20. Brainwash
"Bagaimana bila aku membeli anakmu?" tanya Ida.
Wanita tunasusila itu memandangi Ida dengan kebingungan.
"Berapa pun akan kubayar," rayu Ida. Ia lalu melepas cincin bertahta berlian yang ia kenakan di jari tengahnya, "Lihatlah. Bagaimana jika kuberikan cincin ini padamu. Kamu bisa menjualnya."
Ketika Ida menunjukkan perhiasannya, si wanita tunasusila bergegas mendekat. Matanya tak bisa berpaling dari kilauan berlian di tangan Ida.
"Kau sungguh akan memberiku cincin itu untuk anak penyakitan ini?" tanya si wanita tunasusila.
"Ya. Bukankah kau yang bilang, kalau keberadaan anak ini mengganggu gerak bebasmu. Jadi sangat menguntungkan untukmu terbebas dari tanggung jawab mengasuhnya," bujuk Ida.
"Tapi aku tidak ingin kau datang lagi mencariku kalau-kalau anak ini mati. Ia memang sudah lama sakit-sakitan," terang wanita tunasusila mencibir.
Ida menggelengkan kepala, "Oh tidak. Aku tidak akan melakukannya. Setelah ini kau tak akan melihatku lagi dan kau pun sama, jangan pernah mencari anakmu lagi."
Tawa si wanita tunasusila pecah, "Mana mungkin aku akan mencarinya lagi, hidupku akan sangat bebas tanpanya!"
"Jadi kau setuju?" tanya Ida.
"Sangat setuju!" jawab wanita susila itu. Selain membutuhkan uang untuk membeli makanan, ia juga seorang pemadat. Otaknya sudah tak berjalan secara rasional, oleh sebab itu ia tega menukar anak kandungnya dengan sebuah cincin berlian.
"Berapa usianya?" tanya Ida.
"Kurasa hampir empat tahun."
Ida tak dapat menyembunyikan keterkejutan. Bahkan, usia anak itu sama dengan usia anak perempuannya, Vallena.
Ida berjalan menembus dinginnya malam yang bersalju. Menggendong tubuh kurus si bocah di pelukannya. Senyum tak berhenti terpancar dari wajah Ida. Hatinya sangat berbunga.
***
"For a God sake, Ida! Aku mencarimu ke mana-mana! Ternyata kau sudah di rumah!" sungut Cliff melepas syal dan mantel tebalnya yang hampir membeku.
Ida meletakkan jari telunjuk pada bibirnya, "Ssst! Vallena baru saja tertidur," bisiknya.
"Apa maksudmu? Va-Vallena?" tanya Cliff. Alisnya bertautan dengan raut wajah kebingungan.
"Bisa-bisanya lupa dengan anak sendiri," Ida terkekeh sambil mengibaskan tangan.
Cliff menatap istrinya dengan pandangan iba. Ia sadar, pasti sangat berat bagi Ida untuk menerima kenyataan bahwa anak perempuan mereka, Vallena, baru saja meninggal karena tenggelam di danau pribadi yang terletak di kebun belakang rumah.
"Sayang," ucap Cliff mengusap punggung Ida dengan lembut, "kau pasti lelah. Beristirahatlah agar pikiranmu kembali jernih."
Ida menggeleng, "Oh tidak. Aku tak bisa tidur malam ini. Vallena sedang sakit, aku khawatir ia membutuhkanku nanti. Aku akan menjaganya hingga ia membaik. Lalu, bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan ke Artis Zoo kalau dia sudah sehat?" matanya berbinar.
"Ida sudahlah," Cliff menghela nafas. Khawatir akan imajinasi istrinya berubah menjadi terlalu liar. "Putri kita sudah tiada."
Mata Ida melotot, "Tutup mulutmu, Cliff! Tega-teganya kau mengatakan anakmu yang sedang tertidur sudah mati!"
"Memang Vallena sudah meninggal! Kamu harus kembali ke realita, sayang! Hadapi kesedihanmu. Aku tak bisa menunda mengurus akte kematiannya lagi, esok aku akan menyelesaikan semuanya," tegas Cliff mulai kehilangan kesabaran.
Ida menarik lengan Cliff, "Kalau Vallena sudah tiada, lantas siapa yang sekarang sedang tertidur pulas di ranjang?" ujarnya menuntun Cliff menuju kamar mendiang anak mereka. Pelan-pelan Ida membuka pintu kamar dan membawa Cliff masuk ke dalam.
Mata Cliff membelalak, "Ya Tuhan anak siapa itu?!" pekiknya.
Lagi-lagi Ida meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, "Ssssttt!!! Sudah kubilang jangan berisik!"
Cliff menarik tangan Ida sekuat tenaga, "Katakan padaku siapa anak itu?" tanyanya.
"Itu Vallena anak kita," jawab Ida bersikukuh.
"Hentikan! Hentikan Ida! Vallena sudah meninggal!" bentak Cliff.
Tubuh Ida seketika berlutut ke lantai. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia mulai menangis tersedu-sedu.
"Berhenti mengatakan Vallena sudah meninggal, Cliff. Itu menyakiti hatiku! Anakku masih hidup. Jiwanya merasuk ke dalam tubuh anak itu. Anak itu adalah Vallena. Wajah, warna rambutnya, tubuh bahkan usianya sama! Dia adalah Vallena, Cliff!" raung Ida.
Cliff ikut berlutut memeluk istrinya. Hatinya hancur melihat orang yang ia cintai menangis.
"Kau tidak bisa menggantikan seorang anak seperti mengganti hewan peliharaan."
"Biarkanlah aku merawat anak itu. Ia adalah anak dari pelacur yang mencuri tasku. Pelacur itu bahkan setuju aku menukarnya dengan cincin berlian. Keberadaan anak ini tidak diinginkan. Ia adalah jodoh yang dikirim Tuhan untukku, Cliff. Sayangilah ia seperti anak kandungmu," Ida menatap wajah Cliff dengan memelas, "kalau kau tak bisa menyayanginya, paling tidak biarkan aku merawatnya. Kumohon ..."
Cliff menarik nafas berulang kali.
"Baiklah," sahutnya terpaksa.
***
Tidak seperti apa yang dikatakan oleh si pelacur, anak itu adalah anak yang sehat. Tentu saja, udara dingin dan kelaparan yang membuatnya lemah dan hanya bisa meringkuk. Di bawah pengasuhan Ida, si bocah mulai menunjukkan binar semangatnya.
"Waar is mamma¹?" tanya si anak kepada Ida.
Ida tersenyum membelai kepalanya, "Aku adalah Mommymu sekarang. Namamu adalah Vallena. Ingatlah itu."
Anak itu memandangi Ida kebingungan. Otak empat tahunnya masih belum paham dengan perkataan Ida.
"Waar is mamma?" tanyanya lagi.
"Akulah mammamu sekarang. Aku Ida adalah ibumu, mammamu, mommymu. Okay!"
"Waar is mamma?" bocah itu kembali bertanya. Air mata mulai menggenang memenuhi pelupuk mata birunya.
"Ik ben je mamma²!" bentak Ida sambil berteriak.
Anak itu mulai menangis, "Waar is mamma ...? Mamma ...!" rengeknya.
"Berhenti menangis, Vallena! Berhenti menangis!!!"
Tangis si bocah semakin keras. Ia meraung mencari keberadaan ibunya.
Ida mulai kehilangan akal. Ia menampar pipi si bocah sekuat tenaga. Bocah itu meringkuk memegangi pipinya yang memerah. Ia ketakutan.
"Aku sudah bilang aku adalah mammamu. Kau paham?"
Si bocah tak bereaksi. Matanya masih memandangi Ida dengan kengerian.
Ida kembali menaikkan tangannya, "Kalau kau tidak mau kupukul, kau harus memanggilku mommy!" ancamnya.
Si bocah tetap terdiam.
"PANGGIL AKU MOMMY!" teriak Ida dengan telapak yang siap menempeleng.
"Mm-mmommy!" jawab si bocah gemetar.
Ida mengelus kepala si bocah sambil tersenyum puas.
"Anak baik. Anak pintar, anakku si mata wayang," pujinya. Ia melanjutkan, "Namamu adalah Vallena. Ingatlah itu. Okay?"
"Okay ..." sahut si bocah berbisik.
***
Setelah memandikan Vallena, Ida memakaikannya pakaian dari dalam lemari. Sebuah dress berenda berwarna merah muda.
"Ini bukan pakaian cowok," celoteh Vallena dengan polos.
"Kau perempuan, sayang. Mulai sekarang inilah pakaianmu," tutur Ida. Ia menyisiri rambut anaknya penuh kasih sayang.
Sepulangnya dari kantor, mata Cliff tertegun melihat kemiripan si bocah dengan mendiang anaknya. Matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"My God, Ida. Kamu benar, ia sangat mirip Vallena. Siapa namanya?"
"Namanya adalah Vallena," jawab Ida mengelus dada suaminya.
"Ida kau tak bisa ..."
Belum selesai perkataan Cliff, Ida segera menyelanya, "Biarkan ia hidup sebagai Vallena, Cliff. Aku tak bisa membayangkan kesedihannya ketika besar, ia harus tau bahwa ibu kandungnya adalah seorang pelacur kotor yang rela menukarnya dengan sebuah perhiasan."
Lagi-lagi, Cliff hanya bisa menuruti ucapan istrinya.
***
Hari demi hari berlalu. Kemudian bulan demi bulan. Ida menemukan kebahagiaan lagi semenjak Vallena baru hadir di hidupnya. Tak bisa dipungkiri, Cliff pun ikut merasa senang dengan keberadaan Vallena. Rumah mereka yang semula penuh tangis dan hening, mendadak hangat dan ramai kembali.
"Daddy aku mau pipis," rengek Vallena.
"Oh. Ayo Daddy antar," sahut Cliff menggendong Vallena.
Dari arah dapur, Ida berlari seperti orang kesetanan dan buru-buru merebut Vallena dari gendongan suaminya.
"Ada apa sih, Ida?!" tanya Cliff terkejut.
"Biarkan ia ke kamar mandi denganku. Anak perempuan harusnya mandi dan ke toilet dengan ibunya. Penting untuk mengajarkan mereka melindungi diri dari kejahatan seksual sedari dini," tegas Ida.
"Astaga," Cliff terkekeh, "tapi aku ayahnya."
Ida membisik, "Ingat, Cliff. Kau bukan ayah kandungnya!"
Cliff menggelengkan kepala. Tak paham dengan pemikiran istrinya. Sementara itu, Ida bergegas menuju kamar mandi mengantarkan Vallena untuk buang air kecil. Hampir saja suaminya mengetahui, bahwa, Vallena adalah anak lelaki bukan perempuan.
Hari pun kembali berjalan dengan biasa.
Kelakuan Ida melindungi Vallena dari Cliff mulai tidak rasional. Cliff mulai mencurigai tindak-tanduk istrinya.
Ida selalu membatasi kebersamaan antara Cliff dan Vallena, bukan hanya melarang Cliff memandikan atau menemani Vallena ke toilet, ia juga tak memperbolehkannya menghabiskan waktu berlama-lama mengobrol atau sekedar menidurkan si anak. Ida selalu berdalih, semua yang ia lakukan demi mengajari boundaries antara lawan jenis semenjak dini.
Hampir setahun kebersamaan mereka, tibalah suatu malam yang mengubah segalanya.
"Daddy," panggil Vallena membangunkan Cliff yang sedang tertidur.
Cliff kemudian beringsut dari ranjang, "Valle? Kamu belum tidur? Ada apa, nak?" tanyanya.
"Aku mimpi buruk dan ngompol," Vallena membisik, matanya melirik Ida yang tidur di samping Cliff, "please, daddy jangan bilang mom. Nanti mom marah dan pukul Valle," pintanya memelas.
Cliff menggandeng putrinya keluar dari kamar. Ia kemudian berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan tinggi si anak.
"Mom suka pukul Valle?" tanya Cliff.
Vallena mengangguk.
"Kenapa mom pukul Valle?" pancing pria itu lagi. Dadanya menyimpan geram, bagaimana bisa Ida tega memukul anak sekecil Vallena.
"Kalau Valle tidak nurut. Kalau Valle mau main bola atau keluar rumah untuk main dengan teman. Mom pukul Valle. Kadang mom juga kunci Valle di basement," terang Vallena polos.
"Astaga," guman Cliff, "di mana mom pukul kamu?"
"Di sini," Vallena menunjuk pipi dengan telunjuk, "di sini dan di sini juga," ia menunjuk bokong dan lengannya.
Cliff menggelengkan kepala atas kelakuan istrinya.
"Please, daddy. Jangan bilang Valle ngompol ke mom," rajuk Vallena.
"Iya daddy tak akan bilang. Kita ganti baju lalu keringkan kasurmu agar besok pagi mom tidak tau kalau Valle mengompol. Okay?" ujar Cliff tersenyum menenangkan si anak.
"Thank you, daddy," Vallena memeluk erat ayahnya.
Di dalam kamar, Cliff memilih piyama bersih di lemari. Vallena harus segera mengganti pakaiannya yang basah karena mengompol.
"Ayo. Kita bilas dulu badanmu di kamar mandi," ajak Cliff.
Vallena menggelengkan kepala sambil bergetar, "No ... Kata mom, hanya mom yang boleh buka baju Vallena."
Cliff menarik nafas.
"Kalau hanya mom yang boleh, berarti sekarang kamu harus membangunkan mom untuk membantumu dan mom akan tau kamu mengompol."
"Aku tidak mau membangunkan mom," sahut Vallena.
"Kalau begitu mari, nak. Biar daddy yang membantumu. Ayo kemarilah," bujuk Cliff.
Dengan ragu-ragu, Vallena kemudian menuruti ucapan ayahnya. Sambil bersenandung ceria demi menghilangkan ketakutan anak perempuannya, Cliff membuka piyama Vallena dengan hati-hati.
Betapa terperanjatnya ia ketika membuka celana Vallena. Menemukan kenyataan bahwa anak yang selama ini dikiranya adalah anak perempuan ternyata adalah seorang anak lelaki. Ida telah menipunya.
Mata Cliff membelalak, tubuhnya bahkan terjerembat hingga ke sisi dinding. Bagaimana mungkin Ida tega memanipulasi dirinya, bahkan mencuci otak anak sekecil Vallena.
"Ya Tuhan ... ya Tuhan ..." gumam Cliff lirih.
Ida pasti sudah gila.
***
"KAU TIDAK WARAS! KAU HARUS MENGOBATI MENTALMU KE PSIKIATER!" bentak Cliff pada Ida.
Ida dengan tenang menyeruput teh hangat di cangkir, "Aku masih waras, Cliff. Jaga ucapanmu. Anak itu hanya terperangkap di tubuh yang salah. Aku sebagai ibu, membantunya sebisa mungkin. Aku tau reaksimu akan begini, untuk itu aku merahasiakannya darimu."
"Het is gek! Gek³! Apa kau tidak pikirkan mentalnya? Ia anak lelaki, Ida! Lelaki! Kau membentuknya menjadi perempuan!"
"Tubuhnya memang lelaki, tapi jiwanya adalah perempuan!" Ida bangkit dari kursi, melotot pada Cliff, "aku tau karena aku ibunya!"
"Kau hanyalah wanita gila yang memungutnya dari jalan dan menjadikannya boneka pemenuh obsesimu!" Cliff menunjuk wajah istrinya dengan geram.
"Diam kau, Cliff. Kau tak berhak menuduhku begitu rendah."
"Kau melanggar hak asasi anak itu!" hardik Cliff.
Ida tertawa, "Melanggar hak asasi katamu? Aku menyelamatkan dia dari kematian. Aku mengurusnya dengan baik dan memberinya hidup layak. Kau bilang aku melanggar hak asasinya? Don't be ridiculous!"
"Vallena bilang ... tidak, bocah itu bilang kau sering memukulnya agar ia menuruti ucapanmu! Teganya kamu Ida!"
"Ah. Orang tua memukul anak itu wajar. Itu hanya upaya membentuk kedisiplinannya saja," sanggah Ida.
"MY GOD! SADARLAH IDA!" teriak Cliff. Emosinya sudah memuncak sampai ubun-ubun.
"Apa kalian bertengkar?" Vallena mengintip dari balik dinding dengan pandangan takut.
Cliff melunakkan pandangannya. Ia iba memandangi anak perempuan 'rekayasa' istrinya.
"Kemarilah, Vall," panggil Cliff melambaikan tangan. Ia berjongkok dan menatap si anak dengan lembut, "Kau bisa jujur pada daddy?"
"Jujur itu apa, daddy?" tanya bocah lugu itu.
"Jujur itu tidak bohong. Kau mengerti?" terang Cliff.
Vallena mengangguk.
Cliff melanjutkan, "Sekarang daddy tanya, di dalam hatimu, kau adalah anak lelaki, bukankah begitu, nak?"
Vallena memandang Cliff dengan manik mata besarnya.
"Aku perempuan, daddy," jawabnya.
Tulang-tulang di tubuh Cliff serasa melunak. Ia menjatuhkan bokong di lantai sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Hatinya hancur, sementara Ida menatap Cliff dengan senyum penuh kemenangan.
***
Semenjak pertengkaran hebat dengan Ida, Cliff jarang pulang ke rumah.
Lelaki itu bagaikan sedang memakan buah simalakama. Tak mungkin melaporkan perbuatan orang yang ia cintai ke polisi, namun, tak sanggup memandang mata polos milik Vallena.
Ia memilih untuk tak bertemu dengan keduanya. Larut dalam pekerjaan, berusaha menyibukkan diri.
Setahun kemudian, Ida dan Cliff akhirnya bercerai.
Setelah menerima harta gono-gini dari Cliff, Ida dan Vallena pindah ke Paris. Bisnis tas tangan buatan Ida mulai laku di dunia mode Eropa, khususnya Paris.
Seiring bertambahnya usia, Vallena semakin susah di atur. Ida merasa kewalahan karena anak remajanya mulai mempertanyakan akan jati diri. Tidak jarang, Vallena mengamuk pada Ida karena tertekan. Vallena juga sering mengancam akan pergi karena bingung dengan identitas gendernya.
Ida tak kehabisan akal, ia memasukkan Vallena ke sekolah model saat menginjak usia 12 tahun. Semakin banyak yang mengenal Vallena sebagai wanita, maka akan semakin sulit bagi Vallena untuk bersikap seenaknya, begitu pikir Ida. Ia pun makin terobsesi menjadikan Vallena sebagai model terkenal. Tuntutan dari masyarakat, stigma yang membatasi, dan rasa malu, tentu saja memenjarakan kebebasan Vallena dalam menyuarakan diri.
Pada usia enam belas tahun, Ida bahkan berhasil memaksa Vallena untuk melakukan operasi implan payudara. Tampilan Vallena sempurna sebagai seorang wanita. Berwajah unik, bermata indah, dengan aura misterius menaikkan nama Vallena sebagai model catwalk di usia tujuh belas tahun.
Namun, lima tahun setelah debut, Vallena mengalami mental breakdown dan Ida terpaksa membawanya ke Thailand. Tujuan sebenarnya Ida memilih negara itu adalah kemudahan aksesnya untuk mendapatkan pil hormon tanpa perlu konsultasi terlebih dulu dengan Psikiater atau dokter.
Pada akhirnya, setahun setelah menetap di Thailand, Ida dan Vallena memutuskan untuk kembali ke kampung halaman Ida. Indonesia.
Vallena melanjutkan kariernya di Jakarta sebagai model. Masyarakat Indonesia yang ramah pada kehidupan sehari-hari, namun mengerikan di media sosial, membuat Vallena makin terbelenggu. Menjaga pencitraan dan rahasia sebaik mungkin agar terhindar dari amukan 'netizen'.
"Pikirkan masa depan dirimu, Valle. Inilah yang kau inginkan. Sedari kecil kau selalu bermimpi menjadi wanita seutuhnya. Kegoyahanmu ini hanya sementara, karena fisikmu belum sempurna seutuhnya," bisik Ida tiap kali Vallena mengalami kegalauan.
"Mom, aku tak yakin ingin melakukan operasi," bantah Vallena.
"Kau bukan tidak ingin, sayang. Kau hanya takut dengan prosedurnya. Tenanglah. Sudah banyak orang yang melakukannya dan tak ada hal buruk yang menimpa mereka. Kau tak perlu khawatir," bujuk Ida.
Vallena terdiam.
Pikirannya menerawang jauh, benarkah ini yang ia inginkan?
¹ Waar is mamma : mana mama (bahasa Belanda)
² Ik ben je mamma : aku mamamu (bahasa Belanda)
³ Het is gek! Gek! : Ini gila! Gila! (bahasa Belanda)
----
Hai, Folks
Terima kasih untuk kalian yang tetap membaca hingga bab ini, ya!
I love you 3000 ♡♡♡
Masa lalu Ida dan Vallena terkuak nih, selanjutnya bagaimana ya?
Terus baca CAH AYU setiap hari.
Salam sayang ♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro