2
VOTE VOTE VOTE
KOMEN KOMEN KOMEN (THANKS:))
Happy reading!!!
-----------------------------
Jantungku berpacu sangat cepat. Sialan. Kenapa sih semuanya selalu terasa sulit buatku? Mau kabur saja susah. Mana sekarang aku sedang mengandung lagi. Kuelus-elus terus perutku. Tak kusangka air mataku menetes begitu saja. Aku bersembunyi sebentar di sebuah toilet dalam warung.
Untung saja, tadi tenagaku untuk berlari cukup kencang, sehingga mereka semua ketinggalan jauh. Memang ya setiap manusia kalau berhubungan dengan uang, matanya pasti langsung membentuk dollar. Seperti Mbak Olin dan Ujang tadi. Fak!
Aku bilang saja tadi ke Ibu Warung bahwa aku kebelet pipis dan dia mengizinkan tanpa banyak bertanya. Aku sekarang benar-benar bingung. Kuedarkan pandanganku. Namanya juga warung pinggir jalan, pasti suasana kamar mandinya sangat kumuh. Dindingnya hanya terdiri dari semen dan pintunya menggunakan kain. God!
Apalagi klosetnya jongkok! No! Ya memang sih semenjak aku kabur dari rumah, aku sudah terbiasa dengan kloset jongkok. Tapi tidak saat ini. Aku sedang butuh duduk untuk berpikir. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku keluar sekarang dari toilet ini, pasti aku akan tertangkap oleh Mbak Olin dan Ibu-ibu rese yang tadi.
Mama ... tolong, Usya hiks. Kuusap air mataku berkali-kali sambil berdiri. Tiba-tiba lampu menyala di kepalaku. Ah! Aku ada ide. Apa aku telpon Marel ya? Hmmm sedang apa coba anak itu?
Segera aku menelpon Marel. Ya kebetulan aku menghapal nomor anak itu di luar kepala. Kutunggu beberapa kali namun, tak ada jawaban. Aku pun menyerah. Sepertinya Marel benar-benar sudah tak membutuhkan diriku. Kembali kumatikan ponselku. Hmm apa mungkin Marel tidak mengangkatnya karena terakhir kali kami telponan, aku mengisinya dengan kemarahanku? Ya aku memarahinya karena pasti dia bersekongkol dengan Shagam dan Zian untuk menyetubuhiku. Ditambah aku meminta padanya agar tidak usah menghubungiku lagi.
Argh! Kuacak-acak rambutku kesal. Aku dalam posisi berdiri bingung. Ya Tuhan, aku mesti apa? Satu-satunya yang bisa menolongku saat ini adalah Marel. Kurasa tak ada cara lain. Lebih baik aku meng-sms-nya saja. Mungkin saja dia akan segera menghubungiku.
Rel, sialan! Aku beneran hamil. Positif, Rel! Positif! Aaaaaa!
Oke. Send!
Kupejamkan mataku dan kuatur napasku agar tenang. Ayo, Usya. Berpikir berpikir. Naluriu memberi semangat. Aku tak bisa seperti ini dan terus bersembunyi di kamar mandi kumuh dan jelek ini. Tapi aku benar-benar takut kalau ketahuan oleh manusia mata duitan itu. Kugaruk-garuk rambutku yang tak gatal ini untuk meredam kepanikanku.
"Neng, masih lama nggak di dalamnya?" Itu suara ibu-ibu warteg!
Ya Allah ya Allah, bagaimana ini? Sudahlah. Aku pasrah saja. Aku tak bisa berbuat banyak. Lebih baik aku keluar dari kamar mandi ini dan nanti pelan-pelan aku mengintip dari balik gorden warteg. Ya warteg ini memiliki gorden dibalik kaca yang bertuliskan nama wartegnya. Kembali aku hembuskan napasku kemudian memegang dadaku. Berdoa saja, Usya. Semoga semuanya baik-baik saja. Kuputuskan untuk keluar dari kamar mandi ini. Langsung tampak senyum cerah dari ibu warteg ini yang terlihat menungguku.
"Neng, nggak apa-apa?" tanya ibu itu ramah. Ia mengenakan daster batik merah.
Kupasang senyumku yang paling manis sambil membetulkan posisi kacamataku. "Nggak apa-apa, Bu. Saya tadi kebelet aja," bohongku. Padahal perutku tidak kebelet sama sekali.
Ibu itu menghela napas lega. "Ibu pikir, Neng, kenapa-kenapa. Soalnya wajahnya pucat banget sih. Neng, benar nggak apa-apa?"
Melihat wajah Ibu ini yang terlihat sangat cemas dengan keadaanku, tiba-tiba saja terbesit ide nakalku. Ehmmm, aku tidak tahu apakah ini benar atau salah, tapi aku benar-benar butuh uang. Mungkinkah ia mau membantuku? Kurundukkan sejenak wajahku. Aku harus memasang wajah sedihku. Bagaimana pun caranya aku harus pergi dari Jakarta. Aku tidak mau ketahuan orang lagi. Nanti uangnya akan kumanfaatkan untuk benar-benar mempermak wajahku.
Usya, ayo buat matamu berkaca-kaca. Sambil merunduk, di saat itu aku mengingat momen-momen sedihku. Ya putaran persahabatanku dengan Marel yang sudah pupus jelas saja menjadi penyebab besar air mataku cepat mengalir. Kali ini sedihku bukanlah kebohongan. Aku benar-benar sedih ....
"Neng, neng kenapa?" tanya ibu itu panik dan langsung menyentuh pundakku.
Tangisku yang tadinya pelan mendadak pecah. Air mataku berderai dengan derasnya. Niatku yang tadinya bohong kok malah jadi beneran seperti ini ya?
"Bu, saya sendirian ...." Di tengah isakku, aku berusaha mengucapkan beberapa kata.
Ibu itu kini malah menarikku ke dalam dekapannya. "Loh, Neng, sendirian gimana? Ayo cerita sama ibu ...."
"Saya ... saya nggak punya siapa-siapa, Bu ...." Tangisku malah semakin hebat. Bahkan kini terkesan meraung-raung. Aku tak peduli pada mata yang memandangku bingung.
"Neng, jangan nangis terus. Nanti pelanggan, Ibu, pada kabur ...."
Astaga, aku lupa bahwa saat ini aku masih berada di warteg. Oke, aku memang sering ke warteg, tapi menangis dalam pelukan seorang ibu penjaga warteg tak pernah mampir dalam pikiranku. Segera kulepaskan pelukannya pelan. Aku harus ingat. Jangan sampai emosiku terbawa dengan mudahnya. Aku harus berakting. Aku tidak mungkin menceritakan penyebab sedihku barusan.
"Maaf, Bu. Maaf ...."
Ibu itu pun memandang ke depan. Ya kami masih berdiri di depan kamar mandi. Kemudian kembali melihatku. "Emang, Neng, sendirian kenapa?"
"Saya malu cerita ke ibu ...." Saatnya aktingku dimulai. Semoga keberuntungan berpihak padaku sekarang.
Ya Allah, buatlah agar usaha ibu ini berjalan lancar. Wartegnya laris jaya. Aamiiin. Aku terus berdoa sembari membulatkan niatku agar ibu ini mau meminjamkan uangnya padaku. Aku harus kabur kalau bisa malam ini ke mana gitu.
"Ya ampun cerita aja ...," paksa ibu itu.
"Ehmmm saya sebatang kara, Bu, di dunia ini. Orangtua saya udah meninggal. Jadinya saya tinggal sama abang dan kakak ipar saya. Yang bikin saya sedih mereka hutang di mana-mana. Karena nggak sanggup bayar, mereka pun kabur dan ninggalin saya gitu aja. Jadilah sekarang saya yang dikejar-kejar sama debt collector. Rumah peninggalan orangtua kami sampai dijual dan uangnya dibawa lari sama abang saya. Saya bingung, Bu .... Saya takut dikejar debt collector terus. Seharian ini aja saya dikejar-kejar ...." aduku dengan tangis terisak-isak.
Sepertinya usahaku berhasil karena Ibu ini dari ekspresinya benar-benar menunjukkan kecemasan yang nyata. "Ya ampun, kok saya sedih dengarnya? Udah berapa lama kamu ditinggal sama abang kamu dan dikejar deb collector?"
"Udah dua bulan ini, Bu .... Saya sampai bingung mau nebus hutang abang saya bagaimana. Semuanya udah saya jual termasuk mobil saya. Sekarang saya udah nggak punya apa-apa ...." Aku berusaha menjelaskan dengan sesegukan yang menyertai tiap kalimatku.
"Kamu kasihan banget harus nanggung semuanya. Sabar ya .... Ehm kamu udah makan belum hari ini? Apa jangan-jangan kamu belum makan juga makanya muka kamu pucat gini?"
Terakhir makan sih tadi pagi memang. Ya satu kali dayung dua tiga pulau terlampaui. Selagi berusaha mendapatkan belas kasihan berupa uang, mendapatkan makanan gratis juga termasuk salah satu bonus. Kuanggukkan kepalaku sambil menarik ingusku yang mulai membuatku sulit bernapas.
"Ya Allah, kasihan banget sih. Yaudah kamu duduk di sini ya. Ibu ambilin makanan dulu. Untung ada anak ibu di sini yang bantu jagain warteg. Kamu jangan ke mana-mana ya," ucap ibu itu dan langsung melengos meninggalkanku. Kupandangi terus dirinya yang sibuk mengambilkan aku makanan. Aku pun duduk di kursi dengan meja yang menyatu dengan dinding.
Ya ampun, betapa besarnya dosaku menipu ibu-ibu yang baik seperti ibu itu. Aku harus menghapal lokasi warteg ini. Nanti kalau semua urusanku sudah selesai, aku akan kembali ke sini dan membalas jasa ibu warteg ini. Tak perlu menunggu lama, karena ibu itu menghampiriku sembari membawa sepiring makanan. Ia memberikannya padaku. Aku berpura-pura ragu, tapi Ibu itu dengan sigap langsung menyentuhkan sendok ke tanganku. Hehe aktingku berhasil lagi. Padahal perutku sudah mulai kelaparan. Oke. Bukan aku saja. Tapi juga anakku.
Aku pun melahap makanan ini. Mungkin karena lapar, semua yang masuk ke dalam mulutku rasanya nikmat sekali. Sampai akhirnya makanan ini habis tak bersisa bahkan sebutir nasi pun tak terlihat sama sekali. Luar biasa sekali dirimu, Usya!
"Sekarang udah mendingan?" tanya Ibu warteg ini yang sejak awal tidak berpindah tempat. Ya ia terus memandangiku.
Kembali aku pasang senyum manisku dan kubetulkan posisi kacamata ini. "Makasih banget ya, Bu, atas bantuannya."
Ibu itu tersenyum. "Iya. Sama-sama. Terus kamu mau ke mana setelah ini?"
Aku harus akting dan mengarang cerita lagi. Kupasang wajahku dengan tatapan kosong. "Nggak tahu, Bu. Yang jelas saya mau pergi dari Jakarta. Saya takut mereka mengejar saya lagi, tapi bagaimana. Saya tidak memegang uang sama sekali ...."
Aku terkejut karena Ibu itu tiba-tiba mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Mataku langsung ijo namun, dalam sekejap aku sadar bahwa aku sedang bermain drama. Kembali kuubah wajahku menjadi wanita sedih dan seolah bingung dengan apa yang akan ibu itu lakukan. Tepat seperti dugaanku, Ibu itu pun meraih tanganku dan memberikan uang itu ke tanganku. Aku harus berpura-pura terkejut.
"Bu, ini apa?" tanyaku sok kalem.
"Ini dari, Ibu. Maaf cuma bisa kasih segini. Lihat kamu, Ibu jadi ingat anak perempuan Ibu yang udah nggak ada. Semoga dengan ini, urusan kamu semuanya dipermudah ya. Maaf, Ibu cuma ibu-ibu warteg yang punya uang juga nggak banyak. Tapi Ibu benar-benar nggak tega lihat kamu .... Kamu itu mulia sekali ...."
Mata ibu tersebut berkaca-kaca yang mana malah membuat dadaku jadi sesak. Apalagi begitu ia menyebut anak perempuannya yang sudah tidak ada. Duuuh, dosa aku akan sebesar apa nanti jadinya? Aku menipu ibu-ibu warteg yang baiknya ampun-ampunan seperti di depanku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku butuh uang! Uang itu memang mampu merubah manusia jadi setan ya. Ehmm contohnya seperti aku ini. Huft!
Tapi sekali lagi. Aku harus menjalankan semua ini sempurna. Aku berpura-pura menolaknya. Kusentuh tangan Ibu itu. Kutatap matanya sungguh-sungguh. "Bu, nggak. Saya nggak pantas menerima uang, Ibu. Saya nggak enak. Saya nggak mau repotin. Saya juga baru kali ini ketemu Ibu. Beneran saya nggak apa-apa, Bu ...."
Usahaku berhasil yes! Ibu itu kini malah memaksaku untuk menerima uang darinya. "Nggak, Ibu tulus kok bantu kamu. Ibu nggak tega dengar cerita pilu kamu, tapi Ibu malah nggak bersikap apa-apa. Udah ya. Terima aja. Ibu ikhlas. Lagipula ini nggak seberapa. Minimal kamu bisa keluar dari Jakarta biar nggak dikejar lagi."
Lagi-lagi aku ingin menangis mendengar ucapan Ibu ini. Bukan menangis pura-pura namun, menangis sungguhan. Betapa baik hatinya. Tapi aku malah tega membohonginya. Tapi misalkan aku jujur. Pasti Ibu Warteg ini tidak akan mau memberikan uangnya seperti ini. Yang ada ia malah mengerahkan tenaga para pelanggannya yang ramai itu untuk mengeroyokiku. Menyeramkan bukan? Ya kebohongan itu memang salah, tapi saat ini tak ada cara lain. Bohong adalah satu-satunya solusi.
"Ini beneran, Bu?" tanyaku sekali lagi.
Ibu itu mengangguk. "Iya .... Ibu ikhlas ...."
Langsung kupeluk tubuh Ibu ini. Akan kuingat wajahnya jelas-jelas di memori otakku. Ia adalah salah satu penolongku. Tunggu saja, Bu. Nanti aku akan kembali lagi dan kukembalikan uang ini. Tunggu saja, Bu! Meskipun entah kapan sih hal itu terjadi karena masih ada beberapa penantian nasib menyebalkan yang akan menghampiriku pastinya. Huhu. Ini baru awalnya saja, Latusya ....
***
"Hah?! Semua bus udah habis?! Gila apa?!" marahku ke loket bus terdekat. Ya aku tidak tahu mau ke mana. Yang jelas apa pun bus yang tersedia, maka itu lah yang akan menjadi sasaranku.
"Ada sih, Mbak. Ke Malang. Tapi tiketnya mahal dan Mba kebagian duduk di belakang banget. Nggak apa-apa, Mba?" tawar Mbak Loket di depanku ini sambil terus membolak-balikkan kertasnya melihat jadwal bus yang masih ada.
Aku berpikir. Lagi-lagi ini untuk pertama kalinya aku akan naik bus. Bus antar provinsi pula! Tadi sempat kucek kereta sudah tak ada. Pesawat mahal. Uang dari Ibu Warteg tak akan cukup. Ah iya tadi setelah mengobrol cukup lama, aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya dan karena Ibu itu orang baik, aku jujur soal namaku. Aku memintanya untuk memanggilku Usya. Itu sebagai tanda penghargaanku atas kebaikannya.
Aku tak mungkin menolak tawaran Mbak Loket. "Mahal berapa, Mbak?"
"300 ribu, Mbak."
Mulutku menganga. Ibu Warteg hanya memberiku 400 ribu. Itu artinya nanti hanya tersisa 100 ribu. Ya Allah, masa pas di Malang aku harus bermain drama lagi sih demi mendapatkan uang? Mana aku tak pernah menginjak kota Malang. Huhu sediiiih. Tapi cuma ini satu-satunya cara agar aku tak berhasil ditemui oleh keluargaku dan pasukan gila uang itu. Untung saja tadi pas aku keluar, tak tampak wujud mereka.
"Yaudah deh. Saya ambil. Berangkat jam berapa, Mbak?" tanyaku sembari menyerahkan tiga lembar uang merah ini dengan wajah murung pada Mbak Loket. Sempat terjadi adegan tarik menarik uang meskipun pada akhirnya Mbak Loket yang menang.
Ah, Usyaa. Kenapa malang sekali sih nasibmu? Hiks. Batinku meringis sedih.
"10 menit lagi, Mbak. Buruan naik gih. Itu bisnya warna merah," jawab Mbak Loket sembari menunjuk bis merah yang sedang bertengger manis tidak jauh dariku.
Kutarik napasku lagi. Semoga ini jalan yang benar. "Oke. Makasih, Mbak."
Aku membalik tubuhku dan melangkahkan kakiku sembari mengucapkan bismillah dalam hati. Cobaan hidup terkadang benar-benar merubah manusia jadi sering menyebut kalimat Allah ya. Contohnya aku ini. Untuk kesekian kalinya air mataku menetes membasahi pipi namun, cepat-cepat kuusap. Aku bukan wanita lemah.
Semangatku seketika berkobar karena mengingat benih di janinku ini. Kuelus perutku mengingat anakku yang akan lahir ke dunia nanti. Ehmm kurasa aku harus memberikan nama buat janin ini. Apa ya kira-kira? Kan sekarang aku sedang di terminal banyak bus. Sebagai kenangan untuk mengingat bahwa aku pernah naik bus dan pertama kalinya seperti ini maka akan aku panggil Busya alias Bus Latusya. Norak sih, tapi bodo amat lah ya.
Dan tidak berapa lama, semangatku kini menurun drastis karena aku memang duduk di paling belakang dengan samping kananku adalah bapak-bapak bertubuh gendut dan di sampingnya adalah anak muda bertato dengan tindik di sekujur wajahnya.
Kuputar bola mataku ke atas. Busya .... doain, Ibu, kuat ya dalam perjalanan ....
***
Yay or Nay? Suka atau Nggak? Jawab jujur untuk chapt ini.
Hehehehe lama ya updatenya? Sengaja. Abis masih nulis C3 dan itu butuh effort lumayan untuk mikir. Cerita Usya nyicil ya. Nanti begitu C3 mau tamat insya Allah akan rajin update.
Thanks everyone!!
penulisanon
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro