Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch. 1: Sebelum Kafe Dibuka.

"CHISA! BAGAIMANA persiapannya?"

Aku yang baru ingin mengambil salah satu balok dengan hati-hati, terlonjak karena suara menggelegar yang sepertinya berasal dari dapur. Tidak hanya aku, Tsuna, Mery, dan Cae juga sama kagetnya sampai-sampai Tsuna memukul meja hingga balok yang sudah kami susun tinggi-tinggi terjatuh berserakan. Bahkan Cae yang sedang asyik mengemut permen sambil bermain nintendo sampai tersedak dan menjatuhkan nintendo-nya ke lantai.

"Uhuk! Uhuk! Air!" Cae sontak bangkit berdiri sambil terbatuk-batuk. Ia ke sana kemari kelabakan mencari minum. Hal itu membuatku dan Tsuna terbahak, sedangkan Mery hanya tertawa kecil.

"Mau minum?" Gadis berambut magenta yang terurai hingga punggung itu menyodorkan secangkir kopi kepada Cae.

Cae tidak langsung menjawab. Mungkin lagi berpikir sejenak. Rautnya yang terlihat tersiksa malah membuatku dan Tsuna makin menyemburkan tawa.

Aku bisa melihat Cae menatap secangkir kopi itu ragu. Mery yang tampaknya mengerti maksud tatapan Cae menambahkan, "Tenang, belum kuminum."

Tanpa babibu, Cae langsung mengambil kopi itu dan menegaknya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Wajah Cae seketika menjadi pucat pasi. Aku mencoba menahan tawa.

"PAHIT SEKALI! INI APA?"

"Eh? Itu kopi." Mery mengerjap. "Kopi espreso."

"Kopi ...." Cae berbisik lirih dengan tangan kiri yang menutupi sebagian wajahnya. Dia menghela napas sebelum melanjutkan, "Merielle ... kau tahu, kan ... aku tidak bisa minum atau makan yang pahit-pahit?"

Mery menelengkan kepala ke kanan. "Oh, iya? Aku tidak ingat. Lagi pula kamu yang paling tahu tidak bisa minum pahit, kan. Kenapa terima kopi dariku?" balas Mery dengan tatapan polos.

"Aku tidak tahu itu kopi." Cae membalas dengan nada sengit.

"Warnanya hitam," timpal Mery.

Kami terdiam, sebelum Tsuna bersuara.

"WAHAHAHA! BENAR JUGA!" Tsuna lagi-lagi tertawa sambil memukul-mukul meja. Sepertinya gadis mungil ini senang sekali melihat rekannya menderita.

Decakan pelan lolos dari bibir Cae. Tsuna atau Mery mungkin tidak mendengarnya karena Cae ada tepat di sebelahku. Aku tahu lelaki berkacamata dengan bingkai bulat ini lagi kesal. Mungkin karena Ace yang berteriak hingga mengagetkannya; Mery yang memberinya kopi pahit; juga Tsuna yang menertawakan penderitaannya.

Sial nian nasib Cae.

Aku yang semula menggembungkan pipi, langsung mengempiskannya saat tatapan tajam terarah padaku. Dan Tsuna. Kelihatannya Cae menyadari aku sedang menahan tawa. Yeah, setidaknya tidak separah Tsuna yang sedari tadi tidak bisa berhenti tertawa.

Cae kemudian mengembuskan napas yang terdengar lelah sembari bersedekap. "Merielle, lain kali, jangan sekali-kali memberiku kopi lagi. Tsunarin, berhentilah tertawa. Dan Chisa, kau juga jangan tertawa. Lalu, bukankah tadi Ace bertanya kepadamu?"

Perkataan Cae membuat kami diam, sementara lelaki itu kembali duduk kembali di bangkunya setelah mengambil nintendo miliknya yang terjatuh di lantai.

"Ya, oke. Tsuna diam, nih." Meski bilang begitu, si gadis bertubuh mungil ini masih menggembungkan pipi.

Mery mengangguk singkat. "Baik, akan kuingat."

Aku mengerjap dan bertanya, "Oh, iya ya? Aku hampir lupa tadi Ace berteriak. Tapi, orangnya sudah tidak bersuara lagi, tuh?"

"Paling dia lagi sibuk masak atau beres-beres dapur," sahut Tsuna. Kakinya bergerak-gerak tidak bisa diam, sedangkan kedua tangannya dilipat di belakang kepala.

"Benar, kan, Cae?" Tsuna bertanya seraya menoleh pada Cae yang memandang lurus pintu dapur.

"Iya. Dia sedang menata alat-alat makan, dari sejak berteriak kepada Chisa," jawab Cae, lalu kembali mengalihkan atensi pada gimnya.

Tsuna berdecak. "Dasar si perfeksionis gila."

Mengabaikan Tsuna yang menggerutu, aku melontarkan pertanyaan lagi yang ada di benakku, "Kok tahu?"

"Cae itu seorang visioner." Tsuna menggantikan Cae menjawab.

Aku mengernyit. "Visioner? Kemampuan apa itu? Aku baru dengar."

"Visioner itu—"

"Tidak usah dijelaskan," serobot Cae dengan delikan tajam.

"Kenapa?" Aku dan Tsuna serempak bersuara.

"Tidak penting."

Baik, dua kata itu cukup untuk membuatku tersinggung.

"Haah? Tidak penting bagaimana? Sekarang, kan, kita rekan!" protesku.

"Nanti juga tahu sendiri." Cae mengangkat bahu. Pandangannya tidak lepas dari gim yang lagi dia mainkan.

Aku mendengkus kasar, tidak ingin memperdebatkan hal ini lebih jauh lagi. Lalu, keheningan melanda. Mery kembali melanjutkan membaca buku. Aku ingin main balok susun lagi, tapi kelihatannya Tsuna sudah bosan.

"Tsuna bosan. Kita buka jam berapa?" celetuknya sambil memilin rambut dan menyandarkan kepala di meja.

"Dua jam lagi, Tsuna. Sabar, ya." Satu tangan Mery yang lengang mengusap-usap puncak kepala gadis berambut twintail sebahu itu.

"Kalau Mery yang bilang, Tsuna sabar kok!"

Mery tersenyum simpul. Ketika dia baru ingin mengangkat tangannya, kedua tangan Tsuna menangkap pergelangan tangan Mery.

"Tsuna mau diusap-usap sama Mery lagi!"

"Dasar manja." Celetukan Cae yang ternyata menyimak membuat kami bertiga serempak menoleh kepadanya.

"Dih, bilang saja iri karena tidak bisa diperlakukan begini juga sama Mery."

"Pfft." Cibiran Tsuna membuatku dan Mery tertawa kecil.

"Siapa yang iri, kutanya?" Cae merespons dengan nada jengkel, tapi lagi-lagi dia masih fokus pada gimnya.

"Kau." Jari telunjuk Tsuna terarah pada wajah Cae.

"No. Mending iri sama Chisa yang bisa mendapatkan Clouchi."

Aku terbatuk. "Aku tidak mengerti, tapi terima kasih," kataku, lalu menunjukkan cengiran.

"Aku tidak memuji, Bodoh. Dasar aneh."

Aku mengernyit. Tidak menduga lelaki itu mendadak menghentikan aktivitasnya dan beralih menatapku dengan alis tertaut. Bikin kesal saja.

Tsuna yang sudah mengangkat kepala menyeletuk, "Hihi, tapi Cae benar. Chisa itu unik, ya? Tsuna juga iri pada Chisa karena bisa mendapatkan Clouchi."

Aku yakin rautku tambah terlihat bingung.

"Aku tidak mengerti. Kalian bicara apa, sih? Memangnya ada apa dengan Clouchi? Bukannya Clouchi awan kalian juga?"

Mereka bertiga membisu dan saling pandang. Lalu, ekor mata Tsuna melirikku. "Ternyata Chisa belum mengerti juga, ya?"

"Iya, makanya tolong jelaskan." Aku bersedekap.

"Jadi begini ... Clouchi itu awan istimewa. Bisa dibilang, Clouchi adalah salah satu dari sedikit awan yang dipilih oleh Dewa. Awan-awan terpilih ini dapat memilih sendiri pengendara yang mereka inginkan, bahkan jika pengendara yang dipilihnya bukan berasal dari Bangsa Awan, seperti Chisa. Selain itu, pengendara yang dipilih oleh mereka, akan diberikan kekuatan tertentu untuk membantu si pengendara dalam menjalankan tugasnya. Begitcu."

Aku terdiam cukup lama, mencoba memproses kata-kata Tsuna. Namun, bukannya mengerti, penjelasan yang cukup panjang lebar dari gadis mungil itu malah makin membuatku memutar otak.

"Kalau begitu, itu berarti aku pengendara, dong?"

Tsuna menjentikkan jari. "Harusnya begitu."

"Tapi ...?"

"Tapi, Pemimpin serta Clouchi sendiri yang memintamu untuk membantu kami. Jadi, status Chisa memang seorang pengendara terpilih, tapi Chisa tidak perlu melakukan tugas selayaknya Pengendara Bangsa Awan pada umumnya."

"Begitu." Aku mengangguk-angguk, walaupun masih sedikit tidak paham.

"Tapi, bukannya kami sudah pernah memberi tahu Chisa di awal, ya?" Tsuna berpose seperti sedang berpikir.

"Hah?" Keningku mengerut lagi. "Tidak, tuh? Kamu saja baru memberitahuku sekarang."

"Oh, masa?" Tsuna memiringkan kepala ke kiri, lantas menoleh pada Mery dan Cae. "Memangnya kita belum memberi tahu Chisa?"

Cae tidak menjawab, hanya mengangguk singkat.

"Seingatku, memang belum," respons Mery.

"Ya, sudah. Sekarang sudah tahu, kan?" Cengiran lebar Tsuna menbuatku menghela napas. Rasanya berbicara dengan Tsuna sama saja seperti Cae. Sama-sama menyebalkan.

"By the way, Ace masih di dapur?" Aku menoleh pada Cae, mencoba mengalihkan topik. Namun, bukannya menjawab, Cae malah bangkit berdiri dan menghadap dapur. Tidak tahu kenapa, aku, Tsuna, dan Mery malah ikut berdiri.

"Ada mereka," bisiknya lirih, tapi masih dapat kudengar. Ekor mata Cae melirik ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu. "Sudah kuduga, mereka akan datang."

"Mereka siap—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Cae sudah beranjak lebih dahulu dan berlari menuju dapur.

"—pa ... ck." Aku berdecak. Ingin mempermasalahkan ketidakjelasan Cae dalam bertindak, tapi rasanya ini bukan saatnya.

"Sepertinya Cae melihat kehadiran mereka," kata Mery yang sudah berada selangkah di depanku.

Tsuna ikut mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sorot matanya tidak kalah tajam dari Cae.

Aku baru ingin bertanya lagi andai Tsuna tak berucap, "Chisa, Mery, bersiaplah."

"Siap untuk apa?"

Berlainan denganku yang keheranan, Mery mengangguk. Sorot matanya juga ikut waswas.

"Mereka datang. Bangsa Tanah."

***

Halo, Rav di sini! Bagaimana dengan chapter pertamanya?

Oh, iya. Chapter 1 ini aku sedikit revisi. Itu aja, sih. Dadah~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro