Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 6: Kami Diserang Lagi.

KAMI SEGERA keluar dari taksi setelah Mery mengatakan bahwa Pak Sopir sudah tewas di tempat. Sebenarnya, aku agak enggak tega meninggalkan Pak Sopir yang sudah meregang nyawa. Karena kami, manusia enggak bersalah itu malah terluka dan mati. Tapi tampaknya Cae dan Mery enggak terlalu memedulikannya.

Enggak jauh dari tempat kami, berdiri tiga golem yang kuperkiran tingginya dua meter. Memang enggak sebesar dan sebanyak tadi pagi, tapi sepertinya yang ini jauh lebih kuat.

"Hanya golem? Enggak ada si Bangsa Tanah itu?" tanya Cae dengan alis tertaut.

"Arreuz maksudmu?"

"Ya ... siapa lagi Bangsa Tanah yang suka mengganggu kita?"

"Oh, benar juga."

"Dia cuma memanggil golem, eh? Pengecut sekali."

Perkataan Cae membuatku gemas sampai tanganku refleks menjitak kepalanya.

"Kamu mau kafe kita hancur lagi? Ini sudah malam, aku enggak mau bertarung," ucapku galak.

Sementara Cae meringis dan mengusap-usap kepalanya, Mery mengangguk mengiakan.

"Kalian enggak perlu bertarung. Biar aku yang mengurus mereka."

Iris safir Mery menatap lurus ke depan, tepatnya ke tempat para golem berdiri. Tapi ini sedikit aneh. Kenapa golem-golem itu hanya diam saja dan enggak menyerang lagi? Apa Arreuz memerintahkan mereka untuk diam?

"Oh, baguslah. Merielle sendiri juga sudah cukup."

Aku makin enggak mengerti. Tapi sepertinya, obrolan mereka berhubungan dengan kemampuan Mery. Sementara itu, si gadis dari Bangsa Awan enggak merespons ucapan Cae. Kulihat tatapannya seakan kosong.

"Mer? Merielle?" Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, tapi sama saja. Dia enggak merespons sedikit pun. 

"Enggak usah diganggu. Mungkin itu cara dia menggunakan kekuatannya." Setelah berkata demikian, Cae mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya, lantas mengemut permen itu dengan santai.

Aku enggak bertanya lebih lanjut karena tiba-tiba, tiga golem itu saling menyerang, tinju-meninju hingga ketiganya hancur. Kejadian itu berlangsung cepat sampai aku enggak sempat bereaksi. Bersamaan dengan selesainya aksi tinju-meninju para golem, Mery tampaknya sudah kembali seperti semula. Malahan, dia memamerkan cengiran.

"Sudah selesai. Kita aman!"

Aku menggeleng sembari menepuk kening. Sepertinya ... aku sudah bisa menduga apa kemampuannya.

Mery kemudian melangkah mendekati taksi. Aku refleks menutup hidung karena bau amis menyengat yang seketika tercium saat gadis itu membuka pintu mobil.

"Oh, ya, Cae. Bagaimana keadaan di kafe? Aman?" tanya Mery sambil mengeluarkan belanjaan dari bagasi.

Mata Cae sekilas tampak bersinar seperti senter. Apalagi irisnya yang berwarna kebiruan. Cantik. Kemudian, ia menoleh pada Mery. "Aman. Beberapa golem juga sempat menyerang kafe, tapi Tsunarin dan Acelio sudah mengatasinya."

Mery mengembuskan napas lega disertai senyum tipis. "Syukurlah."

Aku menyusup sedikit ke dalam mobil untuk melihat kondisi Pak Sopir dan baru menyadari wajah manusia itu sudah nyaris hancur. Kepala dan wajahnya berlumur darah yang menyebabkan bau amis menguar. Karena enggak tahan dengan baunya, aku sedikit menjauhkan diri dari mobil.

"Terus ... bagaimana dengan manusia ini? Besok pasti bakal ramai berita tentang kematian seorang sopir taksi. Polisi dan media pasti juga akan mencari tahu dalang di balik kematiannya." Jari telunjukku terarah pada jasad seorang pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi. "Mereka pasti enggak percaya bahwa yang membunuh manusia ini adalah golem."

"Cuma manusia gila yang akan percaya," ketus Cae.

"Enggak perlu khawatir, Chisa. Enggak akan ada manusia yang ingat ataupun tahu tentang kejadian ini." Mery berkata dengan senyum mencurigakan. "Selain kamu, tentunya."

Enggak tau kenapa rasanya aku jadi mulai meragukannya. Dia mungkin memang terlihat lembut, tapi pembawaannya yang tenang dan seperti pasif-agresif justru membuatnya tampak mencurigakan di mataku. Aku enggak bisa mempercayai orang yang kayak begini.

"Cae—"

Aku berniat bertanya pada Cae, tapi lelaki maniak gim itu justru mengabaikanku.

"Kuperingatkan, Amber. Enggak usah terlalu kepo. Nanti kau akan menyesal."

Aku meneguk saliva. Mereka benar-benar tampak enggak pedulian, bahkan saat ada mayat seseorang di dekat kami pun, mereka tetap enggak peduli.

Sekarang, aku mengerti kenapa Clouchi menyebut mereka sebagai 'Pengendara Bangsa Awan yang Jatuh'. Clouchi bilang, umumnya Para Pengendara Bangsa Awan memiliki iktikad baik dan tujuan utama mereka adalah membantu manusia. Mereka sedikit mirip dengan malaikat, tapi di satu sisi, sangat berbeda.

Dan kutebak, karena sifat dan perilaku mereka yang 'melenceng' dari semestinya, mereka dijatuhi hukuman. Selama satu minggu aku mengenal (meski baru kali ini aku berinteraksi dengan mereka), aku sudah bisa menebak alasan mereka dijatuhi hukuman.

Misalnya saja, Tsuna yang emosian dan enggak sabaran, juga tipe-tipe yang senang membuat kerusuhan. Lalu Cae yang amat pemalas dan cuek. Sedangkan untuk Mery dan Ace, di mataku mereka masih abu-abu, terutama Ace. Aku lihat dia baik-baik saja dan enggak bermasalah. Justru Ace-lah figur kakak yang paling dewasa di sini. Tapi ya, siapa yang tahu?

"Chisa, bisa tolong panggil Clouchi ke sini?" pinta Mery tiba-tiba setelah mengutak-atik taksi. Mayat Pak Sopir sudah raib dari tempatnya. Entah apa yang dilakukan Mery.

"Buat apa?" Aku bertanya balik.

"Kamu dan Cae kembali saja duluan. Aku yang akan mengurus mayat manusia ini."

"Kamu yakin?"

Mery mengangguk.

"Oke."

Memanggil Clouchi, ya? Aku enggak tahu caranya, tapi akan aku coba.

Baiklah. Clou—

"AAAKHH!"

Aku refleks memekik ketika kepalaku mendadak seperti dihantam sesuatu. Ini rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan 'Chisa' sebelumnya saat berlari menghindari tanah yang amblas kemarin.

Aku sadar kalau Mery dan Cae seperti sedang meneriakiku, tapi aku enggak bisa mendengarnya begitu jelas. Pandanganku mulai memburam dan menggelap. Detik-detik sebelum aku enggak sadarkan diri lagi, aku akhirnya tahu, bahwa ini adalah tanda-tanda kalau 'aku' akan berganti kepribadian. Lalu enggak lama kemudian, kesadaranku hilang.

***

"Halo lagi, Chisa."

Aku spontan bangkit dari duduk saat suara itu terdengar, sedangkan tanganku meraba-raba sesuatu yang kududuki.

Oke, siapa lagi kalau bukan Clouchi?

"Clou?" Aku memanggil dengan suara serak. Ah, kepalaku masih pusing.

"Iya, Chisa?"

Jawaban Clouchi bikin aku tersadar kalau kami lagi terbang jauh di atas daratan. Cuma gelap dan awan tipis yang bisa aku lihat di sekelilingku.

Aku enggak ingat kalau ini sudah malam. 'Dia' mengambil alih tubuhku cukup lama juga ternyata. Aku benar-benar enggak terbiasa.

"Kita mau ke mana?" Akhirnya aku bertanya.

"Ke rumah kakekmu. Chi perlu beristirahat," balas Clouchi dengan nada riang kayak biasa.

"Ooh ...," Aku menunduk, "Clou, Mery dan Cae di mana?"

"Chi, tenang saja. Mery dan Cae sedang mengurus mayat manusia itu."

"Hah?" Aku mengernyit. "Manusia ap—oh ...."

Aku mengangguk begitu ingat.

Benar. Tadi Pak Sopir yang mengemudikan taksi yang kami tumpangi mati. Tapi, ada satu hal yang mengganjal di benakku.

"Mayat Pak Sopir ... mereka apakah?"

"Chi tidak tahu."

Awan yang kunaiki ini tiba-tiba bergerak naik-turun hingga aku refleks menggenggam Clouchi erat-erat.

"Chisa, boleh Chi peringatkan satu hal?"

"Hm? Apa itu?"

"Jangan terlibat dengan 'mereka' terlalu dalam. Chisa mungkin akan menyesal. Dan kalau ada hal buruk yang terjadi, jangan mempercayakan 'mereka'."

Aku enggak ngerti apa maksud kata-kata Clouchi. Tapi entah kenapa, aku malah mengangguk.

"Baik."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro