Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 5: Persiapan Membangun Kafe.

SEPERTINYA MEREKA benar-benar bisa membangun kafe dalam sehari.

Aku sedikit merasa bersalah sudah meremehkan mereka. Clouchi memang pernah bilang padaku bahwa Bangsa Awan, terutama Pengendara, dianugerahi kemampuan khusus untuk menunjang pekerjaannya. Contohnya saja Cae. Tsuna bilang lelaki itu seorang visioner. Berdasarkan yang aku tahu, visioner adalah sesuatu yang berhubungan dengan pandangan, khususnya masa depan. Kutebak kemampuan Cae ada di mata yang dapat melihat masa depan.

Lalu ada Tsuna. Gadis berisik itu seorang creator atau artificer. Tsuna bilang, dia bisa membuat sesuatu persis seperti aslinya, dengan syarat pernah menyentuh dan menggunakan sesuatu tersebut. Dipikir-pikir, kemampuan ini lebih cocok disebut peniru. Tapi, kemampuannya amat berguna dalam proses pembangunan kafe. Tsuna menciptakan bahan, alat, serta peralatan yang dibutuhkan. Juga menciptakan berbagai interior kafe. Sementara itu, Ace dengan fisiknya yang luar biasa, menjadi kuli bangunan—maaf, Ace.

Kemudian, Mery ... jujur saja, aku belum mengetahui apa kemampuannya. Yang lainnya pun enggak ada yang memberi tahu. Tapi Mery (dan aku) juga turut membantu Tsuna dan Ace dalam membangun kafe, sedangkan Cae? Lelaki pemalas itu tadinya hanya mojok bermain gim sebelum ia diceramahi habis-habisan oleh Ace untuk ikut membantu. Aku juga pengin memarahinya, tapi untungnya sudah diwakilkan oleh Ace. Pada akhirnya, dia ikut membantuku dan Mery menata dan mendesain kafe.

Sembari menunggu Ace dan Tsuna menyelesaikan membangun dapur dan bagian belakang kafe, kami bertiga berbelanja kebutuhan bahan makanan dan minuman ke pusat kota.

"Malas ... mau tidur ...."

Di tengah perjalanan, Cae yang tengah mengemut lolipop menggerutu. Kedua tangannya dilipat di belakang kepala.

"Cae, enggak boleh gitu ...," tegur Mery.

"Tahu. Kamu itu kayak enggak ada sumbangsihnya," timpalku kesal.

Cae balik menatapku dengan wajah datar. "Hei, aku sudah membantu menata interior kafe. Apa itu enggak cukup?"

"Iya." Aku menjawab singkat, lalu mengalihkan pandangan ke depan. Cae enggak membalas lagi, hanya mendumal pelan yang sebenarnya masih bisa kudengar, tapi aku terlalu malas buat mendengarnya, jadi kuabaikan saja.

"Kota ini ramai juga ya menjelang malam," komentar Mery tiba-tiba.

Aku mengangguk. "Iya, aku juga baru tahu."

Cae dan Mery sontak menoleh kepadaku. "Serius?"

"Serius apanya?"

"Kau baru tahu? Bukannya kau penduduk kota ini?" tanya Cae menyelidik. Baru kali ini aku lihat dia seperti tertarik.

"Aku baru pindah ke sini awal tahun. Sebelumnya aku tinggal bersama mendiang keluargaku di desa." Jawabanku itu justru membuat mereka berdua terdiam. Mery menunduk, sedangkan Cae melihat ke arah lain.

"Uhm ... kalau boleh tahu, apa alasan Chisa pindah ke kota ini?" tanya Mery dengan nada pelan, nyaris berbisik.

Sekarang, giliran aku yang terdiam. Aku bisa saja memberi tahu mereka, tapi 'Chisa' sepertinya enggak akan senang.

"Eh, maaf!" Mery berseru seperti menyadari sesuatu. "Harusnya aku sadar, itu pertanyaan sensitif dan privasi. Maaf, ya, Chisa."

Mery membungkukkan badannya sedikit. Ah ... kami jadi pusat perhatian orang-orang.

Sebelum dia berbuat jauh lagi yang menyebabkan kesalahpahaman, aku mengibas-ngibaskan tangan kananku di depan wajah. "Enggak usah dipikirkan. Nanti kalian juga tahu sendiri."

Cae mengangkat alis. "Haruskah aku berkata, 'Haah? Kenapa begitu? Sekarang, kan, kita rekan!' begitu?"

Aku tersenyum masam. Haha ... dia meniru ucapan 'Chisa'. Secara enggak langsung, aku jadi seperti menelan ludah yang sudah kubuang sendiri, meski literal bukan yang bilang.

"Enggak ada yang nyuruh kamu bilang begitu kok," balasku sedikit jengkel.

"Oh, bagus. Kau jadi sedikit lebih sarkastik dan blak-blakan ya ... Chisa?" Cae memicing kepadaku. "Atau perlu kupanggil ... 'Amber'?"

Kalimat terakhir yang diucapkan Cae membuat jantungku seketika terasa ingin copot. Apa aku ... enggak salah dengar? Dia sadar?
Aku enggak menyangka bakal ketahuan sama Cae.

"... kamu tahu?" tanyaku berbisik.

Cae kembali memandang ke depan dan melipat kedua tangannya di belakang kepala.

"Tentu saja. Kau pikir kami enggak menyadari perubahan sifatmu?" balas Cae, lalu menguap lebar.

"Tunggu—'kami'?"

Aku menghentikan langkah, membuatnya keduanya juga ikut berhenti.

"Jadi ... kamu juga sadar, Mery?" Iris amber-ku menatap Mery intens.

"Iya ...," jawab Mery. Lagi-lagi nyaris berbisik. "Sebenarnya, kami semua menyadarinya."

'Kami semua'? Bukannya itu berarti Tsuna dan Ace juga tahu? Akhh ... ya sudahlah!

"Ugh ...." Aku menepuk kening, lantas menatap mereka berdua. "Sepertinya enggak bagus membicarakan hal ini di sini. Lebih baik kita belanja bahan-bahan dulu sebelum malam," kataku, kemudian berjalan mendahului mereka menuju supermarket. Aku enggak melihat ke belakang sedikitpun, jadi enggak tahu bagaimana reaksi mereka. Mungkin, mereka juga menyadari kalau aku mengalihkan perhatian dari topik ini.

Sesampainya kami di supermarket langganan Kakek, kami memencar untuk mencari bahan-bahan dan kebutuhan. Bagianku adalah mencari bahan makanan, Cae mencari bahan untuk membuat desserts, dan Mery mencari bahan membuat minuman.

Enggak butuh waktu lama bagiku buat menemukan bahan-bahan yang kucari. Meski berada di kota yang enggak terlalu besar dan berada di dekat laut, supermarket ini terbilang cukup lengkap. Aku jadi ingat dulu Kakek sering mengajakku main dan berbelanja di supermarket ini. Dipikir-pikir, ternyata supermarket ini sudah ada sejak lama.

"Kalian sudah menemukan semua bahan-bahannya?" tanyaku saat berpapasan dengan Mery dan Cae.

Cae mengangguk seraya mengangkat keranjang berwarna biru yang penuh.

"Aku sudah," jawab Mery. Kedua tangannya menggenggam keranjang yang hampir penuh.

"Ayo."

Aku baru saja hendak melangkah menuju kasir. Namun, langkahku terhenti karena mengingat sesuatu.

"Ada apa, Chisa?" tanya Mery.

Aku menoleh ke belakang. "Aku lupa ... uangnya. Aku enggak punya uang. Lalu, seingatku mereka juga enggak ngasih kita uang."

Cae mendengkus. "Kukira apa."

"Tsuna sudah ngasih uangnya ke aku kok, Chisa."

Ucapan Mery membuat mengembuskan napas lega. Tapi, lagi-lagi aku tersadar. "Tunggu, Tsuna? Tsuna yang menciptakan uang itu? Berarti itu bukan uang as—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Cae tiba-tiba membungkam mulutku dengan tangan kanannya yang lengang. Aku baru mau berontak, tapi kemudian sadar bahwa aku nyaris salah bicara.

Setelah Cae menjauhkan tangannya, aku menepuk mulutku dua kali.

Aduh, Amber bodoh! Bisa-bisanya hampir keceplosan di tempat umum begini!

Mery tersenyum tipis. "Lain kali hati-hati, Chisa."

Aku meringis. "Iya, maaf."

"Ayo ke kasir." Mery tampak enggak menghiraukan ucapanku. Dia melangkah duluan, diikuti aku dan Cae.

Setelah membayar, kami memesan taksi karena kesulitan membawa lima kantong plastik besar sampai ke tepi tebing. Baik Cae maupun Mery sebenarnya bisa membawa belanjaan kami dengan awan. Tapi, enggak mungkin mereka mengendarai awan di sini, kan?

Selama sepuluh menit kami berada di taksi yang hening karena enggak ada satu pun dari kami yang berbicar, akhirnya Cae angkat suara.

"Amber."

Aku enggak berniat membalas panggilannya, tapi entah kenapa mulutku bergerak sendiri untuk menjawab.

"Apa?"

"Sejak kapan dan berapa kali?"

Aku mengernyit. "Apanya?"

"Kau mengambil alih raga Chisa."

"Hah?" Aku mendelik. Mulutku bergerak tanpa suara seakan mengatakan, "Kamu serius mau membahas itu di sini?"

"Enggak apa-apa, Chisa. Kamu enggak perlu khawatir karena ada sopir. Pak Sopir pasti bisa menjaga rahasia kami. Betul, kan, Pak?" Yang membalas pertanyaanku malah Mery.

Anehnya, Pak Sopir mengangguk mengiakan. Si gadis berambut magenta tersenyum simpul.

Senyum itu ... entah kenapa buatku terlihat mengerikan. Apalagi nada bicara Mery yang terdengar seperti ... orang manipulatif.

"Jadi?" Cae menyeletuk gemas. Tampaknya ia menanti jawabanku.

Aku sebenarnya enggak terlalu berniat menjawab. Tapi, karena sepertinya hal ini bakal terbongkar juga nantinya, ya sudah sekalian saja kuberi tahu.

"Aku pertama kali mengambil alih raga Chisa saat 'kami' hampir mati, tapi waktu itu hanya sebentar. Lalu, ini kedua kali aku mengambil alih raganya. Tepatnya saat kalian berlari menghindari tanah yang amblas tadi, Chisa mendadak enggak sadarkan diri saat Clouchi memanggilnya lewat pikiran. Dan saat aku bangun, aku menjadi 'Amber'," jelasku panjang lebar.

Cae merespons dengan 'oh', sementara Mery mengangguk-angguk.

Aku sedikit merengut. Cuma itu respons kalian? Tapi yah, aku mau berharap apa, sih?

Pada akhirnya, kami terdiam lagi selama sisa perjalanan. Sampai akhirnya kami sudah enggak jauh dari tebing, aku bersuara.

"Oh, sebentar lagi kita sam—"

"MENUNDUK!"

Lagi-lagi perkataanku diinterupsi oleh Cae. Tapi, aku enggak punya waktu buat memprotes karena tubuhku seperti refleks untuk menunduk, begitu juga dengan Cae dan Mery.

Aku terbeliak begitu menyadari beberapa bongkah batu memelesat ke arah kami. Suara kaca pecah terdengar. Kami sempat menghindar, tapi enggak dengan Pak Sopir. Salah satu bongkahan batu mengenai kepalanya hingga berlumuran darah. Aku tebak ia tewas di tempat karena taksi yang kami naiki seketika berhenti.

Bongkahan batu sudah enggak ada lagi, hanya tersisa batu-batu yang hancur dan berserakan di dalam mobil. Aku dan Cae sontak mendesis begitu menyadari pelaku di balik semua ini.

"Bangsa Tanah ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro