aku juga senang, Vin. Makasi buat semuanya," balas Sofi.
Vino tak kunjung mengalihkan badannya. Ia masih menatap Sofi padahal seat belt yang terpasang sudah berhasil ia lepaskan.
"Vin, aku pamit dulu," Sofi beringsut dari duduk. Tak mampu menahan gejolak jika berlama-lama berdua saja di dalam mobil bersama teman pacarnya.
Vino menahan Sofi dengan tangannya.
Jemarinya membelai dagu Sofi dan mengarahkannya kepadanya.
Sofi termanggu. Mereka saling bertatapan cukup lama, entah setan apa yang merasuki, mata Sofi akhirnya terpejam. Pasrah dengan ulah Vino selanjutnya.
Sadar dengan lampu hijau yang diberikan oleh Sofi. Vino pun mencium bibir Sofi dengan lembut. Setelah satu kecupan, ia kembali mencumbu bibir gadis itu dengan bergairah. Mereka saling memainkan lidah dalam pagutan dalam.
"Vin," Sofi berpaling, menghentikan kegiatan terlarang yang baru saja mereka lakukan, "ini salah. Aku pacarnya Randi."
Vino berdecak. Menyandarkan tubuh pada jok mobil. Menelungkupkan wajah ke dalam telapak tangan.
"Maafin aku, Sof. Aku yang salah! Jujur, aku bener-bener jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Aku sampai lupa daratan! Maafin aku, Sof."
Sofi tertunduk. Ia merasa hina sekaligus bersalah kepada Randi.
Vino kembali berkata, "Please, kamu jangan merasa bersalah akibat ciuman kita barusan. Aku yang salah di sini, anggap tidak terjadi apa-apa antara kita."
Sofi tak menjawab. Gadis itu segera keluar dari mobil Vino dan masuk ke dalam rumah. Di dalam mobil, Vino tersenyum menyeringai. Hati Sofi sudah menjadi miliknya.
***
Suasana Fakultas Ilmu Budaya siang itu sedikit lenggang. Maklum saja, hari sudah menjelang sore, banyak mahasiswa yang sudah menyelesaikan kelas dan kembali pulang.
"Hei, bro," sapa Vino kepada Randi.
Randi menyambut sahabatnya dengan semringah, "Hai!" sahutnya. Mereka duduk bersama di depan kelas, "Betewe, makasih kemarin lusa sudah antar cewekku pulang."
Vino tersenyum getir, "I-iya sama-sama, bro."
Randi menyadari perubahan mimik wajah Vino. Rasa penasaran menggelitik benaknya, "Kenapa, Vin? Kok mukamu berubah asem gitu?" tanya Randi.
"Ah enggak apa-apa, Ran," elak Vino. Air wajahnya berubah lebih masam dari sebelumnya, "Enggak enak bilangnya, ehm, gimana ya ...?"
Randi menepuk punggung sahabatnya, "Ayolah. Kenapa pakai enggak enak segala, sih. Come on, ada apa? Ngomong aja."
Vino menatap Randi cukup lama. Ekspresinya gamang. Setelah menghela nafas berkali-kali, ia akhirnya membuka mulut, "Tentang pacarmu, si Sofi," katanya menggantung.
Senyum di wajah Randi pudar, "Kenapa Sofi?"
Vino berdecak, "Maaf sebelumnya ya, Ran. Bukan maksudku ingin mengacaukan hubungan kalian. Kamu sahabat baikku, aku ngerasa beban moral kalau menyimpannya sendiri."
Randi mendengarkan Vino dengan seksama. Sementara, Vino menjilat bibirnya, ekspresinya menegang, "Waktu aku antar dia, sepanjang perjalanan, dia enggak berhenti menjelek-jelekkan orang tuamu. Katanya, kamu 'anak mama', soalnya jam tujuh tet kudu udah di rumah. Si Sofi bahkan enggak mau langsung pulang, dia ngajakin aku makan dulu di Bungkul. Dan dia itu ..." Vino berhenti beberapa detik, "dia goda-godain aku gitu, Ran. Nempel-nempel, noel-noel."
Wajah Randi memerah.
Siapa sih yang tidak tertarik pada Vino? Tampan, tinggi, tubuh atletis, tapi ia tak sangka, Sofi, pacarnya, gadis yang ia percaya, ternyata termasuk dari wanita-wanita yang terpesona oleh ketampanan Vino. Lebih parah lagi, Sofi menjelek-jelekkan orang tuanya di hadapan Vino. Itu yang paling membuat Randi emosi.
"Tapi, maklumin ajalah, Ran. Kayaknya Sofi masih ingin menghabiskan waktu bersama kamu lebih lama. Mungkin gara-gara itu dia kesal dan akhirnya ngomong jelek tentang keluargamu," imbuh Vino.
"Hmm. Gitu ya, Vin," ucap Randi. Ia masih berusaha menahan bara di dada.
"Dan tolong kalian jangan bertengkar gara-gara hal ini, ya. Apalagi kalau pertengkarannya gara-gara aku, aku jadi semakin merasa bersalah ke kamu dan juga ke Sofi," dalih Vino.
Randi tersenyum, "Tenang aja, Vin. Aku enggak akan ungkit ini ke Sofi. Tapi, perasaanku ke dia udah enggak sama lagi. Cukup tau," tegasnya.
Dan benar.
Semenjak itu, hubungan antara Sofi dan Randi merenggang. Sofi sedikit menjauh karena merasa bersalah telah berciuman dengan Vino. Sementara, Randi menjaga jarak karena tersinggung dengan kelakuan Sofi yang menjelek-jelekkan orang tuanya, sekaligus menyebut ia dengan panggilan 'anak mama'.
Di lain sisi, Vino juga meminta bantuan, Tiara, gadis seksi di kampus untuk menggoda Randi. Tiara dan Vino sering dugem bersama, terkadang mereka bahkan bercinta di kos'an Vino. Menggoda lelaki polos seperti Randi adalah hal yang mudah untuk Tiara yang agresif. Vino menjanjikan tiket perjalanan pulang-pergi Surabaya-Bali, jika Tiara berhasil membuat Randi berpaling dari Sofi. Dan Tiara berhasil. Dua bulan setelahnya, Sofi dan Randi putus.
***
"Vin, jangan dulu, Vin," Sofi berusaha menghentikan tangan Vino yang berusaha menelusup ke balik celana dalamnya.
Vino berdecak, "Kenapa sih, Sof? Kita sudah pacaran hampir setahun. Tapi kamu masih belum percaya sama aku seutuhnya," protesnya.
"Bukannya enggak percaya, aku cuman belum siap," jawab Sofi membetulkan rok.
Vino menatap manik mata si kekasih, "Kamu belum yakin sama aku, Sof. Kamu ragu kita akan terus bersama hingga jenjang pernikahan. Itu yang kamu pikirkan selama ini. Jujur aja, deh!"
Sofi menggeleng, "Enggak gitu, Vin. Aku yakin sama kamu, aku percaya dengan hubungan kita. Aku hanya belum siap," terang Sofi.
Vino tak memerdulikan perkataan Sofi, lelaki itu malahan melepas celana boxer yang ia kenakan.
"Vin kamu apa-apa'an?!" Sofi mengalihkan pandangan.
Vino menarik tangan Sofi dan menuntunnya untuk menyentuh kejantanan miliknya yang sudah tegak teracung.
"Coba pegang," bujuk Vino, "yakin kamu enggak mau cobain? Aku janji akan pelan-pelan, Sof. Kamu enggak akan merasa kesakitan, justru ketagihan malah," Vino menggerakkan tangan Sofi agar mengusap-usap miliknya.
"Vin, please, aku mau pulang aja, ya," Sofi berusaha berontak. Ia ingin keluar dari kamar kos'an Vino sesegera mungkin.
Terlambat.
Nafsu Vino sudah memuncak hingga ubun-ubun. Setahun lebih ia habiskan waktunya untuk mengejar Sofi, wanita ini sangat sulit untuk ditaklukkan. Vino tak akan membiarkan kesempatannya kali ini terbuang sia-sia begitu saja.
Vino memburu bibir Sofi yang ranum. Diciuminya Sofi bak serigala kelaparan yang sedang menikmati daging domba segar. Tangan Vino sibuk meremas kedua gundukan dada Sofi yang lembut. Pertahanan Sofi akhirnya runtuh juga, terlebih ketika lelaki itu memainkan putingnya yang sudah mengeras. Menyesap dan memelintirnya dengan impulsif.
"Bibirmu, tubuhmu, dan aromamu sangat manis, Sof," bisik Vino, "semanis gula, you are my sugar baby."
"Jangan tinggalin aku, Vin," Sofi mengerang.
"Enggak akan, Sugar. Aku janji. I love you," ucap Vino.
"Kamu cowok pertama dalam hidupku, Vin. Aku harap kamu juga yang terakhir," kata Sofi. Ia sudah pasrah ketika Vino melucuti pakaiannya.
"Kamu juga cewek pertama dalam hidupku, Sugar. Tubuh telanjang pertama yang aku rengkuh," balas Vino. Tanpa aba-aba ia kemudian memasukkan miliknya menembus liang perawan Sofi. Menusukkannya dalam-dalam, menjeremba kenikmatan.
***
"Mau apa kamu ke sini lagi?!" mata Sofi melotot dengan keberadaan Vino di rumahnya.
"Sof, sabar! Maksud Vino itu baik," Magda menengahi amukan Sofi kepada Vino.
"Ibu kenapa, sih? Lelaki ini sudah nyakitin anakmu, bu! Nyakitin aku! Terus saja kalian bela!" teriak Sofi penuh emosi.
"Karena itu aku ingin menebusnya, Sof. Aku datang untuk meminta maaf kepadamu. Please, beri aku sedikit waktu untuk bicara padamu," Vino memelas.
"Iya, Sof, kasihlah Vino kesempatan bicara dulu. Ibu akan tinggalkan kalian berdua, semoga kalian bisa membicarakan masalah kalian dengan kepala dingin," tutur Magda. Sebelum pergi, Magda sempat mengelus pundak Vino, seakan menunjukkan dukungannya pada lelaki tersebut.
Sofi berjalan dengan emosi menuju teras rumah, Vino mengikuti dari belakang. Darah Vino berdesir melihat pundak Sofi yang terekspos. Ingin sekali ia kembali merasakan kenikmatan bercinta dengan mantan kekasihnya itu.
"What the hell are you doing here?!" bentak Sofi kepada Vino.
----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro