7
Sekarang kami bertiga sedang berdiri di depan pintu kamar bertuliskan angka tujuh belas. Setiap kelompok diberikan satu pelayan untuk diantarkan ke kamar masing-masing. Bisa kulihat ekspresi tak suka Tayana begitu menyadari aku lah teman sekamarnya. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa saat itu.
Sementara Kiran langsung berbisik padaku. "Ini si Tayana itu, Mud?" tanya Kiran tengil.
Aku mengangguk, tapi mataku dan Tayana tak berhenti bertatapan. Aku menghela napas. Kenapa mesti dia sih?!
Dan pintu kamar pun telah terbuka. Kami dipersilakan masuk oleh pelayan yang mengantar kami. Kami masuk ke dalamnya. Lagi-lagi aku terpana. Kamar ini sangat luas. Terdiri dari tiga tempat tidur berukuran single dengan seprai bunga-bunga dan bedcover yang kuyakin pasti harganya sangat mahal.
Di masing-masing tempat tidur terdapat dua buah nakas pada sisi kiri dan kanan dengan di atas nakas kiri terdapat lampu tidur. Tempat tidur pertama dengan seprai bunga-bunga berwarna merah muda berada di sudut kiri ruangan. Seprai bunga-bunga berwarna jingga berada di sudut kanan ruangan sedangkan seprai bunga-bunga berwarna biru berada di sebrang seprai berwarna pink. Di kamar ini terdapat tiga buah meja belajar untuk masing-masing peserta yang terletak di sebelah tempat tidur tiap peserta. Kamar ini diisi dengan warna dominan coklat muda dengan wallpaper yang semakin membuat kamar ini lagi-lagi terlihat mewah.
Pelayan tersebut pun meninggalkan kami.
"Gue tidur di situ!" Tayana langsung melangkah dan menggeret kopernya ke tempat tidur bersepraikan jingga.
Aku dan Kiran mengembuskan napas lesuh bersamaan.
"Lo mau tempat tidur yang mana, Mud?" tanya Kiran padaku.
"Kalau gue yang dekat jendela gimana?" tawarku.
Kiran malah memukul pundakku. Hampir saja aku tersungkur. Untung kemampuan menahan tubuhku kuat. "Santai aje, Mud. Aye bisa tidur di mana aje," ujarnya.
"Makasih ya, Ran ...," ucapku.
Kiran hanya mengacungkan jempolnya seraya melangkah menuju tempat tidurnya sambil menggeret kopernya. Aku menyusul di belakangnya. Kini kami semua sudah berada di tempat tidur masing-masing.
Bisa kulihat Tayana sedang tiduran di atas ranjangnya sambil memainkan ponselnya.
"Mud, keren banget ya kamarnya. Udah gitu empuk lagi kasurnye. Ya ampun, kalau Emak aye tahu, pasti Emak aye kagak mau pulang dari sini. Gile gile," oceh Kiran sambil memandangi ke seluruh suasana kamar.
"Lo nggak nelpon Emak lo, Ran? Ngabarin kalau lo udah sampai?"
Kiran menepuk jidatnya. "Astaga! Aye lupa! Untung lo ingatin gue, Mud."
Aku menyengir. Kiran pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menempelkan ponselnya di telinga. Aku hanya diam memperhatikan gerak Kiran.
"Mak, aye udah sampai, Mak. Gile, Mak, di sini mewah banget, Mak. Kasurnya empuk banget. Super duper mewah. Mak kalau di sini pasti betah banget. Kiran aja kagak mau pulang, Mak. Doain Kiran lolos ya, Mak, jadi sekretarisnya Tirga terus ...."
"Suara lo bisa dikecilin nggak sih? Berisik tahu nggak!" sela Tayana ketus membuat Kiran berhenti berbicara.
"Mak, nanti aye telpon ye. Ada nyamuk nyamperin aye. Nanti aye telpon lagi. Lup you, Mak!" Kiran menutup telponnya.
Wah sepertinya perang perdana akan dimulai. Seketika tatapan menghunus tajam Kiran muncul. Ia menatap sadis Tayana.
"Sialan lo gue dibilang nyamuk!" seru Tayana langsung begitu Kiran menutup telponnya. Ia langsung bangkit dari tidurannya.
"Lo emang nyamuk! Nyamuk itu kan pengganggu. Aye lagi telponan sama emak aye dan emak aye di sono kagak bisa ngomong pelan sama aye. Emang begini gaya aye ngomong sama Emak. Dasar pengganggu!" marah Kiran.
"Heh! Mulut lo tuh jaga ya, Gendut! Hih! Mimpi apa sih gue semalam bisa sekamar sama cewek cupu kayak lo berdua?!" tanyanya dengan nada tinggi.
Tadinya aku ingin menghentikan debat mulut ini, tapi begitu kata cewek cupu dari mulut Tayana, mau tak mau aku juga ikut meradang.
"Tolong ya jaga mulut lo. Gue dan Kiran bukan cewek cupu. Lagipula bukan cuma lo yang nggak mau sekamar sama gue. Gue juga nggak mau sekamar sama lo." Kali ini aku buka suara.
"Iya. Dasar nyamuk. Pantas aye bilang lo nyamuk. Nyamuk kan suka ngiung-ngiung. Nah sama kayak mulut lo. Tadi pas dengar nama kita sekamar, si Mudya udah ketar-ketir malas begitu tahu lo bakal sekamar sama kita. Dan aye jadi ngerti sekarang kenapa Mudya malas. Untung emak aye kagak ada di sini. Kalau ada udah habis itu mulut lo dicabein."
Tayana pun bangkit berdiri. "Lo berdua tuh ya! Hih! Dasar cewek jelek lo berdua. Satunya gendut, satunya muka pas-pasan." Tayana pun berjalan mendekati kami. Hentakan kakinya terdengar keras. Ia menunjukku. "Lihat tuh muka lo. Ini di pipi lo ada bekas luka dan ini juga sama. Ya ampun. Muka lo cacat ya! Dan lo bisa lolos! Udah gitu waktu itu lo dibanding-bandingin sama gue? Gila apa ya si Jorda? Sori ye. Walaupun lo dandan, lo nggak akan bisa nyembunyiin luka lo!"
Hatiku bagai ditusuk pisau. Kasar sekali ucapan Tayana. Mungkin aku tadi bilang bahwa para dokter masih menyisakan luka di dahiku, namun sesungguhnya luka-luka kecil efek operasi dan luka bakar itu masih sedikit tercetak di wajahku. Ya di beberapa sudut masih ada bekas luka. Aku merasa wajahku adalah wajah cetakan gagal.
Tak kusangka air mataku menetes dari pelupuk mataku. Ketika wajahku dihina, bayang-bayang kecelakaan itu kembali terputar. Tawa seluruh keluargaku ketika ingin pergi ke puncak dan tiba-tiba kami ditabrak dari depan dan saat itu semuanya menjadi gelap. Aku tidak ingat lagi kejadian setelahnya dan itu adalah mimpi buruk.
Setiap malam aku selalu terbayang-bayang tawa bahagia Ayah, Ibu, Nerta, dan Arta.
"Lo tuh kurang ajar banget ya!" Kiran langsung bergerak dan menepis tangan Tayana.
Aku pun menunduk untuk menyembunyikan diriku yang mendadak menangis. Kiran memelukku.
"Gu ... gue kan bicara fakta." Nada bicara Tayana terdengar sedikit bergetar.
"Tapi kata-kata lo kasar tahu nggak! Cocok banget deh gue panggil lo nyamuk!" bentak Kiran kasar.
Dan tiba-tiba ....
"Diharapkan kepada seluruh peserta berkumpul di lobi. Paling lambat sepuluh menit dari sekarang. Terimakasih."
Ada suara menggema di kamar ini dan membuat kami semua terkesiap. Oke. Jadi pemberitahuan apa pun akan diumumkan melalui speaker seperti barusan.
Aku pun mengangkat kepalaku dan mengusap air mataku menggunakan punggung tangan. Ya ampun, Mudya. Dirimu cengeng sekali. Mataku dan mata Tayana bertemu. Ia menatapku datar.
"Udah ah. Gue ke lobi aja. Males lama-lama di sini," ujar Tayana santai tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia pun berjalan keluar kamar.
Aku dan Kiran masih terpaku di sini.
"Ran, makasih ya ...," ucapku.
Kiran tersenyum. "Iya, Mud. Tenang ada aye di sini. Kurang asem emang si Tayana. Dasar nyamuk. Lo kagak usah peduliin kata-kata dia ye. Walaupun muka dia lebih mulus daripada lo, setidaknya hati lo lebih mulus daripada dia."
Aku terbahak. "Tahu dari mana lo hati gue mulus?"
Kiran menyengir. "Nebak aje sih, hehe. Yaudah yuk ke luar. Nanti Bekicot ngomel."
Kali ini aku benar-benar tertawa. "Kiran, mulut lo haha."
Kiran lagi-lagi menyengir. Kiran pun melingkarkan tangannya di lenganku. Ya aku jauh lebih tinggi daripada Kiran. Kami mulai melangkahkan kaki kami.
Hmmm kira-kira apa yang akan terjadi di lobi nanti?
***
Ternyata kami dipanggil untuk makan siang dan lagi-lagi aku kagum melihat ruang makan yang super megah ini. Ini adalah sebuah ruangan di mana di tengahnya berjejer prasmanan makanan. Dan tidak hanya prasmanan saja melainkan beberapa stand yang berisi makanan penutup. Aku melihat ruangan ini seperti ruangan orang yang mengadakan pernikahan dan kami bebas mengambil apa saja.
Lalu di tepi ruangan ini terdapat meja bundar berlapiskan kain putih sutra dengan lima buah kursi mengelilinginya. Dan sekarang di sinilah aku dan Kiran berada. Aku hanya mengambil makanan sekedarnya sedangkan Kiran sebaliknya. Ia mengambil makanan cukup banyak.
"Ran, lo kenyang emang makan segitu banyaknya?" tanyaku ragu.
Dengan mulut yang penuh makanan, Kiran berusaha menjawabnya. "Mud, kapan lagi aye makan makanan enak begini. Ini makanan khas hotel bintang lima loh. Duh, Mud, aye kagak mungkin nyia-nyiain nih makanan."
Aku terkekeh. "Tapi kan masih ada enam hari lagi, Ran, kita di sini. Jadi lo tenang aja."
"Mud, makanannya tiap hari pasti ganti. Percaya sama aye. Udah deh. Ini bakal habis, Mud. Lo mending makan deh makanan lo. Takutnya ntar ada pengumuman lagi."
Ah benar juga. aku pun mulai melahap makananku. Kali ini aku mengambil dua buah kerang disertai nasi dan sayur capcay. YDan rasanya luar biasa. Benar-benar enak. Selagi makan, aku pun memandang ke sekitar. Aku merasa para wanita di sini sudah punya geng masing-masing dan geng mereka tergantung kelas mereka. Dan Tayana bisa kulihat sedang cekikikan bersama perempuan yang rupanya hampir sama seperti dirinya.
Aku menghela napas. Baru satu Tayana saja sudah mampu membuatku menitikkan air mata, apalagi ditambah rombongannya. Pasti mulut mereka lebih pedas.
"Diharapkan kepada semua peserta, setelah makan siang untuk ke aula. Terimakasih."
Saat itu juga orang yang tadi makannya pelan langsung terburu-buru menyelesaikannya. Begitu juga dengan Kiran. Sebisa mungkin ia menghabiskan makanannya hingga bersih. Aku menggelengkan kepala melihat Kiran. Untung saja, aku tidak begitu mengambil makanan. Ya aku termasuk tipe pemakan sedikit.
"Ran, pelan-pelan," ucapku.
"He'eh," jawabnya dengan tangan yang sibuk memasukkan makanan-makanan tersebut ke mulutnya.
Semua orang pun mulai berjalan meninggalkan tempat makan ini. Jelas saja hal ini membuatku agak panik.
"Ran, udah. Nggak usah dihabisin. Ntar kita telat," kataku.
Akhirnya Kiran menurut padaku. Ia pun langsung meneguk segelas air putih sampai tandas. Lalu kembali kepalaku menoleh melihat ke segala arah, sudah tak tampak para wanita di ruangan ini.
"Ayo, Mud!" Kiran langsung menarik tanganku dan berlari kencang sehingga kakiku otomatis mengikuti langkahnya.
Dan sampai juga lah kami di depan aula. Sebelumnya kami sempat bingung di mana aula berada akan tetapi semua terjawab karena di setiap samping pintu terdapat panah yang menunjukkan jalan. Aku salut. Semuanya benar-benar sudah diatur sedemikian rupa.
Kami pun melangkahkan kaki kami. Tanganku dan Kiran sudah tidak saling berpegangan lagi. Jantungku kali ini berdetak kencang. Kira-kira apa lagi yang akan terjadi di sini?
Semua wanita sudah berkumpul. Tak ada baris berbaris di sini. Para wanita bebas berdiri di mana saja. Mataku kembali mengedarkan pandangannya. Tak ada benda apa pun di dalam sini kecuali dua buah kursi yang berada di depan dan saat ini sedang diduduki oleh Jorda dan Dodo. Lalu di belakang mereka terdapat sebuah layar proyeksi yang cukup besar dengan tulisan pada judulnya adalah 'Sekretaris for Tirga'.
Entahlah. Aku merasa ini semua berlebihan. Hanya untuk sekedar mencari sekretaris, namun prosesnya sampai seperti ini.
"Mud, masa perut aye sakit," adu Kiran yang berada di sebelahku.
Aku berdecak. "Lagian sih tadi makan banyak banget sih lo," ujarku.
"Maaf. Gimana dong? Aye kagak enak keluar lagi," katanya dengan wajah kesakitan. Tangannya sibuk memegang perutnya.
"Lo mau pup?" tanyaku.
Kiran menggeleng. "Kagak, Mud. Aye cuma mual. Kayaknya perut aye kagak cukup nampung makanan sebanyak tadi."
Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Duh, Ran. Tahan dulu deh. Ini udah mau dimulai."
"Iye iye. Aye tahan."
Ya Tuhan, Kiran ada-ada saja sih. Semoga saja dia tidak kenapa kenapa. Aku dan Kiran memilih berdiri di pinggir ruangan dan duduk di lantai. Untungnya di aula ini lantainya tertutupi dengan karpet tebal sehingga tidak masalah jika Kiran duduk di atasnya.
"Assalamualaikum. Selamat siang menjelang sore. Bagaimana perjalanan kalian ke sini? Menyenangkan?" tanya Jorda ramah dari depan sana menggunakan mikrofon.
Tidak ada yang menjawab satu pun ucapan Jorda. Mulut mereka terkatup rapat dengan tatapan sinis dan penuh tanda tanya.
Dan sepertinya Jorda menyadari hal itu. Ia tersenyum miring. Bisa kulihat gaya duduknya dengan kaki kiri menopang kaki kanannya. Sementara Dodo terus menatap Jorda dengan pandangan kesengsem. Aku bisa tahu itu karena raut itu adalah raut ketika seorang wanita menyukai lawan jenisnya. Tapi begitu Dodo menatap para perempuan di sini, muka sebalnya langsung ketara nyata. Perlu dipertanyakan si Dodo ini.
"Oke. Sekarang saya tidak akan melarang apa pun pertanyaan dari kalian. Kalian mau berkata kasar juga tidak apa-apa. Saya yakin pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin kalian ajukan pada saya. Ayo, tanyakan saja," ujar Jorda santai.
"Sebenarnya ini audisi apa? Kenapa prosesnya ribet banget, Jor?" tanya salah satu wanita.
Jorda manggut-manggut. "Ada pertanyaan yang lain lagi?"
"Kenapa harus pakai eliminasi? Audisi sekretaris nggak ada yang kayak gini."
"Iya. Setuju. Terus di mana Tirga? Kita penasaran mau lihat wajahnya!" susul wanita yang lain.
"Lo ke mana aja sih, Jor, selama ini? Kenapa sekarang lo mendadak muncul di audisi ini?" Dan masih banyak pertanyaan lain yang
Aku memilih menyimak saja percakapan ini dan sesekali melihat Kiran yang terus merintih kesakitan. Parahnya, kini wajah Kiran semakin memucat. Astaga!
"Ran, lo nggak apa-apa?" tanyaku cemas.
Kiran mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, Mud. Santai aja. Aye masih bisa tahan kok."
Aku mengembuskan napas. Syukurlah kalau Kiran masih bisa menahan sakitnya. Mataku kembali memandang ke depan. Jorda masih duduk dengan senyuman tengilnya itu.
Sebelum menjawab pertanyaan mereka, Jorda pun mendongakkan kepalanya ke atas. Tak selang berapa lama, ia menurunkan kepalanya dan menatap para wanita yang bertanya itu satu per satu.
"Oke. Gue jawab yang bisa gue jawab aja. Nggak apa-apa kali ya gue ubah saya jadi gue. Gue coba ngikutin gaya bicara lo semua. Lo bisa baca kan dari awal kalau ini adalah audisi untuk mencarikan sekretaris buat Tirga. Oke. Jelas ya? Dan kenapa audisinya ribet kata kalian? Karena hanya di sini gaji sekretaris bisa mencapai 60 juta per bulan. Belum tunjangan dan keuntungan yang didapatkan. Intinya kalian tidak akan hidup susah. PT Rabatik sudah menjamin itu. Lalu kenapa harus ada eliminasi? Karena pada akhirnya hanya satu orang yang terpilih dan gue tahu lo semua pengen banget jadi sekretaris Tirga. Lihat. Berapa banyak dari kalian yang dijanjikan oleh Tirga dan berada di sini agar bisa dekat sama Tirga? Dan gue wajib memenuhi semua permintaan kalian kecuali permintaan menyangkut janji Tirga untuk menikahi kalian. Itu gue nyatakan, bagian itu nggak akan terkabul."
Semua hening mendengarkan jawaban Jorda. Karena aku di belakang mereka, aku tidak bisa melihat ekspresi mereka satu per satu.
"Terus apalagi, Do, pertanyaannya?" tanya Jorda pada Dodo.
"Itu, Mas. Mas Tir di mana sekarang dan kenapa Mas Jor sekarang ada di sini setelah dua tahun menghilang," jawab Dodo.
Jorda tersenyum miring. "Tirga ada di mansion ini dan jika kalian dipertemukan dengan dia berarti kalian beruntung karena Tirga hanya akan memunculkan wajahnya pada wanita terpilih."
"Berarti kita ada kemungkinan untuk nggak lihat wajah Tirga sama sekali?" tanya salah satu perempuan di antara kami ketus.
Jorda mengangguk. "Yaps."
"Jor, tujuan kita ke sini kan karena mau ketemu Tirga!" seru seorang wanita yang suaranya kukenal. Ya suara itu adalah suara Tayana.
"Ya buktikan aja kalau lo pantes jadi sekretaris Tirga. Buktikan kalau lo bisa lolos sampai tahap akhir audisi ini."
Suasana mulai mencekam. Bisa kudengar bisik-bisik yang terdengar kesal akan lontaran kalimat Jorda. Jorda pun terlihat santai dan tidak ada beban sama sekali.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Jor!" Kali ini para wanita di sini mulai galak dan berani pada Jorda.
Jorda langsung memasang wajah syoknya yang dibuat-buat sembari menepuk jidatnya. "Ya ampun, maaf. Pertanyaannya apa tadi?"
"Lo ke mana aja selama ini? Lo juga udah dua tahun menghilang, Jor! Menghilangnya lo sama kayak menghilangnya Tirga tahu nggak! Itu kenapa?!"
Ekspresi Jorda mendadak berubah menjadi tajam. Aku bisa menyaksikan dari sini rahangnya yang mengeras.
"Karena gue dan Tirga sedang berada dalam masa tenang. Masa tenang bisa lepas dari hiruk pikuk ibu kota dan tentunya bisa lepas dari wanita seperti kalian yang sampai sekarang masih mengejar Tirga. Dan kenapa baru sekarang gue muncul? Karena memang ini saatnya gue dan Tirga unjuk gigi lagi. Kalian pasti tahu kan, gue dan Tirga itu sepaket. Kalau kalian yang pernah kenal Tirga, pasti akan tahu bahwa gue selalu di sampingnya."
Suasana kembali hening. Lagi-lagi, entah ini perasaanku atau tidak. Jorda menatapku. Tatapannya kali ini penuh arti. Aku pun memejamkan mataku berusaha menampik pandangannya dan kurasa tadi memang perasaanku saja karena kali ini Jorda tak memandangku lagi.
"Sekarang aye yang mau nanya, Jor!" pekik seseorang dan orang itu adalah ....
"Ran ...," ucapku lirih. Ya ampun wajah Kiran sangat pucat kali ini.
Kiran pun dengan sekuat tenaga bangkit dari duduknya. Lalu ia berusaha melangkahkan kakinya ke depan mendekati Jorda. Jelas, aku langsung menahan Kiran. Semua mata di ruangan ini kini tertuju ke kami.
"Ran, lo mau apa?" tanyaku pelan.
"Ada yang mau aye tanyain, Mud, sama si Jorda. Udah. Mending lo tolong aye ke depan."
Aku ragu akan permintaan Kiran kali ini.
"Oke. Silakan," ucap Jorda santai.
Ucapan Jorda jelas membuatku makin bingung. "Mud, please. Aye kagak mungkin teriakin pertanyaan aye. Lemes banget aye, Mud."
Baiklah. Sepertinya aku tidak punya pilihan lagi. Kiran bersikeras untuk tetap bertanya pada Jorda. Mau tak mau aku pun membantu Kiran untuk berjalan ke depan menghampiri Jorda yang masih duduk manis di tempatnya. Kurundukkan wajahku agar para wanita ini tak bisa melihat wajahku. Aku yakin semua orang pasti sekarang sedang memandang kami sinis.
Dan kini aku sudah berada tepat di depan Jorda dan Dodo. Kali ini aku tak mungkin salah lagi karena Jorda benar-benar menatapku dalam. Bahkan bisa kulihat matanya yang berkaca-kaca. Padahal kemarin waktu aku didorong oleh Tayana, tatapan Jorda tidak seperti sekarang. Aneh. Aku pun membuang wajahku agar tak bertemu dengan matanya.
"Mau nanya apa?" Malah Dodo yang bertanya.
Aku pun melihat Kiran. Astaga. Bibirnya benar-benar putih sekarang.
"Kenapa cewek kayak aye yang gendut dan pendek bisa lolos di audisi ini? Sebenarnya apa kriterianya? Dan kenapa perempuan yang cantik berambut merah, dan tinggi malah kagak lolos? Aye mau tahu."
Aku tak menyangka ternyata hal ini yang mau ditanyakan oleh Kiran. Kupikir ia tidak peduli dengan keganjilan pada audisi ini karena yang kulihat ia malah terlihat bahagia dengan kelolosannya.
Jorda pun bangkit berdiri. Diletakkannya mikrofon yang ia pegang ke atas kursi. Ia mendekati kami berdua. Aku meneguk salivaku gugup. Kulirik Kiran. Ia sama halnya denganku.
Bisa kudengar napas Jorda mengembuskan napasnya kasar.
"Karena sebisa mungkin, gue menghindari seseorang yang menyerupai Prita. Kalian pasti tahu Prita kan? Ya Prita mantan sekretaris Tirga sekaligus mantan pacarnya," jawab Jorda lantang.
Hah? Apa? Jadi hanya karena itu? Bibirku terkatup rapat tidak tahu harus berkata apa. Sama halnya dengan Kiran yang terlihat syok begitu mendengar hal ini.
Dan tiba-tiba ....
"Hueeeeek." Kiran muntah!
Aku jelas terkejut dan makin kaget ketika ....
"Astaga! Baju gue!"
Ya muntah Kiran mengenai baju Jorda. Ya ampun. Belum apa-apa sudah ada masalah saja sih. Dan mendadak Kiran jatuh pingsan. Makin runyamlah masalah ini.
"Dodo panggilkan pengawal!" perintah Jorda lantang dan tanpa memandang atas muntah yang mengenainya, ia langsung memperlakukan Kiran layaknya sebagai pasien seperti mengetahui napas Kiran dan mencoba mencari tahu penyebab Kiran muntah dan pingsan.
Tak berapa lama, Dodo pun datang dengan beberapa pengawal yang membawa tandu dan dengan sekuat tenaga mereka mengangkat tubuh Kiran yang besar itu.
"Kamu ikut aku," pintanya dengan suara berbisik.
Hah? Ikut? Dengan cekatan para pengawal itu pun membawa tubuh Kiran. Sementara aku masih bergeming terpaku di sini. Kenapa aku mesti ikut?
"Buruan!" Pekik Jorda.
Tanpa banyak berpikir lagi, aku mengikuti mereka. Entahlah. Ini semua aneh dan membingungkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro