Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Desire

Kediaman Bara Aditia selalu ramai setiap hari Minggu pagi, tak terkecuali hari ini. Alfita, anak sulung, biasa mengunjungi mereka bersama dengan putra si mata wayangnya, Tyo. Bocah lelaki berusia empat tahun itu terdengar sangat antusias kala bermain dengan kakeknya.

"Akung, lempal cini bolana! Lempal cini!"

"Tyo tangkap, ya!" seru Bara tak kalah bersemangat, "ini, akung lempar sekarang!"

"Ya!!!" sahut Tyo melompat-lompat tak sabar.

"Nanti habis main bola, istirahat sama Eyang, lho! Eyang suapin cake coklat kesukaan Tyo! Okay?" sela Magda.

Maklum saja, Tyo merupakan cucu pertama di keluarga itu, kastanya berada diurutan paling atas dalam mendapat kucuran kasih sayang. Perhatian penuh datang dari kakek-nenek, serta kedua tantenya.

Sofi muncul merebut bola yang dilempar Bara, sebelum Tyo berhasil menangkapnya.

"Bolanya buat aunty!" goda Sofi menjulurkan lidah.

Tyo berlari-lari mengejar Sofi sambil berteriak kegirangan. Anak itu tidak peduli dengan peluh yang membasahi kaos dan dahinya.

"Ude Ofi itu puna Tiyo!!! Ude Ofi mana! Mana, Ude!"

Sofi memasang ekspresi cemberut, "Ih kok manggilnya 'budhe' sih? Panggil aunty! Aunty!" tegasnya, "coba panggil aunty dulu," ia membungkuk menyejajarkan tubuh setinggi badan keponakannya.

"Ude ..." sahut Tyo cengengesan. Mata anak itu membulat mempesona.

"Aunty!" cecar Sofi.

"Ude!" teriak Tyo cekikikan. Ia senang bisa menggoda si tante, apalagi wajah Sofi yang menggelembungkan kedua pipi, terlihat sangat lucu.

"Kamu ya ..." Sofi menarik Tyo ke dalam pelukan, menggelitik keponakannya dengan gemas. Hingga bocah itu berteriak-teriak diiringi tawa terbahak karena kegelian.

"Udah-udah, Tyo ayo istirahat dulu! Keringatmu lho, nak!" Alfita berjalan menghampiri sang buah hati. Mengusap dahi Tyo yang basah dengan tisu. Anak lelaki seumuran Tyo memang sedang aktif-aktifnya dan tak bisa diam.

Tyo terpaksa menuruti perintah sang mama, meskipun sesekali ia cekikikan saat menoleh ke arah Sofi yang berpura-pura mengancam dengan cara menaikkan kedua tangan menyerupai gaya monster biru di film animasi Monster. Inc.

"Mas Robi mana, mbak?" tanya Sofi. Robi adalah kakak ipar Sofi, suami Alfita.

"Di rumah. Ada tukang lagi perbaiki kamar mandi, dia yang nungguin," terang Alfita.

Baru saja dilepas sebentar oleh Alfita, Tyo sudah kabur berlari menuju si eyang, Magda kemudian memangku bocah itu sambil menimang-nimangnya. Sementara, Erlin, si bungsu, duduk tidak jauh dari mereka, sedang fokus mengoreksi tumpukan lembar jawaban para murid sekolah di kelas ia mengajar.

"Kamu mau keluar, Sof?" tanya Bara melihat Sofi menenteng handuk di tangan. Ia hafal, anak keduanya itu tidak pernah mandi di hari libur, kecuali berencana keluar rumah.

"Mau siap-siap berangkat kerja, yah," jawab Sofi.

"Ada syuting lagi, mbak?" Erlin mendongakkan kepala.

"Iya," sahut Sofi.

"Mbak mintain tanda tangannya Vallena Valla po'o. Tulis, teruntuk Erlin yang cantik, gitu," rayu Erlin. Ia reflek meletakkan bolpoin di tangannya dan memasang wajah memelas ke arah Sofi.

Alfita ikut menimpali, "Oiya! Kamu sekarang 'kan jadi MUA-nya Vallena, model cantik itu! Wuih keren rek."

Sofi membalas pujian Alfita dengan berlenggak-lenggok pongah. Melihat tingkah Sofi, Alfita reflek melemparnya dengan bantal kursi.

"Kamu ada foto bersama Vallena, nduk?" Magda ketularan penasaran, "lihat dong kalau ada. Wonge asline pie? Uayu ya pasti¹?"

"Ya jelas ayu to, bu. Di TV aja kelihatan cuantik banget! Apalagi aslinya," sahut Erlin.

Sofi teringat belum ada satu foto pun yang sempat ia potret bersama Vallena. Padahal, sekedar merias biduan dangdut di hajatan khitan anak pak RT saja ia abadikan. Mungkin karena ketegangan antara mereka berdua akibat sikap Vallena yang sombong, sehingga menimbulkan rasa sungkan. Atau mungkin karena Sofi sibuk menyembunyikan kegugupan tiap kali mereka bertemu dan saling bertatapan.

Setelah terdiam beberapa saat, Erlin kembali berkata, "Aku enggak boleh ikut kamu ke lokasi ta, mbak? Kepingin banget ketemu Vallena!"

Sofi berdecak, "Jangan ah. Aku ini masih MUA baru, jangan sampai nanti disangka norak karena ajak keluarga ke lokasi."

Erlin berkecimus, kembali memusatkan fokus pada pekerjaannya.

"Ini lho, ini lho orangnya! Baru saja diomongin!" teriak Magda heboh sambil menunjuk tayangan infotainment yang disiarkan di televisi. Sebuah wawancara singkat bersama Vallena Valla dan Madam Suharti Kuncoro, seputar program baru yang dibintangi oleh mereka berdua.

Seisi rumah terdiam.

Mata mereka semua terpusat pada layar kaca, termasuk Sofi. Jantung Sofi berdegup kala memandangi paras Vallena dari balik layar kaca.

"Sof, nanti kalau ketemu Ari Wibowo, ibu mintakan tanda tangan ya!" celoteh Magda tiba-tiba.

"Apa hubungannya, bu? Kok bawa-bawa Ari Wibowo segala!" Sofi tak habis pikir.

Magda berdecak, "Kamu sekarang kenalannya 'kan artis-artis. Siapa tau nanti ada kesempatan ketemu Ari Wibowo!"

Sofi menggelengkan kepala.

"Yang penting jaga kelakuan ya, Sof," imbuh Bara, "kehidupan di dunia hiburan itu bebas. Jangan sampai kamu tertular pengaruh negatif. Apalagi ayah lihat temanmu kok hanya si Mahmud. Dia itu sudah menikah apa belum? Masih kemayu? Lelaki macam Mahmud kalau masuk Militer, bakalan habis dikuliti."

Sofi menghela nafas, "Gitu-gitu Mahmud baik, yah."

"Ya baik sih baik. Tapi, tidak sesuai kodrat," timpal Bara.

Sofi hanya mengangguk tanpa menjawab. Tidak ingin berdebat dan memperkeruh suasana. Ia buru-buru menuju kamar mandi dan bersiap berangkat menuju lokasi syuting.

***

Vallena meletakkan barbel setelah selesai mempraktekkan gerakan bench press². Ia bangkit dan berjalan mendekati kamera.

"Buat kalian para cewek, jangan takut latihan angkat beban seperti aku tadi, ya. Tenang aja, kalian tidak akan berakhir bulky seperti Binaragawan. Justru, jika kalian rutin angkat beban, akan menambah investasi otot. Semakin banyak otot, kalori harian yang dibutuhkan tubuh akan meningkat. Artinya, sebanyak apapun kalian makan, kalian enggak akan cepat gemuk. Otot itu bersifat langsing dan padat, jadi, memiliki otot akan membuat badan langsing dan kencang. Berbeda dengan sifat lemak yang besar dan turun. Salah satu manfaat angkat beban juga menaikkan kepadatan tulang kita. Masih banyak lagi manfaat dari angkat beban yang akan aku bagikan untuk kalian. So, stay tune on Madam & the Model," terang Vallena tersenyum.

"And cut ..." kata Sutradara memberi aba-aba, diiringi seorang Clapper yang memasukkan clapper board ke dalam frame dalam keadaan terbalik dan menepukkannya sebagai pertanda akhir adegan.

Ida menghampiri Vallena.

Anak dan ibu itu terlihat saling bercakap-cakap. Mereka saling membisik, raut wajah Vallena berubah tak nyaman. Ia mencoba melengos menghindari melanjutkan percakapan, namun cengkraman tangan Ida menahannya.

Sofi mengamati interaksi antara Ida dan Vallena. Ia mengurungkan niat menghampiri, sebab mereka berdua seolah sedang berdebat.

"Oh come on! Stop it, mom," sungut Vallena.

"Valle, listen to me!"

Ida terus mengikuti langkah Vallena yang menjauhi kerumunan.

"Sof, bilang sama Vallena abis ini kita take satu scene lagi setelah itu cabut ke lokasi lain," seorang kru berbicara pada Sofi.

"Oh. I-iya," sahut Sofi.

Hari ini mereka mengambil lokasi syuting di Celebrity Fittness, salah satu sasana kebugaran terbaik yang terletak di Galaxy Mal. Sofi melangkahkan kakinya mendekati Vallena yang sedang berbincang dengan Ida di sudut ruang gym yang lenggang.

"Kamu harus segera melakukannya! Tunggu apa lagi, Valle!"

"Tunggu aku siap!" sahut Vallena.

"Mau tunggu sampai kapan? Don't you remember? This is your dream, my love!"

"If it is my dream, why I'm not happy about that?" sanggah Vallena.

"Valle!!!" Ida membentak.

Sofi serba salah. Ia ragu-ragu untuk meneruskan langkah. Sekarang Sofi makin yakin, Vallena dan Ida memang sedang berselisih paham.

"Mom juga tidak suka kamu melakukan olahraga seperti tadi di depan publik! Sama sekali tidak feminin!" imbuh Ida.

"What do you expect? You know that I ..." kalimat Vallena terhenti, matanya menangkap sosok Sofi yang sudah berdiri canggung di dekat mereka.

Ida menolehkan kepala menatap Sofi, "Ada apa?" tanyanya dingin.

"Sorry ganggu. Syuting sebentar lagi di mulai, setelah itu kita pindah lokasi," terang Sofi.

"Aku mau touch up, mom," ucap Vallena. "Yuk, Sof," ia mengajak Sofi berjalan menjauhi Ida yang sedang menahan rasa geram di dadanya.

Setelah menuntaskan scene di Celebrity Fitness, seluruh kru termasuk Vallena berpindah ke lokasi selanjutnya dimana Madam Suharti Kuncoro berada. Mengambil setting di sebuah restoran keluarga yang berada di jalan Gubeng. Restoran yang terkenal akan steak dan ice cream-nya. Boncafe.

Setibanya, Sofi segera memarkir mobil dan buru-buru keluar dengan membawa beauty-case-nya. Ia merasa lega karena dirinyalah yang terlebih dahulu tiba sebelum Vallena.

"Sofiah! Gimana syutingnya tadi? Lancar?" tanya Mahmud menghampiri.

"Lancar, Mud. Kamu sendiri gimana?"

Mahmud mengibaskan tangan excited, "Di sindang senandung deh, nek³! Si Madam cucok, kita semua dibayarin makan di sini, boleh pesen sepuasnya! Perucha kenyataan, bow."

Sofi mengerucutkan bibir, "Enak banget, aku malah belum makan," sungutnya.

"Tenang aja. Nanti selesai syuting pasti diajak makarena lagi sama Madam."

Sofi mengacungkan jempol ke arah Mahmud. Vallena dan Ida memasuki ruangan. Beberapa pelayan restoran dan pengunjung yang makan di area outdoor tak bisa memalingkan pandangan takjub akan sosok model cantik itu.

Vallena menaikkan dagu ke arah Sofi, memberi kode agar MUA pribadinya segera membantu untuk bersiap. Vallena kemudian duduk pada tempat yang sudah disiapkan oleh para kru produksi. Sofi menghampiri sambil memasang senyum pada Vallena.

"Hari ini sangat panas," gumam Vallena. Tangannya sibuk mengipas diri dengan selembar kertas.

"Yah, beginilah Surabaya," sahut Sofi. Jemarinya memulas bedak tipis-tipis pada wajah Vallena.

Vallena menatap Sofi, "Kau sudah makan?" tanyanya.

"Belum, makanan di gym tadi mahal-mahal dan tak sesuai seleraku," jawab Sofi sembari mengulas senyum.

Tangan Vallena meraih tas Hèrmesnya, merogoh sebungkus rokok Marlboro dan cokelat batang. Ia mengamit putung rokok pada bibirnya, sementara tangan satunya menyodorkan cokelat batangan kepada Sofi.

"Untukku?" Sofi memandangi cokelat dengan kemasan ungu tersebut.

"Yalah. Untuk siapa lagi? Makanlah nanti selesai meriasku."

Sofi menerima pemberian Vallena.

"Makasih," ucapnya melempar senyum.

Vallena memalingkan mukanya dan menyembulkan asap rokok dari hidung.

"Tidak apa-apa 'kan aku sambil merokok?"

"Oh. Tidak masalah," Sofi mengibaskan tangan. Kemudian jemarinya dengan lihai kembali menyapukan kuas pada paras Vallena.

"Kau merokok?" tanya Vallena.

"Kadang," terang Sofi.

Vallena membuka bungkus rokok dan menawarkannya pada Sofi, "Mau?"

Sofi menggeleng sambil terkikik, "Bagaimana caranya aku bisa meriasmu sambil merokok?"

"Kalau begitu begini," Vallena menyodorkan putung rokoknya, membalik filter ke arah Sofi. Menawarkan agar Sofi menyesap sigaret miliknya.

Jantung Sofi berdetak tak menentu. Desir perlahan timbul menguasai tubuh dan hatinya. Dengan sedikit ragu, ia meresap putung yang disodorkan oleh Vallena. Kedua manusia itu saling berpandangan. Saling melempar gairah.

Manik mata Sofi melirik netra biru Safir Vallena. Sementara, Vallena tersihir oleh bibir sensual Sofi yang membulat menghembuskan asap. Ada sosok lain yang mengamati gerak-gerik mereka, Mahmud. Ia memicingkan mata sambil mengangguk yakin. Radarnya tak pernah salah.

Sementara, tak hanya Mahmud yang menatap Sofi dan Vallena. Ada orang lain, yang nampak getir dan waswas kepada kedekatan dua insan tersebut. Ida.

***

"Vallena, sayang. Kamu pasti lelah 'kan sehabis olahraga di Gym. Nah, karena itu Madam sudah siapkan makanan spesial untuk kamu. Makanan enak dan sehat yang penuh protein. Protein sangat dibutuhkan ketika sedang melatih otot," terang Madam Suharti Kuncoro di depan kamera. Wanita 70 tahun itu tampil elegan dengan sanggul tinggi dan kebaya sage green yang membalut kulit kuning langsatnya.

Vallena tersenyum lebar, "Wah, makanan apa Madam?"

"Ini Niçoise. Vallena pasti sudah tau, 'kan?"

"Of course I know, Niçouse is a French salad. Dulu, Valle pernah lama tinggal di sana. This salad pretty much like American Cobb salad. It is right, Madam?"

Madam Suharti mengangguk seraya mengulas senyum, "Betul sekali, Vallena. Salad ini juga cukup mengenyangkan karena bahan-bahannya lengkap. Ada kentang, telur, tomat, dan Madam berkreasi mengganti ikan tuna dengan daging."

"Looks so good. Valle tidak sabar mencicipinya," ujar Vallena.

"So what are we waiting for?" sahut Madam Suharti menuang salad ke atas piring Vallena.

Vallena menyendokkan sesuap salad ke dalam mulutnya, "This is so yummy, Madam. Kalau dalam bahasa Perancis kita bilangnya, c'est bon alias enak," terangnya.

Sofi tersenyum sendiri saat menonton proses syuting yang sedang berlangsung. Matanya tak bisa berpaling dari sosok Vallena, di matanya, model itu sangat memukau.

Vallena terdiam sejenak.

Wajahnya berubah memucat. Beberapa kru berbisik-bisik dengan perubahan ekspresi wanita blasteran itu.

"Madam ini ... ini apa ada ... kacangnya?" bisik Vallena.

"Oh iya. Saya tadi masukkan sedikit bubuk kacang. Ada apa, Valle?" air muka Madam Suharti Kuncoro ikut cemas dengan peralihan raut wajah Vallena.

Dengan gelagapan, Vallena bangkit dari kursi hingga kakinya yang jenjang membentur sisi dalam meja dengan keras. Wajahnya pucat.

"Mom!" teriak Vallena. Matanya sibuk mencari keberadaan Ida yang tak tampak sosoknya.

Vallena memegang dadanya. Nafasnya mulai tersenggal. "Where is Ida?!" pekiknya.

Seluruh kru ikut panik dan mencari keberadaan Ida. Wanita paruh baya itu sedang berada di toilet tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.

Sofi kalang kabut menghampiri Vallena, menggenggam kedua lengannya dengan kuat.

"Ada apa, Vallena? Kamu kenapa?" tanya Sofi panik.

"Aku alergi kacang! Aku mulai kesulitan bernafas!" terang Vallena.

Sesaat setelah mengonsumi kacang, tubuh Vallena memicu munculnya senyawa kimia yang disebut histamin. Senyawa itu menyebar melalui pembuluh darah dan memengaruhi berbagai jaringan tubuh, seperti kulit, saluran pernapasan, dan usus. Reaksi yang biasanya muncul pada Vallena tergolong parah. Jika lama dibiarkan, ia akan terserang syok anafilaksis⁵ yang membahayakan nyawa.

"Kita harus ke dokter sekarang! Ayo!" tuntun Sofi. Sekuat tenaga tubuh mungilnya memapah Vallena.

"Tapi aku harus mencari mom ..."

Sofi segera menyela perkataan Vallena, "Enggak ada waktu buat cari bu Ida! Kamu harus segera ke IGD!" bentaknya.

Vallena menatap mata Sofi yang melotot penuh emosi bercampur kekhawatiran. Dengan terseok mereka berjalan menuju mobil Sofi. Beberapa kru berjalan mengikuti dari belakang, ikut cemas dengan kondisi Vallena.

"Sof, elu bawa ke mana si Vallena?"

"Siloam yang paling dekat!" pekik Sofi.

Setelah membantu Vallena duduk di kursi penumpang, Sofi bergegas menuju kursi kemudi. Menghidupkan mesin mobil dan menancapkan gas dengan panik.

BRAAAAKKK

Suara pukulan pada body mobil terdengar nyaring saat mobil itu baru mundur beberapa langkah. Sofi terkejut karena melihat Ida yang sudah berdiri di samping jendela mobil, melotot sambil memukul-mukul kaca.

"BUKA!" teriak Ida.

Sofi membuka autolock, tanpa permisi Ida segera masuk dan duduk kursi belakang mobil.

"Kamu mau bawa ke mana Vallena? Kenapa kamu begitu lancang! Kamu seharusnya mencariku dulu!" bentak Ida penuh kemarahan.

"Saya mau bawa Vallena ke Siloam. Maaf sebelumnya, tapi Vallena terlihat sangat kesakitan, kalau mau marah sama saya, nanti saja, sekarang lebih baik kita ..."

Ida menyela ucapan Sofi dengan bentakan lain, "Siapa yang mengijinkanmu membawa putriku ke rumah sakit? Sekarang kamu jalan ke Manyar!"

"Kenapa kita harus ke Manyar bukan ke rumah sakit?" Sofi tidak habis pikir.

"SAYA PECAT KAMU YA! Kamu terlalu banyak bertanya! Cepatlah jalan ikuti perintahku! Aku ini ibunya Vallena, aku yang berhak atas anakku! Kalau kamu tidak mau menuruti kataku, lebih baik turunkan kami di sini! Biar aku berangkat sendiri ke sana dengan mobilku!" hardik Ida.

Sofi melirik ke arah Vallena yang terkulai lemas. Ia akhirnya mengikuti kemauan Ida dan membawa Vallena ke tempat yang diperintahkan.

Sofi mengebut bak pembalap profesional. Ia tak peduli dengan apa pun, otaknya hanya fokus pada keselamatan Vallena. Sesekali ia mengusap jemari Vallena untuk menenangkannya.

"Bertahanlah, Vall. Kita sebentar lagi sampai," bisik Sofi.

Sementara itu di dalam mobil, Ida sibuk berbicara melalui sambungan ponsel.

"Vallena sedang gawat, ia tidak sengaja mengonsumsi kacang. Kamu siapkan semuanya, ya. Ini aku perjalanan pulang."

Dalam hati Sofi bertanya-tanya, perjalanan pulang? Mengapa Ida malah membawa Vallena ke rumah? Bukannya ke rumah sakit.

***

Mereka bertiga akhirnya tiba di depan rumah mewah dengan pilar-pilar tinggi. Sebuah palang nama terpasang di depan hunian itu, lengkap dengan lambang IDI (Ikatan Dokter Indonesia) pada sisi kiri papan. Praktek Dokter Umum, dr. Hesa Surya.

Seorang lelaki bertubuh tegap tampak telah menunggu kedatangan mereka dengan cemas. Ia segera membuka pintu mobil dan membopong Vallena tanpa diminta. Membawa tubuh semampai itu masuk ke dalam. Ida dan Sofi ikut berlari menyusulnya.

"Kenapa kalian tidak menyiapkan antihistamin⁶? 'Kan tau dia ada alergi makanan!" cecar si lelaki.

"Sudah terlalu lama ia tak memakan makanan yang memicu alerginya. Jadi, kami memang lupa membawa obat alergi untuk berjaga-jaga," sahut Ida.

"So cereless!" Lelaki itu membaringkan tubuh Vallena di ranjang dengan tiang infus yang sudah tersedia di sisi tempat tidur.

Sofi menarik kesimpulan bahwa dia adalah dr. Hesa Surya. Tapi ia masih belum paham apa hubungan dr. Hesa dengan Ida dan Vallena. Rumah megah yang menjadi tempat praktek dokter ini juga sangat sepi, tanpa ada perawat yang mendampingi. Bahkan tanpa asisten rumah tangga.

Hesa menyuntikkan suntikan epinephrine pada lengan Vallena. Epinephrine bekerja dengan cara melemaskan otot-otot saluran pernapasan dan meningkatkan ketegangan pada pembuluh darah. Obat ini bekerja dengan cepat untuk memicu kerja jantung, meningkatkan tekanan darah, melegakan pernapasan, meredakan ruam, dan mengurangi pembengkakan di wajah, bibir, dan tenggorokan. Kemudian ia juga memasang ventilator untuk membantu Vallena bernafas lega.

Masih dengan tubuh yang lemas dan terkulai, Vallena melirik Sofi dan melempar senyum. Sofi membalas dengan menganggukkan kepala, ia menarik nafas lega. Ketegangannya perlahan memudar.

Hesa mengalihkan tatapannya ke arah Sofi, ekspresinya mengialkan sejuta pertanyaan akan identitas wanita asing yang pertama kali ditemuinya itu.

Ida menangkap kebingungan Hesa, ia pun berinisiatif mengenalkan mereka berdua.

"Hesa, ini Sofi. Dia yang antar kami tadi kemari. Dia MUA Vallena," ucapnya pada Hesa. Pandangannya berpaling pada Sofi, "Dia Hesa, dokter kepercayaanku dan Vallena. Dia juga merupakan adik kandungku. Kamu harus ingat Sofi, jika hal serupa terjadi dan aku tidak ada, Hesalah yang harus kamu hubungi. Paham?"

Sofi mengangguk.

Meskipun ia tak mengerti mengapa Ida seakan takut untuk membawa Vallena ke rumah sakit.

Hesa menjulurkan tangan dan segera disambut oleh Sofi.

"Aku Hesa," sapanya tersenyum ramah. Hesa sangat berbeda dengan saudarinya, pembawaannya ramah, tak seperti Ida yang mengerikan.

"Sofi, dokter," sahut Sofi mengenalkan diri.

Setelah berbasa-basi singkat dengan Sofi, Hesa berpaling untuk menghampiri Ida yang sedang sibuk membetulkan tatanan rambut gelombangnya di depan cermin. Wanita berusia lima puluh tiga tahun itu tergolong cantik untuk ukuran umurnya. Tubuh Ida masih langsing terjaga dengan kulit sawo matang. Kontur rahang yang tegas makin membuat wajahnya terkesan sombong dan dingin.

"Sof," panggil Vallena lirih.

"Kenapa, Vall?" Sofi membungkukkan badan agar dapat mendengar suara bisikan Vallena dengan jelas.

"Kalau aku sudah membaik, kamu antar aku pulang, ya."

Sofi mengangguk.

Beberapa jam kemudian, kondisi Vallena berangsur pulih. Ia membuka ventilatornya dan meminta Hesa untuk melepas jarum infus yang menusuk lengannya.

"Kamu mau ke mana, Valle?" tanya Ida.

"Pulang," jawab Vallena.

"Kamu masih sakit. Menginaplah dulu di sini bersamaku dan Hesa."

Vallena tak mengacuhkan ucapan Ida.

"Aku punya rumah sendiri, mom. Aku sudah membaik. Om Hesa akan memberikanku obat untuk berjaga-jaga kalau saja alergiku kumat."

Air muka Ida gusar, "Dari awal aku tidak pernah setuju kamu tinggal di apartemen sendirian. Kenapa kamu tidak mau tinggal denganku dan Hesa saja di sini? Apa rumah ini kurang besar bagimu?"

"Mom, aku sudah dewasa. I need space for myself."

Rumah pamannya, Hesa, memang sangat luas dan megah. Namun, sebesar apa pun tempat itu, tetap saja akan terasa sesak jika ada Ida bersamanya.

Vallena berjalan menuju ruang tamu menghampiri Sofi yang menunggunya. Ida buru-buru menggapai lengan anak perempuannya sebelum pergi.

"Valle, ingat. Kamu harus segera mempertimbangkan mengenai pembicaraan kita tadi! Kamu harus segera melakukan hal itu! Betapa riskannya jika tadi gadis bodoh itu sampai membawamu ke rumah sakit!"

"Ya. Aku tau," gumam Vallena singkat tanpa menatap wajah ibunya. Ia kemudian berlalu pergi bersama dengan Sofi.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.40 malam saat Sofi dan Vallena tiba di The Peak Residence.

Vallena memasuki unit dan menghamburkan diri pada sofa chesterfield beludru warna hijau di ruang tengah. Jemarinya menunjuk ke arah lemari pendingin di dapur, "Sofi, ambilkan beberapa beer di kulkas untukku. Ambil juga untukmu kalau kau mau," titahnya.

"Memang boleh kamu minum alkohol setelah kejadian tadi?"

"Sudahlah jangan ikut bawel seperti mom," sungut Vallena.

Sofi tak menyangka, seseorang yang hampir sempurna seperti Vallena Valla pun ternyata memiliki masalah. Karier yang baik sebagai model, materi yang berlimpah, fisik dan tampang yang rupawan, tak menjamin ia hidup bahagia. Setelah apa yang telah Sofi saksikan, ia makin yakin, ada hal yang ditutupi oleh Ida dan Vallena, bahkan Hesa. Dan Sofi juga yakin, jika hubungan Vallena dan ibunya tidak seharmonis dengan apa yang mereka tampakkan di pemberitaan.

Pandangan Sofi kepada Vallena berubah. Ia melihat model itu sama saja dengan dirinya dan orang biasa lain. Sofi semakin berempati, ia paham betul rasanya memiliki pemikiran yang berbeda dari keluarga, khususnya orang tua. Terikat oleh peraturan. Ingin membangkang dan menentang pun tak berdaya, sebab terbelenggu oleh kewajiban sebagai seorang anak.

Malam makin larut, Vallena menenggak berbotol-botol Heineken hingga mabuk.

"Kamu udah minum terlalu banyak. Sudah cukup, Vall. Ayo kuantar ke kamar," ujar Sofi mendekati Vallena.

Vallena menepis tangan Sofi.

Ia menyandarkan kepala ke belakang, "Kurasa Ida bukan ibu kandungku," racaunya.

"Hush. Ngomong apa sih? Kamu ini mabuk!" sergah Sofi. Dulu juga ia selalu berpikiran kalau ia adalah anak adopsi tiap kali ia dan orang tuanya bertengkar. Namun, pikiran itu hanya bentuk kekesalan saja sebagai seorang anak.

Mereka berdua saling menatap.

"Ada momen dalam ingatanku, Ida mengambilku dari sebuah tempat kumuh," ungkap Vallena.

"Vall, kamu sungguh mabuk."

Vallena mengibas tangannya, "Aku serius. Lagipula kalau dia betul ibuku, dia tak akan memaksaku melakukan hal yang tidak ingin kulakukan."

"Melakukan apa?"

"Melakukan ..." Vallena menghentikan kata-kata. Ia tiba-tiba tergelak tertawa dan bersandar pada pundak Sofi. Wanita itu sungguh mabuk.

Akibat ulah Vallena, Sofi tak bisa mengatur irama jantung yang mendadak berdentum kencang. Sofi bisa mengendus aroma citrus yang menguar dari rambut Vallena. Ia tak bisa mengendalikan perasaan aneh yang kian membuncah pada batinnya. Sebelum ini, Sofi tak pernah satu kali pun merasa sangat peduli dan tertarik kepada sesama wanita. Dahulu ia bahkan sempat mandi bersama dengan Karina, teman satu sekolahnya, tapi, tak merasakan perasaan apa pun.

Kepala Vallena beringsut mendekati leher Sofi. Meskipun tak berdandan, namun Sofi pasti menyempatkan merawat diri. Terbukti dengan raksi⁷ mawar yang menyeruak dari tubuhnya. Sekuat tenaga ia menahan desir terhadap wanita di hadapannya itu, malam ini semua seakan mubazir.


¹ Wonge asline pie? Uayu ya pasti : aslinya orangnya bagaimana? cantik ya pasti (bahasa Jawa)

² bench press : gerakan mengangkat beban dalam posisi berbaring menghadap langit-langit di atas bangku dengan kaki menginjak tanah

³ di sindang senangdung deh, nek : di sini senang deh

⁴ perucha kenyataan : perutku kenyang

⁵ syok anafilaksis : reaksi alergi yang tergolong berat. Bahkan, kondisi ini bisa mengancam nyawa seseorang yang mengalaminya karena berkembang sangat cepat

⁶ anthihistamin : obat-obatan yang digunakan untuk mengobati rinitis alergi dan alergi lainnya

⁷ raksi : wangi/harum, aroma, daya tarik

----

Holla, Folks

Semoga selalu sehat dan berbahagia, ya ♡

Rahasia apa yang kira² disembunyikan mamak Ida, Vallena, dan Hesa? 🤔

Nantikan di bab selanjutnya.

Salam sayang ♡♡♡








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro