Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6

Hehehe cepet ya gue update. Biasa gue ngejar chapter ini sampai sepuluh hehehe. Abis itu baru gue fokus c4 wkwkw dan ini bakal gue usahain cepet juga after 10 chapt.

Mendingan tamatin c3 dulu atau c4? Hehe

Komen dan vote doong hehe makasih sebelumnyaaa.

————————————————————————

Aku sekarang berada di dalam bus. Di sebelahku ada seorang gadis gendut berkacamata waktu itu yang pernah teriak kegirangan karena lolos sebagai salah satu kandidat calon sekretaris Tirga. Ia duduk di sampingku karena nomor urutnya adalah delapan belas. Ya tempat duduk kami ditentukan berdasarkan nomor urut masing-masing.

Bus ini cukup mewah. Pada bagian belakang kursi terdapat televisi. Lalu jarak antara kursi depan dan kursi belakang cukup jauh sehingga kami bisa memanjangkan kaki kami. Bus ini diisi dengan posisi kursi dua dua yang artinya pada sisi kiri terdapat dua. Begitu juga pada sisi kanannya.

"Yeyeye. Emaaak akhirnya Kiran lolos, Mak. Doa emak terkabul, Mak. Walaupun Kiran jelek, tapi Kiran berhasil bersaing sama cewek-cewek cantik di sini, Mak."

Wanita di sebelahku yang bernama Kiran ini sedang telponan dengan emaknya. Aku hanya memandanginya datar. Dia terlihat sangat bahagia bisa lolos tahap satu audisi ini. Kebalikan sekali denganku. Aku malah sebenarnya malas mengikuti audisi ini.

"Yeee si Emak. Udeh. Kiran buktiin bakal bisa bawa 60 juta. Mak, cewek di sini emang cantik, Mak. Tapi percaya sama Kiran. Otak mereka di bawah standar, Mak. Kiran udeh cek, Mak, lewat medsos mereka. Terus Kiran cek lewat google. Ah tapi, Mak, pasti nggak tahu dah apa itu google. Pokoknya Emak percaya aje sama anak, Mak. Oke, Mak. lup you, Mak. Assalamualaikum!"

Kiran pun menutup telponnya. Mata kami tak sengaja bertemu. Ia langsung menyengir padaku sembari membenarkan posisi kacamatanya. Aku juga ikut tersenyum.

Tak kusangka ia malah menyodorkan tangannya padaku. Aku sempat tercengang sebentar. Tapi melihat deretan gigi behelnya dan wajahnya yang sangat ramah, aku menerima sodoran tangannya.

"Nama aye, Kiran. Nama lo siape?"

"Panggil Mudya aja."

"Wuih. Oke, Mudya. Nih ye, aye bisikin. Aye seneng banget lulus tahap satu ini. Tahu nggak, tadinye aye dihina-hina sama Emak aye katanya aye nggak bakal bisa karena aye gendut. Aye tahu aye emang kagak seoke Prita, tapi buktinya aye bisa tuh! Emang sih kriteria lolosnya aye juga bingung apaan."

Oke. Aku beruntung orang pertama yang kukenal adalah wanita model Kiran. Aku rasa dia orangnya asyik dan agak cerewet. Dia tipe masa bodoh dengan lawan-lawannya dan dia anak betawi. Terdengar dari logat bicaranya.

Dan aku jadi sedikit tertarik dengan pembicaraan ini begitu ia menyebut nama Prita.

"Lo tahu Prita?" tanyaku ingin tahu.

"Ih si Prita Prima itu teman SMA aye. Aye dengar-dengar kemarin Prima datang ye? Untung aye udah pulang. Dia pasti syok kalau tahu aye lolos. Aye musuh mereka. Suka banget mereka berdua hina-hina aye. Pengen aye bejek tuh orang," ujar Kiran geram.

"Lo tahu kenapa dia nggak jadi sekretaris Tirga lagi?" tanyaku.

Kiran menggeleng. "Mana aye tahu. Aye pan kagak dekat ama dia. Cuma pamor dia emang udah ke mana-mana. Maklum dua kembar itu emang udah kayak primadona gitu pas jaman sekolah."

"Terus tujuan lo masuk ke sini apa? Emang pengen dekat sama Tirga?"

Kiran menggeleng. "Aye cuma pengen buktiin bahwa aye bisa kayak si Prita. Cewek jelek kayak aye bisa juga jadi sekretarisnya si Tirga ntuh. Soalnye si Prita sombong bingit di grup. Dia pamer kalau dia pacaran sama si Tirga. Lagian katanye si Prita kan menghilang. Itu juga heboh di grup sekolah soalnye. Biasa si Prima nyari-nyari. Nah aye kan penisirin."

"Penisirin apaan?"

"Penasaran, Mud. Elaaah lo mah polos banget." Aku hanya menyengir mendengar celotehan Kiran barusan. Ternyata info hilangnya Prita sudah menyebar ke mana-mana ya.

"Perhatian semuanya!" seru seorang pria yang membuat percakapanku dengan Kiran terhenti. Kami pun memandang ke depan. Kami duduk pada urutan kelima dari depan.

Ternyata itu adalah suara si Dodo. Ia mengenakan baju kotak-kotak merah hitam dipadu jas dan celana bahak berwarna kuning. Aku baru sadar bahwa gaya pakaiannya seperti itu ketika aku melihatnya di bis ini. Entahlah. Aku tidak tahu. Tapi gaya berpakaian Dodo ini sangat nyentrik.

"Ya ampun, Mud. Lo lihat deh gaya si cowok itu. Baju kotak-kotak dipadu sama jas kuning. Jujur, aye tadi juga pengen hina dia. Tapi aye lihat dia bisa buat si Hera keeliminasi ya aye ciut. Gimana pun juga pan aye pengen foto bareng Tirga biar bisa aye posting di grup sekolah. Sama Jorda juga si dokter ganteng. Jadi aye tahan-tahan mulut aye." Aku terkikik mendengar ocehan pelan si Kiran.

Kiran Kiran astaga. Mulutnya cablak sekali.

"Kita akan berangkat sekarang. Mungkin perjalanan kita akan ditempuh kurang lebih enam jam. Itu kalau tidak macet. Tempat karantina akan jauh dari perkotaan. Sebelum berangkat, ada baiknya kita berdoa menurut kepercayaan kita masing-masing. Berdoa mulai."

Semua orang pun menunduk dan memejamkan mata untuk berdoa. Aku melakukan hal yang sama. Ya Allah semoga perjalanan ini lancar. Aamiin. Doaku dalam hati. Lalu aku berpikir lagi, enam jam? Lama juga. Apa kami akan ke luar kota?

"Doa selesai," ucap Dodo. Kami pun mengangkat kepala kami kembali melihat Dodo yang sedang berdiri di tengah-tengah pada bagian depan belakang sopir. "Ada yang mau ditanyakan?" tanya Dodo bijak. Kali ini wajahnya sedikit terlihat ramah.

"Saya, Mas ...," jawab seseorang.

Otomatis kami semua menoleh ke asal suara tersebut. Perempuan yang biasa saja. Tak cantik dan tak jelek.

"Mau bertanya apa?" jawab Dodo.

"Memangnya kita akan ke mana? Enam jam itu lumayan jauh kan dari Jakarta," tanya perempuan tersebut.

"Iya benar. Di luar Jakarta. Saya tidak bisa memberitahukan lokasi tepatnya. Yang jelas tempat yang kita akan singgahi memang akan berada di luar Jakarta."

Saat itu juga suara berbisik langsung menggema di bis ini. Mereka pasti syok begitu mendengar kabar bahwa mereka akan dibawa ke luar Jakarta. Aku juga sebenarnya seperti itu. Berarti misalkan pun aku mencoba kabur, itu tidak bisa karena kami pasti akan mengunjungi tempat yang benar-benar asing.

"Lalu misalkan kami tereliminasi, maka kami akan pulang sendiri gitu ke Jakarta?"

Dodo menyeringai. "Tentu tidak. Kalian akan kami antarkan kembali ke Rabatik pusat. Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai hal ini nanti akan dibahas secara detail begitu kita sampai di tempat karantina. Saya harap kalian bisa menikmati perjalanan ini. Terimakasih."

Dodo pun duduk di bangkunya yang berada di paling depan. Bis pun mulai melaju. Aku menarik napas sejenak. Perjalanan ini benar-benar akan dimulai segera. Kebetulan aku duduk di tepi dekat kaca. Aku pun menoleh untuk melihat keadaan di luar. Ternyata para kerabat kami masih setia di luar. Aku juga bisa melihat para Kakak Cokro masih berdiri di sana. Aku tersenyum memandang mereka yang sedang melihat bus ini. Kulambaikan tanganku pada mereka namun, mereka tetap tidak bisa menemukan duduk di mana aku.

Aku menarik napas sejenak lalu mengeluarkannya perlahan. Mungkin memang bis ini diset mewah. Baru beberapa menit perjalanan, sudah ada semacam pelayan berseragam memberikan kami makanan satu per satu. Tugas mereka persis layaknya pramugari di pesawat. Baru kali ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, pelayanan di bis yang sebaik ini.

Mereka bahkan menawariku mau minum apa dan kujawab saja air putih. Sementara Kiran meminta banyak sekali. Ia seperti orang yang tidak akan menyia-nyiakan sedikit pun hak yang seharusnya ia terima. Pelayan tersebut kini sudah meninggalkan kami dan beralih ke peserta yang lain.

"Mud, asal lo tahu ye. Tirga ini tajir mampus. Aye udah mendeteksi deretan perusahaan-perusahaan Tajir di Indonesia. Kedudukan nomor satu terkaya itu adalah pemilik Brasta. Gile. Mal di mana-mana. Belum lagi partnernya. Parah. Terus yang kedua itu Cokro. Noh yang pas ketahuan presdirnya, satu Indonesia langsung heboh. Emak aye juga ikutan heboh. Dasar emak-emak ye. Ketiga setahu aye Rabatik ini. Satu lagi ada Anggoro Group. Nah aye udah coba masukin cv ke semua perusahaan itu kecuali Rabatik dan kagak dipanggil-panggil sampai sekarang. Untung Rabatik buka audisi ini dan aye lolos. Beuh senang bingit aye."

Wow. Berarti aku termasuk beruntung dong sempat bekerja di Waktu karena Waktu merupakan anak perusahaan Cokro Grup. Memang sih pada saat itu aku harus melalui beberapa tahap untuk bisa menjadi sekretaris Cokro. Mulai dari psikotest, tes keahlian, lalu interview sana-sini sampai akhirnya aku bisa menjadi karyawan.

Dan jujur, aku baru mengetahui bahwa Brasta berada di urutan nomor satu. Memang sih waktu itu aku sempat menonton televisi soal konferensi pers Amarel dan Shagam Prasrari. Kak Citra, Kak Nyayu, dan Kak Melanie bahkan pernah cerita bahwa mereka pernah berinteraksi dengan si Amarel itu.

Ya Tuhan. Dan Jorda adalah sepupu dari Shagam yang merupakan suami dari salah satu keluarga Brasta. Shagam juga terkenal. Aku tak sanggup berapa pundi-pundi uang yang mereka punya. Aku memang beda kasta sekali dengan para orang-orang kaya itu.

"Semoga lo bisa lolos sampai akhir ya, Ran," ucapku.

Kiran kembali menyengir. "Iya. Lo juga ya, Mud. Aye nggak apa-apa kan panggil lo, Mud? Soalnya kalau manggal Dya kepanjangan."

Aku tersenyum. "Iya. Santai aja, Ran. Teman dekat gue panggil gue juga, Mud, kok. Hehe."

"Tapi, Mud, yang bisa jadi sekretaris Tirga pan cuma satu orang. Itu artinya aye juga saingan lo."

"Gue pasrah aja, Ran. Gue sih nggak begitu berambisi. Suka-suka aja." Tidak mungkin kan aku mengemukakan alasanku yang sebenarnya kalau aku dulu punya masalah dengan Tirga dan Prita?

"Oh gitu ...." Ucapan dari Kiran barusan tidak berlanjut lagi.

Kami kembali fokus pada diri masing-masing. Kembali aku memandang ke luar. Mobil berlalu lalang dan orang-orang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Sama halnya dengan diriku. Aku tak tahu apakah jalanku kali ini akan benar.

Tak sengaja, ketika memandang kaca, pantulan wajahku terlihat jelas. Di sana aku bisa melihat wajahku yang sesungguhnya sedang tersenyum getir. Mataku di sana berkaca-kaca. Selalu saja begini. Wajah asliku seolah menghantuiku dan menuntutku agar mengembalikan wajah asliku. Tapi aku sadar diri, hal itu tidak mungkin dilakukan.

Mengingat kejadian setelah perbanku dibuka pada waktu itu sungguh menyesakkan dada. Apalagi begitu aku bercermin. Aku menangis dan berteriak histeris saat itu. Wajahku dirombak habis-habisan. Hanya satu tanda yang menunjukkan siapa Pramudya Sasqrina sebenarnya, yaitu sebuah tanda lahir di samping luka cacat pada bagian dahiku. Luka cacat di dahiku berupa luka seperti tanda habis dioperasi dan kurasa para dokter tidak menyamarkannya karena takut menghilangkan tanda lahir yang memiliki warna berbeda dari warna kulitku dengan ukuran yang agak besar.

Dan ya. Aku tidak tahu siapa Dokter yang mengoperasi wajahku. Semua dokter pada saat itu hanya bungkam dan bilang bahwa inilah yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan aku.

Air mataku kembali menetes. Kenapa semuanya terasa berat ya Allah?

"Mud, aye tidur ye. Ngantuk." Kata-kata Kiran membuyarkan lamunanku. Masih pagi sudah ngantuk aja si Kiran.

"Iya, Ran."

Karena belum mengantuk, aku pun membuka ponselku. Ada WA di grup.

Kak Melanie : Mudya, semangat! Kabarin klo ada apa-apa!
Kak Citra : Sepi kosan gue nggak ada lo. Gue tunggu minggu depan ya, Cantik!
Kak Nyayu : Kabar2in gue suasana di sana begitu nyampe ya. Hati-hati di perjalanan.

Aku tersenyum memandang WA ini. Aku pun membalasnya.

Mudya : Makasih semuanya. Doain gue gagal ya. Sayang kalian!

Dan kemudian setelahnya aku tutup ponselku. Kuhembuskan napasku kasar. Kembali aku lempar tatapanku ke pemandangan di luar. Semoga semua baik-baik saja dan sesuai harapan. Aamiin.

***

Enam jam bukan perjalanan yang sebentar dan cukup melelahkan. Gila. Tak kusangka untuk ke tempat karantina saja, aku harus merasakan badanku yang pegal-pegal karena kelamaan duduk di bus.

"Halo, guys! Akhirnya kita sampai. Kita bertemu di depan ya dan saya harapkan semuanya nanti bisa berbaris rapi sama seperti ketika kalian berbaris di gedung pusat Brasta tadi pagi," ujar Dodo lantang sembari berdiri di tengah-tengah bis.

Kami semua diam tidak menanggapi perkataannya. Dengan keadaan yang sudah hampir sepenuhnya sadar, aku pun kembali memandang ke luar. Dan aku cukup bingung karena di luar terdapat banyak pohon-pohon hijau besar berjejer tinggi.

Sebenarnya di mana kami berada? Perasaanku tidak enak ....

"Ran ...," panggilku lirih.

"Iya. Lo pasti mau nanya kita di mane kan? Aye juga kagak tahu, Mud. Udeh. Kita turun aje. Tar Bekicot itu ngomel lagi. Terus kita di-cut. Pan bahaye," ujarnya dengan logat betawi yang amat sangat kental itu.

"Ran, Dodo itu bukan bekicot. Lo tega deh ...."

Kiran menyengir sambil menggaruk rambutnya yang kurasa tidak gatal. "Maaf, hehe. Aye bercanda, Mud. Yaudah ayo turun!" ajaknya.

Aku pun menurutinya. Kususul langkah Kiran yang berada di belakangku. Aku sudah turun dari bis dan sudah mengambil koperku yang terletak di dalam bagasi bis. Kuedarkan pandanganku lagi. Kami sepertinya benar-benar berada di tengah hutan dan ini sepertinya sangat jauh dari peradaban manusia.

Para wanita di sini juga dibuat terkejut begitu menyadari kami di tengah hutan.

"Semuanya. Silakan berbaris rapi dan ikuti saya. Kita akan menempuh perjalanan sepuluh menit untuk ke mansion tempat kalian di karantina. Harap jangan berisik dan ikuti saja langkah saya."

Hah? Mansion? Kami akan di karantina di sebuah mansion? Kembali para wanita di sini heboh.

"Hey! Saya bilang baris!" bentak si Dodo.

Aku meneguk salivaku. Si Dodo judes sekali sih. Kami semua pun merengut, tapi tetap mengikuti perintahnya.

Dodo tidak sendiri karena ada beberapa pengawal berbadan besar yang mendampinginya. Dengan rapi kami semua mengikutinya. Kanan kiri kami adalah pohon-pohon besar menjulang tinggi seolah menyentuh langit.

"Mud, aye masa degdegan sih? Seram amat loh kita di hutan begini," keluh Kiran yang berada di belakangku.

"Sama, Ran. Audisi sekretaris kok begini amat ya?" tanyaku.

"Aye kagak tahu, Mud. Sekarang aye cuma penisirin bentuk mansionnya."

Aku tidak membalas lagi kata-kata Kiran. Mataku kembali fokus ke depan. Semua orang sibuk berbicara dengan temannya sementara aku memilih diam dan dalam hati meminta doa dari Ayah dan Ibu.

Dan akhirnya kami tiba.

Mataku membesar takjub melihat mansion ini. Mansion ini luar biasa besarnya. Astaga. Pantas saja mansion ini terletak di tengah hutan karena tidak mungkin mansion ini dibangun di tengah kota. Bangunannya memang terkesan kuno, tapi kemegahan mansion ini tak bisa ditampik. Warna dominannya adalah abu-abu.

"Dan di sinilah kalian akan dikarantina selama seminggu ini," kata Dodo.

Langkah kami terus berlanjut dan sekarang akhirnya kaki kami semua berhasil menginjak mansion ini untuk pertama kalinya. Pintu dua mansion terbuka lebar dan kami disambut luar biasa oleh para pelayan berseragam sama berwarna abu-abu dan putih yang menunduk hormat. Seragamnya sama seperti pelayan di bis tadi. Wow! Aku rasa audisi ini memang sudah disiapkan sedemikian rupa oleh Rabatik karena semuanya benar-benar teratur.

"Mud, ini keren bangeeet. Aye baru tahu ada mansion begini di Indonesia. Mak, Mak, Kiran kagak nyesal banget, Mak, bisa ikut audisi ini. Kita disambut begini amat, Mud!" Kiran terus mengoceh. Aku lagi-lagi memilih untuk mengabaikannya.

"Oke. Kita berhenti di sini." Komando Dodo otomatis menghentikan langkah kami. "Silakan berbaris lima berbanjar sesuai nomor urut masing-masing. Sebentar lagi kita akan membuka karantina audisi ini secara sah."

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kami menuruti perkataan Dodo. Kiran masih di belakangku.

Ckrek!

Suara pintu berdecit terbuka. Muncul seorang pria mengenakan kemeja merah muda dan celana bahan abu-abu menghampiri kami semua.

"Mas Jor ...," panggil Dodo centil dengan tangan agak melambai mendekat ke Jorda.

Oke. Fakta baru. Si Dodo agak lekong ternyata.

"Feeling aye bener kan? Bekicot itu emang rada lain. Mana panggil Jorda Mas Jor lagi. Kuping aye geli, Mud." Kiran wanita tercerewet yang pernah kutemui kembali mengomentari si Dodo.

Aku hanya terkekeh. Tapi si Dodo ini benar-benar sangat berani. Sekarang ia malah menggandeng mesra lengan Jorda. Astaga.

Kulirik ke sekitar, semua orang menatap sinis dan berbisik penuh kebencian terhadap Dodo. Wajar sih. Aku juga oke kuakui sedikit tak rela melihat pria setampan Jorda diperlakukan seperti itu oleh pria macam Dodo.

Tapi semua sirna ketika aku menyadari Jorda memotong rambutnya begitu lontaran kekaguman keluar dari mulut Kiran.

"Gile emang ye si Jorda. Rambutnya dipotong gitu makin buat aye kagak rela dia disentuh sama si Bekicot."

Kali ini aku terkikik mendengarnya.

"Selamat siang semuanya. Perjalanan kalian pasti jauh ya ke sini? Ya di sinilah kalian semua akan di karantina. Kamar kalian sudah ditentukan. Nanti Dodo yang akan menyebutkan siapa teman sekamar kalian. Masing-masing kamar terdiri dari tiga orang. Kamar ditentukan secara acak. Tidak ada penolakan. Keputusan sudah tidak bisa diganggu gugat. Setelah kalian masuk ke kamar kalian, harap kembali berkumpul kembali di sini. Sekarang, saya kembalikan semuanya ke Dodo," terang Jorda panjang lebar sembari melepaskan pegangan Dodo.

Bisa kulihat ekspresi Jorda yang sabar untuk terlepas dari pegangan Dodo dan Dodo hanya merengut setelahnya.

"Huh! Sebal deh sama Mas Jor. Beda banget sama Mamas Shagam!" pekiknya agak kuat begitu Jorda meninggalkan kami. Ya Jorda kembali berjalan ke arah pintu tempat ia berasal tadi.

Entah perasaanku atau bukan, aku merasa sekilas Jorda menatapku datar. Tapi begitu aku mencoba untuk meyakinkan ini sungguhan apa tidak, Jorda malah membuang wajahnya. Ya mana mungkin Jorda melihat wanita jelek seperti aku.

Secara tak sengaja para wanita di sini tertawa kecil puas.

"Heh! Lo pada senang gue diginiin sama Mas Jor?!"

Oke. Gara-gara itu kami kembali diam. Dodo pun berdeham berusaha membenarkan suaranya. Ia menarik napas sejenak lalu mengembuskannya pelan.

"Oke. Saya akan membagi kamar kalian ...." Suara Dodo sengaja dibuat-buat agar terkesan wibawa.

"Haha kasian si Bekicot ditolak Jorda. Lagian kagak ngaca sih sama rupa," celetuk Kiran.

Aku tak mampu menahan tawaku. Aku menunduk agar tak ketahuan bahwa aku sedang cekikikan.

Nama satu per satu pun disebutkan, "... Tayana Fisyaga, Kiran Rohaye, dan Pramudya Sasqrina akan tidur di kamar tujuh belas."

Aku terlonjak kaget. Mataku melotot. Tayana? Astaga! Kenapa aku bisa sekamar dengannya. Oke aku bersyukur sekamar dengan Kiran, tapi Tayana? God!

"Alhamdulilah ya Allah. Aye sekamar sama Mudya, Mak!" ucap syukur Kiran yang berada di belakangku. "Ya ampun, Mud. Kayaknya kita emang jodoh ye. Dari bis sampai sekamar. Asyik!" serunya bahagia.

Sementara aku masih mematung bingung. Tayana? Mati aku. Kenapa mesti dia?!

"Mud, kok lo kagak kelihatan senang?" tanya Kiran yang melihat wajahku dari samping.

Aku tak bisa menyembunyikan hal ini pada Kiran. "Ran, kemarin pas lolos tahap satu. Si Tayana labrak gue. Semua cewek yang nggak lolos waktu itu nggak terima kalau cewek kayak gue lolos! Dan bosnya itu Tayana! Gue nggak nyangka dia lolos dan makin nggak kebayang ketika gue tahu kita sekamar sama dia!" aduku pada Kiran.

Kiran melotot. Ia menutup mulutnya tak percaya.

"Waduh, aye jadi bingung kalau kayak gini."

"Sama, Ran!"

Kali ini aku tak bisa mencoba kalem lagi. Aku panik! Mati aku matiiiii!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro