1
Oke Usya udah punya lapak sendiri ya. Semua kisah Marel yg belum tuntas akan ada di sini.
Happy reading!
-----------------------------------------------------------------------
"Anjrit! Ini beneran positif?! Ah bangke! Bangke! Aaa Zian goblok!" pekikku kencang di dalam minimarket tempatku bekerja.
Ya kalian pasti sudah bisa menebak siapa aku. Aku adalah latusya Barbara. Sahabat eh, sori maksudku seseorang yang pernah menjadi sahabat Amarel Brasta cucu dari salah satu konglomerat di Indonesia Brasta Land. Kalian pasti mengenal dia. Ya dia sangat terkenal. Baik di deretan wanita sosialita mau pun di mata lelaki. Aku akui, Marel memang sangat cantik. Pesonanya itu loh luar biasa. Aku sampai heran ketika pertama kali berkenalan dengan dirinya. Kok bisa ada wanita yang membuat mata siapa pun serasa terhipnotis?
Tapi tenang saja. Aku berteman dengannya juga karena ada adegan ketidaksengajaan. Kami berdua sama-sama dikerjai pada saat ospek oleh senior sekolah kami. Aku beritahu ya Marel itu semasa SMA adalah sosok yang sangat polos. Jadi pada saat ospek, aku dan Marel terus disuruh-suruh untuk menggoda para kakak kelas. Aku tidak tahu penyebabnya apa, Marel yang kelewat polos menurutinya. Sementara aku terpaksa menuruti permintaan mereka karena namanya juga anak baru. Mana bisa aku menolaknya.
Namun, emosiku meledak ketika aku melihat salah satu senior kami menyuruh Marel mencium pipi pria gendut tinggi besar hitam yang menurutku amat sangat jelek. Langsung saja aku melempar sepatuku ke pria gendut itu sebelum bibir Marel menyentuh pipinya. Tak sudi diriku melihat perempuan cantik nan polos itu mencium pria jelek. Gara-gara hal itulah kami berdua dihukum oleh senior kami.
Sejak hari itu juga pamor kami naik. Semua orang membicarakan kami. Dibilang kami adalah gadis pelawan lah, gadis sok lah. Marel sih cuek bebek. Dia bahkan kelewat oon dengan tidak mengerti maksud orang-orang membisiki kami. Sementara aku peka sekali. Aku sering mengajak ribut siapa pun yang melirik kami sinis sampai suatu hari, aku bertemu dengan Shagam. Ya shagam adalah senior kami sekaligus tetangga Marel. Aku bisa mengetahui dari sekali tatap bahwa Marel ini sangat menyukai Shagam, sayangnya Shagam itu acuh sekali pada Marel,
Mereka berdua sangat akrab sehingga mau tak mau aku juga ikut akrab dengan Shagam. Meskipun aku cukup membatasi kedekatanku dengannya karena aku suka kesal melihat sikapnya pada Marel. la selalu menekankan kata 'teman' jika ia sudah menolong Marel. Aku sebagai pihak ketiga bisa apa. Aku tidak mau merusak pertemanan mereka dengan emosiku.
Sampai akhirnya Marel berubah total ketika shagam menghilang. Sejak itu ia terus menangis sepanjang hari. Aku satu-satunya orang yang dekat dengannya jelas bingung. Aku tahu perasaan Marel pada Shagam seperti apa, tapi aku tidak pernah menyangka dampak kehilangan shagam akan membuat Marel menjadi gila sama sepertiku. Ya aku kaget ketika ia menyatakan akan ikut aku ke Aussie untuk berkuliah di tempat yang sama. Setahuku Marel tidak akan mau berpisah dengan Shagam karena Shagam adalah mahasiswa kampus kuning. Hingga akhirnya aku tahu kalau Shagam ternyata sudah kembali ke rumahnya, tapi dalam keadaan lupa ingatan.
Yang membuatku tak habis pikir. Marel sampai minta ikut aku untuk ke kelab. Aku syok, tapi aku tak bisa menolaknya dan aku terkejut ketika ia menerima permintaan lelaki asing untuk melakukan one night stand. Aku tak bisa berbuat apa pun. Aku tidak mau Marel menjadi hancur seperti aku. Waktu itu kami sempat berdebat. Marel itu masih perawan. Masa dia mau memberi keperawanannya cuma-cuma ke sembarang orang? Aku tak mau ia sepertiku yang sudah seperti pelacur.
Ya aku sudah tidak perawan di usiaku yang ke 17 tahun karena si Teddy kampret itu memperkosaku. Ya aku dipaksa dan karena aku gampang termakan rayuannya jadilah keperawananku diambil olehnya. Eh besoknya ia pindah sekolah menghilang tanpa jejak. Saat itu aku benar-benar seperti orang gila. Untung saja ada Marel. Dia benar-benar menghiburku dan sama sekali ia tidak men-judge-ku buruk. Hancur sekali rasanya hidupku saat itu. Bodohnya aku adalah aku malah melampiaskan rasa sakit hatiku dengan melakukan hubungan badan pada pria mana pun yang menjadi pacarku sampai detik ini.
Sebenarnya aku tak kalah cantik dengan Marel. Tapi pesonaku masih kalah olehnya, Hmm... membicarakan Marel malah membuatku rindu pada si Oon itu. Tapi aku kesal luar biasa dengannya. Masalah yang datang ke kehidupannya, juga ikut membuat kehidupanku kacau. Apalagi semenjak dia menikah dengan si Homo--shagam Prasrasi salah satu psikiater gila di indonesia.
Argh! Ya senior sekaligus tetangganya itu pada akhirnya menjadi suami Marel. HAHA takdir setak terduga itu ya. Aku tahu itu bukan kesalahan Marel, tapi hati kecilku marah akan keadaan ini, Aku tulus berteman dengannya namun, kenapa aku selalu kecipratan dari segala masalah yang ada pada hidupnya? Seperti saat ini. Aku hamil Sialan! Gara-gara si Zian tolol itu.
"La, lo masih lama nggak di dalam?" tanya Mbak olin sembari menggedor pelan pintu toilet. Astaga, Lamunanku langsung buyar. Langsung aku taruh testpack yang kupegang ini ke dalam saku celanaku. "I-iya, Mbak. Bentar lagi," jawabku dari dalam.
"Cepetan! Gue kebelet!" seru Mbak Olin.
Aku gelagapan. Hampir saja aku ketahuan. Aku pun segera keluar dari kamar mandi. Ya wanita bermata sipit dan berwajah agak gempal ini langsung menabrakku kencang untuk masuk ke kamar mandi. Untung saja gerakanku gesit sehingga aku tidak terkena tabrakan lemaknya itu. Aku pun kembali ke ruang kasir untuk melayani beberapa pembeli.
"Lo lama banget, La, di kamar mandi," tegur Ujang begitu aku sudah berdiri di depan mesin kasir.
"Ah iya. Perut gue tadi sakit," bohongku. Ujang hanya manggut-manggut lalu ke luar dari minimarket.
La? Ya, aku mengenalkan diriku di sini bernama Lala. Sengaja aku ambil dari dua huruf nama depanku. Tidak mungkin aku mengenalkan diriku dengan nama Usya. Bahaya. Asal kalian tahu juga. Aku benar-benar menyamar di sini. Aku pakai wig rambut panjang. Tadinya aku mau mengenakan jilbab, tapi aku tak mau jika jilbab digunakan dengan hal yang tak semestinya.
Kacamata tetap aku kenakan karena aku tidak bisa hidup tanpa kacamataku. Kalau kuhitung, sudah hampir dua bulan aku kabur dari rumah. Untung saja temanku banyak, jadi aku meminta bantuan salah satu dari mereka untuk dicarikan pekerjaan. Aku kabur tanpa membawa apa pun saat itu. Bahkan wig yang kukenakan sekarang ini aku pinjam dari temanku itu. Setelah Zian mencicipi tubuhku, keesokannya aku langsung lari jauh.
Lalu Ogas? Ah pria yang akhirnya berhasil mencuri hatiku malah tak ada kabarnya juga. Ia sama sekali tak mencariku. Ya itu hanya harapan kosongku karena kenyataannya Ogas mendekatiku agar bisa dekat dengan Marel. Ya lagi-lagi semua pria di dekatku ujung-ujungnya pasti terhubung dengan Marel. Melelahkan ya ....
Saat ini aku masih tinggal di daerah Jakarta namun, daerah yang aku tinggali sekarang jauh dari peradaban kota. Bisa dibilang di kampung. Hmmm ... kira-kira Papa dan Mama ada tidak ya mencariku? Aku rasa tidak karena kerjaku kan hanya membuat mereka malu. Lagipula Papa harusnya bersyukur karena uangnya tidak harus berkurang karena aku.
Dan sekarang aku bingung. Aku melamar ke sini dengan status single. Dan sekarang aku hamil. Aku tidak mungkin membeberkan bahwa aku hamil tanpa ayah. Apalagi aku bekerja di sini sudah sebulan lebih. Pasti aku akan dianggap cewek tidak baik. Meskipun faktanya benar. Aku bukan perempuan yang benar. Ditambah sekarang aku tinggal di kampung.
Selama ini aku terbiasa main aman. Lawan mainku juga kebanyakan adalah pria-pria yang memang sudah ahli bercinta. Kami tahu posisi-posisi agar tidak menciptakan benih di dalam janin. Caranya juga aku sudah hapal di luar kepala. Jadi, pikiran soal hamil tak pernah terlintas sama sekali di benakku.
Tapi semua berbeda ketika bersama Zian. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang bodoh di antara kami. Ya aku anggap ia memperkosaku karena aku tak pernah mengizinkannya mencoba diriku. Argh! Zian bangsat!
Secara otomatis tanganku memukul mesin kasir. "La! Lo kenapa deh?" tegur Mbak Olin yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi.
Astaga. Tanganku refleks melakukan hal itu. Aku menyengir. "Hehe nggak apa-apa, Mbak," jawabku.
Kebetulan minimarket ini sedang sepi sehingga belum ada pembeli yang melakukan pembayaran. Air mataku tak sengaja menetes. Sekarang aku harus menyalahkan siapa? Aku sendiri di dunia ini. Tak ada keluarga. Tak ada teman. Aku sama sekali tak memiliki seseorang yang bisa menjadi teman curhatku. Aku lirik Mbak Olin yang sedang melihat-lihat barcode di sampingku. Sama saja aku membongkar aibku jika curhat dengan sembarang orang. Lagipula aku tak mudah percaya dengan orang lain.
Aku pun memegang perutku. Meskipun aku nakal dan penuh dosa, tapi aku bukan pembunuh. Aku menyayangi nyawa manusia termasuk janin di dalam sini. Ya ampun, Latusya. Kenapa nasibmu harus sengsara seperti ini sih? Aku buka ponselku sejenak. Kosong. Tak ada yang mencariku. Ah wajar saja. Karena ini kan nomor baru. Nomor lamaku aku taruh di kontrakan.
"Langgrateo Barbara anak dari Sayid Barbara berhasil meraih Edward Warner Award dari International Civil Aviation Organization (ICAO) yang merupakan penghargaan atas kontribusi pada penerbangan sipil. Kedua setelah BJ Habibie dan ...." Ya presenter itu terus mengoceh dengan layar televisi yang menunjukkan wajah Papa dan Langgra yang sedang tersenyum bahagia.
Aku menghela napas. Ya Marel selama ini tidak tahu bahwa sebenarnya aku punya abang kandung beda empat tahun denganku yang otaknya sangat pintar. IQ nya 180. Selama ini ia selalu sekolah di luar negeri dan dibiayai negara saking pintarnya. Ia sempat SD di Indonesia, tapi ketika SMP ia iseng melakukan tes di UK dan lolos. Kebetulan di UK aku memiliki saudara, alhasil Langgra bersekolah di sana.
Lalu SMA ia sekolah di Kanada dan terakhir ia kuliah di Jerman khusus mengambil sekolah penerbangan. Ya abangku itu adalah seorang pilot. Sehingga jarang pulang ke rumah. Ia sudah menikah, tapi belum mempunyai anak. Istrinya seorang pramugari dan sama hebatnya seperti dia. Ah entahlah. Intinya aku itu berbanding 180 derajat darinya.
Aku hanya anak kedua Sayid Barbara yang otaknya biasa-biasa saja. Bahkan lebih pintar Marel dibanding aku. Jadi itu sebabnya Marel tak pernah tahu kalau aku memiliki seorang abang. Langgra mungkin juga lupa bahwa ia memiliki adik. Hubunganku dengannya tidak dekat. Hanya dulu ketika ia masih kecil. Aku jadi enggan membicarakan soalnya karena tiap pertemuan keluarga yang dibanggakan Papa dan Mama adalah si Langgra. Latusya mah boro-boro.
Ah mungkin karena itu juga Papa jadi pelit padaku. Aku selalu meminta uang selama ini sementara Langgra tidak pernah menggunakan uang Papa. Ya mungkin pernah, tapi itu bisa dihitung.
"Gila ya. Iri banget gue sama anak Pak Sayid itu. Bapaknya anggota DPR. Anaknya pintar banget gitu buat bangga nama Indonesia. Pasti keluarga Pak Sayid itu bahagia ya, La," gumam Mbak Olin.
Aku tersenyum palsu. "Haha iya kali ya. Bahagia banget pasti keluarga Sayid itu," timpalku.
"Anak Pak Sayid cuma satu ya, La?" tanya Mbak Olin padaku.
Aku mengendikkan bahuku. "Nggak tahu juga deh. Kayaknya iya soalnya dari dulu yang masuk tivi cuma si Langgra itu doang kan? Yang lainnya nggak ada," cibirku pada Mbak Olin.
Mbak Olin mengangguk. Miris ya nasibku. Mereka sedang tertawa bahagia sementara aku di sini malah melayani orang lain. Ditambah aku hamil. Selamat, Pa. Beban Papa berkurang satu. Pembeli pun menghampiriku untuk melakukan pembayaran dan pekerjaanku kembali dimulai.
Aku mulai mengambil barang pembeli ini satu per satu lalu mencocokkan barcodenya agar bisa terdaftar ke dalam komputer. Setelah itu memasukkannya ke kantong plastik. Sampai tiba-tiba ....
"Mbak, kok mukanya nggak asing ya? Muka, Mbak, mirip sama di tv," tanya pembeli tersebut.
Aku mengabaikannya. Pasti hanya perasaan pembeli ini saja. "Hehe nggak, Bu. Ya wajah saya emang pasaran," ujarku sembari memberikan kantong plastik berisi belanjaannya. Pembeliku ini adalah ibu-ibu. Bukannya pergi, ia malah mengawasiku dan menatap wajahku jeli. "Bu ...," ucapku lirih.
Ibu itu malah menggelengkan wajahnya. "Saya nggak salah lagi. Mbak pasti Latusya Barbara kan? Iya kan?!"
Mataku melotot. Hah?! Orang ini tahu dari mana? Aku langsung menggerakkan tanganku tidak membenarkan ucapannya. "Bukan, Bu," tolakku.
"Latusya Barbara siapa, Bu?" tanya Mbak Olin.
"Coba lihat tv, Mbak. Itu kan Pak Sayid lagi cari anak perempuannya." Mataku secara otomatis melihat ke tv. Mulutku menganga dan benar. Papa dan Langgra memang sedang berbicara dan di samping wajah mereka terdapat wajahku tertera lebar di layar tv. God!
"Bukan, Bu. Itu di tv rambut ceweknya pendek. Saya kan panjang," bohongku entah yang sudah keberapa kalinya.
Ibu itu tetap bersikeras. Ia sekarang malah mengeluarkan sebuah brosur dan benar-benar wajahku yang tertempel di sana. Mbak Olin ikut mengamati poster ini. Ia sama terkejutnya denganku. Mulutnya menganga. Di poster ini bilang bahwa jika menemukan Latusya Barbara atau wajahnya yang mirip dengan orang ini harap segera menghubungi nomor telpon yang tertera karena akan diberikan uang 100 juta. Ini gila!
"Bu, ini bukan saya. Percaya deh," kataku lagi tegas. Duh, kenapa mesti ada kejadian seperti ini sih?!
"La, gue lihat KTP lo deh. Ya emang sih bukan hak gue lihat KTP lo. Tapi pengen mastiin aja nama lo bukan Latusya Barbara. Gue kan tahunya nama lo Lala doang."
Aku memutar bola mataku ke atas. Aku harus apa sekarang? Oke. Kata-kataku yang tadi kucabut. Aku pikir keluargaku tidak akan mencariku. Cara Papa terang-terangan juga. Bahkan sampai mengadukan hal ini lewat tv pula. Mati aku. Ketahuan se-Indonesia dong. Aku kan emang mau kabur. Aku tidak mau status hamilku ketahuan.
Kalau saja aku tidak hamil, mungkin aku akan pulang. Setidaknya masa tenangku akibat malam yang bukan one night stand itu perlahan sudah sembuh. Tapi sekarang aku hamil. Pasti aku hanya akan membuat Papa tambah malu. Ditambah ada kehadiran Langgra. Aku tidak bisa. Aku harus kabur lagi. Aku rasa di Jakarta sudah tak aman bagiku. Bahkan di daerah pelosok seperti ini saja, masih ada yang menyadari bahwa aku adalah Latusya.
Sebaiknya sekarang aku kabur. "Ehm, gue ambil KTP gue bentar deh ya. Gue bukan Latusya yang jelas. Cuma mirip doang. Rambut gue panjang bukan pendek."
Mbak Olin dan Ibu itu hanya terpaku memandangku. Mereka pasti sedang menunggu kejelasanku. Aku pun ke belakang. Lebih baik aku kabur lagi. Bahaya di sini. Aku pun mengambil tas selempangku, lalu berjalan menjinjit ke luar lewat pintu belakang. Dan begitu sudah di luar aku langsung berlari kencang sambil menahan perutku.
Nak, maafin Ibu ya, Nak, buat gempa di rumah kamu ....
Aku pun terus berlari. Dan tak kusangka karena .... "Tangkap! Itu Latusya! Kalau kita nangkap dia, kita dapat 100 juta!" seru Mbak Olin yang berada di belakangku sambil berlari mengejarku. Di sampingnya ada ibu pembeli tadi dan Ujang yang ikut berlari mengejarku.
Mati aku mati ....
Menyebalkan sekali sih!
***
Tanggapannya yaaaaa untuk chapt 1. Kalau agak kurang greget bilang ya. Nanti aku unpub terus aku pikirin lagi hehe biar greget. Maklum chapt 1 penentu utk chapt selanjutnya.
Terimakasih cinta-cintaku!
Instagram : gegeong.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro